BAB VIII
AGAMA SIPIL
Pada zaman awal perkembangan dunia, orang tidak mengenal raja melainkan dewa-dewa, dan tidak mengenal pemerintah selain theokrasi (pemerintahan berdasar agama). Mereka sependapat dengan Caligula, dan pada waktu yang sama pembicaraan mereka adalah tepat. Hal itu menghendaki pekerjaan yang berjangka waktu panjang untuk mengubah sentimen serta angan-angan kemanusiaan, sebagaimana membuat mereka mengakui para sahabatnya yang mati untuk pemimpinnya, dan membujuk diri sendiri hingga mereka menemukan keuntungan dalam menyerahkan diri kepada mereka.
Karena keadaan tunggal ini, tentang seorang dewa yang ditempatkan lain selalu hampir dalam keadaan saling bermusuhan, yang tidak dapat lebih lama mengakui pemimpin yang sama: dua pasukan tentara saling bergulat dan tidak bisa patuh pada pemimpin yang sama. Jadi, kemusyrikan (polytheisme) adalah konsekuensi dari adanya perselisihan nasional. Pada gilirannya kemusyrikan membangkitkan peradaban, dan sifat keagamaan yang tidak membiarkan tumbuh paham lain yang mempunyai kesamaan sifat, seperti yang akan saya perlihatkan sesudah ini.
Kecenderungan yang dibiarkan oleh orang Yunani menemukan bahwa para dewa mereka sendirilah yang patut disembah, bahkan oleh kaum Barbar yang muncul dari mereka yang memandang dirinya sendiri sebagai penguasa alami dari rakyat itu. Tetapi, pada zaman kita sekarang sudah tentu merupakan suatu jenis keadaan yang sangat menggelikan, yang beredar di sekitar permasalahan identitas dewa dari berbagai bangsa: seakanakan Moloch, Saturn dan Chronos dapat menjadi dewan yang sama. Seolah-olah Baal dari Phoenicia, Zus dewa orang Yunani, dan Yupiter dewa orang Latin, dapat pula sama. Dapat pula terjadi, sesuatu yang umum terjadi pada wujud khayalan yang mempunyai berbagai nama.
Mungkin tampak luar biasa bahwa pada zaman Jahiliah, apabila tiap negara mempunyai pemujaannya sendiri serta dewanya sendiri, selayaknya tidak akan ade perang agama. Alasannya ialah, tiap negara mempunyai pemujaan khusus seperti juga bentuk pemerintahannya sendiri, tidak membedakan dewanya dan hukumnya. Perang politik adalah pula perang ilmu ketuhanan. Daerah kekuasaan dari wujud Tuhan mereka, .seperti adanya, dibatasi oleh batasan bangsa itu. Tuhan-tuhan dari suatu negara tidak mempunyai hak atas rakyat lainnya.
Tuhan dari orang Jahiliah sudah tentu bukan Tuhan yang saya cemburukan, sebab mereka membagi dua di antara mereka sendiri; bahkan Musa dan Hebrew menyediakan dirinya pada cita-cita ini, yang kadangkala dalam berkata-kata pun layaknya sebagai Tuhan bangsa Israel. Mereka memandang sebagai tidak ada Tuhan dari bangsa Kanaan, suatu rakyat yang dihempaskan serta dikutuk menjadi rusak beserta negara yang harus dimiliki. Pandangan mereka itu benar, tetapi lihatlah betapa orang Hebrew berbicara tentang dewa-dewa dari rakyat negeri tetangga, dan mereka dilarang menyerang para dewa itu! ’’Milik dari sesuatu yang berhubungan dengan Chamos adalah Tuhan anda”, kata Jephthah pada Ammonites, "apakah itu tidak syah sebagai milikmu? Kita memilikinya di bawah gelar yang sama. Tanah yang kita peroleh pun adalah Tuhan kita yang menaklukannya.”' Hal ini bagi saya tampak mengakui sepenuhnya suatu bagian antara hak Chamos dan hak dari Tuhan orang Israel. Tetapi, ketika orang Yahudi yang ditaklukkan oleh raja Babilon dan kemudian takluk pada raja Siria, dengan keras kepala menolak untuk mengakui adanya Tuhan selain Tuhannya sendiri. Penolakan itu dipandang sebagai pemberontakan terhadap penakluk mereka, dan mengancam mereka dengan pengejaran seperti yang kita baca dalam sejarah mereka serta yang tidak diulangi sampai permulaan agama Kristen.’
Oleh karena itu, tiap agama yang khusus dipersatukan dengan hukum negara yang menentukannya, maka tidak ada jalan untuk memasukkan suatu rakyat ke dalam agama kecuali dengan memperbudak mereka, dan juga tidak ada seorang missionari (utusan Injil) lainnya, kecuali penakluk. Kewajiban untuk mengganti pemujaan seseorang dengan pemujaan lain merupakan hukum yang dikenakan pada mereka yang dikalahkan. Orang harus menaklukkan sebelum mereka mulai masuk ke dalam suatu agama. Sesungguhnya, sedemikian jauh ada orang yang berkelahi karena Tuhannya, seperti yang dimaksud dalam karya Homer, bahwa adalah Tuhan yang berkelahi untuk manusia. Setiap pihak menuntut kemenangan Tuhannya sendiri, dan untuk kemenangan itu mereka membayar kembali kepada Tuhannya dengan memberikan altar tambahan (tempat pemujaan) sebagai imbalannya. Orang Romawi, sebelum mereka mengambil suatu tempat, memanggil Tuhannya dan meninggalkannya. Bila mereka meninggalkan Tarentines dengan para dewanya yang sedang murka karena mereka mempertimbangkannya, bahwa para dewa itu telah ditaklukkan oleh para dewa mereka sendiri sebagai lawannya, dan dipaksa berbakti kepadanya. Sesungguhnya, para dewa acapkali meninggalkan rakyat, dan rakyat pun telah menaklukkan para dewanya dengan cara yang sama pula, dan mereka telah meninggalkan hukum-hukumnya. Suatu karangan bunga yang dipersembahkan kepada Yupiter dari Capitol seringkali merupakan persembahan (upeti) yang mereka kenakan.
Akhirnya, orang Romawi telah memperluas kedua kerajaannya, baik cara pemujaannya maupun Tuhan mereka, dan acapkali pula menerima pemujaan dari Tuhan yang telah dikalahkan dengan memberikan kepada kedua kerajaan itu hak menguasai kota. Rakyat dari kerajaan yang luas itu secara tak sadar menemukan dirinya dengan sejumlah Tuhan dan pemujaan. Di mana pun hampir sama, dan itulah sebabnya bagaimana Jahiliah menjadi agama tunggal yang dikenal di dunia.
Sementara segalanya berada dalam keadaan demikian, Yesus datang mendirikan kerajaan spiritual di dunia dengan memisahkan ilmu ke-Tuhanan dari sistem politik. Tidak lama kemudian membuat negara hanya menjadi satu hingga menyebabkan timbulnya percekcokan isi perut dan tidak pernah berhenti menghasut rakyat Kristen. Gagasan ceritera roman tentang suatu kerajaan dari dunia lain tidak pernah dapat menerobos kepala orang Jahiliah. Mereka selalu mengdnggap umat Kristen sebagai pemberontak, dan hanya diliputi dengan suasana patuh secara menyeluruh yang munafik, mereka mencari kesempatan untuk menjadikan dirinya merdeka serta secara cerdik berusaha menjadi pemimpin untuk merebut kekuasaan. Karena kelemahannya, mereka berpura-pura bersikap hormat. inilah sebabnya para umat Kristen akhirnya dikejar-kejar.
Apa yang ditakutkan oleh orang Jahiliah sebenarnya hanya datang untuk lewat. Seluruh permukaan peristiwa berubah. Umat Kristen yang hina mengubah bahasanya dan segera kerajaan yang didalihkan dari dunia lain menjadi despotisme yang paling kejam di bawah seorang pemimpin yang terpandang.
Akan tetapi karena selalu ada pangeran dan hukum sipil, maka konsekuensi yang disebabkan oleh kekuasaan ganda ini ialah, suatu konflik yang terus menerus dalam wilayah kekuasaannya, yang tidak memungkinkan membuat sistem pemerintah apa pun menjadi baik dalam negara Kristen. Sudah tentu orang tidak pernah dapat mengatakan kepada dirinya, apakah mereka terikat dan patuh pada pemimpin atau pada pendetanya.
Berbagai rakyat, bahkan di Eropa dan sekitarnya, berusaha memelihara atau lebih menegakkan kembali sistem kuno, tetapi tanpa mencapai hasil; semangat umat Kristen menang di atas segala-galanya. Pemujaan suci selalu dibiarkan atau kembali menjadi tidak tergantung pada penguasa, dan tidak mempunyai kaitan apa pun dengan badan negara. Mohammad menunjukkan pandangan yang sangat bijak dan mengaitkan sistem politiknya bersama-sama dengan baik. Sementara bentuk pemerintah yang ditegakkannya hidup di bawah para Khalifah penerusnya, dan bentuk pemerintah itu pun tidak dipecah-pecah. Tidak terpecahnya bentuk pemerintah itu adalah baik. Tetapi, orang Arab yang manjadi makmur, terpelajar serta sopan santun, juga menjadi mewah yang lagak-lagunya bagaikan perempuan, dikejar-kejar oleh kaum Barbar. Pembagian terhadap kedua kekuatan kemudian mulai lagi. Kendatipun pembagian itu kurang nyata di antara umat Islam ketimbang umat Kristen, namun bagaimanapun juga pembagian itu jelas ada yang terlihat perkembangannya dalam mazhab (sekte) Ali, dan di negara-negara seperti Persia yang terus menerus dirasakan dengan sendirinya.
Di antara kita, para Raja Inggris diakui sebagai kepala Gereja, dan para Kaisarnya menerima atau mewarisi sifat-sifat yang sama, tetapi dengan gelar ini mereka lebih dijadikan pendeta ketimbang pemimpin Gereja. Mereka hanya memperoleh hak memelihara Gereja, sebaliknya tidak mempunyai hak untuk mengubahnya. Mereka bukan pembuat undang (legislator), tetapi hanya "putri”. Di mana pun dibentuk suatu badan dari para pendeta.? Badan tersebut adalah pemimpin dan pembuat undang-undang di negaranya. Oleh karena itu ada dua kekuatan, dua penguasa baik di Inggris maupun di Rusia, dan di negara-negara lain.
Dari semua penulis Kristen, ahli filsafat Hobbes adalah satu-satunya yang melihat dengan jelas keburukan serta obat penawarnya, yang berani mengusulkan suatu persimpangan dari dua kepala burung rajawali. Pemulihan lengkap atas persatuan politik yang tanpa dengannya tidak ada negara serta pemerintah yang pernah dapat ditegakkan dengan mantap.* Tetapi, ia mungkin harus melihat semangat yang menguasai umat Kristen akan mengalahkan sistemnya, dan kepentingan kependetaan akan selalu menang atas kepentingan negara. Tidak begitu banyak apa yang tersembunyi dan palsu dalam teori politik ini karena apa yang adil dan benar, menjadikannya bersikap membenci.
Saya percaya, dengan mengembangkan fakta sejarah dari sisi pandangan ini, suatu pembuktian kesalahan yang mudah seharusnya diberikan kepada pendapat yang sangat berlawanan dari Bayle® dan Warburton,’ satu dari mereka di antaranya berpura-pura bahwa agama tidak ada gunanya bagi satu negara hukum. Sementara yang lain sebaliknya menuntut bahwa agama Kristen adalah satu-satunya penyokong yang pasti. Kita hendaknya membuktikan kepada penulis pertama, tidak ada satu negara pun yang pernah didirikan tanpa mempunyai agama sebagai dasarnya. Kepada lainnya pun membuktikan, hukum Kristen pada dasarnya lebih merugikan ketimbang berfaedah bagi konstitusi negara. Gagasan orang banyak tentang masalah keagamaan begitu terlampau samar-samar hingga membuat saya sendiri mengerti dengan jelas, mungkin perlu menetapkan mereka dengan lebih teliti pada msalah yang berkaitan dengan pokok permasalahan saya.
Agama, dalam kaitannya dengan masyarakat, baik yang umum maupun yang khusus, dianggap mungkin untuk dapat juga dibagi ke dalam dua jenis yang berbeda: agama pribadi dan agama warga negara. Yang pertama, tanpa candi, tanpa tempat pemujaan (altar) atau upacara, dan memisahkan seluruhnya dari pemujaan internal secara murni terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta tugas moral yang abadi, adalah agama Xitab Injil yang murni dan sederhana, yaitu ilmu Taukhid yang sebenarnya. Mungkin apa yang secara tepat disebut "hukum ke-Tuhanan yang alami”. Adapun agama warga negara, hanya didasarkan pada negara, memberikan Tuhannya dan para pelindung walinya sendiri, ia memiliki dogmanya, upacaranya dan pemujaan eksternal yang ditentukan oleh hukum. Tetapi bila anda meliwati perbatasan di mana agamanya menang, maka para pengikutnya menganggap tiap manusia sebagai seorang asing, seorang kafir (tak beriman), dan seorang Barbar. Mereka akan mengizinkan untuk memberikan hak dan tugas kepada orang-orang yang hidup dalam lingkungan pemujaan mereka sendiri. Pada awal zaman, kepada semua agama yang demikian itulah kita boleh memberikan nama ”agama sipil”’ atau "hukum ke-Tuhanan positif”.
Masih ada sejenis agama ketiga yang lebih ganjil, yang memberikan kepada manusia dua kitab undang-undang, dua kepala dan dua negara, yang menghendaki dari mereka tugas yang berlawanan, dan mencegah setiap orang serta warga negaranya beriman pada saat yang sama. Agama dari orang lama adalah salah satu dari jenis ini. Demikian pula agama Jepang, dan agama Kristen orang Romawi. Yang terakhir mungkin boleh disebut agama dari para pendeta. Dari situ .dihasilkan sejenis hukum campuran dan tidak cocok untuk kehidupan sosial tanpa suatu nama.
Dari sisi pandangan politik, tiga jenis agama ini semuanya memiliki kekurangan. Terutama yang terakhir adalah jelas jelek, yang akan membuang waktu untuk menunjukkan keburukannya. Apapun yang merusak persatuan sosial sama sekali tidak ada gunanya.
Yang kedua adalah baik dalam hal ia mempersatukan pemujaan Tuhan dengan kecintaan pada hukum, dan dengan membuat negara mereka menjadi tujuan pemujaan warga negaranya. Ia mengajar mereka mengabdi negara, berarti mengabdi pada Tuhan sebagai wali. Ini adalah suatu jenis teokrasi atau negara berdasarkan kekuasaan agama, yang tidak mengizinkan seorang uskup selain ia sebagai seorang pangeran, ataupun pendeta kecuali id seorang hakim. Meninggal untuk negaranya bagi seseorang adalah suatu kesyahidan. Melanggar hukum adalah tindakan kurang hormat pada Tuhan, dan menyerahkan kejahatan pada kutukan umum berarti menghukum dia pada kemurkaan Tuhan: Sacer Estod.
Tetapi, agama ini adalah juga dosa karena ia didirikan dalam kekacauan serta kepalsuan. Ia memperdaya manusia, menjadikan manusia cepat mempercayai orang serta berkhayal, dan menyelimuti penyembahan Tuhan yang benar dengan upacara hampa. Demikian pula ia bersifat jahat bila ia menjadi iri-hati serta lalim; ia membuat suatu rakyat suka melihat darah (membunuh): dan tidak suka membiarkan paham orang lain sampai pada suatu derajat, sehingga mereka tidak bernafaskan sesuatu kecuali nafas pembunuhan, dan membunuh secara besar-besaran menganggapnya telah mengerjakan tindakan suci. Dalam membunuh seseorang tidak mau membungkuk atau menghormati Tuhan mereka. Ini menempatkan rakyat dalam suatu keadaan perang alami dengan semua rakyat lainnya yang terlampau merugikan bagi keselamatan mereka sendiri.
Kini tinggal dipertimbangkan agama umat Nasrani (Kristiani) yang tidak seperti keadaannya sekarang, tetapi seperti dalam Kitab Injil, adalah sangat berlainan. Dengan agama ini — suci, luhur, dan benar — umat manusia, anak-anak dari Tuhan yang sama mengakui semua ras manusia sebagai saudara dan masyarakat yang mempersatukan mereka dengan meleburnya, bahkan tidak pada kematian.
Tetapi, agama ini tanpa kaitan istimewa dengan negara hukum, membiarkan hukum hanya memiliki kekuatannya yang mereka ambil dari mereka sendiri, dan kepada mereka tidak diberikan suatu tambahan kekuasaan. Jadi, salah satu ikatan besar dari masyarakat istimewa masih tetap dibutuhkan. Apa yang masih lebih merupakan akibat, sistem ini justru menarik perhatian mereka jauh dari semua permasalahan dunia ketimbang memberi hati warga negara kepada negara. Saya tidak mengetahui sesuatu yang lebih merusak terhadap semangat sosial.
Dikatakan bahwa suatu bangsa Kristen yang sejati seharusnya membentuk masyarakat yang paling sempurna seperti yang diangankan. Hanya ada suatu keadaan yang sangat meragukan kebenarannya atas anggapan ini, bahwa suatu masyarakat Kristen yang sejati seharusnya bukan suatu masyarakat manusia.
Saya mengatakan lebih jauh, bahwa masyarakat semacam itu, andaikata ia dapat hidup, tidak akan lebih kuat atau tidak akan tahan lama untuk semua penyempurnaannya, yang sudah tentu dikehendaki adanya tali kaitan yang diperlukan, dan dalam kesempurnaannya yang sama tentu akan membuktikan adanya kejahatan yang hendak merusaknya.
Setiap orang akan melaksanakan tugasnya, dan rakyat tentunya akan patuh pada hukum, para kepala yang adil serta moderat, para hakim yang lugas dan yang tidak dapat disuap. Para serdadu akan memandang rendah setiap kematian, bukan kesombongan dan bukan pula kemewahan yang hendak diketahui: kesemuanya adalah sangat baik. Tetapi, marilah kita lihat sedikit lebih jauh.
Agama Kristen adalahsuatu agama yang seluruhnya spiritual, dan diisi hanya dengan permasalahan surgawi. Negara umat Kristen bukanlah dari dunia ini. Adalah benar, ia mengerjakan tugasnya tetap dengan perbedaan yang sempurna seperti hasil pemeliharaan yang baik dan yang tidak baik. Asal saja ia sendiri tidak mengadakan sesuatu pendekatan, tidak penting menurut pendapatnya, apakah urusannya berjalan baik atau tidak. Jikalau negara itu menjadi subur, ia jarang berani menikmati kebahagiaan umum dengan perasaan khawatir kalau-kalau ia hanyut dalam kebanggaan akan kemegahan negaranya. Apabila bangsa itu jatuh menjadi reruntuhan, maka ia akan memberkati tangan Tuhan yang telah memberikan pengajaran kepadanya agar menjadi jera. Sesuatu yang diletakkan begitu berat atas rakyatnya.
Bagi masyarakat yang demikian, agar tetap dapat hidup dalam perdamaian serta memelihara suasana harmonis yang langgeng, semua warga negara tanpa kecuali, umat Kristen harus bertingkah-laku sama baiknya. Tetapi, jika sekiranya terdapat ketidakbahagiaan di antara mereka yakni seseorang yang mempunyai ambisi atau munafik, seperti misalnya seorang Catiline atau Cromwell, maka ia akan membuat pekerjaan yang baik bersama tetangganya yang saleh. Kemurahan hati orang Kristen tidak mudah mengizinkan orang berpikir jahat tentang tetangganya. Bilamana terdapat seseorang seperti yang baru saya sebutkan, dengan cerdik ia harus pandai benar menemukan cara untuk dikenakan pada semua warga negara, dan menarik bagi dirinya kekuasaan umum hingga akibatnya ialah, ia dipandang sebagai seorang yang memang telah ditetapkan dalam kemuliaan hidup, dan seorang yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dihormati: sangat cepat terdapat suatu kekuasaan di sana. Tuhan senantiasa menghendaki agar kekuasaan itu ditaati. Jika titipan seluruh kekuasaan mereka akan disalahgunakan, maka Tuhan akan menggunakan tongkatnya untuk menghukum anak-anak-Nya. Orang seharusnya menciptakan moral yang disegani bagi dirinya untuk menghalau para perampas itu: mengiterupsi ketenangan umum, kekerasan harus digunakan, dan darah ditumpahkan. Semua ini tidak sesuai dengan kesetiaan orang Kristen. Bagaimanapun juga tiba pada pertanyaan, apakah manfaatnya, adakah kita dalam keadaan, bebas atau terbelenggu, selama kita berziarah melalui lembah kesengsaraan? Surga adalah kebahagiaan yang berada dalam lukisan, dan kesabaran hanyalah sarana pendukung untuk mencapainya.
Jikalau negara terlibat dalam suatu perang dengan orang asing, para warga negara berbaris tanpa rasa takut menuju ke medan perang, dan tidak seorang pun dari mereka berpikir untuk melarikan diri. Tetapi kendati melaksanakan tugasnya, mereka tidak mempunyai ambisi untuk menjadi pemenang. Mereka mengetahui lebih baik bagaimana harus mati daripada bagaimana harus menang. Mereka mengatakan, apa artinya bagi kita, apakah kita menang atau dikalahkan. Tidakkah Tuhan dengan segala kebijakan-Nya mengetahui lebih banyak ketimbang kita tentang apa yang tepat bagi kita? Adalah untuk memperkirakan, bahwa musuh yang sombong, giat serta gairah, tentu tidak akan gagal mengambil keuntungan dari kesabaran dan keberanian yang saleh! Marilah kita sesaat menganggap rakyat yang patuh dan sabar ini, yang terlibat dalam suatu pertengkaran dengan salah seorang dari rakyat yang murah hati, tertarik oleh rasa cinta yang meluap-luap pada kejayaan dan pada negara; menganggap republik orang Kristen ini bertempur dengan Sparta atau Roma; orang Kristen yang saleh akan dikalah- kan, dihancurkan serta dirusak sebelum mereka mempunyai waktu untuk berkumpul; atau mereka harus berhutang budi atas keselamatannya karena penghinaan musuh terhadap mereka. Menurut pendapat saya, suatu sumpah halus yang diambil oleh para serdadu Fabius yang tidak bersumpah untuk menang atau mati, tetapi bersumpah untuk datang kembali sebagai pemenang, maka ini berarti bahwa mereka memegang teguh pada sumpahnya. Umat Kristen tidak akan pernah mengambil sumpah demikian. Mereka akan berpikir hal itu mengganggu Tuhan.
Tetapi saya merasa berdosa atas suatu kekhilafan ketika saya berbicara tentang suatu republik umat Kristen, sebab tiap istilah yang saya gunakan mengabaikan istilah lainnya. Agama Kristen hanya mengkhotbahkan perbudakan dan ketergantungannya. Semangatnya terlalu baik bagi tirani untuk tidak selalu mengambil keuntungan dari padanya. Umat Kristen yang sejati dibentuk untuk menjadi budak, dan mereka sadar akan hal ini sehingga mereka sulit untuk menghindarkan diri dari perbudakan. Dalam pandangannya, hidup yang singkat ini terlalu kurang penting untuk memberikan suatu pemikiran kepadanya.
Telah diceriterakan kepada kita, bahwa pasukan Kristen adalah istimewa. Saya menyangkalnya. Di manakah kita dapat menemukan mereka? Bagi saya, saya tidak mengetahui sesuatu tentang pasukan Kristen. Jika saya diminta untuk mengenang Perang Salib, maka saya akan memberanikan diri untuk menyatakan pendapat tanpa memperdebatkan keberanian para pejuang Perang Salib yaitu, sebegitu jauh sebagai pasukan Kristen, mereka sesungguhnya adalah serdadu-serdadu para pendeta, dan warga negara Bereja yang bertempur untuk negara spiritual, yang dengan beberapa peralatan atau lainnya gereja menyerahkannya hanya untuk sementara waktu. Dalam kenyataannya, apabila kita mempertimbangkan permasalahannya, hal ini akan kembali pada Jaihiliah: jika Injil tidak mendirikan suatu negara agama, maka semua perang suci di antara umat Kristen tidak mungkin terjadi.
Di bawah kaisar Jahiliah para serdadu Kristen diperbedakan karena keberaniannya, seperti para penulis Kristen meyakinkan kita; dan saya percaya demikianlah faktanya. Ia dalah hasil perlawanan terhormat pasukan Jahiliah. Ketika para kaisar menjadi Kristen, semangat perlawanan menjadi redup dan akhirnya hilang sama sekali; dan Salib Kristus mengusir burung rajawali dari padang kejayaan, keberanian orang Romawi pun tiada lagi.
Dengan membiarkan pertimbangan politik ini, marilah kita kembali pada masalah hak dan meletakkan semua prinsip yang telah ditetapkan pada masalah yang penting itu. Hak yang oleh kesepakatan sosial (social compact) diberikan kepada penguasa sebagai permasalahan pokok tidak meluas lebih jauh ketimbang yang diperlukan bagi kebaikan masyarakat.
Oleh karena itu tidak ada seorang penguasa dapat mempunyai hak untuk mengawasi sedikit lebih jauh pendapat tentang berbagai masalah daripada selama pendapat itu mungkin mempengaruhi masyarakat. Iniadalah penting bagi negara, bahwa tiap warga negara hendaknya mempunyai satu agama yang akan mengatur agar ia mencintai tugasnya. Tetapi dogma agama itu tidak menarik perhatian baik negara maupun anggotanya, kecuali sejauh mereka mempengaruhi moralitas dan tugas itu. Siapa yang mengakui dogma itu diharapkan untuk menyampaikannya kepada orang lain. Untuk bagian lainnya, tiap orang mungkin menyajikan pendapat yang ia sukai tanpa ada kaitannya dengan penguasa untuk mengindahkan mereka. Sebab tanpa memiliki kekuasaan di dunia yang lain, apapun nasib bawahannya dalam kehidupan yang akan datang, bukanlah urusan penguasa. Asal saja pada waktu sekarang ini mereka adalah warga negara yang baik. Karena itu perlu ada suatu pernyataan ke-imanan warga negara yang murni, dan artikel mengenai pernyataan itu menjadi urusan penguasa yang berkewajiban mengatumya. Hai itu tidak persis sebagai dogma agama, melainkan sebagai perasaan suka bergaul atau keramahan. Tanpa keramahan tidak mungkin dapat menjadi seorang warga negara yang baik, atau seorang bawahan yang setia.? Penguasa tidak mempunyai kekuasaan untuk mewajibkan agar orang percaya kepada mereka, tetapi dapat membuang dari negara itu barang siapa yang tidak percaya pada mereka. Tindakan itu dilakukan terhadap seseorang bukan sebagai orang yang tidak beriman, tetapi sebagai seorang yang tidak suka bergaul, orang yang tidak mencintai hukym dan keadilan secara ikhlas, dan jika keadaan selayaknya menghendaki, ia tidak dapat mengorbankan hidupnya pada tugasnya sebagai seorang warga negara. Tetapi kalau seseorang, setelah ia dengan terbuka menyetujui atau menandatangani dogma ini, akan bertingkah-laku seolah-olah tidak mempercayainya, maka ia harus dihukum mati. Ia dinyatakan berbuat kejahatan yang paling besar dan menipu dihadapan hukum.
Dogma dari agama sipil harus sederhana, sedikit dalam jumlahnya dan ditetapkan secara persis tanpa suatu tafsiran. Kehadiran Tuhan yang perkasa, bijak dan murah hati, yang melihat sebelumnya serta melengkapi kehidupan yang akan datang, kebahagiaan bagi mereka yang lurus, hukuman bagi mereka yang jahat adalah kesucian dari kontrak sosial dan hukum. Inilah dogma yang positif. Dogma yang negatif akan saya pisahkan menjadi satu — sifat yang tidak menenggang paham lain (intoleransi) yang hanya cocok dengan pemujaan yang telah kita singkirkan.
Orang yang membuat perbedaan antara intoleransi sipil dan intoleransi menurut agama (teologi), menurut pendapat saya adalah salah. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Adalah tidak mungkin hidup dalam keadaan damai dengan orang-orang yang menurut pertimbangan kita, mereka adalah orang yang terkutuk. Mencintai mereka berarti membenci Tuhan yang menghukum mereka. Di mana pun intoleransi menurut Teologi itu diizinkan adalah tidak mungkin baginya untuk tidak mendatangkan akibat masalah kewarganegaraan tertentu. Secepatnya akibat itu datang, maka penguasa berhenti berkuasa bahkan dalam urusan duniawi para pendeta sejak saat itu adalah pemimpin mutlak. Sehingga para raja sendiri tidak lebih hanyalah pegawai mereka.
Bahwasanya kini tidak ada lagi atau tidak bisa ada lagi suatu agama nasional (eksklusif), semua agama yang bertenggangrasa pada agama lain, sebaliknya harus diberi tenggang-rasa pula, sepanjang dogma mereka tidak membuka sesuatu yang berlawanan dengan tugas seorang warga negara. Tetapi orang yang berani berkata, "di luar gereja tidak ada keselamatan’’, selayaknya diusir dari negeri itu, kecuali jika negara tersebut adalah gereja dan penguasanya adalah seorang uskup. Dogma semacam itu hanya sesuai dengan pemerintahan yang bersifat keagamaan. Dalam semua pemerintahan lainnya dogma itu terlalu jahat. Alasan yang sama, yang dikatakan membuat Henry IV memeluk agama Romawi adalah satu-satunya yang selayaknya membuat setiap orang yang jujur menolaknya, dan teristimewa tiap penguasa yang cakap mempunyai alasan.
« Prev Post
Next Post »