Rabu, 02 Oktober 2024

Konsep Ilmu Fiqih di Kalangan Mu'tazilah

Dalam bahagian pertama sudah kita bayangkan, bahwa pendapat antara satu sahabat dengan sahabat yang lain mungkin berbeda, karena perbedaan pengetahuannya mengenai ucapan dan perbuatan Nabi, bergantung kepada mereka yang melihat dan mengetahuinya atau tidak melihat dan mengetahui, mungkin kemudian mendapat keterangan dari sahabat yang melihatnya. Maka dengan demikian kita jumpai dalam suatu penetapan hukum fatwa sahabat yang berbeda-beda. Begitu juga kita dapati, bahwa meskipun sesuatu hadis sudah diakui sahinya dan dapat diterima, masih terdapat pandangan sahabat yang berlainan-lain tentang hadis itu. jclas kelihatan tentang paham sahabat yang berbada-bcda ini dikala mereka menafsirkau dan menta'wilkan ayat-ayat Qur'an, sebab-sebab turunnya, mengenai nasiKh dan mansuKh, dll., sebagaimaua nasiKh dan mansuKh dalam hadis Nabi, karena ada yang mereka ketahui dan ada yang mereka tidak ketahui, misalnya mengenai hukum berlari dari tawaf, hukum nikah mut'ah dan hukum berdiri untuk menghormati jenazah.

Tulisan ini kelanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul "Pengaruh Mu'tazilah dalam Ilmu Fiqih". Silahkan klik di SINI

Dalam masa Tabi'in bertambah pula fatwa dalam kejadian-kejadian yang tidak berlaku dalam masa Nabi dan Sahabat, baru dijumpai sekarang dalam masa Tabi'in. Maka Tabi'in yang besar-besar ini pun mempunyai pikiran sendiri-sendiri dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dan dalam menta'wilkan hadis-hadis Nabi, dalam menilai fatwa-fatwa sahabat yang sudah dikeinukakan, dan bahkan dalam memilih dan menguatkan sesuatu fatwa sahabat itu.

Kita lihat misalnya ada Tabi’in yang lebih mengutamakan perkataan Abdullah ibn Mas'ud daripada fatwa orang lain, ada yang lebih mengharga.kari pikiran Ali bin Abi Thalib dam pendapat-pendapat Ibn Abbas daripada orang lain. Maka terjadilah suatu cara pemilihan, tarjih, untuk dikuatkan sesuatu fatwa, terutama mengenai sahabat dan Tabi'in dalam sesuatu negeri tertentu, dimana terdapat banyak murid-muridnya atau orang-orang berguru kepadanya.

Murid-murid yang belajar kepada Tabi'in ini dinamakan Tabi’in tabi'in, diantaranya terdapat orang-orang besar yang diharapkan fatwa dan pendapatnya.

Jika kita selidiki kepada sejarah perkembangan ijtihad dan menggunakan pikiran dalam menetapkan sesuatu hukum, kita terpaksa kembali dahulu kepada zaman pertama. yang merupakan guru ulama-ulama di Madinah itu ialah Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Abdullah bin Umar, Siti Aisyah, Ibn Abas dan Zaid bin Sabit. Sebagai murid-muridnya ialah diantaranya yang terkenal Sa'id bin Musayab, Sa lim bin Abdullah bin Umar, dan murid-murid mereka ini dalam generasi berikutnya ialah Az-Zuhri, Jahja bin Sa'id, Rabi'ah Ar-Raji, sedang dalam generasi dibelakang in:i terkenal Malik, kepala rombongan ahli hadis, salah seorang yang banyak mengetahui tentang penetapan hukum Umar bin Khatab, tentang ucapan-ucapan Abdullah Ibn Umar dan keterangan-keterangan dari Siti Aisyah.

Sementara itu di Kufah juga terdapat sahabat-sahabat besar, seperti Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib, yang dalam generasi berikutnya disusul oleh Syura’ih dan Asyu’bi, dalam generasi berikutnya oleh Al-Qamah dan Ibrahim An-Nakha’i, disambung kemudian oleh Abu Hanifah, kepala ahli Ra'yi, yang kemudian membentuk suatu mazhab fiqh tertentu, yang banyak menggunakan aqal dan fikiran dalam menetapkan sesuatu hukum, sebagai akibat dan pengaruh perkembangan paham Mu’tazliah di sekitarnya. Ahmad Amin dalam kitabnya yang kita sebutkan diatas (178) membenarkan, bahwa paham paham ilmu kalam banyak mempengaruhi cara berpikir Abu Hanifah. Ia menceritakan dalam halaman tersebut, bahwa pada hari-hari pertama ia belajar dalam ruang Mutakallimin dalam mesjid Kufah, disamping ia mengikuti juga sebagai murid ruang fiqh, ruang sya’ir dan sastra dan ruang nakhu, dimana orang membicarakan tentang qadha dan qadar, tentang kufur dan iman dll. masalah ilmu kalam. Al-Makki menceritakan dalam "Manaqib Abi Hanifah” (55), bahwa Abu Hanifah rapat sekali hubungannya dengan Hammad bin Abi Sulaiman, dan dalam kitab itu juga (59) dikutip perkataan Abu Hanifah sendiri, yang pernah mengucapkan : "Aku ini seorang yang dikurniai Tuhan kesenian berdebat dalam ilmu kalam, lama masanya aku menyerang dan menampik tangkisân orang-orang besar, kebanyakan dari Basrah. Aku memasuki kota Basrah tidak kurang dari duapuluh kali diantaranya aku pernah tinggal disana setahun lamanya. Aku pernah bertengkar dengan golongan-golongan ilmu kalam, dan oleh karena itu menamati perbedaan antara Khawârij, Abadhiyah, Sufiyah dll yang kutentangnya ………. Aku menganggap ilmu kalam itu suatu ilmu yang utama, tetapi kemudian aku ketahui, jika banyaklah kebaikan di dalamnya, tentu ilmu ini terdapat pada golongan-golongan salaf dan salih, maka kutinggalkan pertengkaran ini” (lih. juga Ahmad Amin, DhuhaI Islam, Mesir 1952 178-179). Tidak saja berhubung dengan lingkungan tempat kelahirannya, tetapi juga keturunan pun Abu Hanifah banyak sedikit mendorong dia kepada menggunakan aqal lebih banyak sebagai alat berjuang dalam kalang-an bangsa Persi yang dihadapinya di Kufah, tempat lahirnya dan di Irak atau Basrah tempat ia berjuang.

Terutama disekitar Irak pengaruh Abu Hanifah besar, sebagaimana Malik dengan ilmunya pernah beroleh pengaruh penghargaan kepada guru-gurunya, dan melekatkan penghargaan kepada mereka lebih dari pada kepada yang lain. Pernah Abu Hanifah dalam suatu sidang perdebatan mengatakan, bahwa Ibrahim An-Nakha’i (di Kufah) lebih mahir dalam ilmu fiqh daripada Salim bin Abdullah bin Umar (di Medinah), dan jika tidak karena keutamaan sahabat katanya, ia akan mengatakan Alqamah lebih utama daripada Ibn Umar.

Demikianlah kita lihat, bahwa sebagaimana Malik adalah seorang yang alim dan mengetahui sungguh-sungguh tentang hadis-hadis di Madinah, tentang penetapan-penetapan hukum oleh sahabat-sahabat disana, tentang fatwa dan perkembangan pikiran mereka. Kita lihat Abu Hanifah adalah seorang yang alim dan mengetahui sungguh-sungguh pula tentang penetapan-penetapan hukum-hukum oleh Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dll sahabat yang pernah ada di Irak, begitu juga seorang yang mengikuti dari dekat paham-paham Tabi’in yang besar-besar yang terdapat di Kufah. Dikala datang masanya meletakkan hukum-hukum itu dalam karangan tertulis, terutama dalam masa Abbasiyah, kita lihat segera Malik menuliskan kitabnya yang terkenal, bernama Al-Muwatta, dan ulama-ulama Irak pun mencatat fatwa-fatwanya dalam kitab-kitab yang tidak kecil.

Memang perbedaan menyolok sangat terhadap penggunaan akal. Ulama-ulama Madinah, seperti Sa’id bin Musayab dan Az-Zuhri, membenci Ra’yi atau pendapat akal dalam hukum, menjauhi fatwa cara demikian, yang dihitungnya sebagai suatu kesukaran tetapi ahli Irak tidak ada jalan lain karena kekurangan bahan hadis dalam penetapan hukum. Kekurangan ini terasa bagi ulama-ulama Kufah dan Irak, dan oleh karena itu digerakkanlah usaha untuk merantau ke dalam banyak negara, yang didatangi oleh sahabat-sahabat Nabi, untuk mencatat hadis-hadis yang tidak terdapat di Madinah dan di Irak.

Maka berangkatlah orang-orang itu, baik dari Irak maupun dari Madinah, ke Syam dan ke Mesir serta ke tempat-tempat yang lain, mencatat dan membukukan hadis-hadis yang tersimpan pada sahabat-sahabat Nabi yang telah bertaburan dimana-mana. Salah satu daripada usaha untuk mengurangi pertentangan paham ialah menyelidiki orang-orang yang menyampaikan hadis itu, yang dinamakan rawi, hendaknya lengkap ilmunya dan benar mengenai persoalan dari kedua tempat itu masih kembali berpegang kepada perkataan sahabat dan Tabi’in, bagaimanapun sederhananya, jika tidak pula terdapat yang demikian itu, maka mereka kembali kepada sumber yang tidak pernah dipertengkarkan, yaitu Qur’an dan Sunnah, meskipun berbeda tafsirnya dan ta’wilnya.

Dari uraian yang kita sebutkan diatas kelihatan kepada kita, bahwa ulama-ulama Irak ini memberi corak filsafat manthik kepada ilmu fiqihnya, berluas-luas dalam penetapan hukum dsb., bahkan ada ahli-ahli hukum mereka yang lebih banyak menggunakan rasa keadilan hukum, zauq qanuni, untuk lebih mendekati keadilan dan melaksanakan kemaslahatan, sehingga mereka seolah-olah keluar dari pada hukum nas yang ada, yang oleh Ahli Hadis dinamakan "takhrij".

Ternyata ada menyolok dua aliran paham dalam fiqih. Pertama orang sangat kuat memegang hadis, sehingga mereka menolak qiyas sama sekali dan berbicara dengan pikiran atau ra’yi, memutuskan sesuatu dengan fatwa yang terdapat nasnya dalam Qur’an dan hadis; tidak mau membicarakan masalah-masalah yang tidak ada nasnya. Dapat kita katakan mazhab ini dikepalai oleh Malik di Madinah. Kedua mereka yang lebih menengah caranya, membolehkan bekerja dengan pikiran dalam batas-batas yang tertentu. Pada kepalanya berdiri Abu Hanifah.

Ada satu golongan lain yang tidak begitu meletakkan penghargaan kepada hadis, karena katanya riwajatnya itu dicurgiai. Dengan demikian terpaksalah dalam masa Abbasijah mengadakan suatu peraturan yang dapat mengatasi semua aliran dalam daerahnya, dan terus-menerus berikhtiar untuk mencari kedekatan diantara mazhab-mazhab yang bertentangan itu, yang baru dicapai dalam abad yang ke V Hijrah.

Mazhab-mazhab yang banyak ketika itu ialah mazhab Hasan Al-Basri, mazhab Abu Hanifah, mazhab Auza'i, mazhab Sufyan As-Sauri, mazhab Al-Lais bin Sa'ad, mazhab Malik, mazhab Sufjan bin Ujaiinah, mazhab Sja'fi'i, mazhab Ishak bin Rahawaih, mazhab Abu Saur, mazhab Ahmad bin Hanbal, mazhab Dawud Az-Zahari dan mazhab Ibn jari Ath-Thabari, dll., yang bagi tiap-tiap aliran ini mempunyai pendapat-pendapat dan jalan-jalan berjitihad yang berlian-lainan. yang mau menjesuaikan pahamnya dengan pemerintah, selamatlah ia, yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah terkenalah hukuman. Kita lihat, bagaimana ulama-ulama beroleh kedudukan selama ia ta'at kepada pemerintah Abbasijah dan bagaimana siksaan atau hukuman yang dijatuhkan kepada mereka yang tidak mau kerja sama, seperti Malik, Abu Hanifah, Sufjan As-Sauri, Ahmad ibn Hanbal dll.

Begitu juga kita lihat, bahwa tempat dan keadaan pun sangat mempengaruhi penetapan hukum dari ulama-ulama itu. Ulama-ulama di Hejaz banyak membicarakan tentang urusan haji dan sembahyang, sementara ulama-ulama di Madinah dimana terdapat kebun-kebun yang subur mendalam membicarakan urusan tanah, urusan buah-buahan, urusan zakat buah dan lain-lain, sedang ulama Irak banyak membicarakan soal-soal rampasan, soal-soal perkawinan campur, dan soal-soal bea cukai, sedang ulama-ulama di Mesir, termasuk Sya'fi'i mengambil sebagai pembicaraan banyak persoalan-persoalan yang berlaku disana.

Kita ketahui bahwa Syafi'i pernah mempelajari aliran Malik dan pernah juga mempelajari cara Abu Hanifah berpikir. Maka dalam kehidupan Sya'fi'i dapat kita pisahkan pada mula pertama dua aliran dan cara berpikir, pertama cara Irak, terdekat kepada paham Abu Hanifah, disebut "Qa ul Qadim" dan kedua cara Malik berpikir, yang dapat berpegang kepada hadis saja, dan dengan pemisgahan daripada kedua gelombang pikiran ini kemudian di Mesir ia menciptakan suatu pendekatan cara berpikir yang dinamakan "Qa ul jajid'. Di Irak ia dibantu oleh Az-Zafarani, Al-Karabasj, Bu Saur, Ibn Hanbal, Al-Lag- hawi, dan di Mesir ia dibantu oleh Al-Buwaithi, Al-Mazani, Rabi' al-Muradi. Di Irak ia berjuang dalam kemiskinan dan kesukaran, kemudian ia berangkat ke Mesir untuk mengubah nasibnya, agar kehidupan-nya lebih baik dan perjuangannya lebih sempurna. Di Irak orang menggunakan pikiran, di Mesir terdapat lapangan imam lebih luas. Oleh karena itu tatkala ia hendak berangkat ia bertanya dalam syairnya :

Diriku hendak melayang ke Mesir, Dari bumi miskin dan fakir,
Atau tak tahu hatiku berdesir, jayakan aku atau tersingkir.
jayakan aku atau kalah, Tak ada bagiku suatu gambaran
Menang dengan pertolongan Allah, Atau miskin masuk kuburan.

Demikian Imam Syafi'i bersya'ir, tatkala ia hendak melangkahkan kakinya ke Mesir. Sya’ir Arab ini berasal dari temannya Az-Zafarani, yang menjawab bahwa kedua-duanya dicapai oleh Muhammad Idris Asy-Syafi'i, baik kekayaan yang menghilangkan kemiskinannya, maupun kejayaan yang membuat penganut mazhabnya ratusan kali lipat ganda daripada yang terjadi didaerah Mu'tazilah itu. Untuk mencegah dan menyalurkan perselisihan paham Syafi'i segera menulis Usul Fiqh, yang mengatur cara menetapkan sesuatu hukum fiqh menurut sumber- sumbernya, sehingga dengan buku ini nama Asy-Syafi'i menyadi harum sekali diantara nama-nama mujtahid dan ahli mazhab ketika itu. Orang memperbandingkan jasanya dengan usaha Aristoteles, dalam menciptakan ilmu mantik atau Khalil bin Ahmad dalam karyanya il- mu 'Arudh. Meskipun ada orang sebutkan usul fiqh pernah dikarang oleh Muhammad bin Hasan, dari mazhab Manaf'i, tetapi karya ini tidak beroleh nama yang populer seperti usul fiqh karangan Asj-Sjafi'i, yang termuat juga garis-garis besarnya dalam kitab Al-Umm.

Pada lain tempat akan kita bicarakan perbandingan mazhab-mazhab ini antara satu sama lain, tetapi disini kita cukupkan dengan mengemukakan, betapa pengaruh cara berpikir Mu'tazilah masuk kedalam ilmu fiqh.

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam