Ada sebuah pertanyaan yang berhubungan dengan keadaan masuknya Islam ke Indonesia, yaitu dalam bentuk aliran mazhab mana, mazhab Syafi'i-kah atau mazhab Syi'ah. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, apalagi jika dipikirkan bahwa keadaan mazhab itu dalam masyarakat Islam ibarat ukuran panas, kadang-kadang naik digerakkan oleh kegiatan penganut-penganut aliran itu, kadang-kadang turun dikalahkan oleh aliran lain, manakala penganut-penganut aliran yang kalah itu tidak kelilatan lagi kesungguhannya.
Mengenai Pase dan Perlak kita agak mendapat penerangan yang lebih jelas. Ibn Batuttah, oleh karena ia selain pengarang juga seorang ulama, dapat membeda-bedakan mazhab dalam Islam. Dan oleh karena itu tatkala dia menemui ''Sultan Jawa'' (Samudra) malikuzh Zhahir, ia menceriterakan bahwa raja itu dikelilingi oleh orang-orang besar dalam bidang hukum, seperti Syarif Amir Sayyid Asy-Syirazi dan Tajuddin Al-Ashfahani dan lain-lain ulama-ulama dan fuqaha. Ia menceritakan bahwa Sultan Malikuzh Zhahir itu seorang Islam yang bermazhab Syafi'i, dicintai oleh ulama-ulama fiqhnya, selalu ia menghadiri pengajian-pengajian dan pertemuan-pertemuannya. Ia banyak mengerjakan jihad dan peperangan terhadap kafir. Ia pergi ke Masjid berjalan kaki untuk melakukan sembahyang Jum'at, penduduk negerinyapun bermazhab Syafi'i juga orang-orang yang mencintai jihad terhadap negeri-negeri yang belum masuk Islam, negeri-negeri kafir yang sudah dikalahkan membayar jizyah (upeti) kepada raja Malikuzh Zhahir. Ibn Batuttah pernah sembahyang Jum'at bersama-sama Sultan sebelum ia diterima menghadap.
Dalam pertemuan dengan Sultan, Malikuzh Zhahir bertanya tentang beberapa banyak masalah fiqh mengenai mazhab Syafi'i, yang dijawab oleh Ibn Batuttah satu persatu sampai waktu asar sore hari. Kelihatan Sultan senang sekali dengan pembicaraan mengenai hukum-hukum Islam menurut mazhab Syafi'i itu. Barangkali sudah dapat kita ambil kesimpulan, bahwa Islam yang masuk ke Perlak dan Pase itu tak dapat tidak dalam zaman Malikuzh Zhahir dalam mazhab Syafi'i. Sebelumnya belum tentu dalam mazhab Syafi'i.
Cuma saya belum berkeyakinan bahwa Islam masuk ke AI Rami atau Aceh Besar pada permulaannya sudah dalam bentuk mazhab Syafi'i. Kita ketahui bahwa Aceh Besar zaman Poli sudah pernah dipengaruhi oleh agama Hindu Mahayana dan bahwa agama Islam masuk kesana dari dua jalan pertama dari Pase melalui anak Sultan Malikuzh Zhahir, kedua yang mungkin datang dari Irak, Yaman dan India, daerah-daerah yang sudah pernah terdapat di sana paham-pa- ham Syi'ah. Ibn Batuttah pernah mengunjungi Irak dan ia kunjungi makam kuburan Sayyidina Ali di Nejet. Diceritakannya, bahwa Nejet itu sebuah kota yang ramai dan indah. Penduduknya bermazhab Syi'ah Rafidiyah, dan "mereka itu adalah saudagar-saudagar yang keluar ke seluruh pojok dunia" (dipetik melalui buku Donoldson, Aqidah Syi'ah).
Maka timbullah pertanyaan apakah tidak ada juga orang-orang membawa agama Islam ke Aceh Besar itu dalam bentuk mazhab Syi'ah. Saya yakin mungkin demikian.
Di Persi pelajaran Syi'ah ini (ajaran-ajaran yang mempercayai dua belan imam) sampai abad ke XVI dalam pemerintahan dinasti Safawi diakui sebagai agama negara, kira-kira sampai pemerintahan Ahli Sunnah, yang kekuasaan politiknya berada dalam tangan pemerintahan sultan-sultan Turki Usmaniyah yang perkasa itu. Oleh karena itu antara Persi dan Turki terdapat suatu daerah yang politik agamanya sangat bertentangan antara satu dengan lain dan yang masalah-masalah khilafiyah sangat ditonjoI-tonjoIkan dengan sifa-sifat agama yang fanatik.
Umumnya daerah Arab selatan sangat dipengaruh oleh Zaydiynh salam satu mazhab Syi'ah yang sampai sekarang masih berkembang dalam sebagian Hadramaut dan Yaman, dari mana banyak orang- orang Arab datang ke Indonesia.
Amal ibadat golongan Syi'ah ini serta keyakinannya meluas sampai tanah Hindustan, tetapi sesudah keluar dari Persi sudah banyak bercampur dengan ahli sunah, sehingga sukar membedakan kembali antara kedua keyakinan itu. Aliran ini dengan kedatangan agama Islam ke Indonesia melalui India terbawa juga dan sampai waktu yang akhir masih kelihatan bekas-bekasnya. Perhubungan dunia antara Indonesia dengan negara-negara Islam, istimewa dengan Mekkah dan Mesir, menyebabkan bekas-bekas keyakinan Syi’ah itu lenyap dari masyarakat kaum muslimin Indonesia, tetapi beberapa kejadian seperti upacara merayakan hari kesepuluh Muharram atau Asyura (perayaan yang ditujukan untuk memperingati hari keguguran kedua anak Sayyidina Ali yaitu Hasan dan Husin, yang bagi Syi’ah adalah imam yang kedua dan ketiga) masih terdapat di beberapa tempat di Indonesia. Perayaan tabut Hasan Husin baru saja terhapus dari beberapa daerah di Sumatera pada waktu yang akhir-akhir ini.
Demikian kita catat beberapa hal mengenai Syi’ah menurut D.G. Stibbe Encyclopaedie van Nederlandsch Indie 2de dr., ’s-Gravenhage, 1919, 3de, hal. 749 – 795.
Memang saya tidak mudah melepaskan kebenaran bahwa paham aliran Syi’ah pernah datang di Aceh Besar. Saya sebagai anak yang lahir di Kutaraja (umur saya sekarang 53 tahun) masih mendapat di tempat kelahiran saya yaitu kampong Kedah, beberapa orang Syi’ah yang tinggal di Kampung itu dekat kuburan Tengku Anjong, dan masih ingat cerita-cerita yang dikemukakan mereka, yang kemudian saya ketahui tidak lain daripada cerita-cerita yang berlaku dalam kalangan Syi’ah.
Tengku Anjong adalah seorang Syayid dari suku Bilfaqih, yang datang dan tinggal di kampung itu mengajar dan meninggal di sana. la meninggal menurut Dr. C. Snouck Hurgronye dalam tahun 1783 M. dan dianggap salah seorang wali yang keramat. Saya sebagai anak imam kampung, leluasa keluar masuk kuburannya yang dikurung dengan trali dan dikunci. Pada waktu saya mula-mula belajar Qur’an dilakukan suatu upacara di kuburan itu. Saya dipakaikan sebuah jubahnya berwarna kuning daripada sutra bersulam sebuah jubah yang besar, yang hampir sama dengan jubah yang dipakai Ibn Sina dalam lukisan-lukisannya, hingga saya terbungkus hilang-kedalamnya. Kopiyah yang dipakai di atas kepala saya panjangnya hampir 40 cm., dan diperbuat seperti disulam. Orang dapat melihat kopyah-kopyah itu dalam gambaran orang-orang Persi yang bermazhab Syi’ah.
Saya turut banyak kali dalam perayaan tabut Hasan Husin yang saban tahun diadakan di Kutaraja serta perabot-perabotnya baru saja disingkirkan dari sebuah rumah yang terletak di kampung Kedah di depan tempat tinggal Tuanku Raja Keumala. Keluarga India yang saya ingat memainkan rol yang penting dalam upacara tabut Hasan Husin itu masih terdapat di kampung Kedah, keluarga Merasab, yang sudah terlebur ke dalam masyarakat Aceh, diantaranya masih ada seorang yang sekarang terkenal dengan Husen Sab. Merasab mungkin Meurah Sahib atau Mir Sahib.
Salah satu dari upacara Syi’ah yang saya ingat pernah berlaku di kampung saya, dirayakan dengan memasak bubur yang bercampur buah-buahan di samping jalan dan dibagi-bagikan kepada segala yang lalu lintas sebagai menghormati kejadian yang sedih di Karbala. Mandi pada hari Rebo Habeh, Arba-a akhir bulan Safar, yang juga terdapat hampir seluruh Indonesia, misalnya di Jawa dengan nama Rebo Wekasan, pernah saya alami di kampung saya secara besar-besaran. Pada waktu itu orang-orang keluar kelaut, Kuala Aceh, pergi mandi-mandi dan mengunjungi kuburan Teungku Ciah Kuala, dengan niat untuk menghilangkan sial dan menahan dirinya daripada bahaya malapetaka yang menurut keyakinan mereka turun dalam bulan Safar. Hal ini pernah diceritakan juga dalam De Acehers, dl. j. I, hal. 219. Pada hari itu orang menulisi secarik kertas atau pada daun kelapa muda ayat-ayat Qur’an sebanyak 7 ayat yang akan dimasukkan kemudian kedalam sumur atau dicampakkan kedalam kali atau lautan di mana mereka mandi-mandi bersama-sama. Semua ini ada hubungannya dengan kehidupan orang-orang Hindustan atau orang lain yang menganut faham Syi’ah.
Tidak ada saya dapati dalam kesusasteraan Indonesia selain dalam bahasa Aceh cerita Hasan-Husin dan hikayat Nafiah, yang begitu mengharukan dan indah ditulis orang, sehingga saya menyangka bahwa kitab-kitab itu dikarang oleh Syi’ah untuk memperkenalkan pahlawan-pahlawannya.
Dalam cerita Hasan-Husin ditekankan kezaliman yang dilakukan orang kepada kedua cucu Nabi Muhammad itu, baik oleh Yazid yang menggunakan istrinya untuk meracuni Hasan atau untuk membunuh Husin, guna mengambil istrinya. Cerita itu dipilih demikian rupa, begitu juga hikayat Nafiah, yang tidak dari pada Muhammad Hanafiah, sehingga seakan-akan ceritera tersebut bukanlah terjemahan tetapi asli dalam bahasa Aceh (de Acehers II : 180).
Banyak hal-hal yang lain yang merupakan bekas aliran ini, seperti mengenai Tassawuf dan terekat menurut faham Wihdatul wujud dan hululiyah, menggunakan pendupaan, penghormatan kepada golongan Sayid, yang sampai sekarang berlaku di seluruh Aceh, bahkan dengan menggunakan kata sanjungan banglhuele kepada tiap orang yang bernama Sayid, keturunan dari cucu Nabi, upacara kelahiran, kematian, permainan saman, seduati, rapa’i dan berdabus dan lain-lainnya menunjukkan bahwa faham Syi’ah pernah menjalar di Aceh.
Berita yang akurat dasarnya menunjukkan kepada kita bahwa orang-orang Arab pergi ke Timur Jauh sekitar masa pemerintahan Khalifah Usman. Memang pada waktu itu sudah ada perselisihan yang membelah orang Islam dalam dua bagian, golongan yang pro Khalifah Abu Bakar dan Umar, dan golongan yang ingin mempertahankan kedudukan Khalifah untuk Ali bin Abi Thalib, sebagai keturunan Rasulullah.
Perselisihan paham ini kemudian menjadi lebih hebat dalam masa Mu’awiyah dan Abbasiyah di mana keturunan Ali bin Abi Thalib itu dihina dan disakiti, orang-orang Syi’ah pengikut Ali yang ketika itu bernama Alawiyin, merasa tidak aman tinggal di daerah-daerah Muawiyah dan Abbasiyah.
Lalu mereka menyingkir mula-mula ke daerah-daerah kedekat sebelah timur dan akhirnya makin bertambah jauh dan sampailah mereka ke Asia Timur dan Tenggara. Tentu saja banyak di antara mereka yang turut juga bersama orang-orang dagang dan pelaut.
Al-Haddad menceritakan tentang penaburan keturunan orang Alawi ini dalam kitabnya "Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh" (Jakarta 1957). Di antara lain ia menulis, bahwa kedatangan Islam oleh golongan Sayyid (Alawiyin) ke pulau-pulau Timur sudah lama diketahui tetapi beberapa ahli ketimuran Barat yang menulis tentang kedatangan Islam ke Timur Jauh sedapat mungkin menjadikan kedatangannya ini sebagai suatu hal yang baru (hal. 39). Dalam kitab ini dibentangkan kemana orang-orang Arab suku Ala wiyin ini pergi diberi silsilah satu persatu, ditunjukkan tempat yang masih meninggalkan kenang-kenangan kepada mereka. Dan banyak raja-raja yang berasal dari keturunan Alawiyin itu yang sampai sekarang ini masih menggunakan gelar-gelar yang menunjukkan kesukuan nenek moyang mereka. Bagi saya yang penting ialah bahwa keba nyakan di antara Alawiyin itu adalah bermazhab Syi’ah, karena mere ka cinta kepada Ali bin Abi Thalib atau sekurang-kurangnya menaruh simpati kepada aliran ini. Baik sadar atau tidak sadar mereka menye lip-nyelipkan ajaran dan kehidupan Syi’ah itu dalam penyiaraan Islamnya. Orang-orang ini tersiar sampai ke Philipina. Al Haddad menga takan, "Di sana (Philipina) telah masuk kaum Alawiyin diwaktu mereka melarikan diri dari golongan Bani Umaiyah. Mereka lalu menetap dan berkuasa di sana sampai mati dan dikuburkan di kepulauan itu yang letaknya di sebelah utara lautan ini, meskipun kepulau- an ini banyak didiami oleh orang asing, mereka yang tidak ingin meninggalkannya walaupun mereka tidak hidup mewah-mewah.
Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia". halaman 31-35, Cetakan IV, Tahun 1985 M, Penerbit CV Ramadhani (Jl Kenari 41B & 49B), Solo, 57141, Jawa Tengah
« Prev Post
Next Post »