Selasa, 24 September 2024

Aliran dan Kepercayaan Kaum Syi'ah

Dalam salah satu pasal sudah kita terangkan hubungan-hubungan antara Qur'an dan mazhab-mazhab ahli sunnah, terutama mengenai hubungan dengan empat mazhab, Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hambali bahkan pembicaaraan itu dengan panjang lebar, karena ada hubungannya deggan Qur'an dan ilmu fiqih.

Aliran-aliran fiqh ini kita anggap aliran-aliran yang terpenting dalam Islam, dalam kita mengikuti pengertian dan hukum-hukum Qur'an, dan oleh karena itu kita kemukakan uraian pembicaraannya yang agak meluas.

Meskipun demikian ada bermacam-macam aliran yang lain dalam dunia Islam, yang langsung mempengaruhi pengertian terhadap hukum-hukum Qur'an, misalnya aliran-aliran i'tikad, aliran tarekat dan lain-lain. Untuk kesempurnaan sejarah Al-Qur'an pembicaaraan tentang aliran-aliran ini tidak dapat kita tinggalkan.

Kita mulai dengan aliran i'tikad sebagai tersebut dibawah ini.

Aliran Syi'ah sangat mempercayai bahwa Muhamad bin Ali, salah seorang ananda Siyidina Ali bin Abi Thalib, akan datang kembali ke dunia ini, karena ia bukan mati. Tetapi ia akan datang menghidupkan kerajaan Bani Ali. Semasa hidupnya Muhamad bin Ali itu pengikut-pengikutnya telah banyak menda'wakan, bahwa beliaulah Mahdi yang dijanjikan itu. Kepercayaan ini bukanlah terbit daripada Muhamad bin Ali, tetapi adalah bikinan daripada pengikut-pengikutnya belaka, terutama Mukhtar bin Abi Ubaid yang menjadi kepala fitnah pada masa itu.

Lalu terjadilah golongan Syi'ah dan golongan ini percaya bahwa Nabi Muhammad bin Ali sekarang ini sedang bersembunyi dengan kudanya yang berwarna putih di suatu tanah lapang di antara Mekkah dan Medinah, dimana ia akan datang. Akan kelihatan tanda-tandanya. Dan sesudah ia datang maka dunia ini akan takluk kebawah perintahnya.

Demikian kepercaiaan golongan ini.

Nama Syi'ah itu pada awalnya berarti golongan, firqah, dalam bahasa Arab. Tetapi setelah pada permulaan Islam nama ini terutama ditujukkan kepada suatu golongan yang tertentu, yaitu golongan yang membela Ali, Chalifah yang ke IV, suami dari anak junjungan kita Muhammad s.a.w. Siti Fatimah dan sepupu penuh dari Nabi karena ia anak daripada pamannya Abu Thalib.

Orang-orang Syi'ah itu artinya orang-orang yang masuk golongan Sayidina Ali, mempercayai bahwa Sayidina Ali itulah orang yang berhak menjadi penggandi Nabi sesudah beliau wafat, begitu pula seterusnya, sesudah Sayidina Ali itu meninggal dunia yang berhak turun-temurun menggantikan menjadi imam, yaitu kepala masyarakat kaum Muslimin hendaklah dari keturunannya pula, yang disebut golongan Ali. Kepercayaan ini bertentangan dengan ajaran mengenai Khalifah, sebagaimana yang diakui oleh sebagian besar oleh orang Islam yang dinamakan Ahli Sunnah, golongan Sunnah.

Pada permulaan Islam kehormatan yang ditunjukkan kepada keluarga Nabi berlainan coraknya dari pada apa yang terjadi sesudah Nabi wafat. Jika dahulu kehormatan itu hanya terbatas dalam keta'atan, kemudian kehormatan ini perlahan-lahan berubah menjadi suatu anggapan kesucian yang berlebih-lebihan, yang kadang-kadang menyimpang daripada ajaran iman dan Islam sendiri.

Pada waktu Nabi wafat Sayidina Ali dan Fathimah hanya beroleh bahagian pusaka berupa beberapa bidang tanah yang menjadi kepunyaan sendiri daripada junjungan kita Muhammad s.a.w. Chalifah-Chalifah yang pertama sebenarnya berkeberatan tanah itu diserahkan kepada putri dan menantunya itu dengan alasan bahwa potongan-potongan tanah tersebut tidak dapat dianggap kepunyaan Nabi sendiri, tetapi hanya diurus oleh beliau sebagai kepala dari masyarakat Islam pada waktu itu.

Konon menurut penyelidikan ahli sejarah hal ini menimbulkan rasa tidak senang dari keluarga Sayidina Ali, diantara lain-lain didorong oleh fitnah dari orang-orang pengikutnya. Konon pula sesudah ia menjadi kekuasaan tertinggi, yaitu dengan pertolongan orang-orang dari golongannya menduduki singgasana Khalifah, sesudah terbunuh Usman, Khalifah ka III, tercapailah maksudnya dan hilanglah rasa tidak senang mengenai keputusan beberapa Khalifah sebelumnya.

Menghadapi keangkatan Sayidina Ali menjadi Khalifah umat Islam pecah atas dua golongan.

Mu'awiyah, wali negara Khalifah Usman di Syria, pencipta dinasti Bani Umaiyah, bangun menentang Khalifah Ali dengan mempergunakan tentarannya yang ada di Syria, sambil mengemukakan alasannya bahwa ia mengetahui atau menyetujui pembunuhan atas diri Sayidina Usman, yang sesudah beliau terbunuh Sayidina Ali diangkat menjadi Khalifah oleh pengikut-pengikutnya.

Dengan demikian terjadilah yang pertama kali sesudah nafatnya junjungan kita Muhammad s.a.w. dalam kalangan pimpinan Islam fitnah perpecahan, yang mengakibatkan permusuhan dan peperangan saudara serta perang seagama yang sangat menyedihkan. Berpuluh-puluh tahun junjungan kita berdaya upaya membulatkan kaum Muslimin, menanamkan cinta kasih sayang, tetapi rusak binasa oleh fitnah yang ditimbulkan orang pada waktu itu, yang menyebakkan peperangan keluarga yang maha dahsyat, yang jika beliau masih hidup pasti akan mendapat kemurkaannya, karena tidak sesuai dengan ajaran Allah yang dibawanya dan tidak sesuai dengan kebangkitannya sebagai Rasul.

Kejadian ini adalah salah satu dari pada bahagian darah dalam sejarah Islam, yang banyak menumpahkan air mata, yang sejak itu menampakkan persimpangannya.

Sayidina Ali sendiri dalam tahun 40 H. (661 M.) dibunuh oleh salah seorang yang fanatik agamanya, Ibnu Muljam dari golongan Kharijiyah.

Sesudah ia meninggal dan sesudah gugur pula anakanya dalam pertempuran yang dahsyat di medan peperangan Karbala pada tahun 61 H. (680 M.) sebagai putra mahkota yang melawan Khalifah Yazid dari Bani Umayah itu, maka makin bertambah-tambah hebatnya perkembangan golongan Syi’ah yang terpecah itu, bertebaran meluas dengan amat cepatnya ketiap-tiap bahagian negara Islam, mempropagandakan kandidat-kandidat Khalifah dari keturunan Ali. Cara-cara golongan ini bertindak dan mengadakan penerangan-penerangannya, begitu juga cara-cara orang-orangnya (da’i) bekerja, berlainan antara satu sama lain menurut keadaan dan pengaruh setempat-setempat.

Karena pemimpin-pemimpin Syi’ah itu yang oleh pemerinth Ahli Sunnah diburu dan dikejar-kejar, dan yang mencari pengikutnya dari penduduk-penduduk yang tidak senang dan yang tertekan, dengan sendirinya harus menyesuaikan taktik propagandanya dengan keadaan setempat-setempat itu. Dalam pada itu banyaklah golongan yang menyimpang dari Ahli Sunnah mendekati golongan ini dan merupakan salah satu cabang dari Syi’ah itu.

Demikian meluasnya paham Syi’ah itu lambat-laun menjadi mazhab-mazhab yang tertentu dalam i’tikad, politik dan ibadah. Sampai-sampai dalam golongan Syi’ah yang terlunak dari kalangan orang Arab seperti golongan Zaidiyah, pengikut Imam Zaid, yang sekarang masih terdapat di daerah Arab selatan dan pada sebahagian tanah Hejaz, kita dapat pelajaran-pelajaran, yang oleh golongan Ahli Sunnah dinyatakan menyimpang dari agama Islam yang sebenarnya. Apatah lagi di daerah-daerah di luar Arab, dimana terdapat golongan-golongan Syi’ah dengan paham-paham yang sangat berjauhah sekali dengan ajaran-ajaran yang bertemu dalam ajaran Islam. Dalam daerah-daerah ini, kadang-kadang orang mengangkat imam dari keturunan Ali, yang menurut pahamnya menjadi waliullah yang terbatas kekuasaannya diatas muka bumi.

Dalam sejarah perjuangannya sedikit sekali golongan Syiah itu mendapat sukses politik. Dimana-mana ia ditekan dan sejarah perlawanan adalah sejarah pertumpahan darah yang berkepanjangan. Lalu terjadilah gerakan di bawah tanah, yang menimbulkan ajaran-ajaran mengenai pengakuan imam secara rahasia. Menurut ketakinan mereka itu imam-imam itu selalu sambung menyambung dari keturunan Nabi. Sebuah teori mengatakan jumlah itu tujuh orang, yang lain menerangkan dua belas orang banyaknya.

Seorang yang penghabisan dari dua belas imam ini, sebagai yang dikatakan diatas dengan cara yang aneh sudah hilang keluar dari bumi ini. Kelak pada hari penghabisan ia akan datang kembali kedua untuk mendirikan dan memimpin suatu negara yang adil. Selama imam yang penghabisan ini belum datang dan menjelma sebagai Khalifah, golongan Syi’ah ini hanya menanti dengan tabah dan percaya, akan kedatangan imamnya, dan sementara itu mereka bersenang hati dengan pemerintahan sementara dari pemerintahan raja-raja duniawi dan dalam perkara-perkara agama mereka peroleh pimpinan dan penerangan dari guru-gurunya yang dinamakan mujtahid.

Di Persia pelajaran Syi’ah ini (ajaran yang mempercayai dua belas imam) sampai abad ke XVI dalam pemerintahan dinasti Safawi diakui sebagai agama negara, kira-kira sampai pemerintahan Ahli Sunnah, yang kekuasaan politiknya berada dalam tangan pemerintahan sultan-sultan Turki Usmaniyah yang perkasa itu. Oleh kerana itu antara Persi dan Turki terdapat suatu daerah yang politik agamamya sangat bertentangan antara satu sama lain, dan yang masalah-masalah khilafiyahnya mempunyai sifat-sifat agama yang fanatik.

Jumlah orang-orang Syi’ah ini ditaksir tidak kurang dari 5% daripada jumlah orang Islam penduduk dunia seluruhnya, yang berjumlah tidak kurang dari 400 milyun.

Amal ibadah golongan Syi’ah ini serta keyakinannya meluas sampai ke tanah Hindustan, tetapi sesudah keluar dari Persia sudah banyak bercampur dengan Ahli Sunnah, sehingga sukar membedakan kembali antara kedua keyakinan itu. Aliran ini dengan kedatangan Islam ke Indonesia melalui India terbawa juga dan sampai waktu yang akhir masih kelihatan bekas-bekasnya. Perhubungan dunia antara Indonesia dengan negara-negara Islam, istimewa dengan Mekkah dan Mesir, menyebabkan perlahan-lahan bekas-bekas keyakinan Syi’ah itu lenyap dari masyarakat kaum Muslimin Indonesia, tetapi beberapa kejadian seperti upacara merayakan hari sepuluh Muharram atau ‘Asyura (perayaan yang ditujukan untuk memperingati hari gugurnya kedua anak Sayidina Ali, yaitu Hasan dan Husin, yang bagi orang Syi’ah adalah imam yang kedua dan ketiga), masih terdapat di beberapa tempat di Indonesia. Perayaan tabut Hasan Husin baru saja terhapus di beberapa daerah di Sumatera pada waktu yang akhir-akhir ini.

Keturunan-keturunan Nabi Muhammad melalui menantu Nabi, Sayidina Ali, yang bertebaran di dalam beberapa negara Islam, hanya dihormati sebagai keturunan Nabi semata-mata (Sayid, Alawiyah), tidak ada sangkut pautnya dengan keyakinan Syi’ah.

Demikianlah kita catat beberapa hal mengenai Syi’ah menurut Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie.

Beberapa cabang-cabang daripada golongan Syi’ah ini kita catat untuk kesempurnaan dalam salah satu pasal yang lain.

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam