Senin, 30 September 2024

Pengaruh Mu'tazilah dalam Ilmu Fiqih

Ulama-ulama fiqh dalam masa-masa pertama dapat kita bagi atas dua rombongan. Rombongan pertama bernama Ahlul Hadis, mereka yang dalam menetapkan sesuatu hukum Islam yang kurang jelas dalam Qur’an berpegang lebih dahulu kepada Sunnah Nabi. Sebelum mereka menggunakan akal dan perbandingan. Golongan ini kebanyakan terdapat di Hedjaz, terutama kota Madinah dan Mekkah, dimana Nabi sesudah kembali dari perang Hunain meninggalkan dua belas ribu orang sahabatnya, yang sesudah mati kira-kira sepuluh ribu, masih terdapat dua ribu orang, bertaburan di seluruh negara Islam.

Rombongan kedua dinamakan Ahli Ra’yi, golongan ulama yang banyak terdapat disekitar Irak, Kufah dan Basrah, yang karena sedikit mengetahui tentang Sunnah Nabi, karena tidak banyak terdapat sahabat-sahabat di sana, dalam penetapan-penetapan hukum banyak menggunakan akal dan pikiran serta perbandingan dengan kejadian-kejadian dalam masa Nabi. Hal ini lebih sesuai dengan tempat dan keadaan, karena di tempat-tempat itu banyak terdapat orang-orang yang baru memeluk agama Islam dan banyak menggunakan pikiran. Lain daripada itu mereka banyak berguru kepada beberapa sahabat, dan oleh karena itu tidak dapat dengan mudah memberikan penghargaannya kepada sahabat-sahabat Nabi ditempat-tempat lain, yang belum mereka kenal. Orang-orang Irak ini terlalu bangga dengan Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasir, Abu Musa Al-Asj’ari, dll. Kedua-duanya mengakui kekuranganya masing-masing, tidak cukup rasa saja untuk menetapkan dan tidak pula cukup akal dan perbandingan saja, karena banyak di antara hukum-hukum dalam mengatasi akal manusia, yang mesti diturut oleh orang Islam. Misalnya Islam mewajibkan qadha puasa bagi orang wanita yang datang bulan, tetapi tidak mewajibkan qadha ketinggalan sembahyang, sedang sembahyang lebih penting lebih dahulu dipelihara.

Begitu juga umpamanya Islam mengharamkan melihat tubuh terbuka dari seorang wanita merdeka yang sudah tua bangka, dan membolehkan melihat tubuh terbuka daripada seorang budak wanita yang muda dan cantik jelita. Mengapa untuk menetapkan pembunuhan dua orang saksi, mengapa untuk zina tidak? Mengapa seorang perempuan yang sudah dicerai dengan tiga talak tidak boleh diruju sebelum kawin lagi dengan seorang laki-laki lain, mengapa seorang laki-laki dibolehkan dengan empat orang wanita, mengapa wanita hanya dibolehkan mempunyai seorang laki saja?

Mengapa seorang pencuri dipotong tangannya, yang dianggap digunakan sebagai alat berbuat ma’siat, mengapa tidak dipotong lidah, yang digunakan juga sebagai alat untuk mengajak seorang wanita berzina, dan mengapa Islam mewajibkan zakat dalam jumlah lima ekor unta, dan tidak memungut zakat dari jumlah beribu kuda?.

Jika semua pekerjaan buruk dan baik dapat diukur dengan akal bagaimanya mengukur buruk dan baik dari semua pekerjaan tersebut di atas itu. Memang ada dasar-dasar hukum, yang harus dipetik dari pada Qur’an dan Sunnah saja diluar kekuatan akal. Tetapi sebaliknya dalam banyak hal harus pula dipergunakan akal dalam menetapkan sesuatu ketentuan mengenai hukum yang tidak jelas dalam Qur’an dan Hadis dan hukum menetapkan buruk baik untuk menjelamatkan pergaulan manusia.

Sebagaimana kita katakan di atas ulama-ulama Irak karena kekurangan hadis banyak sekali menggunakan akal untuk menetapkan sesuatu. Demikian banyaknya mereka menggunakan akal ini sehingga ulama-ulama Hejaz mencemoohkan mereka dan menuduh, bahwa orang-orang Irak itu melebih-lebihkan hukum daripada hadis-hadis yang sahih dan memperbanyak ciptaan hadis-hadis maudhu’. Imam Malik sendiri pernah menamakan orang-orang Kufah itu penempa hadis, karena di Kufah itu banyak diperbuat orang hadis-hadis palsu untuk digunakan sebagai dasar hukum, sebagaimana seorang penempa menciiptakan dirham dan dinar-dinar baru. Ibn Syihab menerangakan; "Jika sebuah hadis keluar dari Hejaz sejengkal panjangnya maka sesudah sampai di Irak hadis itu akan panjang satu hasta"

Lain daripada itu masih terdapat pula suatu kesukaran besar di Irak, yang tidak terdapat di Hejaz, dimana hidup orang-orang yang masih mendalam imaninya kepada agama masih takut mencampur adukkan hadis-hadis Nabi dengan sesuatu pendapat akal yang berlainan. Di Irak terdapat banyak sekali macam pemeluk-pemeluk Islam dari berbagai pokok keyakinan, yang lebih memerlukan keterangan yang berdasarkan akal dan pikiran daripada hanya berdasakan ayat Qur’an dan Hadis. Di Irak dan sekitarnya lahir suatu pertemuaan antara Islam dengan keyakinan-keyakinan lain, dan oleh karena itu lahir pula di sana golongan-golongan seperti Mu’tazilah, Murji’ah dan gerakan-gerakan ahli ilmu kalam yang lain, dengan pembicaraan dan pengupasan masalah-masalah agama yang tidak pernah dilakukan di Hejaz, karena luas pengetahuan pendudukinya tentang kehidupan dan keyakinan Islam Orang-orang Islam di Irak terpaksa mencari jalan lain, yaitu jalan pikiran untuk mempertahankan Islam daripada serangan-serangan golongan itu. Sebagaimana orang-orang Hejaz dalam penetapan hukum terpaksa melihat lebih dahulu kepada hadis, begitu juga orang-orang Arab dalam tugasnya yang sama, untuk menyempurnakan bahan-bahan nas yang ada padanya, lari kepada dasar akal, ra’yi atau qiyas, terutama dalam persoalan dan kejiadian-kejiadian yang besar mengenai ekonomi, pidana, urusan tawanan, yang tidak banyak terdapat di Hejaz. Maka terjadilah penggunaan qiyas ini dalam beberapa cabang ilmu Islam dalam usul fiqh, dalam hukum fiqh, dalam bahasa dan sastra, dalam pramasastra adal lain-lain hal, dan ini banyak sedikitnya mempengaruhi juga hukum agama dengan tidak langsung. Pengertian yang pertama mengenai qiyas, bahwa qiyas itu ialah mengetahui sesuatu hukum yang diterangkan atau yang terjadi dengan penetapan Nabi, kemudian diperbandingkan hukum ini dengan kejadian-kejadian dibelakang untuk ditetapkan.

Untuk penetapan itu digunakan ijtihad yang mempengaruhi cara berpikir, ra’yi, dan mempengaruhi cara memperbandingkan sesuatu, qiyas, sehingga terjadilah perbedaan paham dan terjadilah perbedaan pendapat antara seorang ulama dengan ulama yang lain sejak zaman Bani Umaijah. Ada ulama yang tidak mau memberikan fatwanya, kecuali berdasarkan nas dari Qur’an atau Hadis, seperti Abdullah bin Umar, ada ulama yang berani mengeluarkan pendapatnya dalam sesuatu kejadian menurut pertimbangan ijtihadnya, seperti Chalifah Umar, Abdullah ibn Mas’ud, dll. Hal ini sudah terjadi sejak wafat nabi dan pimpinannya diganti oleh sahabat-sahabatnya. Maka kita lihatlah perbedaan ini lebih dibesar-besarkan oleh keadaan di Irak, sehingga lahirlah persoalan penetapan baik dan buruk dengan akal tahsin dan tagbih, kedua-duanya adalah pokok pendirian Mu’tazilah, yang lahir karena pernyataan, adakah pada a’fal Tuhan terdapat buruk dan baik, hasan dan qabih, yang sengaja dijadikan Tuhan dsb.

Dengan sendirinya mazhab Hanafi, yang lahir disekitar Irak, yang dipengaruhi hanya oleh paham-paham Mu’tazilah, memberikan kesempatan terdahulu kepada akal, karena pendapat mereka akal itu dapat menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kita lihat, bahwa ukuran ini telah lahir pada bangsa-bangsa manusia yang primitif, sebelum mereka mengetahui da’wah dan agama Tuhan. cara berpikir yang merdeka dari Hanafi ini mempengaruhi ulama-ulama besar yang lain dari aliran Hanbali, Maliki dan kemudian Syafi’i. Meskipun dengan mana yang lain mereka menggunakan cara menggunakan akal yang lahir dalam kalangan Hanafi, seperti istihsan, memilih yang terbaik, mulabatul mursalah, mengemukakan dalam sesuatu hal lebih dahulu kemaslahatan umum.

Meskipun misalnya Imam Syafi’i menolak istihsan cara Hanafi, dengan katanya : "Barangsiapa melakukan istihsan, sama dengan mengadakan sesuatu syari’at baru” (Ghazali, Mustafa, I: 274). Begitu juga tidak cukup alasan untuk menjadikan istilah (Muslahatul mursalah) menjadi sumber hukum untuk memelihara agama dalam lima pokok, yaitu agama, pribadi, akal, keturunan dan harta benda. Ulama-ulama Hejaz tidak dapat menggunakan dua sumber diatas untuk menjaga keadilan dalam hukum Islam, dengan mengabaikan Qur’an dan Hadis. Kita ketahui bahwa umumnya ulama-ulama Hejaz itu berturut-turut menggunakan sumber hukum sesudah Qur’an ialah Sunnah Nabi, perkataan dan perbuatan sahabat, fatwa sahabat, fatwa Tabi’in dan pendapat Tabi’in dan tidak sekali-kali menjadikan sesuatu hukum keluar daripada sumber-sumber itu (takhriji).

Sesudah Rasulullah wafat ia meninggalkan Qur’an, disamping Hadisnya atau ucapan-ucapannya dan perbuatan-perbuatannya yang disaksikan oleh sahabat-sahabatnya atau didengar sambung-menyambung secara terang. Ada sahabat yang mendengar seluruhnya atau melihat perbuatan Nabi seluruh kejadiannya, sahabat-sahabat ini kemudian berpisah satu sama lain dan bertaburan hidupnya dimana-mana, setengah tinggal di Irak, setengah mengambil tempat di Syam, dan setengah lagi; berdiam di Mesir.

Semuannya menceritakan ucapan dan perbuatan yang dilihat pada Rasulullah dikala yang lampau. Tidak ada kitab yang ditulis, keterangan hanya disampaikan dari mulut kemulut, sedikit sekali yang mencatat perkataan dan kejadian itu karena kesibukannya.

Kemudian datang pula sahabat-sahabat besar yang kadang-kadang tidak mengalami seluruhnya kejadian dalam masa Nabi tetapi menerlukan penetapan sesuatu hukum dengan pendapatnya sendiri Ia pernah berbuat demikian karena dalam masa Nabi pernah kejadian, bahwa Mu’az bin jabal dikirim Nabi ke Jaman dan ditanyakan kepadanya, bagaiman cara ia menetapkan hukum disana. Mu’az menjawab, bahwa ia mencari lebih dahulu dalam Qur’an, jika tidak terdapat disana akan dicari di dalam Hadis, dan jika tidak terdapat Sunnah Nabi akan digunakan akal pikirannya. Nabi membenarkan cara bertindak Mu’az bin jabal itu.

Sebagaimana Mu’az, sahabat-sahabat yang lainpun berbuat demikian. cara begitu dikerjakan Khalifah Abu Bakar, dikerjakan oleh Umar bin Khattab, dilakukan oleh Usman bin Affan dan dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib. Begitu juga oleh sahabat-sahabat yang lain tidak dilupakan digunakan akal dan pikiran, jika sesuatu sumber hukum tidak terdapat dalam Qur’an dan Sunnah. Sebagai conoh kita lihat Abdullah bin Mas’ud pernah ditanyakan orang tentang seorang perempuan yang kematian lakinya, yang belum menunaikan mas kawin kepadanya sebagaimana dijanjikan. Ibn Mas’ud berkata, bahwa ia belum pernah melihat perkara yang seperti itu dihadapkan kepada Nabi, oleh karena itu ia lalu berijtihad dan memerintahkan pembayaran mas kawin dari harta pusaka.

Kemudian datang menemuinya Maqqal bin Jassar dan menceritakan, bahwa kejadian semacam itu pernah berlaku dimasa Nabi, dan Nabi memutuskan perkara seperti yang diputuskan oleh Ibn Mas’ud. Alangkah gembiranya ibn Mas’ud itu mendengar laporan ibn Jassar, belum pernah kelihatan ia segembira itu sesudah memeluk Agama IsIam (hadis Hasai’).

Kadang-kadang terjadi pula seorang sahabat memutuskan hukum tidak sesuai dengan Sunnah Nabi. Abu Hurairah pernah menetapkan, bahwa seorang yang junub tidak diperkenankan berkuasa siang hari, dan pendirian ini baru diubahnya sehingga ia mendengar keterangan-keterangan dari beberapa isteri Nabi yang sebaliknya Ahmad Amin, (Dhuhal Islam, I : 158).

Tulisan ini berlanjut ke artikel selanjutnya yang berjudul "Konsep Ilmu Fiqih di Kalangan Mu'tazilah". Silahkan klik di sini

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam