Senin, 06 Januari 2025

Syeikh Abu Yazid Thaifur al-Busthami

Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan al-Bustami lahir di Bustham, Timur Laut Persia, cucu dari seorang penganut agama Zoroaster, di sana ia diperkirakan meninggal pada tahun 261 H/874 M atau 264 H/877 M, dan makamnya masih ada sampai sekarang. Pendiri tarekat tasawuf beraliran ekstase (“mabuk”), dia terkenal karena keberanian ekspresinya dalam hal kemesraan mistik yang total ke dalam Tuhan. Secara khusus deskripsinya mengenai perjalanan ke surga (meniru miraj Nabi Muhammad), sering diuraikan dengan menakjubkan oleh para penulis generasi selanjutnya, memiliki pengaruh kuat terhadap imajinasi tokoh sufi yang datang setelah dia.

ABU YAZID AL-BUSTHAMI: KELAHIRAN DAN MASA REMAJANYA 

Kakek Abu Yazid al-Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah seorang tokoh terkemuka di Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia berada di dalam kandungan ibunya. 

“Setiap kali aku makan makanan yang kuragukan kehalalannya,” ibunya sering berkata kepada Abu Yazid, “engkau yang masih berada di dalam kandungan memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali.” 

PERNYATAAN SI IBU DIBENARKAN OLEH ABU YAZID SENDIRI. 

Kepada Abu Yazid pernah ditanyakan, “Apakah yang terbaik bagi seorang manusia di atas jalan ini.” 

“Kebahagiaan yang merupakan bakat sejak lahir,” jawab Abu Yazid. 

“Jika kebahagiaan seperti itu tidak ada?” 

“Sebuah tubuh yang sehat dan kuat.” 

“Jika tidak memiliki tubuh yang sehat dan kuat?” 

“Pendengaran yang tajam.” 

“Jika tidak memiliki pendengaran yang tajam?” 

“Hati yang mengetahui.” 

“Jika tidak memiliki hati yang mengetahui?” 

“Mata yang melihat.” 

“Jika tidak memiliki mata yang melihat?” 

“Kematian yang segera.”

Setelah tiba waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari al-Qur'an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Lukman yang berbunyi: “Berterima kasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan alat tulisnya dan berkata kepada gurunya: “Izinkan aku pulang! Ada yang hendak kukatakan kepada ibuku.” 

Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata: 

“Thaifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah suatu kejadian yang istimewa?” 

“Tidak,” jawab Abu Yazid. “Pelajaranku sampai pada ayat di mana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku tak bisa mengurus dua buah rumah dalam waktu bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkan aku kepada Allah semata sehingga aku hidbisaup untuk Dia semata-mata.” 

“Anakku,” jawab ibunya. “Aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajiban terhadapku. Pergilah engkau dan jadilah sorang hamba Allah.” 

Di kemudian hari Abu Yazid berkata: 

“Kewajiban yang kukira sebagai kewajiban yang paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut: Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka aku pun pergi mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu pun kosong. Oleh karena itu pergilah aku ke sungai lalu mengisi kendi itu dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur.”

“Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terbangun, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku. 

“Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?” ibu bertanya, “Aku takut ibu bangun sedang aku sendiri terlena,” jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku: “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka.” 

“Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali.” 

Setelah si ibu memasrahkan anaknya kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus-menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah mendapat manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk di hadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya. 

“Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu.” 

“Jendela? jendela mana?” tanya Abu Yazid. 

“Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?” 

“Tidak,” jawab Abu Yazid, “Apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini.” 

“Jika demikian,” kata si guru, “Kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai.” 

Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Mekkah, karena itu segera ia memutar langkahnya. 

“Bila ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah,” Abu Yazid berkata mengenai guru tadi. “Niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang telah dilakukannya.”

Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu. 

Perjalanan Abu Yazid menuju Ka'bah memakan waktu dua belas tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia bertemu dengan seorang pengkhotbah yang memberikan pengajaran di dalam perjalanan itu. Abu Yazid segera membentangkan sajadahnya dan melakukan shalat sunnat dua raka'at. Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan “Ka'bah, bukanlah seperti serambi istana raja, tetapi suatu tempat yang dapat dikunjungi orang setiap saat.” 

Akhirnya sampailah ia ke Ka'bah tetapi ia tak pergi ke Madinah pada tahun itu juga. 

“Tidaklah pantas perkunjungan ke Madinah hanya sebagai pelengkap saja,” Abu Yazid menjelaskan. “Aku akan mengenakan pakaian haji yang berbeda untuk mengunjungi Madinah.” 

Tahun berikutnya, sekali lagi ia menunaikan ibadah haji. Ia mengenakan pakain yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam perjalanan itu, suatu rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya. 

“Siapakah orang-orang ini?” ia bertanya sambil melihat ke belakang. 

“Mereka ingin berjalan bersamamu,” terdengar sebuah jawaban. 

“Ya Allah!” Abu Yazid bermohon, “Jaganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hamba-Mu karenaku.” 

Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada dirinya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang bagi mereka, maka setelah selesai melakukan shalat Shubuh, Abu Yazid berseru kepada mereka: “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan, tiada Tuhan selain Aku dan karena itu sembahlah Aku.” 

“Abu Yazid sudah gila!” Seru mereka kemudian meninggalkannya. 

Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di tengah perjalanan ia menemukan sebuah tengkorak manusia yang bertuliskan: Tuli, bisu, buta.... mereka tidak memahami. 

Sambil menangis Abu Yazid memungut tengkorak itu lalu menciuminya. “Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi.” Gumamnya. “Yang menjadi lebur di dalam Allah.... ia tak lagi memiliki telinga untuk mendengar suara abadi, tak lagi mempunyai mata untuk memandang keindahan abadi, tak lagi mempunyai lidah untuk memuji kebesaran Allah, dan tak lagi mempunyai akal walaupun untuk merenungi secuil pengetahuan Allah yang sejati. Tulisan ini adalah mengenai dirinya.” 

Suatu hari Abu Yazid melakukan perjalanan. Ia membawa seekor unta sebagai tungggangan dan pemikul perbekalannya.

“Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!” Seseorang berseru. 

Setelah mendengar suara ini berulang kali, akhirnya Abu Yazid menjawab. 

“Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban.” 

Lalu si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada di atas punggung unta tersebut, barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikit pun tidak memikul beban tersebut. 

“Maha Besar Allah, benar-benar menakjubkan!” seru si pemuda. 

“Bila kusembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku,” kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan kenyataan-kenyataan itu kepadamu, engkau tak bisa memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?” 

Setelah Abu Yazid mengunjungi kota Madinah, datang sebuah perintah yang menyuruhnya pulang untuk merawat ibunya. Disertai serombongan orang, ia pun kembali menuju Bustham. Berita kedatangan Abu Yazid tersebar di kota Bustham dan para penduduk kota datang untuk menyambutnya. Pasti Abu Yazid akan sibuk melayani mereka dan membuat ia akan terhalang untuk menyegerakan perintah Allah itu. Oleh karena itu ketika penduduk kota hampir sampai, dari lengan bajunya ia mengeluarkan sepotong roti, sedang saat itu adalah Bulan Ramadhan, tetapi dengan tenang Abu Yazid memakan roti tersebut. Begitu penduduk Bustham menyaksikan perbuatan Abu Yazid, mereka lalu berpaling darinya. 

“Tidakkah kalian saksikan,” kata Abu Yazid kepada sahabat-sahabatnya. “Betapa aku mematuhi sebuah perintah dari hukum suci, tapi semua orang berpaling dariku.” 

Dengan sabar Abu Yazid menunggu samapai malam tiba. Tengah malam barulah ia memasuki kota Bustham. Ketika sampai di depan rumah ibunya, untuk beberapa lama ia berdiri mendengarkan ibunya yang sedang bersuci lalu shalat. 

“Ya Allah, periharalah dia yang terbuang,” terdengar doa ibunya, “Cenderungkanlah hati para syeikh kepada dirinya dan berikanlah petunjuk kepadanya untuk melakukan hal-hal yang baik." 

Mendengar doa ibunya itu, Abu Yazid menangis. Kemudian ia mengetuk pintu. 

“Siapakah itu?” tanya ibunya dari dalam. 

“Anakmu yang terbuang,” sahut Abu Yazid. 

Dengan menangis, si ibu membukakan pintu. Ternyata penglihatan ibunya sudah kabur. 

“Thaifur,” si ibu berkata kepada putranya. “Tahukah engkau mengapa mataku menjadi kabur seperti ini?” Karena aku telah sedemikian banyaknya meneteskan air mata sejak berpisah denganmu. Dan punggungku telah bongkok karena beban duka yang kutanggungkan itu.” 

MI'RAJ ABU YAZID 

Abu Yazid mengisahkan: Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukan kebesaran-Nya kepadaku. 

Setelah menatap Allah, aku pun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hakikat diriku ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibanding dengan cahaya-Nya: Kebesaran diriku sangat kecil jika dibanding dengan kebesaran-Nya; kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemulian-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di dalam diriku segalanya kotor dan cemar. 

Jika kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanyalah karena kemahakuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya. 

Aku bertanya: “Ya Allah, apakah ini?” 

Dia menjawab: “Semuanya adalah Aku, tidak ada sesuatu pun juga kecuali Aku.” 

Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak bisa melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan diriku. Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri, yang sedikit pun tidak tergoyahkan oleh karena adaku. Demikianlah Allah, kebenaran Yang Tunggal menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang Allah, dan kulihat Allah di dalam realitas-Nya. 

Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat lamanya. Kututup telinga dari derap perjuangan. Lidah yang meminta-minta, kutelan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Kucampakkan pengetahuan yang telah ku-tuntut dan kubungkam kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan aniaya. Di sana aku berdiam dengan tenang. Dengan karunia Allah aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan menuju prinsip-prinsip dasar. 

Allah menaruh belah kasihan kepadaku. Ia memberkahi-ku dengan pengetahuan abadi dan menanam lidah kebajikan-Nya ke dalam tenggorokanku. Untukku diciptakan-Nya sebuah mata dari cahaya-Nya, semua makhluk kulihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu, aku berkata-kata kepada Allah, dengan pengetahuan Allah kuperoleh sebuah pengetahuan, dan dengan cahaya Allah aku menatap kepada-Nya. 

Allah berkata kepadaku: Wahai engkau yang tak memiliki sesuatu pun jua namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah mempunyai kekayaan!” 

“Ya Allah,” jawabku. “Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milikku tanpa aku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik jika aku berkata-kata kepada-Mu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau.” 

Allahberkata: “Olehkarenaitu, perhatikanlah Hukum-Ku dan janganlah engkau melanggar perintah serta larangan-Ku, agar kami berterima kasih akan segala jerih payahmu.” 

“Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih kepada diri-Mu sendiri daripada kepada hamba-Mu. Bahkan seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan aniaya.” 

“Dari siapakah engkau belajar?” tanya Allah. 

“Ia yang Bertanya lebih tahu dari ia yang ditanya,” jawabku. “Karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghasratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab.” 

Setelah ia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan cap kepuasan-Nya. Dia menerangi diriku, menyelamatkanku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dia-lah aku hidup dan karena kelimpahan-Nya lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku. 

“Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki!” kata Allah. 

“Engkaulah yang kuinginkan,” jawabku,” karena Engkau lebih dari kelimpahan, lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Jangan Engkau jauhkan aku dari diri-Mu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau.” 

Beberapa lama Dia tak menjawab. Kemudian sambil meletakkan mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku, berkatalah Dia: 

“Kebenaranlah yang engkau ucapkan dan realitas yang engkau cari, karena itu engkau menyaksikan dan mendengarkan kebenaran." 

“Jika aku telah melihat,” kataku pula, “Melalui Engkaulah aku melihat, dan jika aku telah mendengar, melalui Engkaulah aku mendengar. Setelah Engkau, barulah aku mendengar.” 

Kemudian kuucapkan berbagai pujian kepada-Nya. Karena itu Ia hadiahkan kepadaku sayap keagungan, sehingga aku bisa melayang-layang memandangi alam kebesaran-Nya, dan hal-hal menakjubkan dari ciptaan-Nya. Karena mengetahui kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka Ia menguatkan diriku dengan kekuatan-Nya sendiri dan mendandani diriku dengan perhiasan-perhiasan-Nya sendiri. 

Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan membuka pintu istana keleburan untukku. Setelah Ia melihat betapa sifat-sifatku lebur ke dalam sifat-sifat-Nya, dihadiahkan-Nya kepadaku dalam wujud-Nya sendiri. Maka terciptalah keleburan dan punahlah perpisahan. 

“Kepusan-Ku adalah kepuasanmu.” Kata-Nya, “dan kepuasanmu adalah kepuasan-Ku. Ucapan-ucapanmu tak mengandung kecemaran dan tak seorang pun akan menghukummu karena keakuanmu.” 

Kemudian Dia menyuruhku untuk merasakan hunjaman rasa cemburu dan setelah itu Ia menghidupkan aku kembali. Dari dalam api pengujian itu aku keluar dalam keadaan suci bersih. Kemudian Dia bertanya: 

“Siapakah yang memiliki kerajaan ini?” 

“Engkau,” jawabku. 

“Siapakah yang memiliki kekuasaan?” 

“Engkau,” jawabku. 

“Siapakah yang memiliki kehendak?” 

“Engkau,” jawwabku. 

Karena jawaban-jawabanku itu persis seperti yang didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukan-Nya kepadaku betapa jika bukan karena belas kasih-Nya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan jika bukan karena cinta-Nya segala sesuatu telah dibinasakan oleh kemahaperkasaan-Nya. Dia memandangku dengan mata Yang Maha Melihat melalui perantara Yang Maha Memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat. 

Di dalam kemabukan itu setiap lembah kuterjuni. Kulumatkan tubuhku ke dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Kupacu kuda pemburuan di dalam hutan belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada kelemahan dan tidak ada yang lebih baik daripada ketidakberdayaan. Tiada pelita yang lebih terang daripada keheningandan tiada kata-kata yang lebih merdu daripada kebisuan. Aku menghuni istana keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah terlihat sampai ke akar-akarnya. Dia melihat betapa jasmani dan rohaniku bersih dari kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya pintu kedamaian di dalam dadaku yang kelam dan diberikan-Nya kepadaku lidah keselamatan dan ketauhidan. 

Kini telah kumiliki sebuah lidah rahmat nan abadi, sebuah hati yang memancarkan nur Ilahi, dan mata yang telah ditempa oleh tangan-Nya sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan kekuasaan-Nya aku memegang. Karena melalui Dia aku hidup, maka aku tidak akan pernah mati. Karena telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku adalah abadi, ucapanku berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah tauhid dan ruhku adalah ruh keselamatan. Aku tidak berbicara melalui diriku sendiri sebagai seorang pemberi peringatan. Dia-lah yang menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya sedangkan aku hanyalah seseorang yang menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku. 

Setelah memuliakan diriku, Dia berkata: “Para hamba-Ku ingin bertemu denganmu." 

“Bukanlah keinginanku untuk menemui mereka.” Jawabku. 

“Tetapi jika Engkau menghendakiku untuk menemui mereka, maka aku tidak akan menentang kehendak-Mu. Hiasilah diriku dengan keesaan-Mu, sehingga apabila para hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku ini.” 

Keinginanku ini dikabulkanNya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku. 

Setelah itu Dia berkata: “Temuilah para hamba-Ku itu.” 

Aku pun berjalan selangkah menjauhi hadirat-Nya, Tetapi pada langkah yang kedua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah olehku seruan: 

“Bawalah kembali kekasih-Ku kemari. Ia tak bisa hidup tanpa Aku dan tidak ada satu jalan pun yang diketahuinya keculi jalan yang menuju Aku.” 

Abu Yazid juga berkisah: Setelah aku mencapai taraf peleburan ke dalam keesaan itulah saat pertama aku menatap Yang Esa -setelah bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam lembah yang berada di kaki bukit pemahaman. Akhirnya aku menjadi seekor burung dengan tubuh yang berasal dari keesaan dan dengan sayap keabadian. Setelah terlepas dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, akupun berkata: “Aku telah sampai kepada Sang Pencipta.” 

Kemudian kutengadahkan kepalaku dari lembah kemuliaan. Dahagaku kupuaskan seperti yang tak pernah terulang di sepanjang zaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam keleburan-Nya yang luas, tiga puluh ribu tahun di dalam kemuliaan-Nya dan selama tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan-Nya. Setelah berakhir masa sembilan puluh ribu tahun terlihatlah olehku Abu Yazid, dan segala yang terpandang olehku adalah aku sendiri. 

Kemudian aku jelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai ke akhir penjelajahan itu terlihatlah olehku bahwa aku masih berada pada tahap awal kenabian. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan itu untuk beberapa lama, aku katakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini.” 

Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di telapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan. 

Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang bisa menghadang dan membuatnya peduli? Semua jiwa yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai jiwa manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad SAW, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam yang pertama di antara lautan-lautan api itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian takut dan bingung sehingga aku jadi sirna. Tetapi betapa pun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Rasulullah Muhammad. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad. 

Kemudian Abu Yazid berkata: “Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak bisa menembus keakuan ini. Apakah yang harus kulakukan?” 

Maka terdengarlah perintah: “Untuk melepaskan keakuan itu, ikutilah kekasih-Ku, Muhammad. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya.” 

Abu Yazid dan Yahya bin Mu'adz 

Yahya bin Mu'adz menulis surat kepada Abu Yazid: “Apa katamu mengenai seseorang yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk tiada henti-hentinya?” 

“Aku tidak tahu,” jawab Abu Yazid. “Yang kuketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk isi samudra luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga.” 

“Yahya bin Mu'adz menyurati lagi: “Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon TIhuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu.” 

Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan: “Syeikh harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zamzam.” 

Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya bin Mu'adz itu: “Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingat-Nya, pada saat ini juga aku bisa menikmati surga dan pohon Thuba. Tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak bisa kunikmati. Engkau memang mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan.” 

Maka Yahya bin Muadz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu shalat isya’. Yahya bin Mu'adz berkisah sebagai berikut: 

Aku tidak mau mengganggu Syaikh Abu Yazid. Tetapi akupun tidak bisa bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku bisa menemuinya pada saat itu seperti yang dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang shalat isya. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berdoa. Ketika fajar tiba, kudengar Abu Yazid berkata di dalam doanya: “Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini.” 

Setelah sadar, Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab: “Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satu pun yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutakan mata.” 

“Guru mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan ghaib, karena bukankah Dia Raja di antara sekalian raja dan pernah berkata: “Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki?” Yahya bertanya. 

“Diamlah,” sela Abu Yazid. “Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya apakah peduliku. Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya.” 

“Demi keagungan Allah,” Yahya memohon, “berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi.” 

“Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu.” 

Jawab Abu Yazid. “Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal, maka hal itu yang akan membutakan matamu.” 

ABU YAZID DAN SEORANG MURIDNYA 

Ada seorang pertapa di antara tokoh-tokoh suci terkenal di Bustham. Ia memiliki banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau. 

Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid: “Pada hari ini genaplah tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan doa sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu.” 

“Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikit pun dari ceramah-ceramahku ini tidak akan bisa engkau hayati.” 

“Mengapa demikian?” tanya si murid. 

“Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri,” jawab Abu Yazid. 

“Apakah yang harus kulakukan? tanya si murid pula. 

Jika kukatakan, pasti engkau tidak mau menerimanya.” 

“Akan kuterima! katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuahkan.” 

“Baiklah! jawab Abu Yazid. “Sekarang juga cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau pakai dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang di lehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan kepada mereka: “Akan kuberikan sebutir kacang kepada setia porang yang menampar kepalaku.” Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama ke tempat-tempat di mana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan.” 

“Maha Besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah,” cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu. 

“Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim,” kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah.” 

“Mengapa begitu?”, tanya si murid. 

“Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang penting, bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah.” 

“Saran-saranmu tadiitu tidak bisa kulakukan. Berikanlah saran-saran yang lain.” Si murid berkeberatan. 

“Hanya itulah yang dapat kusarankan,” Abu Yazid menegaskan. 

“Aku tak sanggup melakukannya,” si murid mengulangi kata-katanya. 

“Bukankah telah kukatakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku,” kata Abu Yazid. 

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI ABU YAZID 

Abu Yazid berkata: Dua belas tahun lamanya aku selalu menjadi pandai besi diriku sendiri. Kulemparkan diriku sendiri ke dalam tungku disiplin sampai merah membara dan dalam nyala ikhtiar yang keras. Kemudian kutaruh diriku ke atas alas penyesalan. Lalu kupukul dengan palu pengutukan diri sendiri, sehingga akhirnya dapatlah kutempa sebuah cermin diriku sendiri dan cermin itu senantiasa kupoles dengan segala macam kebaktian dan ketaatan kepada Allah. Setelah itu setahun lamanya aku memandangi bayanganku sendiri di dalam cermin itu dan terlihatlah olehku betapa di pinggangku melilit sabuk kesesatan, kegenitan dan pemujaan diri sendiri yang hanya dimiliki oleh orang-orang kafir. Hal itu adalah karena aku membanggakan ketaatan- ketaatanku itu dan memuji perbuatan-perbuatanku itu. Lima tahun lamanya aku bersusah payah sehingga sabuk itu terlepas dari pinggangku, dan jadilah aku seorang muslim yang baru. Aku memandang semua hamba Allah dan tampaklah olehku bahwa mereka semua mati. Empat kali kuucapkan Allahu Akbar di atas jasad-jasad mereka, dan dengan pertolongan Allah aku menguburkan mereka tanpa menyeret-nyeret tubuh mereka, berjumpalah aku dengan Allah.” 

Setiap kali Abu Yazid tiba di depan masjid, sesaat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis. 

“Mengapa engkau selalu berlaku demikian?” tanya seseorang kepzdanya. 

“Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid,” jawabnya. 

Suatu ketika Abu Yazid melakukan perjalanan ke Hijaz, tetapi beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi. 

“Di waktu yang lalu engkau tidak pernah membatalkan niatmu. Mengapa sekarang engkau berbuat demikian?” seseorang bertanya kepada Abu Yazid. 

“Baru saja aku palingkan wajahku ke jalan,” jawab Abu Yazid. “Terlihatlah olehku seorang hitam yang menghadang dengan pedang terhunus dan berkata: “Jika engkau kembali, selamat dan sejahteralah engkau. Jika tidak, akan kutebas kepalamu. Engkau telah meninggalkan Allah di Bustham untuk pergi ke rumahnya." 

Abu Yazid mengisahkan: Di tengah jalan, aku bertemu dengan seorang lelaki. Ia bertanya kepadaku: 

“Hendak kemanakah engkau?” 

“Ke Tanah Suci” jawabku. 

“Berapa banyak uang yang engkau bawa?” 

“Dua ratus dirham.” 

“Berikanlah uang itu kepadaku,” lelaki itu mendesak. “Aku adalah seorang yang telah berkeluarga. Kelilingilah diriku sebanyak tujuh kali, maka selesailah ibadah hajimu itu.” 

Aku menuruti kata-katanya kemudian kembali ke rumah. 

Pir Umar meriwayatkan bahwa apabila Abu Yazid ingin menyendiri, baik untuk beribadah maupun untuk merenungi Allah, maka ia masuk ke dalam kamarnya dan dengan cermat menutupi setiap celah dan lubang di dinding kamar itu. Mengenai tingkah lakunya ini Abu Yazid menjelaskan: 

“Aku khawatir kalau ada suara atau kebisingan yang akan mengganggu.” 

Sudah pasti yang dikatakannya itu hanya sebuah dalih semata-mata. 

Isa al-Busthami meriwayatkan: Selama tiga belas tahun bergaul dengan Syaikh Abu Yazid, tak pernah terdengar olehku ia mengucapkan sepatah kata pun. Demikianlah kebiasaannya, senantiasa menekurkan kepala ke atas kedua lututnya, kadang menengadahkan, mengeluh dan kembali ke dalam perenungannya. 

Mengenai hal ini Sahlagi mengomentari, memang demikianlah tingkah aku Abu Yazid apabila berada dalam keadaan “gundah” tetapi apabila berada dalam keadaan “lapang” setiap orang akan mendapatkan manfaat dari ceramah-ceramahnya. 

“Pada suatu ketika,” Sahlagi bercerita: “Ketika Abu Yazid sedang berkhalwat, terdengarlah ia mengucapkan kata-kata: “Maha besar aku, betapa mulia diriku ini.” Ketika ia sadar, murid-muridnya menyampaikan kata-kata yang diucapkan lidahnya tadi kepadanya. Maka, Abu Yazid menjawab: “Memusuhi Allah adalah sama dengan memusuhi Abu Yazid. Jika aku mengucapkan kata-kata seperti itu sekali lagi, cincanglah tubuhku ini.” 

“Kemudian kepada setiap muridnya diberikannya sebuah pisau dengan pesan: “Jika kata-kata tadi kuucapkan lagi, bunuhlah aku dengan pisau ini.” 

“Tetapi apa nyana, untuk kedua kalinya Abu Yazid mengucapkan kata-kata yang sama. Murid-muridnya hendak membunuhnya. Tetapi seketika itu juga tubuh Abu Yazid menggelembung dan memenuhi seluruh ruangan. Para sahabat melepaskan bata-bata dari dinding ruangan itu sambil menghujamkan pisau ke tubuh Abu Yazid. Tetapi pisau-pisau itu bagai menikam air dan pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak berakibat apa-apa. Beberapa saat kemudian tubuh yang menggelembung tadi menciut kembali dan terlihatlah Abu Yazid yang bertubuh kecil seperti seekor burung pipit sedang duduk di sajadah. Sahabat-sahabatnya menghampirinya dan mengatakan apa yang telah terjadi. Abu Yazid berkata: 

“Yang kalian saksikan sekarang inilah Abu Yazid, yang tadi bukan Abu Yazid. 

Suatu ketika Abu Yazid memegang sebuah apel merah di tangannya dan memandanginya. 

“Sebuah apel yang indah,” kata Abu Yazid. Di saat itu juga sebuah suara berkata di dalam batinnya: 

“Abu Yazid, tidakkah engkau mempunyai malu untuk memberikan nama-Ku kepada sebuah apel?” 

Maka, empat puluh hari lamanya lupalah Abu Yazid akan segala sesuatu kecuali nama Allah. 

“Aku telah bersumpah,” Syeikh Abu Yazid menyatakan, 

“Bahwa aku tidak akan memakan buah-buahan dari Bustham 

selama hidupku.” 

Abu Yazid mengisahkan: Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah syeikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurasan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan diriku. 

Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang keempat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dirinya dengan seksasma, terlihatlah olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata sastu itu memandangiku. 

“Sejauh ini engkau memanggilku,” katanya, “Hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?” 

Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu: “Dari manakah engkau datang?” 

“Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu mil yang kutempuh,” kemudian ia menambahkan, “Berhati-hatilah Abu Yazid! Jagalah hatimu!” 

Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu. 

Dzun Nun mengirimkan sebuah sajadah kepada Abu Yazid. Tetapi Abu Yazid mengembalikannya kepada Dzun Nun sambil berpesan: “Apakah perluku dengan sebuah sajadah?” Kirimkanlah sebuah bantal sebagai tempatku bersandar!” Dengan ucapan tersebut Abu Yazid ingin mengatakan bahwa ia telah berhasil mencapai tujuan. 

Maka Dzun Nun mengirimkan sebuah bantal yang empuk. Tetapi bantal itu pun dikembalikan Abu Yazid karena pada saat itu ia telah bertobat dan tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang. Mengenai perbuatannya ini Abu Yazid mengatakan: “Manusia yang berbantalkan karunia dan kasih Allah tidak membutuhkan bantal dari salah seorang di antara hamba-Nya.” 

Abu Yazid berkisah: Suatu ketika aku bermalam di padang pasir. Kututupi kepalaku dengan pakaian dan aku pun tertidur. Tanpa disangka-sangka aku mengalami sesuatu (yang dimaksudkan adalah mimpi basah) sehingga aku harus mandi. Tetapi malam itu terlampau dingin, dan ketika terbangun aku merasa enggan sekali untuk bersuci dengan air dingin. “Tunggulah sampai matahari tinggi.” Batinku berkata. 

Setelah menyadari betapa diriku enggan dan tidak mempedulikan kewajiban-kewajiban agama itu, aku segera bangkit, kucairkan salju dengan jubahku lalu aku mandi. Jubah yang basah itu kupakai kembali sehingga aku jatuh pingsan kedinginan. Beberapa saat kemudian aku siuman, ternyata jubahku telah kering. 

Abu Yazid sering berjalan-jalan di sebuah kuburan. Pada suatu malam ketika ia pulang dari kuburan itu ia berpapasan dengan seorang pemuda bangsawan yang memainkan sebuah kecapi. “Semoga Allah melindungi kita!” Seru Abu Yazid. 

Mendengar seruan itu si pemuda menyerang Abu Yazid dan memukulkan kecapi itu ke kepala Abu Yazid sehingga kepalanya berdarah dan kecapi itu sendiri pecah. Ternyata si pemuda dalam keadaan mabuk dan tidak menyadari siapakah yang diserangnya itu. 

Abu Yazid lalu pulang dan ketika hari telah siang, dipanggilnyalah salah seorang di antara murid-muridnya. 

“Berapakah harga sebuah kecapi?” tanya Abu Yazid kepadanya. 

Si murid memberitahu harganya. Dengan secarik kain dibungkusnya uang seharga kecapi ditambah dengan makanan yang manis-manis, lalu dikirimkannya kepada si pemuda. 

“Sampaikan kepada si pemuda itu bahwa Abu Yazid meminta maaf kepadanya. Katakan kepadanya bahwa tadi malam ia menyerang Abu Yazid dengan kecapinya sehingga kecapi itu pecah. Sebagai gantinya terimalah uang ini dan belilah kecapi yang baru. Sedngkan makanan-makanan yang manis ini adalah untuk menawarkan kedukaan hatimu karena kecapi milikmu itu telah pecah.” 

Ketika si pemuda bangsawan itu menyadari perbuatan yang telah dilakukannya, ia pun mendatangi Abu Yazid untuk memohon maaf. Ia bertobat. Begitu pula banyak pemuda- pemuda lain yang menyertainya. 

Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu. 

Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata: “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah raja di antara kaum sufi,” tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu?” 

Abu Yazid menjawab: “Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: “Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para sufi?” 

Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya.” 

Pada suatu hari Abu Yazid sedang menyusuri sebuah jalan ketika seekor anjing berlari-lari di sampingnya. Melihal hal ini Abu Yazid segera mengangkat jubahnya, tetapi anjing berkata: 

“Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi, dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera.” 

Abu Yazid menjawab: “Engkau kotor secara lahiriah tetapi aku kotor secara batiniah. Marilah kita bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih.” 

Tetapi si anjing menyahut: “Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama dengan diriku dan menjadi sahabatku, karena semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu tetapi siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para sufi. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari. 

Abu Yazid berkata: “Aku tidak pantas berjalan bersama seekor anjing! Bagaimana aku bisa berjalan bersama Dia Yang Abadi dan Kekal?” Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Nya melalui yang terhina di antara semuanya.” 

Kemudian Abu Yazid meneruskan kisahnya: 

“Aku sangat berduka, bagaimana aku bisa menjadi hamba Allah yang taat? Aku berkata pada diriku sendiri: “Aku akan pergi ke pasar untuk membeli ikat pinggang (yang dikenakan oleh orang-orang non-muslim), dan ikat pinggang itu akan kupakai sehingga namaku menjadi hina di dalam pandangan orang! Maka pergilah aku ke pasar hendak membeli sebuah ikat pinggang. Di dalam sebuah toko terlihat olehku ikat pinggang yang sedang terpajang. “Harganya paling-paling satu dirham.” Kataku dalam hati. Kemudian aku bertanya kepada pelayan toko itu: “Berapa harga ikat pinggang ini?”. “Seribu dinar,” jawabnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya berdiri dengan kepala tertunduk. Pada saat itu terdengar olehku sebuah seruan dari atas langit:

“Tidak tahukah engkau bahwa dengan harga di bawah seribu dinar orang-orang tidak akan menjual sebuah sabuk untuk diikatkan ke pinggang seorang manusia seperti engkau? 

Mendengar seruan itu hatiku bersorak gembira karena tahulah aku bahwa Allah masih memperhatikan hamba-Nya ini. 

Suatu malam Abu Yazid bermimpi malaikat-malaikat dari langit pertama turun ke bumi. Kepada Abu Yazid mereka berseru: “Bangkitlah dan marilah berzikir kepada Allah!” 

Abu Yazid menjawab: “Aku tidak mempunyai lidah untuk berzikir kepada-Nya.” 

Malaikat-malaikat dari langit yang kedua turun pula ke bumi. Mereka menyerukan kata-kata yang sama dan Abu Yazid memberikan jawaban yang sama, Begitulah seterusnya sehingga malaikat-malaikat dari langit yang ketujuh turun. Namun kepada mereka ini pun Abu Yazid memberikan jawaban yang itu-itu juga. Maka malaikat-malaikat itu bertanya kepada Abu Yazid: 

“Kapan engkau akan memiliki lidah untuk berzikir kepada Allah?” 

“Apabila penduduk neraka telah tetap di neraka dan penduduk surga telah tetap di dalam surga dan hari Kebangkitan telah lewat, maka Abu Yazid akan mengelilingi tahta Allah sambil berseru: “Allah, Allah!” 

Di dekat rumah Abu Yazid tinggal seorang penganut agama Zoroaster. Ia mempunyai seorang anak yang selalu menangis karena rumah mereka gelap tidak berlampu. Abu Yazid sendiri telah membawakan sebuah lentera untuk mereka. Si anak segera reda dari tangisnya. Mereka berkata: 

“Karena cahaya Abu Yazid telah memasuki rumah ini, maka sangat disayangkan apabila kita tetap berada di dalam kegelapan.” 

Mereka segera memeluk agama Islam. Pada suatu malam Abu Yazid tidak memeproleh kekhusyukan dalam shalatnya. Maka berkatalah ia kepada muridnya: 

“Carilah jika ada barang berharga di dalam rumah ini.” 

Murid-muridnya mencari-cari lalu menemukan setengah tandan anggur. Kemudian Abu Yazid memerintahkan: 

“Bawalah anggur-anggur itu dan berikan kepada orang- orang lain. Rumahku ini bukan toko buah-buahan.” 

Setelah itu Abu Yazid dapat melakukan shalat dengan khusyuk. 

Pada suatu hari seseorang berkata kepada Abu Yazid: “Ketika ada orang yang meninggal dunia di Tabaristan, kulihat engkau di sana bersama Khidir AS. Dia merangkulkan tangannya ke lehermu sedang engkau meletakkan tanganmu ke punggungnya. Ketika para pengantar pulang dari pemakaman, kulihat engkau terbang ke angkasa.” 

“Ya, semua yang engkau katakan itu benar-benar terjadi,” jawab Abu Yazid. 

Pada suatu hari seorang lelaki yang tidak mempercayai Abu Yazid datang berkunjung untuk mengujinya. 

“Katakanlah kepadaku jawaban sesuatu masalah,” katanya kepada Abu Yazid. 

Abu Yazid melihatbetapalelakiitu tidak mempercayainya di dalam hati. Maka berkatalah Abu Yazid: “Di atas sebuah gunung ada sebuah gua dan di dalam gua itu ada seorang sahabatku. Mintalah padanya untuk menjelaskan masalah itu kepadamu.” 

Lelaki itu segera pergi ke gua yang dikatakan Abu Yazid. Tetapi yang dijumpainya di sana adalah seekor naga yang besar dan sangat menakutkan. Menyaksikan hal ini ia pun jatuh pingsan dan pakaiannya menjadi kotor. Begitu siuman cepat-cepat ia meninggalkan tempat itu, tetapi sepatunya tertinggal. Ia lalu kembali kepada Abu Yazid: Sambil bersujud di kaki Abu Yazid ia bertobat, lalu Abu Yazid berkata kepadanya: 

“Maha Besar Allah! Engkau tidak berani mengambil sepatumu hanya karena takut kepada makhluk-Nya. Apabila engkau takut kepada Allah, bagaimanakah engkau berani mengambil “rahasia” yang engkau cari di dalam keingkaranmu?” 

Pada suatu hari seorang lelaki datang dan menanyai Abu Yazid tentang rasa malu. Abu Yazid memberikan jawaban dan seketika itu juga orang itu berubah menjadi air. Ketika kemudian masuk pula seorang lelaki, setelah melihat genangan air itu ia bertanya kepada Abu Yazid: “Guru, apakah itu?” 

Abu Yazid menjawab: “Seorang lelaki masuk lalu bertanya tentang rasa malu. Aku memberikan jawaban. Mendengar penjelasanku itu ia tidak bisa menahan dirinya dan karena sangat malu tubuhnya berubah menjadi air.” 

Hatim Tuli berkata kepada murid-muridnya: 

“Barang siapa di antara kamu yang tidak memohon ampunan bagi penduduk neraka di hari kebangkitan nanti, ia bukan muridku,” 

Perkataan Hatim ini disampaikan orang kepada Abu Yazid. Kemudian Abu Yazid menambahkan: 

“Barang siapa yang berdiri di tebing neraka dan menangkap setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, kemudian mengantarkannya ke surga lalu kembali ke neraka sebagai pengganti mereka, maka ia adalah muridku.” 

Suatu ketika pasukan kaum muslimin berperang melawan Bizantium. Mereka hampir dikalahkan musuh. Tiba-tiba mereka mendengar sebuah seruan: “Abu Yazid, tolonglah!” 

Seketika itu juga api menyembur dari arah Khurasan sehingga pasukan orang-orang kafir mati ketakutan dan pasukan kaum muslimin dapat memenangkan pertempuran. 

Abu Yazid ditanya orang: “Bagaimana engkau bisa mencapai tingkat kesalehan yang seperti ini?” 

“Pada suatu malam ketika aku masih kecil,” jawab Abu Yazid, “Aku keluar dari kota Bustham. Bulan bersinar terang dan bumi tertidur tenang. Tiba-tiba kulihat suatu kehadiran. Di sisinya ada delapan belas ribu dunia yang tampaknya sebagai sebuah debu belaka. Hatiku bergetar kencang lalu hanyut dilanda gelombang ekstase yang dahsyat. Aku berseru: “Ya Allah, sebuah istana yang sedemikian besarnya tapi sedemikan kosong. Hasil karya yang sedemikian agung, tapi bagitu sepi! Lalu terdengar olehku sebuah jawaban dari langit: “Isatana ini kosong bukan karena tak seorang pun memasukinya tetapi karena Aku tidak memperkenankan setiap orang untuk memasukinya. Tak seorang manusia yang tak mencuci muka yang pantas menghuni istana ini." 

“Maka aku lalu bertekad untuk mendoakan semua manusia. Kemudian terpikirlah olehku bahwa yang berhak untuk menjadi penengah manusia adalah Muhammad SAW. Oleh karena itu aku hanya memperhatikan tingkah lakunya sendiri. Kemudian terdengarlah suara yang menyeruku: “Karena engkau berjaga-jaga untuk selalu bertingkah laku baik, maka Aku muliakan namamu sampai hari kebangkitan nanti dan ummat manusia akan menyebutmu raja para sufi. 

Abu Yazid menyatakan: Ketika pertama kali memasuki Rumah Suci, yang terlihat olehku hanya Rumah Suci itu. Ketika untuk kedua kalinya memasuki Rumah Suci itu, yang terlihat olehku adalah Pemilik Rumah Suci. Tetapi ketika untuk yang ketiga kalinya memasuki Rumah Suci, baik si Pemilik maupun Rumah Suci itu sendiri tidak terlihat olehku. 

Yang dimaksudkan Abu Yazid adalah: “Aku hilang di dalam Allah sehingga tak sesuatu pun yang terlihat olehku tentulah Allah.” 

Kebenaran penafsiran yang seperti ini terbukti di dalam anekdot yang berikut ini. 

Pada suatu malam seorang lelaki datang ke rumah Abu Yazid dan memanggilnya. 

“Siapakah yang engkau cari?” tanya Abu Yazid. 

“Abu Yazid,” jawab lelaki itu. 

“Orang malang! Aku sendiri telah mencari Abu Yazid selama tiga puluh tahun tetapi tiada jejak atau tanda-tanda mengenai dirinya yang dapat kutemui,” sahut Abu Yazid. 

Ketika pernyataan Abu Yazid itu disampaikan kepada Dzun Nun, ia berkata: 

“Ya Allah, limpahkanlah kasih-Mu kepada saudaraku Abu Yazid! Ia telah hilang beserta orang-orang yang telah hilang di dalam Allah.” 

Sedemikian sempurna kekusyukan Abu Yazid berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila disapa oleh muridnya yang senantiasa menyertainya selama dua puluh tahun, ia akan bertanya: “Anakku, siapakah namamu?” 

Suatu hari si murid berkata kepada Abu Yazid: “Guru, engkau mengolok-olokku. Sudah dua puluh tahun aku mengabdi kepadamu tetapi setiap hari engkau menanyakan namaku!” 

“Anakku,” Abu Yazid menjawab, “Aku tidak memperolok- olokmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan elah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku.” 

Abu Yazid berkata: “Allah Yang Maha Besar telah berkenan menerimaku di dalam dua ribu tingkatan, di dalam setiap tingkatan itu Dia menawarkan sebuah kerajaan kepadaku tetapi kutolak. Allah berkata kepadaku: “Abu Yazid, apakah yang engkau inginkan?” Aku menjawab “Aku ingin tidak menginginkan.” 

“Engkau dapat berjalan di atas air!” Orang-orang berkata kepada Abu Yazid. 

“Sepotong kayu pun bisa melakukan hal itu,” jawab Abu Yazid. 

“Engkau bisa terbang di angkasa!” 

“Seekor burung pun bisa melakukan itu.” 

“Engkau bisa pergi ke Ka'bah dalam satu malam!” 

“Setiap orang sakti bisa melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam.” 

“Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati?” mereka bertanya kepada Abu Yazid. 

Abu Yazid menjawab: “Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapa pun kecuali kepada Allah.” 

Abu Yazid berkata: “Dunia telah kutalak tiga. Kemudian seorang diri aku berjalan menuju Yang Sendiri. Aku berdiri di hadapan hadirat-Nya dan berseru: “Ya Allah, kecuali Engkau tidak sesuatu pun yang kuinginkan. Apabila Engkautelah kuperoleh, maka semuanya telah kuperoleh. 

“Setelah Allah mengetahu ketulusan hatiku itu, maka karunia pertama yang diberikan-Nya kepadaku adalah membukakan selubung keakuan dari depan mataku.” 

“Apa yang dimaksud dengan Tahta Allah?” seseorang bertanya kepada Abu Yazid. 

“Tahta itu adalah aku,” jawab Abu Yazid. 

“Apakah yang dimaksud dengan alas kaki Allah?” 

“Ganjalan kaki itu adalah aku.” 

“apakah yang dimaksud dengan luh (tanda peringatan) dan pena Allah?” 

“Luh dan pena itu adalah aku.” 

“Allah mempunyai hamba-hamba seperti Ibrahim, Musa dan Isa.” 

“Mereka itu adalah aku.” 

“Allah mempunyai hamba-hamba seperti Jibril, Mikail dan Israfil. 

“Mereka itu adalah aku.” 

Lelaki yang bertanya itu terdiam. Kemudian Abu Yazid berkata: “Barang siapa yang telah lebur di dalam Allah dan telah mengetahui realitas mengenai segala sesuatu yang ada, maka segala sesuatu baginya adalah Allah.” 

Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh kali diterima Allah ke Hadirat-Nya. Setiap kali kembali dari pertemuaan dengan Allah itu Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang lantas diputuskannya pula. 

Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki tempat shalat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Jubah dan topinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian ia berkata kepada Allah: 

“Ya Allah, aku tidak membanggakan disiplin dari yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak membanggakan shalat yang telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak menyombongkan puasa yang telah kulakukan selama hidupku. Aku tidak menonjolkan telah berapa kali aku mekhatamkan al-Qur'an. Aku tidak akan mengatakan pengalaman-pengalaman spiritual yang telah kualami, doa-doa yang telah kupanjatkan dan betapa akrab hubungan antara Engkau dan aku. Engkau pun mengetahui bahwa aku tidak menonjolkan segala sesuatu yang telah kulakukan itu. Semua yang kukatakan ini bukanlah untuk membanggakan diri atau mengandalkannya. Semua ini kukatakan kepada-Mu karena aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu sehingga aku bisa mengenal diriku sendiri. Semuanya tidak berarti, anggaplah tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang Parsi yang berumur tujuh puluh tahun dengan rambut yang telah memutih di dalam kejahilan. Dari padang pasir aku datang sambil berseru-seru: “Surga, Surga! Baru sekarang inilah aku dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang inilah aku bisa melangkah ke dalam lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku bisa menggerakkan lidah untuk mengucapkan Syahadah. Segala sesuatu yang Engkau perbuat adalah tanpa sebab. Engkau tidak menerima umat manusia karena ketaatan mereka dan Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan- Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena aku pun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu.” 

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam