Yang dinamakan Salaf ialah mereka yang hidup zaman Nabi, zaman Sahabat dan zaman Thabi’in daripada orang-orang Muhajirin dan Anshar. Dalam tiga kurun ini orang-orang Islam itu hidup dengan keyakinan yang teguh, bersatu dalam persaudaraan dan cinta mencintai, iKhlas dalam beribadat dan beramal, kuat berjihad, hidup sederhana dalam pakaian, makan, minum dan tempat tinggal, tidak pernah berselisih paham, sedikit berbicara banyak berbuat sesuatu untuk kepentingan Islam khususnya dan prikemanusiaan umumnya terutama kuat imannya dalam mencintai Allah dan Rasulnya, yang ajarannya merupakan satu-satunya pedoman hidup dan suluh dalam keyakinannya.
Orang-orang ini memetik pokok-pokok keyakinannya daripada ajaran-ajaran Qur’an, mengakui dan menagungkan apa yang layak bagi zat Tuhan, berdaya upaya menyingkirkan apa yang merendahkan kedudukan zat yang mulia itu. Oleh karena itu tidak pernah ada terdapat perselisihan dalam kalangan mereka mengenai i'tikad atau keyakinan.
Maqrizi menerangkan, bahwa tatkala Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul untuk semua manusia, ia menerangkan tentang sifat-sifat Tuhan itu, sebagaimana yang diterangkan oleh Tuhan sendiri dalam Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepadanya. Orang-orang Arab, baik yang berasal dari kota atau yang datang dari desa kepadanya tidak memperbanyak pertanyaan mengenai sesuatu tentang zat dan sifat Tuhan itu, tetapi yang banyak mereka tanyakan ialah perkara-perkara yang bertali dengan pelaksanaan agama, seperti sembahyang, zakat, puasa dan haji, dan perkaraperkara yang lain yang berhuhungan dengan perintah dan larangan Tuhan. Begitu duga mereka menanyakkan sesuatu tentang keadaan hari kiamat, sorga dan neraka.
Jika mereka pernah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang sifat-sifat ketuhanan yang berbelit-belit, tentu banyak hadis-hadis menceritakan hal ini disamping hadis-hadis yang sekian banyaknya kita dapati mengenai hukum halal dan haram, mengenaì anjuran amal-amal dan meninggalkannya, mengenai hari kiamat dll. sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab sahih dan masnad hadis yang besar-besar dan banyak itu.
Apa yang diterangkan oleh Nabi mengenai zat dan sifat Tuhan mereka terima dan jadikan pokok-pokok ìman dan keyakinannya. Mereka berdiam diri dari pada membongkar-bongkar sifat-sifat Tuhan, apakah ia merupakan zat Tuhan atau sifat perbuatannya. Mereka menganggap semua sifat-sifat itu adalah sifat-sifat Tuhan yang azali, seperti ilmu, kodrat, hayat, iradat, sama', bashar, kalam, jalal, ikram, jud, in'am, 'izzah, uzmah, dan menyalurkan keterangan itu sebagai suatu saluran yang bulat untuk mempersatukan umat dalam keyakinannya. Demikian kata Maqrizi.
Memang demikianlah keadaan orang-orang dalam masa Salaf itu. Perpecahan tentang iman dan i'tikad terjadi dalam masa-masa sesudah tiga kurun terbaik itu, sebagaimana yang pernah disebutkan keadaannya dalam Qur'an: ...Tetapi mereka ada yang mempunyai keragu-raguan dalam hatinya, mereka mengikutí apa yang merupakan syak wasangka itü dan mengumumkannya dengan maksud mengadakan fitnah, lalu mereka mengadakan bermati-matian ta'wíl, sedang tidak ada yang betul-betul' dapat memahami ta'wil itu kecuali Allah sendiri. Orang-orang yang banyak ilmunya hanya berkata :'kami percaya semuanya itu datang dari pada Tuhan kami. Tidak ada yang dapat menyetujuinya kecuali orang-orang yang mempunyai paham yang luas.
Wahai Tuhan! Janganlah engkau mengisi keragu-raguan lagi dalam hati kami, sesudah engkau mengisinya dengan petunjuk, dan curahkanlah kepada kami rahmat-Mu karena engkau sangat pemurah' (Qur'an).
Sesudah Islam tersiar luas ke daerah-daerah yang pemeluknya menganut agama-agama tua, terjadilah perubahan dalam sikap menghadapi i'tikad Salaf itu. Banyak pemeluk-pemeluk Islam yang berasal dari agama-agama lain, meskipun mereka sudah resmi menjadi Muslim, dalam cara berpkir masih terikat kepada keyakinan-kejakinnan lama. Terutama orang-orang Majusi dan orang orang Musyrik, yang untúk maksud tertentu menganut agama Islam, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai zat dan sifat Tuhan, yang menunjukkan keragu-raguaninya. Persoalan kadar, kekuasaan Tuhan yang penuh atas gerak gerik manusia, yang pernah menjadi perdebatan dalam agama-agama lama itu, dikemukakannya dalam kalangan kaum Muslimin untuk menanam bibit pecah belah kembali mengenai iman. Siasat mereka telah dibayangkan juga dalam Qur'an : "Mereka yang musjrik itu akan berkata: "jika Tuhan menghendaki, tentu kami tidak menjadi musyrik, baik diri kami sendiri, baik orang tua kami. Kami tidak berkeberatan menghadapi kehendak Tuhan itu. Demikianlah mereka melahirkan dustanya, sehingga mereka merasakan balasan kami. Tanyakan kepada mereka itu, apakah betul-betul mereka ada pengetahuannya tentang itu, yang dapat mereka kemukakan atau mereka hanya menuruti syak wasangka saja. Semua kamu hanya berdusta belaka" (Qur'an).
Alusi menerangkan dalam tafsirnya, bahwa orang-orang musyrik itu dalam mengemukakan uraiananya seperti tersebut dalam ayat itu mempunya kehendak dan keinginan, untuk membenarkan tindakannya, untuk menerangkan, bahwa mereka menjembah berhala itu dengan kehendak atau kadar Tuhan yang tidak dapat disingkirkan oleh manusia, dan gunanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Demikianlah kita lihat, bahwa masalah kadar ini dikemukakan oleh orang-orang yang musjrik itu sebenarnya bukan untuk mengetahui makannya, tetapi untuk menjadikan kadar Tuhan itu sebagai pembuka pintu baginya berbuat sesuatu yang keji dengan dalih digerakkan pada azali oleh kehendak Tuhan atas usahanya atau perbuatannya.
Oleh karena itu tidak terdapat perdebatan terhadap zat Tuhan yang berlarut-larut karena Tuhan dan Nabinya mencegah hal itu. Islam menghadapi orang-orang kafir dan munafik dengan segala kekerasan, Nabi Muhammad melarang memperdalam pembicaaraan tentang masaalah qadar. Sementara itu dengan perantaraan jibril Nabi menerima tugas untuk menerangkan kewajiban-kewajiban mengenai it'ikad seperti yang tersebut dalam rukun iman: Percaya kepada Allah, percaya kepada malaikatnya, percaya kepada kitab-kitabnya, percaya kepada rasul-rasulnya, percaya kepada hari akhirat dan percaya kepada qadar baik dan buruknya berasal dari Tuhan semata-mata. Pengakuan terhadap qadar tidak lain artinya daripada tunduk kepada Tuhan, mengaku ilmunya melingkupi segala sesuatu, dan takdirnya pada azali berjalan hikmahnya kepada semua ciptaannya. Nabi menganjurkan untuk beriman dengan semua itu, tetapi melarang membicraakan mendalam dan berlarut-larut, kerana memperdalami pembicaaraan tentang itu dapat membawa seseorang kepada pikiran yang sesat dan tergelincir.
Tatkala Nabi sudah wafat dan orang-orang Islam bergaul dengan bebas dengan penganut-penganut agama lama, yang telah pernah menghebohkan masalah qadar itu, mulailah terjadi perdebatan dan pembicaraan yang meluas dalam kalangan umat Islam. Orang Islam dimasa belakangan itu tidak lagi menyetujui anjuran yang dikemukakan Nabi untuk menghindarkan pembicaraan yang mendalam. Orang Islam tidak memperhatikan lagi, bagaimana sikap sahabat-sahabat menghadapi masalah ini. Diceriterakan, bahwa seorang pencuri dihadapkan kepada Umar bin Chattab. Umar bertanya: "Mengapa engkau mencuri?” jawab pencuri itu: "Sudah ditakdirkan Tuhan atasku”. ‘Umar menjalankan hukuman potong tangan, kemudian ditambah lagi dengan hukuman memukul dengan cambuk, Ditanyakan orang kepada Umar, mengapa ia menjatuhkan dua kali hukuman kepada pencuri itu. Umar menjawab: "Potong tangan karena mencuri, dan cambuk karena ia mendustai Tuhan dengan qadarinya”.
Pernah mengaku beberapa orang yang hendak membunuh Usman bin Affan, bahawa bukan mereka yang akan membunuhnya, tetapi Tuhan, yang menerangkan bahwa bukan manusia yang menembak tetapi Tuhan yang menembak. Usman berkata: "Engkau dusta. jika Tuhan yang menembak, tembakan itu tidak akan mengenai daku”.
Juga dari tindakan sahabat kita melihat, bahwa perbuatan manusia tidak semuanya dapat dianggap akibat qadar Tuhan. Dan sahabat-sahabat itu menjatuhkan hukuman atas usaha dan ikhtiar manusia yang berbuat salah, dan melemparkan kesalahan itu kepada qadar yang konon sudah ditetapkan Tuhan.
Ali bin Abi Thalib pernah menerangkan masalah qadha dan qadar ini demikian: "Tuhan menyuruh berbuat dengan kemauan yang bebas dan melarang menyerah diri dalam sesuatu keadaan, menekankan untuk mengerjakan sesuatu yang mudah, tidak membolehkan berbuat ma’siat karena paksaan, tidak boleh menta’ati sesuatu yang atas perintah jahat, ‘Tuhan tidak mengirimkan Rasul ke muka bumi ini untuk bermain-main, Tuhan tidak menjadikan langit dan bumi serta segala sesuatu diantaranya percuma, dan sia-sia. Hanya orang kafirlah yang berpendapat sebaliknya’, Kemudian ia membaca ayat Qur’an yang berbunyi: "Tahanmu telah meletakkan qadhanija kepadamu, bahwa kamu tidak boleh menyembah selain daripadanya” (Qur’an).
Bertalian dengan qadar ini timbulah persoalan hukuman atas orang yang berbuat dosa besar. Perdebatan ini terjadi dalam masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Pertanyaan ini ditimbulkan oleh golongan aliran yang bernama Khawarij, tatkala Ali berdamai dengan musuhnya dengan cara tahkim kepada Qur’an. Orang-orang Khawarij berpendirian, bahwa orang yang beriman itu tidak diperkenankan menyerah kepada orang-orang yang telah menentang hukum Islam.
Pertanyaan yang timbul itu berbunyi, apakah orang yang berbuat sesuatu dosa besar masih mukmin atau tidak mukmin, apakah orang itu akan tetap selama-lamanya disiksa dalam neraka pada hari kiamat atau kemudian beroleh ampunan Tuhan dan menjadi orang beriman kembali. Masalah ini telah menimbulkan kehebohan yang demikian besarnya, sehingga merupakan pertikaian paham ulama yang maha dahsyat. Orang menganggap, bahwa masalah ini merupakan pokok persoalan yang ditimbulkan aliran Mu’tazilah.
« Prev Post
Next Post »