Pokok-pokok pembicaraaan yang merupakan pertikaian paham dalam aliran-aliran yang tumbuh itu pertama ialah mengenai Sifat Tuhan, apakah sifat itu zat Tuhan sendiri atau ciptaan yang terlepas daripada zat. Jika ciptaan sifat itu terlepas daripada zat masih layaklah Tuhan itu dikatakan satu tunggal (wahdaniyah). karena zat dan sifat itu sudah terpisah jadi dua yang berlainan, yaitu zat Tuhan yang qayim, tiada berawal dan berpermulaan dan sifat Tuhan yang hadis, yang berpermulaan karena dhciptakan baharu kemudian.
Oleh karena itu Jabariyah tidak ingin memberikan sesuatu sifat kepada Tuhan, tidak ingin memberikan sifat Tuhan itu hidup (hayyun), tidak ingin memberi sifat Tuhan itu mengetahui (ilmun), serta mengatakan, bahwa alasan tidak mau memberikan sifat Tuhan itu, karena dapat membawanya kepada baharu, berpermulaan atau hadis. Begitu juga dengan sifat-sifat Tuhan yang lain seperti kalam berbicara, qadar atau qudrat, berkuasa, iradah berkehendak, dan lain-lain.
Paham Jabariyah ini ditentang oleh banyak ulama-ulama Islam, diantarannya Hasan Basri dan Ibn Abas, diantara lain, dikata Ibn Abas ini menceriterakan, bahwa pada suatu hari tatkala ia duduk bersama dengan ayahnya, datang seorang laki-laki seraya berkata: "Hai Ibn Abas! Ini ada segolongan manusia, yang mengaku, bahwa mereka mengerjakan sesuatu ma’siat atas gerak yang ditakdirkan Tuhan”. jawab Ibn Abas: "Jika kuketahui golongan itu hadir disini akan kucekik lehernya sampai mati. Jangan sekali-kali engkau katakan, bahwa engkau telah ditakdirkan dengan kekuasaan Tuhan (ajbara) berbuat ma’siat, dan jangan engkau katakan juga Tuhan tidak mengetahui apa yang dikerjakan hamba-Nya”. (Al-Munijah wal Amal).
Hasan Basri pernah berfatwa di Basrah dihadapan orang-orang Jabariyah: "Barangsiapa tidak percaya dengan qada dan qadar Tuhan, jadi kafir, barangsiapa mengelak dan dosanya kepada Tuhan, jadi kafir. Tuhan tidak dita'ati karena paksaan, dan manusia tidak berbuat ma'siat karena terpaksa' (A-Mazahibul Islamiyah).
Hasan Basri menerangkan, bahwa seorang dari Persia datang kepada Nabi dan berkata: "Aku lihat banyak di Persia orang mengawini anak dan saudara perempuannya. Jika ditegur orang, mereka menjawab, bahwa yang demikian itu sudah terjadi dengan qada dan qadar Tuhan. Nabi berkata: "Di kelak kemudian hari akan terdapat di kalangan umatku orang-orang yang berkata demikian. Mereka adalah golongan Majusi dari umatku".
Jabariyah adalah suatu aliran yang dituduh didirikan oleh orang- orang Yahudi karena akan merusakkan keyakinan Islam dari dalam. Paham ini luas disiarkan orang dalam zaman sahabat dan Bani Umaiyah. Diantara yang giat menyiarkan paham ini ialah Al-Ju'di bin Dirham, yang membawa paham ini dari orang-orang Yahudi di Syam dan menyiarkan di Basrah. Ia dibantu oleh A1-jahmi bin Shawjan, dan oleh karena itu aliran tersebut dinamakan aliran Jahmiyah. Ada orang mengatakan, bahwa Al-Ju'di mengambil pendapat ini dari Iban bin Sam'an, yang mempelajari hal itu dari seorang Yahudi, bernama Thalud bin A'sam (Sjahrul Ujun, ulasan dari Risalah Ibn Zaidun).
Abu Zahrah menerangkan, bahwa pendapat ini tersiar dalam masa sahabat Nabi, karena Thalud pernah mendapati zaman Nabi dan hidup dalam masa sahabat dan Thabi'in. Ada kitab-kiab menerangkan, bahwa pendapat semacam ini tidak hanya timbul dalam kalangan Yahudi, yang sengaja digerakkan untuk meracuni kejadian umat Islam, tetapi juga telah terdapat cara berpikir yang semacam itu dalam alam pikiran penganut ajaran Zardusjt dan Manyu. Al-Jahmi bin Shawjan yang terlalu giat menyiarkan keyakinan ini adalah seorang yang berasal dari Persia. Khurasan, pada suatu masa ia kalah dalam peperangan dan menjadi tawanan, kemudian masuk Islam, diangkat menjadi penulis Syuriah bin Haris dan pernah berhubungan dengan Nasar bin Sajjara: Ia dibunuh atas kesesatan ajarannya oleh Muslim bin Ahwasz Al-Mazani, pada akhir pemerintahan Bani Marwan.
Waktu hidup Bin Shawyan itu sangat giat menyiarkan aliran ini di Khurasan dan sekitarnya. Sesudah ia mati pengikut-pengikutnya mengajarakan paham tersebut di Nahwand. Penyiaran itu terus dilakukan sampai tersiar pula disana aliran yang dinamakan Mazhab Abu Mansur Al-Maturidi, yang mengalahkan paham Jahmiyah itu.
Diantara pendapat-pendapat ulama terhadap aliran Jabariyah ini, kita sebutkan Ibn Qayyim, yang menerangkan dalam kitabnya "Syifaul 'Alil" bahwa paham dan haluan Jabariyah ini bertentangan sekali dengan keterangan-keterangan yang berasal dari Nabi Muhammad, sebagaimana yang disebut perbedaannya dibawa ini, merupakan pertentangan dua pendirian itu.
Jabariyah berpendapat, bahwa seluruh gerak manusia ditentukan Tuhan itu wajib diyakini agar tauhid ketuhanan itu bulat ada pada Tuhan yang satu tunggal. Tauhid tidak dapat berdiri kecuali dengan mengembalikan segala qada’ dan qadar itu kepada Tuhan semata-mata. Jika kita tidak mengakui demikian, dan kita berpendapat, bahwa manusia itu mempunyai daya-upaya sendiri, maka artinya itu kita mengaku ada pencipta yang hadis atau yang baharu berpermulaan selain Allah, yang turut menciptakan sesuatu bersama Allah. Jika manusia itu berkehendak, dia dapat berbuat, jika ia tidak berkehendak ia tidak berbuat. Ini mengakibatkan syirik, kita tidak dapat melepaskan diri kita daripada bahaya ini kecuali dengan pengakuan, bahwa segala daya-upaya dan kehendak manusia itu berlaku semata-mata atas kehendak Tuhan.
Golongan Sunni berkata bahwa pendirian daya-upaya manusia itu berlaku atas kehendak Tuhan semata-mata (jabar), bahkan merusakkan tauhid, karena bertentangan sekali dengan syari’at Tuhan dan ajaran Rasul, tidak sesuai dengan pendirian Islam mengenai ajaran pahala dan siksa. jika kita benarkan pendirian Jabariyah itu berarti bahwa kita membatalkan seluruh ajaran Islam, membatalkan seluruh amar dan nahi, yang berakibat tidak ada lagi kebijaksanaan terakhir daripada Tuhan mengenai urusan pahala dan siksaan.
Maka dengan demikian terjadilah pertentangan yang hebat antara Jabariyah dan mazhab Ahli Sunnah. Pembicaraan berlarut-larut mengenai persoalan ini telah memecah belahkan umat Islam dan meracuni keyakinannya. Orang dapat membaca suasana yang dahsyat ini dalam kitab Al-Murtada dan dalam kitab Al-Muniyah wal Amal.
Tatkala Ibn Abas menghadapi orang-orang Jabariyah di Syam, ia mengecam dengan sangat pedas pendirian mereka itu, diantara lain demikian: "Kemudian daripada itu, apakah kamu sedia menyuruh manusia berbuat taqwa, sedangkan dengan pendirianmu itu orang-orang yang taqwa itu menjadi sesat? Apakah engkau tega melarang manusia berbuat ma'siat, sedang dengan laranganmu itu malah kamu menggerakkan manusia berbuat jahat. Wahai anak-anak orang munafik dari zaman yang lampau, wahai pembantu-pembantu kezaliman yang tersesat dan pengunjung-pengunjung mesjid yang fasik! Apakah semua kamu orang yang melemparkan segala kejahatan kepada Tuhan, sedangkan kamu berbuat kejahatan itu nyata-nyata?"
Memang Syahrastani menerangkan dalam kita Al-Milal wal Nihal, bahwa ada segolongan ulama yang berpendapat, bahwa perbuatan dan usaha manusia itu tidak turut diciptakan hanya manusia yang diciptakan Tuhan. Aliran ini sebenarnya mengatakan yang demikian itu menurut penafsiran lahir, sebagaimana yang kelihatan.
Dalam pekerjaaan sehari-hari pada pekerjaan manusia itu, sedang pada hakikatnya semua berlaku dengan kodrat dan iradat Tuhan, manusia melakukan semua usahanya terpaksa (majbur), artinya pada hakikatnya tidak ada ciptaannya, tidak ada kodratnya, tidak ada iradatnya dan tidak ada usaha atau ikhtiar, semua diciptakan Tuhan pada ajalnya, sebagaimana Tuhan menciptakan segala barang padat dan cair dengan segala sifatnya dan kekuatannya. Jadi pengakuan ada usaha manusia itu hanya pada lahir (majazi), tidak dalam pelaksanaan yang sebenarnya (hakiki).
Dalam percakapan sehari-hari kita katakan pohon kayu berbuah, air mengalir, batu berguling, matahari terbit dan terbenam, langit berawan dan menurunkan hujan, sedang sebenarnya semua berlaku atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Demikianlah dengan keadaan manusia sendiri, pada ajalnya berlaku atas takdir Tuhan, dan perbuatan yang tidak sengaja pada manusia ini, tidak termasuk dalam urusan pahala dan dosa, tetapi perbuatan yang telah dicampuri dengan niat dan usaha manusia sendiri, dihukum menurut peraturan pahala dan dosa, tidak dapat dimasukkan begitu saja sudah berlaku atas kehendak Tuhan (qadar, qada), untuk melepaskan diri dari sesuatu perbuatan salah dan ma'siat.
« Prev Post
Next Post »