Selasa, 01 Oktober 2024

Madzhab Teologi Ibnu Taimiyah

Ke dalam ulama-ulama yang menganggap dirinya Ahlus Salaf termasuk Ibn Taimiyah Al-Harrani, yang dalam perjuangannya sangat kelihatan, bahwa ia ingin mengembalikan segala amal ibadah dalam Islam itu kepada Sunnah Nabi Muhammad dan menyesuaikan penetapan kepada perbuatan Nabi, kepada perkataannya, dan kepada suruh tengah yang ditetapkannya.

Maka oleh karena itu dalam ia mencari kejadian keterangan-keterangan mengenai riwayat sesuatu sangatlah teliti dan cerna, sehingga segala sesuatu hukum yang akan diputuskan dan ditetapkannya, sedapat mungkin janganlah sebesar rambutpun berbeda sejak tujuan ayat Qur'an dan Sunnah Nabi meskipun penetapannya itu kadang-kadang kelihatan aneh berlainan dengan hasil-hasil ijtihad ulama-ulama besar yang lain.

Pada waktu saya membicarakan Wahabi dan Tauhid, yang termuat dalam salah satu nomor majalah Panji Masyarakat, sudah saya singgung Ibn Taimiyah ini dengan ajaran-ajarannya mengenai tauhid dan cara-cara pelaksanaan i'tikad, yang sebagaimana besar menjadi pokok pendirian golongan Wahabi, penganut Abdul-Wahab An-Najdi.

Meskipun Ibn Taimiyah sebenarnya adalah seorang yang termasuk penganut madzhab Hanbali, tetapi ia tidak mau mengikatkan dirinya kepada seluruh cara berpikir Ahmad bin Hanbal, tetapi ia sendiri menganggap dirinya sebagai seorang Mujtahid fil Mazbab, sebagai imam-imam madzhab yang lain-lain itu dengan keyakinan bahwa menurut ajaran Islam ia berhak penuh berdasarkan Qur'an dan Sunnah menetapkan sesuatu hukum sebagaimana ulama-ulama yang menamakan dirinya Mujtahid-mujtahid.

Salah seorang pengarang riwayat hidupnya, Ma'ari, menyebut dalam kitab Kawakib yang agak lumayan besarnya, beberapa banyak masalah- masalah, yang menunjukkan perlawanan Ibn Taimiyah secara hebat-hebatan terhadap taqlid dan ijma' ulama-ulama besar yang ternama sebelum zamannya dan yang semasa dengan dia. Dalam sebagai besar kitab-kitabnya kelihatan ia mengikuti ayat Qur'an dan Hadis secara lahir dan tidak berliku-liku, meskipun ia tidak menganggap suatu kesalahan untuk mempergunakan qiyas sebagai salah satu dasar penetapan hukum di samping kedua sumber hukum Islam tersebut, jikalau ternyata perlu dan ada kepentingannya. Ini kelihatan diantara lain-lain pada waktu ia berdebat dan mempertahankan pendirianya dalam beberapa kitabnya.

Memang tidak mudah mengetahui dengan pasti, diantara amal yang disuruh, yang dikerjakan atau yang dibenarkan oleh Nabi, sesudah beliau wafat berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun, atau sesudah sahabat-sahabat tidak ada lagi, lebih sukar akan mengetahui dengan tegas, mana-mana hukum yang pernah dikemukakan kepada beliau itu dan diputuskanrasu. Keterangan-keterangan yang diperoleh hanyalah melalui mulut kemulut, ada mulut musuh yang membencinya, dan oleh karena itu memutar balikkan keadaan, ada mulut-mulut juga, yang oleh karena terlalu amat cinta tidak melihat lagi penyelewengan, sehingga banyaklah telah menyimpang keterangan-keterangan itu daripada asalnya, sehingga ia telah merupakan sesuatu yang berlebih-lebihan, sesuatu yang baru (bid’ah), yang tidak ada berasal dari Nabi sendiri, tetapi diselipkan karena dianggap lebih baik atau lebih membesarkan sya’ir agama.

Membatasi diri atau kembali ke dalam garis-garis Islam yang sebenarnya, Islam sebagai yang dilakukan oleh Nabi, menurut Ibn Taimiyah menjadi tugas penting daripada ulama-ulama yang merupakan waris Nabi-Nabi itu. Kekurangan juga jangan, kelebihanpun juga tidak dikehendaki, karena tiap kelebihan yang dijadikan amal agama itu sesat, dan tiap kesesatan itu membawa pembuatnya masuk kedalam api neraka. Inilah prinsip yang membuat Ibn Taimiyah memutarkan otaknya, bagaimana ia dapat mengembalikan umat Islam kepada dua sumber yang menjadi pokok Islam, yaitu Qur’an dan Hadis.

Sepanjang yang dapat kita baca, ada dua hal yang sangat dibencinya, dan oleh karena itu sangat ditentangnya yaitu syirik dan bid’ah. Tiap ada kesempatan dalam ajarannya, dalam bukunya, diserangnya, siapapun ia yang membawa sesuatu persoalan agama mendekati dua soal itu. Dan oleh karena itu dengan sendirinya ia menghadapi musuh yang tidak sedikit jumlahnya, diantaranya ulama-ulama dan qadhi-qadhi yang telah ternama dalam hukum Islam.

Salah satu yang sangat menyolok dan mendapat reaksi umum ialah fatwanya, yang berbunyi bahwa menziarahi kuburan Nabi di Madinah yang umum oleh ulama-ulama dari hampir seluruh madzhab dianggap sunnah, dinyatakan olehnya sebagai satu perbuatan yang tidak ada dasar hukum, suatu perbuatan yang ma’siyat, jika dari jauh hanya sengaja datang menziarahi kuburan Nabi Muhammad itu. Yang demikian itu dengan alasan bahwa Nabi sendiri hanya mengatakan sunnah menziarahi hanya tiga buah mesjid. Majidil Haram di Mekkah, Masjidin Nabawi di Madinah dan Masjid Aqhsa di Jeruzalem dengan niat ibadah, tetapi tidak kuburan Nabi. Bahkan pernah memperingatkan, agar kuburannya jangan dijadikan mesjid. Demikian penetapan hukumnya, sedang kebanyakan umat Islam berpendapat bahwa berziarah kekubur Nabi Muhammad itu sunnah adanya.

Banyak soal-soal lain, dimana ia terlibat dalam pertentangan paham dengan ulama-ulama, bahkan dengan sekian banyak aliran-aliran. Di antaranya soal penentuan tempat Tuhan, masalah talak tiga dan cinta buta, masalah zakat yang dapat terpenuhi karena pembayaran pajak negara, masalah ijima’, yang olehnya dianggap tidak terikat dan menjadikan kufur bila dilanggar, masalah haram menceraikan isteri tidak sah dalam masa haidh, dan lain-lain, ada yang menyokong, tetapi ada juga yang menyerang habis-habisan, sampai ada yang mengkafirkan dia.

Sebagai anak kelahiran Harran, yang mempunyai sifat-sifat keberanian dan ketegasan, ia tidak pernah tunduk, apa lagi kemudian sesudah ia menjadi ulama dan ahli fatwa Islam, yang disegani, ia tidak pernah ragu-ragu dalam mempertahankan pendirian-pendirian Ahli Salaf. Ia merupakan musuh besar daripada orang-orang yang memasukkan kemasehian dan kemajuisan ke dalam Islam, ia menjadi musuh besar dari orang-orang yang membuat amal baru atau bid’ah dalam Islam dan ia merupakan musuh besar terhadap hampir semua mazhab, tidak saja terhadap ulama-ulama dalam mazhab yang empat, tetapi mazhab-mazhab lainpun tidak ada sebuahpun merasa aman terhadap Ibn Taimiyah, terutama aliran-aliran khariyah, Muriyah, Rafiyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Karmatiyah, Asy’ariyah dan lain-lain. Dikatakannya bahwa Asy’arijah itu sebenarnya tidak lain daripada percikan permenungan paham-paham Jahmijah Neyariyah, Zirariyah dan lain-lain. Terutama paham pengertian qadar dalam mazhab Asy’ari sangat ditentangnya, begitu juga mengenai uraian sifat Tuhan (asma) dan lain-lain.

Bukan sampai di situ saja, tetapi juga Umar bin khattab, khalifah kedua sesudah Nabi, dituduhnya banyak sekali berbuat salah dalam menciptakan bid’ah-bid’ah. Serangan yang bernyala-nyala ini terhadap Umar diucapkannya dalam salah satu pidatonya dalam mesjid jabal di Salihiyah. Ali bin Abi Thalib, menurut Ibn Taimiyah, berbuat 300 kesalahan dalam Islam selama hidup dan selama pemerintahannya.

Memang orang takut lidah dan pena Ibn Taimiyah yang petah dan tajam itu. Bukan hanya sekedar mengejek dan membesarkan dirinya, kalau ia menerjang atau mengupas soal, tetapi dengan keyakinan hendak membersihkan Islam dan dengan cukup alasan untuk membuktikan kesalahan-kesalahan yang dikupasnya.

Selanjutnya Ibn Taimiyahpun menerjang secara berapi-api Al-Ghazali, Muhyiddin Ibn Arabi, Umar ibn Al-Faridh dan umumnya semua golongan Sufi, yang menurut anggapannya membuat-buat tambahan ibadat baru dalam Islam. Terhadap Ghazali seranganrnya terutama ditunjukkan kepada kitab Al-Munqiz dan kitab Ihya Ulumuddin, karena dalam kedua kitab itu Ghazali banyak sekali memakai hadis dha’if untuk alasan keterangannya.

Dari sudut filsafat Ibn Taimiyah menerjang Ibn Sina dan Ibn Sabbin, yang dituduhnya banyak memasukkan paham-paham filsafat Yunani ke dalam ajaran Islam. Ia bertanya : "Bukankah filsafat itu membawa kepada syirik dan melemahkan Islam?” Ia mengatakan terhadap orang Sufi : "Orang Sufi dan Mutakallimun sebenarnya timbul dari satu jurang yang sama”.

Ibn Taimiyah memperingatakan bahwa Islam itu diturunkan untuk memperbaiki paham-paham yang salah, yang dimasukkan orang kedalam agama Jahudi dan Nasrani. Dan oleh karena itu Ibn Taimiyah mempersatukan tenaganya untuk menghadapi kedua agama ini, yang dianggapnya pokok kerusakan dalam Islam. Lalu diserangnya kedua agama itu, lalu diserangnya orang-orang sucinya, lalu diserangnya gereja-gereja dengan segala aliran pahamnya. Dengan demikian menyalah api yang sangat hebat didaerah Damaskus.

Dan Ibn Taimiyah diserang pula dari kiri dan kanan, dari dunia Islam sendiri, dari dunia Kristen dan dari dunia Yahudi. Demikian hebatnya serang-menyerang ilmiyah itu sehingga beberapa kali Sultan Islam setempat dan hakim-hakimnya terpaksa campur tangan untuk memperlindungi Ibn Taimiyah dengan memasukkannya dalam penjara.

Ibn Taimiyah telah hilang buat sementara waktu dari mata masyarakat, tetapi pengaruh pahamnya tumbuh sebagai jamur dimusim hujan, diantaranya Ibn Qaym, Abdul Wahab Najid dan keluarga kerajaan Saudi.

Siapa sebenarnya Ibn Taimiyah yang pernah menggemparkan Asia Kecil itu ?

Nama yang sebenarnya dari pujangga besar, Ulama besar dan Ahli Hukum besar ini adalah Taqiuddin Abdul Abbas, Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah Al-Harrani Al-Hanbali. Ia lahir pada hari Senin tgl. 10 Rabi’ul Awal 661 H. atau 22 januari 1263 M di Harran.

Diburu oleh bangsa Mongol, ayahnya pindah ke Damaskus dengan seluruh kelurganya pada pertengahan tahun 1269. Diibu negeri Syria itu Ahmad mulai lebih mempelajari agama Islam, yang kemudian ternyata seorang pemuda yang cakap dan yang cerdas otaknya dalam mempelajari segala bidang pengetahuan Islam. Ia pernah menerima pelajaran dari ayahnya, dari ulama besar Zainuddin Abdul Dam’ Al-Mukaddasi, Najmuddin Ibn Asakir; seorang ulama perempuan Zainab binti Maki, dan lain-lain.

Belum sampai 20 tahun umurnya, ia sudah menamatkan pelajarannya, dan tatkala ayahnya meninggal dunia dalam tahun 1282; ia sudah sanggup menjabat pangkat Professor dalam ilmu hukum Hanbali. Pada tiap-tiap hari jum’at ia mengajar tafsir Qur'an dengan suatu cara yang sangat mendalam dan sangat menarik perhatian umum. Dengan pengetahuannya yang sangat luas mengenai segala lapangan ilmu, terutama segala lapangan ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan penafsiran Al-Qur’an, Ilmu Hadis dengan segala seluk beluknya.

Ilmu Fiqh dengan segala cabang-cabangnya, begitu juga ilmu ketuhanan dan ketauhidan dan lain-lain, ia mempertahankan paham ulama-ulama Salaf dan sahabat-sahabat terdahulu yang ketika itu jarang mendapat perhatian alim ulama dan ahli fiqh.

Memang diakui orang kecerdasan otak Ibn Taimiyah dan kelancaran lidahnya. Tetapi sebanyak yang tertarik kepada caranya berpikir dan cara pengupasannya; sebanyak itu pula orang yang menentangnya dan menaruh kebencian yang terutama disebabkan hilang kekuasaannya dan popularitet mengenai kedudukanya dalam lapangan hukum Islam. Ada yang namanya dikenal orang sudah berpuluh-puluh tahun, sekaligus dihancurkan oleh Ibn Taimiyah dengan alasan-alasan yang tepat dan tak dapat dibantah.

Apalagi pengajian tafsirnya pada tiap-tiap hari jum'at itu terbuka bebas untuk debat, maka membanjirilah serangan-serangan dari ulama-ulama tua yang merupakan musuhnya.

Dalam tahun 1292 ia naik haji ke Mekkah yang membuat namanya lebih harum dan lebih dikenal orang karena perkenalan dengan banyak ulama-ulama besar disana.

Dalam bulan Rabi’ul Awal 699 H. (1299 M) ia pergi ke Mesir, dan disana ia menerima sebuah pertanyaan yang dikirimkan dari Hamah, mengenai sifat-sifat Tuhan. Pertanyaan ini dijawabnya dalam bentuk sebuah fatwa dengan alasan-alasan yang cukup dan tegas sekali, sehingga fatwa itu membuat seluruh ulama Syafi’i marah dan tidak bersenang hati. Maka seluruh pengikut Syafi’i itupun bangkitlah menyerangnya, sehingga berakibat kehilangan jabatan Profesor bagi Ibn Taimiyah. Kehilangan pangkat baginya tak ada artinya asal jangan kehilangan keyakinanya dan pribadi. Memang dalam hidupnya acapkali ia menderita kehilangan kemerdekaan badan, tetapi ia masih selalu puas karena kemerdekaan berpikir masih terus-menerus dimilikinya sampai mati.

Meskipun fatwanya diatas sangat menggemparkan golongan Syafi’i di Mesir, tetapi ia dalam tahun itu juga dipanggil ke Cairo dan diserahi suatu tugas maha berat, yaitu menerangkan Perang Sabil atau Perang jihad terhadap bangsa Mongol, yang dilakukan dengan penuh keta’atan pada tahun berikutnya. Tugas peperangan suci ini dilakukannya dengan kemenangan yang gilang-gemilang terhadap tentera Mongol di Shakhab, suatu tempat yang bersejarah dekat Damaskus.

Sesudah dalam tahun 1305 ia berkelahi mati-matian melawan rakyat jabal Kasrawan di Syria, termasuk menghancurkan golongan Ismaili Nusairi dan Hakimi, yang percaya kepada kesaktian Ali bin Abi Thalib dan yang mengkafirkan sahabat-sahabat Nabi yang lain, begitu juga yang tidak pernah sembahyang dan puasa dan yang menghalalkan makan daging babi (Mari’ Kawakib, hal. 165), maka ia kembalilah ke Mesir dalam tahun 1306-1307 dengan perasaan sebagai seorang berjasa. Tetapi apa yang terjadi disana?

Dibawah pimpinan seorang Qadhi Syafi’i diadakanlah lima kali pertemuan dengan pembesar-pembesar negara dalam sebuah majelis yang diadakan dalam istana Sultan, dimana dibicarakan dan diputuskan bahwa Ibn Taimiyah itu adalah seorang yang sangat berbahaya, baik bagi agama maupun bagi kepentingan negara. Dengan keputusan yang disetujui oleh Sultan ini ditangkaplah Ibn Taimiyah Al-Harrani yang berjasa itu dan bersama dengan dua orang saudaranya dimasukkan kedalam penjara selama satu setengah tahun.

Kecelakaan kedua ialah pemeriksaan terhadap Ittihadiyah, sebuah karangan yang ditulisnya mengenai ke-Esaam Tuhan, yang membuat dia dimusuhi pula oleh pengikut-pengikut Qadhi yang berkuasa ketika itu. Dengan alasan berbahaya ia dipaksa kembali dari Damaskus pulang ke Mesir untuk dipenjarakan satu setengah tahun di dalam rumah penjara Qadhi, dimana ia mendapat kesempatan mengajarkan agama Islam menurut pahamnya, sehingga semua isi penjara itu kemudian menjadi pengikut yang setia baginya.

Kemerdekaan pribadi yang diperolehnya sesudah keluar dari penjara itu hanya beberapa hari saja. Kemudian dicari-cari kembali ke dalam rumah tahanan di Alexandria selama delapan bulan lamanya.

Sesudah dari Alexandria kembali ke Cairo ia diminta kembali oleh Sultan An-Nasir untuk memberikan sebuah fatwa. Tetapi karena ia tahu bahwa permintaan fatwa itu bukan hendak mencari ilmu atau kebenaran, tetapi hanya untuk menjelek-jelekkan namanya di depan mata umum dan memperbanyak musuhnya dalam kalangan Syafi’i, maka fatwa itu tidak diberikanya, meskipun ia menerima tawaran menjadi Profesor pada sebuah sekolah tinggi yang didirikan oleh putera mahkotanya.

Dalam tahun 1313 sekali lagi ia diperintahkan memimpin peperangan ke Syria. Melalui Jerusalem iapun masuklah ke kota Damaskus. Hari itu ia merasakan kebahgiaan hidupnya yang sukar dapat dilukiskannya. Dengan mata setengah berair ia meletakkan kakinya dipintu gerbang Damaskus yang dicintainya, sesudah tujah tahun tujuh minggu lamanya ditinggalkannya.

Segera ia diangkat menjadi Profesor pula pada salah satu sekolah tinggi, tetapi sahaja dalam bulan Agustus 1318 atas perintah Sultan ia dilarang mengeluarkan fatwa-fatwa, yang sangat diperlukan orang untuk mengetahui buah-buah pikirannya mengenai hukum Islam. Meskipun demikian dengan sembunyi-sembunyi murid-muridnya dapat juga mengumpulkan fatwa-fatwanya itu, yang kemudian dicetak dalam beberapa jilid besar di Mesir sebagai peninggalan berharga. Dan dengan demikian kita pun di Indonesia dapat membaca kitab Fatwa Ibn Taimiyah itu.

Pergerseran paham dengan ulama-ulama Sultan membuat ia dimusuhi disana-sini dan hampir berselang tahun dimasukkan kedalam penjara. Kepenjaraan itu baginya tidak menjadi soal, didalam dan diluar penjara ia mengajar dan menulis, ia mengupas soal-soal yang pelik secara Ahli Salaf dan orang yang sangat takut akan syirik dan bid’ah, yang menurut anggapannya, kedua perkara inilah yang melemahkan keemasannya. Oleh karena itu dalam tiap penjara ia tetap segar-bugar dan gembira.

Berlalainan dengan penahanan yang terakhir atas perintah Sultan dalam bulan Sya’ban 726 H (juli 1326 M) dalam rumah penjara istana di Damaskus. Meskipun dalam sebuah kamar kecil, yang bertem-bok tebal, berjendela terali besi, kurang hawa dan cahaya, kurang makan dan minum, Ibn Taimiyah masih merasa berbahagia, karena dalam ruangan penyara itu ia masih terus dapat menulis dengan bantuan saudaranya untuk menjelesaikan Tafsir Qur’annya, menulis siaran-siaran untuk menjawab serangan musuhnya, dan menjusun fatwa-fatwa untuk mereka yang memerlukan pikirannya.

Tetapi tatkala keadaan itu diketahui oleh musuh-musuhnya, maka dengan usaha mereka bersama-sama diikhtiarkanlah untuk melarang menyampaikan kitab-kitab, tinta dan kertas kepada Ibn Taimiyah. Pelarangan ini datang kepadanya sebagai azab yang paling besar. Ia pada mulanya bingung tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Badannya serasa lumpuh tidak berđaya lagi. Pukulan ini terlalu keras mengenai jiwanya. Air matanya berhamburan melalui pipinya yang sudah berkerut-kerut itu dan bibirnya gemetar seakan-akan hendak tanggal gugur ke bumi. Ia merangkak ke dekat sebuah mashaf, satu-satunya kitab yang terlupa đitinggalkan orang diatas sejadahnya, dan membaca Qur’an itu dengan suaranya yang sangat sedih, diselang-selingi dengan sembahyang terus-menerus. Dua puluh hari, hanya sesudah dua puluh hari, seluruh badannya habis dan ia jatuh sakit đan meninggal pada malam Senin 20 Zulkaedah 728 H (26-27 September 1328 M) sedang ia membaca Qur’an, terguling diatas tikar sembahyangnya.

Konon pada salah satu keadaan naza’ ia mengeluarkan perkataan : “Ana al-Haqq, sayalah kebenaran. Oleh setengah orang mengertikan, bahwa Ibn Taimiyah mengaku dirinya Tuhan dalam ucapannya. Tetapi banyak orang yang percaya, bahwa ia sebagai seorang sufi telah fana đalam ketuhanan, sehingga hanya Tuhanlah yang ada, hanya Tuhanlah yang benar, yang lain bayangan semata-mata.

Sudah menjadi kebiasaan, manusia itu dicintai sesudah mati, dihormati sesudah ia tidak ada. Kematianya membuat gempar seluruh Damaskus. Semua penduduk Damaskus merasa kehilangan, baik musuh maupun kawannya menerima hari kematianya itu dengan air mata bertetesan. Damaskus menunjukkan kehormatan yang paling besar pađanya. Dua ratus ribu laki-laki dan lima belas ribu perempuan mengantarkan kunarpanya kekubur, kunarpa dan jenazah seorang Ulama Besar dalam masanya, seorang mujdaddid zamanya, seorang sufi đan seorang Ahli Salaf yang hidupnya sederhana dan terus terang. Ibn al-Waqidi mengucapkan rangkaian sajak, yang membuat Ibn Taimiyah seakan-akan hidup berdiri kembali ditengah-tengah hadirin yang melaut itu đengan perjuangannya : "Kembali kepada Qur’an dan Sunnah Muhammad yang sebenar-benarnya.”

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam