Mazhab ini didirikan oleh Imam Ja’far Sadiq, seorang Tabi’in tokoh besar, Ahli Hadis dan Mujtahid mutlak, menurut Kulayni antara 83-148 H. dalam umur enam puluh lima tahun. Ayah Imam Muhammad Al-Baqir, seorang Imam Syi’ah yang sangat alim (57-117 H.) Ibunya bernama Fanwah anak Al-Qasim, anak cucu dari Abu Bakar As-Siddiq, Khalifah pertama sesudah Nabi. Konon itulah sebabnya Ja’far memakai nama di belakangnya Sadiq, dan tidak pernah menyerang tiga Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib. Bahkan pernah ia berkata, sepanjang yang diriwayatkan Sayuti: "Aku berlepas diri dari orang-orang yang mengatakan sesuatu tentang Abu Bakar dan Umar kecuali yang baik" (Sajutti, Tarikhul Khulafa).
Konon pula itu sebabnya maka ia tidak pernah diganggu oleh Khalifah Umaiyah, seperti Hisyam, Ibrahim dan Marwan dan oleh Khalifah Abbasiyah, seperti As-Sifah dan Mansur. Baik Syi’ah maupun Ahli Sunnah menghormati Ja’far Sadiq, Orang Syi’ah mempunyai banyak cerita mengenai keistimewaan Ja’far Sadiq. Kulayni menceriterakan, bahwa konon Khalifah Al-Mansur pernah memerintahkan membakar rumahnya di Madinah, tetapi Imam Ja’far memadam api itu hanya dengan menendang dan berkata, bahwa ia anak cucu Ibrahim Khalilullah, yang tidak dimakan api. Ibn Khalikan menceriterakan, bahwa Al-Mansur pernah memerintahkan Imam Ja’far pindah dari Madinah ke Irak dengan teman-temannya. Ia tak sudi pindah dan ingin tinggal bersama keluarganya, karena ia mendengar melalui ayah dan neneknya Rasulullah berkata, bahwa barangsiapa keluar mencari rezeki, Tuhan akan mengaruniai rezekinya, tetapi barangsiapa tinggal tetap pada kelurganya, Tuhan akan memanjangkan umurnya. Dengan demikian Al-Mansur tidak jadi mengusirnya ke Irak.
Memang Imam Ja’far Sadiq seorang yang mulia hati. cerdas, alim dan salih dan dicintai orang. Ia mengajar dan menerima tamu dalam suatu kebun yang indah dekat rumahnya di Madinah. Banyak orang-orang alim dari bermacam-macam mazhab datang mengunjungi pengajaran itu, yang merupakan seakan-akan sekolah Socrates. Memang Imam Ja’far dikagumi oleh murid-muridnya, terutama dalam ilmu fiqh dan ilmu kalam. Diantara muridnya terdapat Abu Hanifah dan Malik bin Anas, yang turut mengambil ilmu fiqh daripadanya, begitu juga Wasil bin Atha', kepala kaum Mu’tazilah dan Jabir bin Hayan, ahli kimia yang masyhur. Ada orang yang mengatakan bahwa Abu Hanifah tidak pernah belajar padanya, hanya pernah bersoal jawab dalam beberapa persoalan yang mengenai pemakaian jas dan akal dalam masalah fiqh.
Bagaimanapun juga hubungan Imam Ja’far dengan Abu Hanifah sangat rapat, terutama dalam masa Abu Hanifah mengajar di Kufah dan Imam Ja’far di Madinah, kelihatan benar persesuaian pendapat. sedang masa itu adalah masa yang terlalu sukar.
Ronaldson dalam karangannya mengenai kejakinan Syi'ah mengatakan, bahwa jika tidak karena tiga buah pendapat Imam ja'far yang berlainân dengan pendapatnya, Abu Hanifah sudah menerima seluruh ajaran Imam ja'far itu. Tiga buah pendapat yang berlaian itu ialah ; Imam ja'far berpendapat, bahwa kebaikan itu berasal dari Tuhan, sedang kejahatan berasal dari perbuatan manusia sendiri. Abu Hanifah berpendirian, bahwa segala yang baik dan yang jahat itu berasal dari Tuhan. Kedua, Imam ja'far, bahwa setan itu dibakar dalam neraka pada hari kiamat. Abu Hanifah berpendapat, bahwa api tidak dapat membakar api, dan setan itu diciptakan Tuhan daripada api. Ketiga, Imam ja'far mengatakan, bahwa melihat Tuhan didunia dan aKhirat mustahil. Abu Hanifah berpendirian, bahwa tiap yang berwujud mungkin melihat Tuhan, jikalau tidak didunia, ia akan melihat nanti diaKhirat.
Konon perdebatan ini didengar oleh penganut-penganut ajaran Imam ja'far yang fanatik, yang lalu melempari kepala Abu Hanifah dengan sepotong batu tembok. Tatkala orang itu ditanya mengapa, ia menyawab, bahwa ia tidak berbuat kejahatan itu, dan kejahatan itu datang dari Tuhan dan bukan dari manusia dan bukan dari ikhtiar, bahwa ia tidak dapat menyakitkan Abu Hanifah dengan tanah tembok itu, karena Abu Hanifah terbuat daripada tanah, dan ia minta Abu Hanifah memperlihatkan kesakitan pada kepala kalau benar ia dapat melihat Tuhan didunia dan aKhirat.
Dalam pada itu banyak pengikut-pengikut Imam ja'far yang senang pada Abu Hanifah, karena ia turut menghukumlcan Al-Mansur dan Khalifah-Khalifah yang lain daripada Bani Abbas dan Bani Umayah.
Katanya bahwa mereka betul mendirikan mesjid, tetapi banyak diantaranya yang menyalahgunakan pembayaran upah dan oleh karena itu mereka fasik dan orang fasik tidak lajak menyadi imam. Konon ucapan ini terdengar oleh Al-Mansur, yang menyuruh menangkap Abu Hanifah dan memasukkannya kedalam penjara sampai mati. Hal ini sesuai dengan firman Tuhan kepada Ibrahim ; "Aku akan menyadikan Imam bagi manusia”. Kata Nabi Ibrahim ; "Apakah anak tijutu díjuga”? Firman Tuhan ; "janjiku itu akan meliputi orang-orang zalim“ (Qur’an Al-Baqarah 124). Lalu pœngarang pengarang Syi'ah, seperti Majlisi, senang terhadap Baidhawi, Zamakhsyari dan Abu Hanifah, karena sepaham dengan mereka dalam menafsirkan ayat itu. Orang-orang Syi'ah menanggkat imam yang ma'sum untuk dijadikan Khalifah dan dari ahli Bait Golongan ja'far Sadiq ini dinamai Imamiyah Isna'asyariyah, yaitu suatu golongan Syi'ah yang mengaku bahwa imam mereka yang sah terdiri dari 12 orang, sebagaimana, yang sudah kita sebutkan dalam pembicaraan mengenai golongan Syi’ah ini. Prof T. M. Hasbi As-Siddiqy dalam kitabnya Hukum Islam (jakarta 1962), banyak menulis tentang Syi’ah dan berkata tentang ja'far Sadik sebagai berikut:
"Orang-orang Syi’ah yang dinobatkan ia menjadi imam, tiada memperoleh kepuasan hati daripadanya, karena ia ini, tidak menghendaki dan tiada menyukai dirinya dinobatkan itu. Ia ini adalah seorang ulama yang sangat berbakti kepada Allah. Ia tidak suka diperbudak-budak oleh kaum Syi’ah. Lantaran demikian ia dapat mengarungi samudra hidup nya dengan aman dan tenang, tiada menjadi kebencian Khalifah-Khalifah yang menguasai negeri. Dan yang perlu ditegaskan, bahwa ia ini pemuka dan penta’sis fiqh Syi’ah yang kemudian pecah kepada beberapa mazhab.
Tentang fiqh dan hukumnya, Hasbi menerangkan sbb: Fiqh Syi’ah walaupun berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah juga, namun mula ini fiqh jumlah dari beberapa jujusan.
- Fiqh mereka berdasarkan kepada tafsir yang sesuai dengan pokok pendirian mereka. Mereka tidak menerima tafsir orang lain dan tidak menerima hadis yang diriwajatkan oleh selain imam ikutannya.
- Fiqh mereka berdasarkan hadis, kaedah atau furu’ yang mereka terima dari imam-imamnya. Mereka tidak menerima segala rupa kaedah yang dipergunakan oleh jurnhur Ahli Sunnah.
- Fiqh mereka tidak mempergunakan ijma’ dan tidak mempergunakan qijas. Mereka menolak ijma’ adalah karena lazim dan pengikut-pengikut ijma’, mengikuti paham lawan, yaitu sahabat, Tabi’in dan Tabii’n. Mereka tidak menerima qijas sekali-kali karena qijas itu pikiran. Agama diambil dari Allah dan Rasulnya, serta dari imam-imam yang mereka ikuti sahaja.
Lebih lanjut diterangkan, bahwa terkadang-kadang apabila digodog golongan Syi’ah, maka yang dikehendaki golongan Imamiyah.
Golongan Imamiyah ini berkembang di Iran dan Irak. Mazhab mereka dalam soal fiqh, lebih dekat kepada mazhab Asy-syafi’i, walaupun mereka dalam beberapa masalah menyalahi Ahlus Sunnah yang keempat.
Mereka serupa dengan Zaidiyah, berpegang dalam soal fiqh kepada Al-Qur’an dan kepada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka dan oleh orang-orang yang semazhab dengan mereka. Mereka berpendapat bahwa Babut Ijtihad masih terbuka; dan mereka menolak qiyas selama masih ada beserta mereka imam-imam yang mengetauhi hukum-hukum syar’i’at.
Demikian tersebut dalam kitab Hukum Islam,’ karangan Prof. T.M. Hasbi As-Siddiqy, hal 43-44. Memang dalam masalah usul dan ibadah hampir tidak berbeda antara Syi’ah Ja’fariyah dan Ahli Sunnah, disana-sini berbeda tentang guru agama dan Imamiyah. Hal ini dapat kita lihat dalam sebuah kitab karangan Muhammad jawad Mughni, yang bernama Al-Fiqh ‘afal Mazahibil Khamsah (Beyrut, 1960), suatu kitab mengenai perbandingan lima mazhab yaitu mazhab ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, yang perbedaannya antara satu sama lain sedikit sekali. Oleh karena itu Ahmad Hasan al-Baquri, pernah jadi mentri Urusan Wakaf dalam salah satu kabinet pemerintah Mesir, berkata dalam pendahuluan kitab fiqih Syiah, "Al-Muhasan an Nabi, yang sekarang dipakai sebagai kitab pelajaran hukum Islam pada Universitas Al-Azhar, bahwa (golongan Sunnah dan Syi'ah itu) kedua-duanya berpokok kepada Islam dan kepada iman dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul, kedua-duanya bersamaan benar dalam pokok umum mengenai agama kita. jika ada perlaian pendapat dalam furu fiqh dan penetapan hukum, hal ini terdapat pada semua mazhab kauim Muslimin, dan hal ini; adalah hal yang biasa bagi tiap-tiap mujtahid, yang dalam ijtihadnya beroleh pahala baik salah ataupun benar. Al-Hilli, mgl. 676 H. Al-Muhtasan an-Nabi'fi fiqhil Imamnya, (Mesir, 1376 H.).
Mahmasani menerangkan, bahwa Imam ja'far Sadiq itu masyhur dalam kalangan Syi'ah Imamiyah itu, yang menganggapnya karena kemuliaannya dan karena ilmu pengetahuannya. Oleh karena itu mazhab lmamiyah itu acapkal; dinamakan mazhab ja'fariah meskipun asalnya nama ini hanya mengenai mazhab fiqh.
Imam ja'far tidak hanya terkenal masalah-masalah fiqih, ilmu kalam, ilmu kimia dll, tetapi juga dalam ilmu tasawuf. Banyak hadis-hadis yang diriwayatkannya mengenai ilmu-ilmu itu, misalnya mengenai teori Nur Muhammad. la mendengar dari ayahnya bahwa Ali bin Abu Thalib pernah menerangkan: "Allah menyadikan Adam, Nuh, Ibrahim, lsma'il, dan lain-lain. Dan Tuhan menyadikan bersama Nur itu dua belas hijab; hijab qudrah, hijab uzmah, hijab minaln. hijab damnah, hijab sa'adah, hi'jab kananah, hijab mauzlah, hijab hājah, hijab nubuwaø, hijab dapah, hijab haibah, dan hijab saf ah.
Kemudian Nur Muhammad itu dipenjarakan dalam hijab qudrah selama 7 ribu tahun dan membaca: "Maha suci Tuhan yang kaya, tidak pernah miskin"; kemudian diselubungi dengan hijab mazhilah selama 6 ribu tahun serta diperintahkan membaca: "Maha suci Tuhan yang tinggi dan Agung", kemudian dipenyakan pula dalam hijab hijah selama 5 ribu tahun serta diperintahkan membaca: "Mäha suci Tuhan yang mempunyai Arasy yang Agung", kemudian diselubungi lagi dengan hijab rafah selama 4 ribu tahun serta diperíntahkan membaca: "Maha suci Tuhan yang dapat mengubahkan dan tidak berubah"; kemudian dimasukkan juga kedalam hijab maurah selama 3 ribu tahun serta diperintahkan membaca: "Maha suci Tuhan yang mempunyai malak dan malakut", dan kemudian diselubungi lagi dalam hijah selama 2 ribu tahun serta diperintahkan membaca: "Maha suci Allah dengan segala pujiannya". Kemudian barulah Tuhan menyatakan nama Muhammad itu diatas Luh, dan Luh itu bercahaya selama empat ribu tahun, kemudian ditaruh diatasarasi (langit yang kesembilan) dan tetap disana selama 7 ribu tahun, kemudian barulah Tuhan meletakkannya dalam sulbi Adam, yang berpindah kemudian kedalam sulbi Nuh dan Nabi-nabi lain turun-temurun hingga sampai kepada sulbi Abdul Muttalib dan darisana ke sulbi Abdullah ayah Nabi Muhammad.
Selanjutnya ceritera ini menerangkan, bahwa tatkala Tuhan itu mengirimkan Nur Muhammad kedunia melengkapkan dengan imam keramat, yaitu mengenakan baju ridha, memberikan sandang selendang hajbah, memberikan celana ma’rifah, memberikan tali pinggang mahabbah, memberikan terompah Khauf, kemudian menjerahkan kepada tongkat manzilah, lalu Tuhan berkata kepadanya : "Hai Muhammad, pergi menemui manusia dan perintahkan kepadanya : ucapkan tidak ada Tuhan melainkan Allah!”.
Ceritera ini panjang dan disulam dengan bermacam-macam keindahan mengenai baju dan lain-lain yang diperbuat daripada yakut dan luluk dan marzan, sampai kemudian kepada melukiskan baju Nabi dalam pengertian sufi, suatu ceritera yang digambarkan secara luas oleh Donaldson dalam kitabnya : "Aqidah Syi’ah” (Mesir 1933, hal 146-149).
Saya dapati ceritera Nur Muhammad ini dengan keterangan yang lebih luas dan riwayatnya yang lebih teratur dalam kitab Syi’ah yang paling penting, bernama "Isbatul wasijah fil Imam Ali bin Abi Thalib", karangan Al-Mas’udi, pengarang "Murujuz Zahab” (mgl. 346 H), yang berisi riwayat-riwayat dan petunjuk bagi golongan Syi’ah mengenai Imam Ali dan imam-imam yang lain. Kitab ini dicetak di Nejeb, kota suci Syi’ah dalam tahun 1374 H atau 1955 M. sebagai cetakan yang keempat, bagi mereka yang akan mempelajari jíwa berpikir dan kehidupan Syi’ah, kitab kecil ini sangat penting artinya.
« Prev Post
Next Post »