Golongan ini dinamakan juga golongan qadriyah karena mereka berkeyakinan, bahwa segala perbuatan manusia yang diperbuat dengan sengaja (ikhtiyariyah), terjadi atas daya upaya orang itu sendiri yang diciptakan oleh kodrat yang dijadikan Allah untuknya, jadi segala gerak-gerik manusia tidak dicampuri lagi oleh iradat dan kodrat Allah.
Kata-kata mu'tazilah ini terambil dari perkataan Arab i'tizal, yang berarti pada mulanya mengasingkan diri. Ceritanya adalah demikian.
Pada suatu ketika seorang dari Ta'bin bernama Hasan Basri, seorang guru yang ternama, mengajar di Basrah tentang agama Islam. Pengajaran itu sampai kepada masalah, bagaimana jika seorang Islam mengerjakan dosa besar. Hasan Basri menerangkan dengan alasan-alasan agama yang ada padanya, bahwa orang itu termasuk golongan mengerjakan ma'siat, tetapi ia masih mukmin selama ia percaja akan adanya Tuhan, percaja akan kebenaran Rasulullah dan kebenaran akan segala perkhabarannya.
Seorang muridnya, yang bernama Wasil bin 'Ata, berselisih paham dengan gurunya itu. Wasil berkata bahwa kedudukan orang yang berbuat dosa besar itu tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi juga tidak menjadi kafir. Kedudukannya antara kedua golongan itu, di akhirat ia kekal dalam neraka, jika ia tiada tobat, tetapi azabnya ringan, tidak seperti yang dirasai oleh orang kafir sejati. Wasil berpendapat bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar itu, di akhirat kekal adanya di dalam neraka itu ada dua macam, pertama kafir sejati, kedua orang Islam yang berbuat dosa besar dan yang tidak tobat.
Gurunya tidak dapat menerima pikiran itu, lalu Wasil diusirnya dari golongannya. Wasilpun lalu mengasingkan dirinya ke sebuah tempat pengajian yang tersendiri dan meneruskan keyakinnannya. Bersama-sama Wasil ikut menyokong Umar bin Ubaid, yang lama kelamaan menjadikan suatu mazhab yang tersendiri dalam i'tikad. Sejak itu pengikut-pengikut Wasil itu dinamakan mazhab mu'tazilah, artinya suatu golongan yang mengasingkan dirinya dari pendirian umum dalam Islam, karena mengenai masalah tersebut diatas. Sebuah hadis Nabi menerangkan: "Barangsiapa yang berkata pada akhir perkataannya pengakuan tidak adanya Tuhan melainkan Allah maka ia masuk sorga".
Dengan alasan ini umat Islam umumnya berpendapat, bahwa tidak ada orang Islam yang mukmin, meskipun ia berbuat dosa besar sekalipun, tetap di dalam neraka selama-lamanya seperti kedudukan seorang kafir, jika ia tobat dan percaya bahwa Tuhan itu ada.
Maka mereka dinamakan juga Mazhab Qadariyah demikian ceritanya. Mereka beri'tikad bahwa kodrat itu, sesudah diberikan Tuhan kepada manusia, tidak sangkut paut lagi dengan iradat Tuhan. Jadi kalau manusia itu berbuat sesuatu, maka perbuatannya itu dilakukan dengan kekuasaannya itu sendirilah. Untung baik dan jahat, mudarah dan manfaat ada dalam tangan manusia sendiri, tidak lagi datangnya daripada Allah. Segala daya upaya dari manusia sendiri dan segala sesuatu diciptakan dengan kekuasaan atau kodratnya, maka oleh karena itu dinamakan golongan ini mazhab qadriyah atau qadariyah. Orang Islam umun selalu berkata: Tidak ada daya upaya melainkan dengan kehendak Tuhan. Dan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sayidina Umar ibn Khattab, hadis yang dijadikan dasar iman di dalam Islam, tersebut bahwa iman itu adalah percaya dengan sungguh akan adanya Allah, akan adanya Malaikat, akan adanya kitab-kitab suci, akan adanya hari kemudian dan percaya sungguh-sungguh bahwa qadar baik dan buruk datangnya daripada Allah. Kemudian Tuhan berkata di dalam Qur'an : "Katakanlah bahwa : Aku tidak memiliki bagi diriku manfa'at dan mudarat melainkan jika dikehendaki Allah., (Qur'an VII: 188).
Tetapi merekapun mempunyai alasan-alasan yang cukup kuat juga, misalnya berdasarkan pada firman Tuhan : "Barang sesuatu yang baik yang mengenai dirimu, maka yang demikian itu datangnya daripada Allah, dan barang sesuatu yang jahat yang mengenai dirimu, maka yang demikian itu engkau sendirilah yang mengerjakannya, Qur'an IV: 79). Dan banyak lagi alasan yang lain-lain yang menunjukkan bahwa untuk segala sesuatu yang dikerjakan manusia, jika ia bersifat jahat, maka manusia itu sendirilah yang bertanggung jawab atasnya.
Lain tanda-tanda tentang pendirian Mu'tazilah ini ialah mengenai pemakaian firman dan hadis. Tentang ini ada tiga macam aliran.
Aliran yang pertama tidak mau memakai semua macam hadis untuk dasar hukum syara’ yang dijadikan hukum syara' itu hanyalah Qur'an semata-mata. Hadispun ditolak dengan alasan bahwa hadis itu hanya ketererangan bukan aturan dari Tuhan.
Aliran yang kedua membagi hadis itu atas dua macam, yang semacam boleh dipakai untuk menentukan hukum syara', yaitu hadis-hadis yang dapat menjelaskan mubham hukum yang ada dalam Qur'an, seperti hadis-hadis yang menerangkan kelakuan sembahyang, kelakuan haji, takaran zakat dan lain-lain. Hadis macam yang lain ditolak semuanya, misalnya hadis-hadis yang menyatakan hukum sendiri, yang tidak tersebut dalam Qur'an, hadis-hadis Nasikh yang memansuchkan atau menghapuskan sesuatu hukum, hadis Mukhassis bagi umum yaitu yang membatasi pengertian hadis-hadis umum dan sebaginya.
Aliran yang ketiga hanya memakai hadis-hadis Mutawatir saja, yaitu hadis-hadis yang acapkali dinamakan riwayah jama'ah, yang lain ditolak semuanya seperti hadis Masyhur dan sebagainya, yang oleh mereka itu disamakan dengan hadis Maudhu' atau palsu.
Selanjutnya dapat kita terangkan bahwa golongan mu'tazilah ini pada awal mulanya tumbuh karena dasar-dasar politik seperti yang terjadi dengan golongan Syi'ah dan Kharijiyah yang diduga terjadi berhubungan dengan keangkatan Sayidina Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah (Zulhijah 35 H.). Tempat asalnya ialah Basrah dengan pelopor-pelopornya yang sudah kita sebutkan tadi, Wasil bin Ata dan Umar bin Ubaid. Tetapi perkembangan yang sangat kelihatan ialah dalam masa pemerintahan Hisyam dan Khalifah Umayah, sekitar tahun 723-748 M.
Shorter Encyclopaedia of Islam menerangkan, ada keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa mazhab Wasil ini dan golongan-golongan mu'tazilah yang pertama mempengaruhi sangat keyakinan resmi gerakan pemerintahan Abbasiyah.
Juga ada keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa sebelum tahun 750 M. ulama-ulama mu'tazilah itu sudah meletakkan dengan secara dogmatis hukum-hukum yang mengenai kedudukan orang kafir dan orang-orang Islam, begitu juga keputusan yang mengenai kehendak yang merdeka daripada manusia, terlepas dari kemauan Tuhan. Menurut ajaran mereka Qur’an itu diciptakan, baharu. Pada tahun 750 M. itu golongan mu'tazilah membantu khalifah-khalifah Abbasiyah dalam menentang Syi'ah, penganut Sayidina Ali, tetapi juga menentang golongan Ahli Sunnah wal Jama'ah. Dengan demikian pelajaran-pelajaran banyak yang bersifat apologetis. Sejak itulah filsafat Hellenia dimasukkan ke dalam dogma-dogma mu'tazilah, yang dibangun sehari demi sehari menjadi suatu mazhab yang tersendiri. Resmi diterangkan bahwa mazhab mu'tazilah itu didirikan di Baghdad pada tahun 825 yang mendapat sokongan besar dari Khalifah Ma'mun, yang menjadikan keyakinan itu keyakinan negara dan menentang segala orang-orang yang berlainan paham dengan itu. Tatkala Khalifah Mutawakkil (847-861 M.) dengan tiba-tiba menentang dogma mu'tazilah itu lalu menjadi golongan yang dianggap berbahaya dan perlahan-lahan hilang pengaruhnya.
Dalam masa perkembangannya mereka dapat membangunkan cabang-cabangnya, tidak kurang dari 900 buah, yang berasal dari pengikut-pengikut Asy'ari (374-935). Antara satu sama lain banyak terdapat paham-paham yang berbeda-beda, baik mengenai ilmu fiqih, maupun keyakinan tauhid. Golongan Mu'tazilah itu lebih suka menamakan dirinya Ahlul 'Adl wal Tauhid. Dengan adil dimaksudkan keadilan Tuhan, yang hanya memberikan kepada manusia kebaikan-kebaikan saja, memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menyiksa orang yang berbuat jahat. Perbuatan jahat berasal dari manusia sendiri. Dengan tauhid dimaksudkan kebulatan persatuan yang teguh dalam agama.
A.S. Tritton dalam kitabnya Islam, Beliefs and Practices menerangkan bahwa dalam paham-paham Mu'tazilah itu juga dipergunakan beberapa paham yang terdapat dalam agama Kristen, misalnya tentang keyakinnan bahwa Qur'an itu baru, Tuhan itu ialah kalam dan kalam itu Qur'an. Teori ini, yang disebut doctrine of Logos , terdapat dalam agama Kristen. Tritton menyangkal bahwa golongan Mu'tazilah ini termasuk golongan yang rasionalistis dalam segala-galanya, tetapi ia akui bahwa Mu'tazilah itu banyak mempergunakan akal (rationalisme) dalam memberikan tafsir-tafsir agama.
« Prev Post
Next Post »