Dalam tulisan sebelumnya (artikel berjudul "Mazhab Pertama yang Berkembang di Aceh")diketahui bahwa Al-Haddad telah menceritakan tentang penaburan keturunan orang Alawi dalam kitabnya "Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh", dan penyebaran kelompok sarif (alawiyin) ke daerah-daerah di Aceh. Selanjutnya kita mencoba melihat bagaimana kiprah mereka dalam berinteraksi dengan warga sekitar
Tentang negeri Sanf yaitu yang meliputi semua daerah-daerah yang terletak sesudah negeri-negeri Rangun dan Birma dikatakan sebagai berikut, "Penyiar agama Islam telah sampai di sana, di zaman Khalifah Usman dan di sanalah datang golongan Alawiyin yang lari dari golongan Bani Usmaniyah dan Al Hajaj. Mereka menyeberangi laut Zefti dan tinggal menetap di pulau yang terkenal dengan nama mereka (Alawiyin)."
Syihabuddin Akhmad Abdulwahab berkata dalam bukunya "Nihayatul Arab", yang ditulis dalam 25 jilid, di halaman 220, jilid pertama: "Di sebelah Timur dari Tiongkok ada enam pulau lagi yang dinamakan kepulauan Sila. Penduduknya adalah golongan Alawiyin yang datang melarikan diri dari golongan Bani Umayah".
Ahli sejarah, Taqiyuddin Akhmad bin Ali Magrizi menerangkan dalam bukunya "AI Khutatutl Magriziyah" halaman 25 jilid pertama sebagai berikut.: "Di sebelah lautan Timur ini sesudah Tiongkok ada enam pulau lagi yang terkenal dengan nama pulau-pulau Sila, di mana telah datang sejumlah golongan Alawiyin pada permulaan Islam karena takut dibunuh."
Nuruddin Muhammad Aufi, pelancong bangsa Persi, menerang- kan, "Setelah penindasan atas golongan Asyrat (Syarif-syarif) Alawi- yin, di masa sikap kerajaan Umaiyah kian bertambah keras, maka berhijrahlah setengah mereka itu ke perbatasan negeri Tiongkok. Di sana mereka mendirikan tempat tinggal baru di tepi sungai-sungai Mereka berdamai dengan Kaisar Cina dan tunduk kepada pemerin- tahannya, maka Baginda Kaisarpun lalu memberi pertolongan kepada mereka." (Hal. 21 dan 22).
Dengan demikian masuklah faham Syi'ah ke Asia Timur, juga ke Aceh. Juga dalam abad-abad yang akhir mengenai kedatangan orang-orang Hadramaut ke Indonesia tidak terlepas dari mereka yang menganut faham Syi'ah Imamiyah, Ja'fariah, Faham Ahli Sunnah yang mereka masukkan merupakan Syafi'iyah atau Salaf. Mazhab Syi'ah (Ja'fariyah dan Zaidiyah), lebih dekat kepada Ahli Sunnah daripada Syafi'i kepada Hanafi (baca AI Rihlah Al Muqaddasah, karangan Kamal, hal. Zay).
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa antara mazhab Syafi'i (ahli Sunnah) yang juga termasuk mazhab mula-mula masuk ke Indonesia (baca Ibn Battutah) dengan mazhab Syi'ah Imamiyah yang mungkin tersiar pada hari-hari pertama di Aceh (lihat zaman Alaidin Syah, hal. 113) tidak ada perbedaan yang menyolok. Kebanyakan penganut-penganut Imamiyah, yang sebagian besar terdiri daripada keturunan Ali bin Abi Thalib atau sahabat yang memihak kepadanya, bermazhab Syafi'i, karena mazhab inilah yang terdekat kepada mazhab Syi'ah, karena Muhammad Idris Asy-Syafi'i adalah salah seorang pendiri mazhab yang terdekat hubungan keluarganya kepada nabi Muhammad, begitu juga mengenai ijtihad-ijtihad dalam ilmu fiqh tidak begitu berbeda dengan Syi'ah Ja'fari dan Zaidi, yang merupakan keyakinan sebagian besar juga daripada ummat Islam di Persi, Arab Selatan, Asia Kecil dan Afrika Utara.
Memang belum ada alasan bagi saya untuk mengatakan bukan mazhab Syi'ah yang mula-mula masuk bersama Islam ke Indonesia, karena masih didapat orang buktinya sampai sekarang ini, misalnya uraian dalam kitab-kitab sejarah dari pengarang-pengarang timur dan barat, kecintaan kepada golongan yang bernama Habib, bubur Asyura, perayaan Hasan-Husin dan tabut, peringatan Karbala, cerita peperangan Yazid, tasawuf dan tarikat yang bersilsilah kepada Rasulullah melalui Ali, ajaran Hululiyah dalam ilmu-ilmu Wali Songo dan lain-lain, meskipun saya mengaku dalam masa pemerintahan Malikuzh Zhahir di Aceh Ibn Battutah menceritakan, bahwa mazhab Islam pada ketika itu, yang dianu raja dan pembesarnya adalah Syafi'i. Tetapi beberapa orang raja sebelumnya disebutkan dalam catatan sejarah lain masih bermazhab Syi'ah.
Memang sukar bagi kita untuk mengatakan sekali pukul, bahwa mazhab Syafi'i-lah yang mula-mula berkembang di Indonesia bersama-sama kedatangan Islam dengan keterangan-keterangan sebagaimana yang saya sudah kemukakan. Cerita bahwa mazhab Syafi'i dibawa oleh orang-orang yang mengerjakan haji dan mengajar di Mekkah, sebagaimana cerita adanya ulama Syafi'i dan Mufti dari bangsa kita, semua itu dapat saya terima sebagai perkembangan mazhab ini dihari kemudian sesudah Syi'ah, karena yang saya kupas ialah mazhab apa yang terdapat pada hari-hari pertama pada beberapa tempat di Aceh dan di Indonesia.
Apabila di sini kita bicarakan Syi'ah, maka yang kita maksudkan ialah aliran yang benar, yang fahamnya mengenai aqaid dan fiqh terdapat pada Ahli Sunnah wal Jama‘ah.
Syi’ah Isna Asy’ar Imma m iyah merupakan suatu aliran ummat Islam yang tidak kecil, yang juga sebagai Ahli Sunnah wal Jama’ ah mempunyai kitab-kitab agama yang lengkap dalam segala bidang ilmu seperti ilmu fiqh, ilmu tauhid, ilmu hadits dan ilmu tafsir yang berisi kupasan mengenai pokok-pokok dan cabang-cabang agama, usul dan fur u’, sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab yang lain.
Mengenai usuluddin mazhab Syi‘ah ini tidak berbeda dengan Ahli Sunnah wal Jama ah, dan memang tidak diperbolehkan berbeda.
Usuluddin itu terdiri dari tiga keyakinan, pertama keyakinan adanya satu Tuhan; kedua keyakinannya ada Nabi dan Rasul Tuhan dan ketiga adanya hari kebangkitan. Dalam bahasa Arab ditulis ringkas At-Tauhid, An-Nubuwah dan Al-Ma‘ad. Semua mazhab, baik Ahli Sunnah, Syafi‘i, Hana i, Maliki, Hambali dan lain-lain baik mazhab Syi‘ah, seperti Ja fariyah-Imamiyah dan Zaidiyah, sama mempertahankan dengan tidak ada perselisihan faham dalam keyakinan tiga pokok ini.
Apakah beda Syi’ah dan Ahli Sunnah? Perbedaan yang menolok hanya satu yaitu bersifat furuluh. Perkataan Imamiyah telah menunjukkan bahwa golongan ini disamping pokok keyakinan di atas mewajibkan adanya seorang Imam sesudah wafat Nabi. Dengan alasan-alasan yang kuat mereka menetapkan bahwa Imam yang layak (afdal) sesudah nabi itu jatuh kepada Ali bin Abi Thalib kemudian kepada keturunannya.
Masalah Imam ini termasuk masalah ijtihad, karena Nabi sendiri tidak menunjukkan dengan tentu siapa gantinya. Pemilihan ini ditafsirkan orang dari ayat Qur ’an dan Hadits yang umum pengertiannya, membuka pintu untuk ijtihad.
Sebagaimana kita lihat dalam sejarah orang berhak menunjukkan Abu Bakar sebagai ganti Nabi begitu juga orang berhak mempertahankan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah sesudah Nabi. Orang-orang terakhir ini, meskipun belum menamakan golongan Syi’ah, sudah ada dalam masa pertikaian pemilihan Khalifah sesudah wafat Nabi, mereka menamakan dirinya Alawiyah, artinya golongan yang pro Sayyidina Ali, seperti Abu Zar dan Salman Farisi.
Bukan tempatnya di sini saya membicarakan sejarah perkembangan mazhab Syi’ah di sini saya hanya ingin mempertahakan secara ringkas suatu perbandingan antara Imamiyah (Syi’ah) dengan Saafpah (Ahli Sunnah) untuk melihat kedekatan ajaran-ajarannya, sehingga bagi setengah orang sukar membedakannya antara satu sama lain, kecuali jika paham ilmu perbandingan mazhab dalam Islam.
Imamiyah mempunyai ilmu fiqh yang merupakan mazhab sendiri didirikan oleh Imam Ja'far Assadiq (murid-muridnya adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas, dua Imam Ahli Sunnah wal Jama'ah), seorang taba'in dan keturunan Nabi Muhammad melalui Sifi Fatimah.
Murid-muridnya memperluaskan ilmu fiqh ini dan membuktikannya sampai 400 uraian, yang mereka namakan pokok fiqh 400 (usul arba'a mi'ah). Kemudian dibukukan dalam kitab besar yang kenamaan, Al-Kafi, Man la Yahduruhul Faqih, Al-Istibsar dan Al-Tahzib.
Inilah di antara kitab-kitab fiqh Al-Ja'far yang terpenting yang merupakan kumpulan Hadits Ahkam, yang digunakan oleh Imami-iyah dalam menetapkan hukum-hukum fiqhnya. (lihat Ma'asy Syi'ah Imamiyah, Syria, 1956).
Saya perbandingkan beberapa kitab ini dengan kitab Umum, karangan Syafi'i atau kitab Syafi'i yang terpokok, misalnya karangan Al-Mazandi dari Mutakaddimun Syafi'i dan saya dapat tidak banyak perbedaan antara kedua mazhab itu dalam masalah furu.' Jika terdapat perbedaan adalah kecil sekali tidak essensil dan tidak penting, demikian kecilnya, sehingga bagi orang yang belum berkenalan dengan mazhab Ja'fari mungkin menyangkanya fiqh Syafi'i.
Bacalah kitab-kitab Muchtasar Nafi, kitab fiqh yang dipakai di Universitas Al-Azhar sekarang ini dan bandingkan dengan kitab-kitab Syafi'i, akan didapati hampir tak ada perbedaannya dalam masalah usul dan furu.' Saya dapati demikian baik pada waktu memperbandingkan antara mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hambali dalam kitab Al-Fiqh ala mazhihib arba'ah, baik pada waktu membaca kitab Al-Fiqh ala mazhahibil khamsah, karangan Moh. Jawad Mughnih yang berisi perbandingan antara fiqh Al-Ja'fari, Al-Hanafi, Al-Ma-liki, Asy-Syafi'i dan Al-Hanbali.
Sebagai misal kita sebutkan tayammum pada waktu ada air sebelum masuk waktu sembahyang, semua imam mazhab itu menga-takan batal sembahyangnya. Kita ambil lagi sebagai contoh Fatihah dalam sembahyang pada tiap-tiap rakaat. Hanafi mengatakan, bahwa Fatihah wajib pada dua rakaat yang pertama. Syafi'i mengatakan, wajib pada tiap-tiap rakaat sembahyang awal dan akhir. Maliki mengatakan juga demikian. Hanbali pun mengatakan demikian. Imammiyah mengatakan bahwa wajib pada dua raka'at pertama saja. Jadi hampir semua sama pendapatnya bahwa dalam dua raka'at pertama pada tiap-tiap sembahyang Fatihah itu wajib, cuma berbeda pada dua rakaat yang kedua, ada yang mewajibkan, ada yang tidak. Demikianlah selanjutnya tidak saya perpanjangklan pembicaraan saya dua rakaat yang pertama. Syafi'i mengatakan, wajib pada di sini, cukup dengan mempersilahkan membaca kitab tersebut di atas untuk perbandingan.Bukan saja zaman yang lampau, sekarangpun masih banyak terdapat orang-orang Syi'ah yang beribadat seperti ibadah menurut mazhab Syafi'i, tidak mudah dikenal orang, bahwa mereka beribadat menurut fiqh. Ja'fari atau Zaidi, yang terakhir ini merupakan mazhab kebanyakan orang Yaman, yang banyak juga terdapat di Indonesia.
Jika kita sekarang ini sukar membedakan antara penganut Syi'ah dan Syafi'i, apatah pula dimasa purbakala, dikala bangsa kita mulai menganut agama Islam. Tentu tidak mudah adanya. Memang tidak perlu ada perbedaan antara mazhab-mazhab dalam Islam, yang sama mempunyai usuluddin sebagaimana saya sebutkan di atas. Perbedaan dalam masalah furu' adalah hasil ijtihad untuk menyempurnakan usuluddin itu, yang hamper bagi tiap mazhab memperlihatkan perbedaan yang kecil-kecil, sebagaimana untuk Syafi'i begitu juga untuk Ja'fari, Hanbali dan mazhab-mazhab yang lain.
Dalam pada itu banyak sekali hal-hal yang bersamaan, misalnya tentang rukun iman dan rukun Islam, tentang pengertian buruk dan baik, tentang mencintai semua sahabat Nabi kecuali memberi keutamaan lebih banyak kepada Ali bin Abi Thalib sebagai keluarga Rasulullah terdekat, tentang cara berijtihad dalam huku furu' kecuali Syi'ah membuka pintu ijtihad itu sepanjang waktu. Persamaan dalam ibadat dan muamalat dan lain-lain sebagaimana terdapat pada mazhab yang lain. Demikian banyak persamaannya, sehingga pada waktu yang terakhir ini fiqh Syi'ah itu juga dijadikan mata pelajaran pada universitas Al-Azhar di Mesir, dimana didirikan juga suatu badan untuk memperdekatan semua mazh eh dalam Islam yang bernama Darut Tagrib bainal mazabil Islamiyah, yang dipimpin oleh ulama-ulama besar, diantaranya Al-Baquari, Moh. Taquidin al Qummi, dan Syaiutt dan yang sudah bertahun-tahun mengeluarkan majalah Risalatul Islam dimana tiap mazhab boleh mengupas masalahnya masing-masing secara ilmiah dengan tujuan mendekatkan dan menanam persatuan dan saling pengertian baik, bukan melahirkan antagonisme.
Ada beberapa masalah yang membedakan antara Syi'ah dan Ahli Sunnah (Syafi'i). Satu diantaranya masalah Imamah, yang sudah kita singgung di atas. Masalah Imamah ini dibicarakan juga dalam mazhab-mazhab yang lain, meskipun tidak setegas dalam mazhab Syi'ah yang harus terpelihara dari kejahatan dan cacat cela. Imamah ini dimaksudkan hanya dalam pimpinan rohani, bukan dalam pimpinan sembahyang dan persoalan negara. Tetapi perbedaan furu' itu bukan alasan perpecahan.
Penutupan pintu ijtihad bagi mereka berarti menyempitkan agama. Berselisih paham antara satu mazhab dengan mazhab yang lain dalam Islam, terutama dalam masalah furu' tidak berarti menentang agama, dan tidak berarti berlawanan dengan Qur'an dan Sunnah.
Perbedaan yang merupakan kepribadian Syi'ah ialah rasa hormat yang sangat terhadap Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Hal ini tidak mengherankan kita, karena kitabun diperintahkan berselawat dan salam kepada keluarga Nabi, di luar dan di dalam sembahyang. Mengapa cintanya tertumpah kepada Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya? Kitapun dapat merasakannya, bahwa pengorbanan Abu Thalib, pengorbanan Ali kepada Nabi tidak terbatas. Hadits-hadits yang mengutamakan Ali di samping Rasulullah sangat banyaknya pemboikotan terhadap keluarga Ali penghinaan dan kekejaman terhadap Hasan dan Husin serta anak cucunya oleh Mu'awiyah, sebagai lanjutan dendam Abu Sufyan dari Bani Umaiyah terhadap Bani Hasyim, sangat melukakan perasaan golongan Syi'ah yang di dalamnya banyak terdapat keturunan Ali dan keturunan sahabat-sahabat yang mencintainya.
Bacalah lebih lanjut mengenai hal ini kitab Ma'asi Syi'ah al-Imamiyah, karangan Muhammad Jawad Mughnih, ketua Mahk- mah Syar'iyah Ja'fariyah Tertinggi, di Libanon, 1956.
Memang penyelidikan kita masih jauh mengenai persoalan masuknya Islam ke Indonesia di Aceh. Jika nisan-nisan yang tertulis itu sudah sekian banyaknya, yang akan dijelaskan (ontcijferen), sebagian besar dari orang-orang Syi'ah, yang membolehkan nisan berukir itu, betapakah pula banyaknya nisan-nisan yang tidak tertulis, yang hanya terdiri dari sebuah batu gunung, pada kepala dan kaki orang-orang salaf dan salih itu, yang barangkali banyak pula membawa sumbangan dalam penyiaran agama Islam di Sumatera Utara, banyak yang tidak kita ketahui. Mereka tidak meninggalkan namanya karena takut ria dan takabur mereka tidak mengharapkan pujian dari pada kita, balasan dan syukur atas jihadnya, mereka hanya mempersembahkan amalnya kepada Tuhan belaka. Tuhan yang abadi, yang tidak mengenal batas waktu dan masa. Kita manusia, yang hanya berumur setahun jagung dan berdarah setampuk pinang, bersifat lemah dan bernyawa rapuh, hanya meraba-raba dalam gelap gulita untuk mengetahui, apa yang hanya beberapa ratus tahun sudah terjadi.
Tetapi, meskipun demikian, barang siapa berjihad atas jalannya, Tuhan akan menunjukkan jalannya.
Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia". halaman 36-42, Cetakan IV, Tahun 1985 M, Penerbit CV Ramadhani (Jl Kenari 41B & 49B), Solo, 57141, Jawa Tengah
« Prev Post
Next Post »