Minggu, 29 September 2024

Sebab-Sebab Pertikaian dalam Islam

Kita sudah jelaskan, bahwa aliran-aliran dalam Islam yang pendiriannya berbeda antara satu sama lain, dapat dibagi atas tiga golongan: golongan i’tikad, golongan siasat dan golongan fiqh atau hukum. Sebab-sebab umum mengenai perbedaan dalam cara berfikir manusia juga sudah kita perkatakan. Dalam bahagian ini akan kita jelaskan sebab- sebab khusus yang melahirkan perbedaan paham dalam kalangan umat Islam, sehingga menjadi beberapa banyak aliran, meskipun dalam pokok-pokok agama mereka bersatu dan tidak berbeda.

Diantara sebab-sebab itu, sebagaimana yang dikakatan oleh Abu Zahrah dalam kitabnya Al-Mazahibul Islamiyah (Mesir, t. th.). ialah yang dinamakan asabiyah al-‘arabiyah, cinta bangsa yang sempit atau chauvinisme dan cinta kabilah atau suku keturunan, yang terjadi dalam masa jahiliyah sejak berabad-abad sebelum Islam dan yang dihapus oleh Nabi Muhammad dengan ajaran Islam. Ingat saya pertentangan antara Bani Hasyim dan Bani Umayah di Mekkah dan pertentangan antara kabilah Aus dan Khazraj di Madinah. juga keyakinan bangsa Arab bahwa mereka lebih mulia daripada lain, lebih tinggi nilainnya dari Ajam, memainkan rolyang penting dalam pertentangan.

Dalam masa hidup Nabi semua itu tidak terdapat lagi. Usman bin Affan dari Bani Umayyah dipungut menjadi menantunya dan Quraisy diperangi sampai Abu Sufyan tunduk kepada Islam, nama Aus dan Khazraj tidak terdengar lagi, diganti dengan nama Anshar, begitu juga orang-orang Bani Hasyim dan Bani Umayyah yang telah turut bersama Nabi diberi bernama Muhajirin, yang dapat menghilangkan perbedaan satu sama lain. Muhammad membawa ajaran ; Bukan golongan kami mereka yang chauvinistis. Semua kaum dari Adam dan Adam benasal dari tanah. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang Ajam kecual karena takwa kepada Tuhan". Qur’an menerangkan; “Wahai manusia. Kami jadikam kamu laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kamu berkenalam satu sama lain” (Qur’an).

Oleh karena itu tidak terdapat pertentangan yang menyolok dalam masa Nabi diantara semua golongan umat Islam. Tetapi sesudah Nabi wafat, terutama dalam masa pemerintahan Usman bin Affan, perasaan kesukuan Arab ini timbul kembali, dan rasa kesukuan ini menjadi salah satu sebab pertentangan paham di kemudian hari. Perbedaan paham antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah kemudian merupakan perbedaan paham antara Khawarij dan aliran-aliran lain, Aliran Khawarij ini paling banyak tersiar dalam kalangan kabilah Rabi’ah, tidak ada dalam kabilah Mudhribah, dan permusuhan antara dua suku ini dikenal oleh sejarah dalam masa Jahiliyah. Dalam masa Islam terpendam, tetapi sesudah wafat Nabi, lahir kembali dalam bentuk Khawarij.

Diantara sebab pertentangan politik ialah rebutan khalifah sesudah Nabi wafat. Persoalan ialah siapa yang berhak menjadi khalifah sesudah Nabi wafat, orang Ansharkah (Aus atau Khazraj), orang Muhajirinkah (Bani Hasjim atau Bani Umayyah), atau sembarang orang Islam? Orang Anshar berkata : "Kami yang memberikan tempat kalian berjuang, kami turut merebut kemenangan, dan oleh karena itu kamilah orang yang berhak menjadi khalifah”. Orang Muhajirinn menjawab : "Kami lebih dahulu memeluk agama Islam dan oleh karena itu kami yang lebih berhak”.

Nyaris terjadi pertumpahan darah yang berarti hancurnya Islam. Untunglah orang Anshar imamnya kuat dan mengalah, sehingga terpilihlah Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Tetapi persoalan tidak habis sekian. Airan-aliran membicarakan, siapakah yang berhak menjadi khalifah pertama itu, dari orang Quraishkah, dari keturunan Ali bin Abu Thalibkah atau dari sembarang orang yang cakap tidak memandang kabilah dan keturunan? Lalu lahirlah Khawarij, lahirlah Syi'ah dan lain-lain.

Pengaruh agama lama, baik Yahudi, Nasrani atau Majusi, tidak sedikit membawa perbedaan paham dalam Islam. Ada dua macam penganut agama lama yang masuk kedalam Islam.

  1. PERTAMA mereka yang kemudian yakin sungguh-sungguh akan kebenaran Islam. Tetapi meskipun demikian bekas-bekas keyakinan agama lama tidak mudah ditinggalkan, baik yang berupa cerita-cerita maupun kebiasaan dalam bergaul dan beribadah, dengan tidak sengaja mereka selundupkan ke dalam ajaran Islam. Terutama pengaruh mereka, yang kemudian dalam Islam mempunyai kedudukan sebagai sahabat, tidak sedikit, seperti Wahab bin Munabbih, Ibn Juraij, Suhaib dan Salman Farisi. Banyak cerita-cerita yang kemudian terkenal dengan Israiliyat, Nasraniyat dan Majusiyat, berasal dari mereka semacam itu. Sedang ucapan-ucapan dan perbuatan sahabat itu merupakan keterangan-keterangan penting bagi pengulasan hukum-hukum Islam selanjutnya.
  2. KEDUA disamping mereka yang datang memeluk Islam dengan ikhlas terdapat mereka yang masuk ke dalam Islam tidak dengan keyakinan, tetapi dengan maksud hendak memecah-belah umat Islam dari dalam. Mereka yang masuk Islam dengan terpaksa pun bergerak ke jurusan memecah-belahkan Islam. Keturunan-keturunan Yahudi yang pernah dihukum atau merasa dirugikan dalam masa Nabi, sesudah melihat kelemahan Islam, turut berusaha menghancurkan Islam dari dalam, seperti yang terjadi dengan Abdullah bin Saba' yang mendirikan aliran Syi'ah Saba'iyah dan mempropagandakan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi Nabi daripada Nabi Muhammad.

Dalam pada itu penduduk daerah yang dahulu dikalahkan oleh orang Islam dikala mereka tidak bersenang hati dengan raja-raja Arab, seperti Persia, berusaha mengadakan gerakan di bawah tanah atau gerakan bathin, untuk mengulingkan raja-raja keturunan asing itu. Lalu masuklah hasrat ini ke dalam beberapa aliran tasawwuf yang hidup di Persia itu.

Aliran Syi'ah Saba'iYah yang dibangkitan oleh Abdullah bin Saba', seorang Yahudi yang berkeyakinan akan merobohkan Islam dari dalam, membawa ajaran, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sebenarnya beroleh nur Tuhan dan berhak menjadi Nabi, sedang Nabi Muhammad hanya merupakan hujjah atau bukti kenabian Ali bin Abi Thalib itu. Mengenai aliran-aliran yang menyelêweng ini Ibn Hazm mencertakan dalam kitabnya yang terkenal "Al-Fisal fil Milal wan Nihal” secara panjang lebar dan jika kesempatan ada akan kita petik juga hal-hal yang perlu untuk risalah ini.

Lain daripada itu ada faktor lain juga yang menjadi sebab timbulnya pertentangan pikiran dalam kalangan umat Islam, yaitu terjemah kitab-kitab filsafat ke dalam bahasa Arab dari karangan ahli-ahli pikir Romawi dan Yunani. Penerjemahan ini membawa banyak pikiran-pikiran baru dalam Islam, mengenai alam, mengenai benda dan mengenai persoalan-persoalan alam yang tidak dapat dicapai oleh pikiran dan perasaan manusia. Pendirian-pendirian ahli-ahli pikir Yunani yang hidup sebelum maupun yang hidup sesudah Nabi Isa dibicarahkan kembali oleh ulama-ulama Islam. Pemikiran secara filsafat itu memang ada yang mendorongnya, yaitu untuk memecahkan persoalan-persoalan yang terdapat dalam Islam, terutama yang mengatasi pikiran manusia, secara filsafat. Tetapi ada pula kerugiannya karena banyak anak-anak Islam yang mula-mula mempelajari filsafat Yunani itu sebagai suatu ilmu, kemudian lama-kelamaan menjadi keyakinan dan melahirkan cara-cara tertentu dalam pemecahan soal agama. Maka lahirlah suatu golongan ahli pikir yang membahas i'tikad Islam secara filsafat, seperti yang kita lihat dalam kalangan Mu’tazilah, yang menggunakan sumber-sumber filsafat dalam menguraikan persoalan-persoalan keyakinan dalam Islam.

Maka terjadilah pertentangan paham antara aliran-aliran Mu’tazilah dengan ulama-ulama Sunnah, yang kadang-kadang demikian jauhnya sampai merupakan permusuhan dan bunuh-membunuh. Kita dapat melihat kekacauan ini terutama dalam masa Khalifah Ma’mun, yang memberikan kemerdekaan luas sekali dalam bidang pemikiran akal dan filsafat itu, sebagaimana yang kita kenal dalam sejarah Ilmu Kalam. Ma’mun sendiri sepanjang yang dapat diketahui orang adalah penganut Mu’tazilah yang berkeyakinan, yang dalam perselisihan paham selalu dia mengambil tindakan-tindakan yang menguntungkan Mu’tazilah. Memang penggunaan filsafat dan mantiq serta cara berpikir akal ini menimbulkan suasana perpecahan dalam kalangan umat Islam, meskipun tidak dapat disangkal bahwa keadaan itu menguntungkan sejarah Islam dalam bidang filsafat, yang kemudian dapat dinamakan filsafat ketuhanan dalam Islam, yang merupakan senjata baru dalam mentang serangan-serangan terhadap ajaran Islam dari luar.

Pemikiran-pemikiran filsafat mengenai pokok-pokok persoalan yang mendalam digunakan oleh ulama-ulama Islam dalam masalah-masalah aqa’id yang tidak dapat dipecahkan dengan akal manusia, untuk mencapai sesuatu pendirian yang kokoh, yang dapat diakui kebenarannya oleh Islam, seperti masaalah mengakui adanya atau tidak adanya sifat Allah, masalah kesanggupan manusia melakukan sesuatu di samping kodrat Tuhan dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan ini membuka pintu luas untuk pertentangan paham, karena berlainan-lainan pendapat dan pandangan, berlainan-lainan jalan dan cara yang ditempuh, dan berlainan lainan tujuan dan hasil yang akan diperoleh. Persoalan-persoalan ini kita dapati dalam ilmu kalam.

Tidak boleh kita lupakan pula, bahwa kisah-kisah dan cerita-cerita yang menjadi pokok pembahasan, setengahnya berasal dari agama dan keyakinan Iain, setengahnya berasal dari takhayul dan khurafat dari nenek moyang, yang dimasukkan ke dalam Islam dan diterangkan kepada umum dalam masjid-masjid di samping ajaran agama. cara bercerita ini timbulnya dalam masa pemerintahan Usman bin Affan. Ali bin Abi Thalib menentang sangat adanya cara, penyampaian kisah-kisah ini sebagai keterangan agama dan pernah mengusir mubaligh-mubaligh dari masjid, yang menggunakan cara ini. Dalam masa Bani Umaiyah tukang-tukang cerita semacam itu bertambah banyak, diataranya ada yang baik dan ada yang tidak baik, dan dengan adanya kisah-kisah itu termasuklah kedalam tafsir-tafsir dan kitab-kita tarikh, apa yang dinamakan Israiliyat dan Nasraniyat, kadang-kadang oleh orang-orang yang terpenting, yang dikemudian hari dianggap sebagai agama. cerita-cerita ini kemudian tersiar kepada umum dengan akibat yang tidak baik, diantara lain, yang mencampur adukkan antara hadis dengan dongeng-dongeng itu.

Kita ketahui, bahwa dalam Al-Qur’an di samping ayat-ayat hukum terdapat ayat-ayat mutasyabihat, yaitu ayat-ayat Al Qur’an yang kebanyakannya menceritakan keadaan Tuhan dan keadaan hari kemudian, yang ada keserupaaninya dengan manusia sekarang ini. Penafsiran ayat-ayat ini dan penta’wilannya menumbuhkan pertikaian paham dalam kalangan ulama, masing-masing menggunakan akalnya untuk mencapai hakikat maknanya. Maka terjadilah perbedaan paham dalam tafsir dan ta’wil, yang satu berlainan dengan yang lain. Segolongan ingin memberi Ta’wil, agar dapat diterima pengertiannya oleh akal manusia, segolongan lagi tidak mau mengutik-utik ayat itu dengan ta’wil dan tidak berpanjang tutur dalam menyampaikannya, karena memang tidak dapat dicapai oleh otak manusia. Memang Qur’an sudah memperingatkan adanya perpecahan ini dengan firman Tuhan: "Ialah Tuhan yang menurunkan kepadamu kitab, setengahnya, mengandung ayat-ayat hukum, yang merupakan pokok-pokok isi kitab itu, dan yang lain ayat-ayat keserupaannya. Mereka yang dalam hatinya ada keragu-raguan mengikut ayat ayat keserupaan itu, dan dengan demikian menimbulkan fitnah dan membangkitkan macam-macam ta’wil, sedang tidak ada yang mengetahui ta’wil yang sebenarnya melainkan Allah jua. Orang-orang yang mendalam ilmunya dalam hal ini hanya berkata: "Kami percaya tentang ayat-ayat itu dan kami percaya bahwa semuanya datang dari Tuhan kami, tidak ada yang mengingatkan demikian itu kecuali orang-orang yang mempunyai pengetahuan”. (Qur’an, Al-Imran, ayat 7).

Penetapan-penetapan hukum syari’at juga merupakan pokok perbedaan paham, bukan dalam Qur’an dan Sunnah, tetapi dalam memperjelas perincinnya atau dalam mencari suatu penyelasaian hukum yang tidak terdapat dalam kedua sumber Islam, Qur’an dan Sunnah. Dalam menetapkan sesuatu hukum memang digunakan ayat Qur’an atau Sunnah, tetapi orang berbeda dalam memahami ayat Qur’an itu dan sahabat-sahabat berbeda pula dalam menyampaikan sesuatu mengenai sunnah yang dialaminya. Maka terjadilah perbedaan dalam menyatukan sesuatu hukum mengenai perincinnya itu, terutama mengenai per-soalan-soalan baru dalam kehidupan manusia yang tumbuh di sana-sini dalam daerah Islam yang sudah meluas itu. Sudah kita katakan, bahwa dalam pokok-pokok agama, yang dinamakan usuluddin atau hukum yang sudah dijelas dalam sumber pokok, ulama-ulama tidak berselisih paham satu sama lain, tetapi dalam penjelsan lebih lanjut, da-lam cabang-cabang hukum, yang dinamakan furu’uddin, mengenai ha-lal dan haram, wajib dan sunat dan sebagainya. Ulama-ulama menggunakan Ijma’, qijas, pikiran dan akal dan sebagainya. Dan oleh karena itu penetapan hukumnya berbeda-beda satu sama lain, dan dengan demikilan lahirlah golongan-golongan dalam hukum, yang dinamakan mazhab fiqh, seperti Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hambali, dan lain-lain.

Setengah orang yang besar tasamuhnya atau luas dadanya, perbedaan pendapat dalam hukum furu’ itu tidak menjadikan kegelisahan, karena Nabipun sudah pernah mengatakan, bahwa: perselisihan pendapat antara umatku adalah merupakan rakhmat.

Umar bin Abdul Aziz dalam menghadapi pertikaian paham antara sahabat-sahabat dalam persoalan furu’, berkata : "Aku tidak suka, bahwa sahabat-sahabat Nabi itu tidak berselisihan paham satu sama lain, karena jikalau semua cerita itu sama dan bersamaam, maka bidang bergerak manusia menjadi sempit. Sahabat-sahabat itu adalah imam-imam yang layak diikuti, dan oleh karena itu, jika seorang menggunakan ucapan untuk amalnya, adalah merupakan sunnah juga” (Al-I’tisham, karangan Sjathibi, j. II, hal. 11).

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam