Pada tulisan sebelumnya dibahas tentang pengertian dan makna Ilmu Kalam di kalangan kaum teolog Muslim. Lalu dikaji juga tentang bagaimana formula i'tokad atau keyakinan kaum salaf. Pada tulisan berikut, merupakan kelanjutan dari bahasan sebelumnya, lebih fokus pada 2 tema, yaitu pertalian filsafat dalam mencari kebenaran keyakinan (i'tikad), kedua mencoba menelisik tentang Jabariyah dan sifat-sifat Tuhan...
Kira-kira sekitar zaman pemerintahan khalifah ke IV timbullah suatu cara baru dalam alam pikiran orang Islam, yang dinamakan filsafat atau mencari kebenaran, termasuk mencari kebenaran sekitar Tuhan dan sifat-sifatnya.
Berpikir secara filsafat ini sudah terdapat dalam kalangan orang-orang Persi, orang-orang Yunani dan orang-orang Romawi bahkan mereka sudah pernah mencapai kemajuan yang jauh dalam ilmu filsafat ini.
Di Irak sudah berdiri banyak sekolah-sekolah yang mengajarkan filsafat itu, sebagaimana juga di Persia sudah banyak orang membicarakan, mempelajari dan mengajarkan ilmu filsafat itu baik di sekolah-sekolah maupun di luarnya, jauh sebelum lahir Islam. Orang-orang Arab banyak datang ke sana mempelajari ilmu ini, seperti Hari bin Kaldah anaknya An-Nazar.
Sesudah lahir Islam dan agama ini tersiar di sana, orang-orang Islam mendapat keadaan yang demikian, lalu mempelajarnya. Keadaan ini terdapat juga di Syria, dimana penduduknya juga giat mempelajari filsafat, yang kemudian diikuti oleh orang-orang Islam, Ibn KhalKan menceritakan, bahwa Khalid bin Yazid bin Mu'awiyah adalah orang Quraisy yang sangat banyak mengetahui tentang lapangan ilmu ini. la ahli tentang ilmu kimia, ilmu tabib, dan seorang yang berpembawaan serta berkeyakinan dalam kedua fan ini. Banyak masalah-masalah yang dikupasnya dalam bidang ilmu pengetahuan ini, menunjukkan kecerdasan dan keahliannya. la banyak mengambil ilmu ini dan prakteknya dari seorang pendeta yang bernama Marianus Ar-Rumi. Diantara tiga buah karangannya yang penting masih terdapat satu, dimana dibicarakan banyak tentang Marianus itu, teori-teorinya dan rumus-rumusnya.
Dengan masuknya ilmu filsafat ini ke dalam kalangan kaum Muslimin, banyak persoalan-persoalan Islam ditinjau kembali dari sudut filsafat. Dengan demikian tertinjau pula ilmu-ilmu yang ada sangkut pautnya dengan aqidah atau i'tiqad dan keimanan Islam. Maka banyaklah ulama-ulama yang sudah ahli dalam filsafat membahas kembali sifat-sifat Tuhan yang tersebut dalam Qur'an, apakah Ia bukan zat atau ia menjadi satu dengan zat Tuhan, apakah kalam itu sifat Tuhan, apakah Qur'an itu makhluk, dibikin atau dicitptakan atau qadim memang sudah ada pada azalnya. Lalu dikemukakan oranglah bermacam-macam pokok pembicaraan yang dibahas, dari satu sudut dengan memakai dalil agama, dari lain sudut dengan menggunakan cara berpikir menurut ilmu filsafat.
Ditonjol-tonjolkan kembali pembicaraan tentang qadar, sampai kemana berpengaruh kepada kemauan manusia dan perbuatannya, apakah manusia yang berbuat sesuatu puas menurut kehendaknya atau ia hanya berbuat digerakkan oleh qadha dan qadar Tuhan, sehingga manusia itu hanya sebagai bulu ayam yang diterbangkan angin, bergerak dengan tidak mempunyai kemauan sendiri.
Baik terdorong oleh keinginan hendak mempertahankan kemurnian Islam baik digerakkan oleh hasrat hendak menyiarakan ajaran-ajaran suci daripada agama itu, banyak sekali ulama-ulama bekerja dengan giat dalam menyeselaikan masalah-masalah sekitar i’tikad. Maka terjadilah dalam zaman itu banyak sekali mazhab-mazhab dan aliran pikiran yang berdasarkan i’tikad, seperti Jabariyah, Mu’tazilah, Murji’ah, Asy’ariah, Maturidiyah, Hambaliyah, yang masing-masing berjuang mati-matian untuk mempertahankan pendirian-pendiriannya.
Sudah kita katakan, bahwa berpikir secara filsafat ini sudah terjadi sejak Thales dalam masa Yunani dan sejak Zarathusthra di Iran, jauh sebelum lahir Islam.
Di Iran Zarathusthra tercatat sebagai pencipta agama dan filsafat mula pertama, yang pernah mempengaruhi alam pikiran ketuhanan di Iran sekitar 1000 atau 1200 th. sebelum Masehi. la terkenal juga dengan nama Zoroaster atau Zerdusht. la termasuk keluarga Spitama, lahir di Bactria atau di Media, di tepi sebuah sungai, yang pada suatau kali banjirnya hampir membahayakan jiwanya, jika ia tidak ditolong oleh yang dinamakannya Ahuramazda. yang kemudian mewahyukan ajaran-ajaran ketuhanan yang maha esa kepadanya.
Ajarannya berdasarkan keyakinan pertentangan dua kekuatan, biasa disebut keyakinan maniyu, yang bersifat membangun dan merusak. Tiap benda dalam alam ini tidak terjadi sendiri, tetapi ada hubungannya antara satu sama lain.
Ahura merupakan pohon pencipta, lengkap, tidak berubah-ubah, pembina langit, pencipta seluruh alam. Di dalam kitab sucinya Avesta disebutkan, bahwa kedua pusat kekuatan dalam kejadian dan perubahan alam ini ialah, pertama cahaya, yang diciptakan oleh Ormuzd dan malaikat-malaikatnya Amshaspends, kedua kekuatan perusak yang merupakan kegelapan diadakan oleh Ahriman atau Ahuramazda serta dewa-dewanya. Api sebagai lambang kesucian adalah penjelmaan Ormuzd. Kejayaan dari kekuatan itu hanya dapat diperoleh, kalau manusia itu dalam tindakannya benar. suci kuat memegang agamanya dan bersungguh-sungguh mengerjakan segala urusan pertanian.
Pada waktu Mani berumur 25 th., ia menyatakan dirinya sebagai Mujaddid, pembaharu daripada agama Zoroaster. Pandangan filsafatnya tidak lagi berdasarkan pertentangan dua kekuatan cahaya dan kegelapan (Zarfani), tidak pula dengan ajaran, bahwa jasad manusia itu terjadi karena Ahuramazda (Avestan) tetapi dunia itu tidak dijadikan oleh Tuhan hanya oleh setan, yang menyebabkan banyak anasir-anasir kejahatan dalam diri manusia. Oleh karena itu Mani menganjurkan, supaya manusia sendirilah yang harus berusaha dan berikhtiar melenyapkan hawa nafsu yang dapat merusakkan dirinya, meninggalkan penyembahan berhala, meninggalkan kepalsuan dalam kata-kata dan perbuatan, meninggalkan nafsu tamak dan serakah, meninggalkan bunuh membunuh, dll. meninggalkan segala sifat yang buruk dengan usaha dan ikhtiar manusia sendiri.
Sebagaimana di Timur filsafat ketuhanan ini dilakukan orang di Yunani, yang ahli-ahli pikirnya, seperti Thales, Anaximandros dan Amaximenes, turut memikirkan apa yang menjadi sebab ada dan tiada (wujud dan adam), sebab hidup dan mati alam serta makhluk ini.
Thales (625-545 seb. M.), menetapkan bahwa air yang cair itu adalah pokok pangkal kejadian makhluk. Ia menetapkan bahwa air itulah pangkal wujud. Anaximandros (610-547 seb. M.), mengambil kesimpulan, bahwa yang menjadi zat asal pencipta alam itu ialah api. Ia menganggap juga, bahwa jiwa yang menjadi dasar hidup itu serupa dengan angin atau udara. Anaximenes (585-528 seb. M.) menerangkan bahwa zat pencipta itu selain dari pada hawa atau udara, juga air dan tanah. Dengan demikian terkumpullah teori Tuhan, bahwa zat pencipta itu ialah air, api, angin dan tanah. Dalam pada itu datang seorang ahli filsafat Yunani yang lain, Herakleitos (540-480 seb. M.), menerangkan, bahwa zat asal pencipta itu ialah logos, yang diartikan akal pikiran yang benar, yang menguasai hukum alam dalam segala perubahannya. Sebagaimana logos menguasai alam, begitu juga perbuatan manusia akan dikuasai oleh akalnya (ratio).
Sesudah zaman kekacaun filsafat ini datanglah Xenophanes (580-470 seb. M.), yang berpendapat bahwa Tuhan itu ada (wujud), tidak banyak melainkan satu (wahdaniyah). Zeno (490. seb.M.) mengatakan, bahwa wujud itu adalah pencipta yang tidak mempunyai ruang untuk tempatnya, sedang Melissos (444-441 seb. M.) menegaskan bahwa zat pencipta itu mestilah kekal atau baqa. tidak berbatas, satu tunggal, selalu sama, tidak bergerak dan tidak merasa susah. Dalam ajaran Pythagoras diterangkan, bahwa manusia itu asalnya Tuhan. jiwa itu adalah penjelmaan dari pada Tuhan, yang jatuh ke dunia karena berdosa, dan akan kembali ke langit ke dalam lingkungan Tuhan semula, apabila sudah habis dicuci dosanya. Oleh karena itu Pythagoras menganjurkan, bahwa manusia tidak cukup membersihkan hidup jasmaninya saja, tetapi juga hidup rohaninya, dengan zikir atau ingat kepada Tuhannya. Menurut keyakinan kaum Pythagoras setiap waktu manusia itu harus menanggungg jawab dalam hatinya tentang perbuatannya sehari-hari. Hidup didunia ini menurut Pythagoras adalah persediaan buat hidup dakhirat.
Semua aliran ketuhanan itu, baik yang berasal dari Iran dan India maupun yang berasal dari Yunani, ataupun yang kemudian terdapat dalam agama Masehi dan Islam, menerangkan bahwa manusia itu harus menempuh jalan yang bertingkat-tingkat dalam kehidupan jasmaninya dan rohaninya untuk mencapai puncak tujuannya. jalan bertingkat-tingkat itu dalam agama Budha, disebut yana, dalam agama Keristen dan Islam disebut martabat, yang tidak lain maksudnya ialah pada tingkat yang tertinggi dan terakhir itu menjadi satu atau kembali kepada Tuhan.
Keadaan yang semacam itu kita lihat dalam kehidupan Injil antara Paulus dan Johannes, dalam Islam seperti yang terjadi dengan Imam Ghazali, dalam abad pertengahan, seperti yang terjadi dengan Bernardus dari Clairvaux dan Thomas Aquino, dalam masa pembaharuan Masehi seperti Luther. Orang Katolik mengajarkan ikhwal-ikhwal yang tumbuh dalam jiwa manusia, tidak lain dari pada percikan limpah kurnia dari yang maha murah. Keyaknan yang sungguh-sungguh yang mengatasi ukuran hidup Zuhud biasa, menurut paham Katolik dapat membawa seorang manusia kepada pertemuan lengkap dengan orang-orang yang sudah diresapi Tuhan (goddelijk menskhen), seperti Jesus, sehingga orang yang telah dilhami seperti itu, akan berkata: Bukan saja yang hidup, tetapi khristus yang hidup dalam diri saja.
Paham-paham ketuhanan seperti ini kemudian ditambah pula dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang kitab-kitabnya banyak dipelihara dan disalin ke dalam bahasa Arab serta tersebar luas. Ajaran-ajaran itu menguatkan pendirian-pendirian adanya (wujud) Tuhan. Ajaran neo Platonisme, yang terjadi beberapa waktu kemudian sesudah Plato, menerangkan, bahwa zat yang menguasai segala sesuatu dalam alam ini satu, dan merata (muhid). Satu atau wujud itu harus dianggap sebagai Tuhan, yang mempunyai 2 sifat, pertama immanent, berada dalam zat alam atau makhluk, karena jika tidak demikian, tidaklah dapat dunia dan makhluk ini. Kedua trancendent, berada diatas segala bayangan panca indra, diatas dan diluar alam serta makhluknya, karena alam dan makhluk dibatasi oleh waktu dan ruang, sedang zat pencipta itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Paham-paham ini sangat menguntungkan ahli-ahli filosof Islam dalam mempertahankan pendiriananya, dan menggunakannya dimana perlu untuk kesucian ajaran-ajaran agama. Kedua paham ini terdapat dalam Qur’an. Pengertian yang pertama diantara lain terdapat dalam surat As-Sajdah, ajat 54, yang berbunyi: ..Ketahuilah, bahwa mereka itu selalu ragu-ragu tentang menemui Tuhannya. Bukanlah Allah itu meliputi seluruh sesuatu yang ada.” (Qur’an XLI: 54). Pengertian yang kedua diantara lain terdapat dalam surat Al-Tin ayat 4—8: "Kami jadikan manusia itu dalam bentuk yang sangat indah, kemudian kami kembalikan kepada tingkat yang paling dibawah, kecuali mereka beriman dan beramal saleh, merekalah yang akan mendapat ganjaran tidak terbatas, Apakah masih ada alasan bagimu untuk mendustakan agama, bukanlah Allah itu hakim seadil-adilnya”. (Qur’an XCV: 4—8).
« Prev Post
Next Post »