Tak dapat disangkal bahwa ajaran-ajaran Ibn Taimiyah sangat berpengaruh pada aliran Wahhabi, sebagai yang ternyata dalam beberapa karangan pendirinya. Muhammad ibn Abdul Wahab. Bahkan hal ini diakuinya dalam suatu keterangan, bahwa Ibn Taimiyah itu sebagaimana juga Muhammad bin Abdul Wahab, termasuk imam-imam yang lurus haluannya dan kitab-kitab yang dikarangnya adalah termasuk jang terpenting mengenai Islam.
Maka oleh karena itu kita lihat, bahwa dalam kitab yang disiarkan oleh pemerintah Ibn Saud, Majm u' wa Tauhid, salah satu kitab yang terpenting mengenai keyakinan Wahhabi, termuat tiga buah karangan dari Ibn Taimiyah, sebuah bernama: Al-Qaidah al-Wasi'ah sebuah merupakan fatwa mengenai ibadat’ dan sebuah bernama Al-Furqan baina’auliya ar-rahman wa’auliya asy-syaithan. Selain daripada itu disana-sini dalam kitab Wahhabi banyak dipergunakan pikiran-pikiran yang berasal dari Ibn Taimiyah itu.
Menurut Dr. R.W. Diffelen, paham, yang sejalan itu mungkin karena bersamaan sumbernya. Baik Wahabi maupun Ibn Taimyah sama-sama menamakan dirinya pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali, salah satu daripada empat mazhab yang terkenal dalam Islam, meskipun hanya sekedar mengenai pokok-pokok hukum figh.
"Golongan Wahabi sendiri mengaku, meskipun mereka bermazhab Hanbali, namun mereka tidak ingin taqlid begitu saja kepada perkataan atau keputusan imam mazhab itu. Mereka lebih suka menamakan dirinya termasuk Salafiyah, yaitu golongan orang-orang salih dalam tiga generasi pertama sesudah Nabi Muhammad, yang ingin membasmi semua pertumbuhan-pertumbuhan baru dalam Islam sesudah tiga generasi itu.
Perbedaan antara aliran paham Wahabi dan Ibn Taimiyah, termasuk murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya, terletak dalam persoalan, bahwa Wahabi terutama menunjukan, perjuangannya dalam usaha membersihkan Islam ke dalam, karena mereka berpendapat bahwa keruntuhan Islam tidak disebabkan oleh faktor yang datang dari luar, tetapi faktor yang datang dari dunia Islam sendiri.
Mereka berpendapat bahwa banyak pekerjaan-pekerjaan orang Islam sendiri merupakan selundupan yang mencemarkan dan merusakkan ajaran Islam. Banyak perbuatan-perbuatan bid’ah, yang tidak ada pada masa Nabi Muhammad atau ulama-ulama Salaf dalam zaman tiga generasi pertama sesudah Nabi, dimasukkan dan diada-adakan oleh bangsa Turki selama ia memerintah Islam. Mungkin orang-orang Turki itu telah memeluk agama Istam, tetapi pemerintahannya ketika itu penuh dengan tindakan-tindakan berdosa dan syirik, yang tidak sesuai dengan adjaran yang dibawa Nabi Muhammad.
Dalam pada itu Ibn Taimiyah yang hidup jalam zaman Perang Salib, berpenjapat bahwa sumber kerusakan Islan itu jisebabkan oleh orang-orang Yahuji jan Kristen yang bergelimpang jalam zaman kekacauan perang itu. Ia melihat bagaimana orang-orang Islam mengambil ayat kehidupan orang-orang Yahudi dan Kristen yang bergelimpang jalam zaman kekejaman perang itu. Ia melihat bagaimana orang-orang Islam mengambil ayat kehidupan orang-orang Yahudi dan Kristen itu dan memasukkannya ke dalam Islam serta menganggap sebagai ajaran yang diperintahkan. Oleh karena itu Ibn Taimiyah dalam kitab-kitabnya banyak memperingatkan tentang pemalsuan agama itu.
Sepintas lalu kelihatan bahwa baik Wahabi maupun Ibn Taimiyah seakan-akan menentang ijma’ dan ajaran etika dan tasawul Ghasali telapi. serangan Ibn Taimiyah terutama dihadapkan untuk membasmi sifat-sifat pantheisme dari Ahli Sufi dan mistik, seperti ajaran Ibn Arabi, dan untuk membasmi ajaran-ajaran filsafat yang masuk ke dalam Islam, misalnya oleh Al-Farabi dan Ibn Sina,yang pada pendapat Ibn Taimiyah dapat mengurangi keesaan Tuhan. Dalam melancarkan serangan-serangan kadang-kadang terkenalah Ghazali yang mempersatukan atau mendekatkan paham tasawuf dan filsafat itu, guna menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama yang dianggap sudah mati dalam, jiwa umat Islam dalam masa hidup kedua pujangga besar itu.
Yang jemikian itu kellhatan daripada pernyataan Ibn Taimiyah sendiri, bahwa kitab Ihya Ulumuddin karangan Ghazali yang terkenal itu, banyak berisi perkataan-perkataan Sufi yang jauh dari Qur’an dan Sunnah.
Sebenarnya nama Wahabi ini agak kurang sedap terdengar itu pada pemeluk alirannya, meskipun pada dasarnya pemeluknya itu menganggap suatu kebanggaan disebut penganutnya.yang demikian itu disebabkan penyalahgunaan kata-kata ini oleh lawan-lawannya,yang memberi penafsiran bahwa Wahabi ini ialah suatu aliran yang baru,yang terlepas dari agama Islam,yang dicap suatu aliran yang sesat. Oleh lawan-lawannya selalu dikemukakan bahwa Muhammad Abdul Wahab mengaku dirinya nabi,yang sarna sekali tidak benar. Orang-orang Wahabi menamakan dirinya Al-Muwahhijun, artinya penganut paham Tuhan yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran tauhid dalam Islam,yang memerintahkan bahwa hanya satu Tuhan yang disembah yaitu Allah, paham yang merupakan pokok ajaran aliran Wahabi ini.
Keterangan itu pernah dikuatkan oleh Raja Abdulaziz Ibn Saud sendiri, tatkala ia memberi keterangan kepada ulama-ulama di Mekkah sekitar tahun 1924, pada waktu tentaranya menduduki Mekkah yang pertama kali, bahwa perbedaan yang terpenting antara Sultan Abdulaziz dan ulama-ulama itu terletak dalam pengakuan tauhid. "Hanya jika ada penyimpangan daripada tauhid ini, baru seseorang kami nyatakan ia kafir”,demikian katanya. Sedang mengenali ketakinan tentang tauhid ini Wahabi mempunyai pengertian tersendiri,yang sangat keras daripada lain-lain aliran dalam Islam.
Tadi sudah kita katakan bahwa yang melahirkan aliran Wahabi ialah pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan keyakinan-keyakinan, bahwa keruntuhan Islam dan kelemahannya disebabkan karena ayat kebiasaan umat Islam sendiri,yang sangat bertentangan jengan ajaran Islam dan banyak merupakan perbuatan-perbuatan syirk yang tidak sesuai dengan ilmu tauhid yang menjadi tugas yang terpenting daripada Nabi Muhammad pada waktu ia diutus menghadapi suku bangsa Arab jahiliyah Qurais penyembah berhala di Mekkah. Oleh karena itu perjuangan Wahabi yang terutama ditujukan untuk membina suatu ajaran tauhid yang kuat guna mengembalikan keyakinan umat Islam itu bulat kepada Allah, yang pada pikiran mereka dapat menumbuhkan kembali kekuatan raksasa seperti yang pernah dimiliki oleh Islam generasi-generasi pertama itu mengadakan jihad yang sungguh-sungguh dalam membasmi segala perbuatan lahir dan batin yang dapat membawa umat kepada mempersekutukan Tuhan yang dapat menarik mereka kepada penyembahan patung-patung dan berhala, penyembahan-penyembahan manusia dan alam sekitarnya atau sesuatu penyembahan dan niat yang tidak merupakan penyembahan langsung kepada Allah.
Mereka berpendapat bahwa umat Islam sekarang berada dalam keadaan yang sama dengan suku-suku Arab Jahiliyah itu. Mereka sudah hilang kekuatannya zaman keemasannya, sebagai yang pernah diciptakan oleh khalifah-khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, yang telah menciptakan dengan jihad perkembangan Islam dan kekuasaannya di dunia, sudah lenyap, kemerdekaannya sudah hilang dan mereka telah tenggelam ke dalam lembah kehinaan karena kekuatan imannya tak ada lagi. Satu keturunan demi keturunan makin bertambah buruk nasibnya. Mazhab dalam aliran bertambah banyak, perpecahan antara satu golongan dengan golongan lain bertambah luas dan mendalam, padahal masa Nabi dan khalifah-khalifah itu mereka bersatu padu dalam suatu ikatan iman yang teguh.
Muhammad Ibn Abdul Wahab merasa bertanggung jawab untuk mengajak kembali dan mengembalikan dengan segala tenaga, umat seagama yang pada pendapatnya sudah sesat itu kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenar-benarnya.
Menurut kitab At-Tauhid karangan Muhammad Ibn Abdul Wahab sendiri ada dua tingkat iman yang menjadi dasar ajaran Tauhidnya : Pertama, pengakuan adanya Tuhan sebagai pencipta dan sebagai pemelihara apa yang diciptakannya daripada alam ini, yang mereka namakan tauhidul rububiyah, yang sudah terdapat! pada suku-bangsa suku-bangsa bangsa Arab sebelum kedatangan Islam. Kedua, pengakuan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, yang mereka namakan Tauhidul Uluhiyah.
Sebagai alasan mereka dasarkan keyakinan kepada ayat Quran, dimana Tuhan menyuruh Rasulnya bertanya kepada orang-orang musyrik :
قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ اَمَّنْ يَّمْلِكُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَمَنْ يُّخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُّدَبِّرُ الْاَمْرَۗ فَسَيَقُوْلُوْنَ اللّٰهُ ۚفَقُلْ اَفَلَا تَتَّقُوْنَ
"siapakah yang memberi rezekimu yang dari langit dan yang dari bumi? Siapakah yang menjadikan pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapakah yang mengatur segala-gala itu? Tentu mereka bakal menjawab : "Allah! Sebab itu henjaklah engkau katakan! Tidakkah kamu takut kepadanya? (Qur'an X : 31).
Orang-orang Arab Jahiliyah sejak dari dahulu mengakui adanya Allah. Tidak saja ternyata dari ayat Qur’an tersebut diatas, tetapi juga jalam ayat-ayat Qur’an yang lain, misalnya yang tersebut dibawah ini, "Katakanlah siapa yang mempunyai bumi dan penduduk yang ada di atasnya, jika engkau ketahui? Nanti mereka akan menjawab : Kepunyaan Allah! Apakah ada engkau pikirkan hal ini? Katakanlah siapa yang mempunyai tujuh petala langit dan siapa mempunyai arasy yang maha besar? Pasti mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah! Tidakkah kamu takut kepadanya? dan katakanlah pula siapa yang memegang kekuasaan tiap-tiap sesuatu, sedang Dialah yang memelihara dan tidak dipelihara orang, jika kamu ketahui? Mereka nanti akan menjawab : Kepunyaan Allah! Katakanlah mengapa mau juga engkau tertipu?”’ (Qur'an).
Oleh sebab itu meskipun orang-orang itu musyrik mereka masih mengakui juga adanya Allah yang Maha Kuasa, masih mengakui juga bahwa Ia yang menjadikan langit dan bumi dan menjalankan matahari dan bulan (Qur’an XXIX :61 XXXIX : 39), mereka tahu bahwa patung penyembahannya tidak mendengar dan tidak memberikan manfaat atau mudharat suatu apa (Qur’an XXVI ; 69, 74), bahkan mereka mengakui iblis dan setan pun tunduk kepada kekuasaan Tuhan dan mereka memohon penundaan hukum Tuhan atas dirinya pada hari kebangkitan (Qur'an VII : 13), dan mengakui bahwa semua kekuasaan pada Tuhan semata-mata (Qur'an XV : 39.40).
Oleh karena itu besar sekali dosanya orang-orang syirk itu. Meskipun mereka mengakui adanya Allah tetap menentang untuk menyembahnya. Dan meskipun ajaran-ajaran tauhid ini telah disampaikan oleh Nabi Muhammad mereka masih menyembah juga patung dan masih menyembah juga berhala atau melakukan sesuatu penyembahan kepada selain Allah. Mereka menyembah misalnya berhala Lata, Manata, dan Uzza, yang mereka anggap anak Tuhan (Qur'an LIII: 19), mereka sujud kepada lima tuhan buatan Wajj, Suwa, Jajut, Ja’uq dan Nasr (Qur'an LAXI : 22-23) mereka menyembah malaikat-malaikat (Qur’an: XAXIV: 40), dan mereka mengangkat Nabi Isa dan Maryam menjadi Tuhan (Quran IV : 171, V: 116: 118), dan mereka sujud kepada matahari dan bulan (Qur'an XLI : 37), sedang memperserikatkan Tuhan itu adalah suatu dosa besar yang tidak diampuni Tuhan, "Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali mengampuni orang yang mempersekutukan dosa yang kurang daripada itu bagi siapa yang dikehendakinya. Barangsiapa yang memperserikatkan Allah sesungguhnya sesatlah ia sejauh-jauhnya (Qur’an IV : 116).
Nabi Muhammad sudah melepaskan suku-suku Arab Jahiliyah itu dari pada dosa yang sangat besar dan menjadikannya orang Islam yang mengikhlaskan seluruh ibadat penyembahannya kepada Tuhan semata-mata, sesuai dengan firman Tuhan bahwa jin dan manusia itu dijadikan hanya untuk menyembah Allah (Qur’an LI : 56), sesuai dengan ajaran-ajaran yang telah disampaikan Nabi Hud, Nabi Ibrahim, Nabi Isa, Nabi Musa dan Rasul-rasul Tuhan yang lain.
Tingkat imam yang lebih tinggi daripada ini bagi aliran Wahabi adalah tingkat tauhid yang dinamakan Tauhidul uluhiyah. Dalam tingkatan ini umat Islam tidak saja harus mengakui adanya Tuhan tetapi adanya Allah satu-satunya Tuhan yang Maha Esa dan Maha Kuasa yang harus disembah, kepadanyalah orang harus meminta ampun dan do’a, kepadanyalah ruku' dan sujud, hanya ia yang berhak ditakuti dan diharap kekuatan, hanya ia yang dipercayai, yang dicintai dan dikehendaki serta menjadi tujuan. Semua yang merupakan ibadat harus dipersembahkan langsung kepada Allah, tidak kepaya yang lain, bahkan tidak dengan perantaraan siapapun juga dan apapun juga selain daripada Allah.
Oleh karena itu kita dapati pengertian yang agak luas pada aliran ini mengenai pengertian ibadat itu. Menurut kitab Al-Hajiyah dan kitab Al-Majmeah pengertian ibadat itu adalah semua perkataan dan perbuatan yang merupakan kecintaan yang merupakan kecintaan kepada Tuhan merupakan sanjungan yang sesuai dengan kekuasaan dan kebesarannya.
Dan baik dalam perkataan, maupun dalam perbuatan atau kelakuan seorang muslim, bahkan sampai begitu jauh sehingga dalam niat dan hasratpun juga, tidak boleh ada sesuatu yang tidak dipersembahkan kepada Allah.
Dalam istilah sekarang mereka sebenar-benarnya termasuk golongan paham yang tidak dapat memisahkan hidup keagamaan dengan hidup keduniaan, tidak ada pemisahan antara gereja dan pemerintah.
Maka dijelaslah dari uraian-uraian diatas bahwa mengenai tingkat pertama daripada Tauhid aliran Wahhabi ini tidak akan menerbitkan pertentangan paham dengan aliran lain, karena pemeluk-pemeluk Islam yang tidak menganut aliran paham Wahabi pun mengakui juga bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang harus diakui dan disembah.
Dalam pada itu sangat besarlah perbedaan paham mengenai tingkat Tauhid kedua antara aliran Wahabi dengan aliran-aliran lain dalam Islam, terutama yang tidak termasuk ke dalam golongan yang biasa dinamakan golongan Salaf atau golongan Muwahidin : seperti kadang-kadang terhadap aliran Sufi atau Tarikat yang amal ibadatnya hampir selalu mempergunakan wasilah atau perantaraan guru-guru dan wali-wali.
Menurut Dr. van Diffelen dalam kitabnya "je Leer Der Wahabie-ten” pembahagian tingkatan Tauhid dalam dua macam itu oleh aliran Wahabi terdapat juga dalam kalangan-kalangan Ibn Taimiyah, misalnya dalam kitab Fatwanya atau dalam kitab Zajul Ma’aj, yang dikarang oleh muridnya Ibn Qayim, karena Ibn Taimiyah pun berpendapat, bahwa umat Islam dalam zamannya sudah kembali kepada masa Jahiliyah juga. Dalam kata pendahuluan sebuah karangannya, dimana ia menyerang bid’ah-bid’ah yang dimasukkan ke dalam Islam, ia mengatakan bahwa karena perbuatan-perbuatan yang diada-adakan itu, umat Islam telah terjerumus dalam suatu kekacauan, sehingga mereka tidak mengerti yang mana yang termasuk ajaran Islam yang sebenarnya,bahkan begitu jauh keadaan mereka itu sehingea mereka seolah-olah berada dalam zaman gelap-gulita Jahiliyah. Demikian tertulis dalam kitab Iqtida as-Siratal Mustaqiem.
Ibn Taimiyah mengadakan dua pembahagian dengan nama lain. Pertama bernama Al-Haqiqatal kaunijjah, yaitu kenyataan-kenyataan yang biasa, kejua al-Haqiqataj dinyyah, yaitu kenyataan-kenyataan yang berhubungan dengan agama.
Yang dimaksud dengan yang pertama hampir kira-kira bersamaan dengan pengertian tauhidur rububiyah dari Wahabi, yaitu insaf akan adanya kekuasaan Tuhan, sedang yang dimaksudkan dengan yang kedua bersamaan dengan tauhijul uluhijjah dari Wahabi, yaitu mengakui Allah sebagai satu-satunya ‘Tuhan yang Maha Esa dan Kuasa dan yang harus disembah.
Ibn Taimiyah sangat menekankan ajarannya kepada kepentingan menghadapkan seluruh penyembahan kepada Allah saja, karena pada pendapatnya dengan melakukan penyembahan atau ibayat yang semacam itu sajalah manusia dapat menjadi hamba Tuhan yang sebenar-benarnya dan yang baik. Ia berpenjapat bahwa untuk tujuan inilah Tuhan mengirimkan Rasul-rasulnya yang sekian banyaknya guna menyiarkan wahyu-wahyunya dan ajaran-ajarannya, supada seluruh penyembahan itu dilakukan terhadap Allah semata-mata. Bagi Ibn Taimiyah seluruh urusan agama adalah ibadat
Selanjutnya Ibn Taimiyah menetapkan bahwa melakukan sesuatu pekerjaan agama yang tidak langsung dihadapkan kepada Tuhan ajalah perbuatan syirk.yang sama hukumnya jengan penyembahan berhala.
Menurut ajaran Ibn Taimiyah ini Wahabi membagi syirk atas dua bahagian, tertama mereka namakan syirk rububiyah dan kedua syirk uluhiyah, yang dalam bahasa sehari-hari biasa disebut syirk besar (syirk jaji) dan syirk kecil (syirk ghafi) atau yang dinamakan juga syirk akbar dan syirk asghar.yang termasuk sjirk besar itu terutama menyembah selain Tuhan, berdasarkan kepada firman Allah : "Sesungguhnya Tuhan tidak sekali-kali memberikan ampunan kepada mereka yang menyembah Tuhan selain daripada Allah (Qur’an IV : 116).yang tertasuk syirk kecil misalnya Ria’ takabur dan lain-lain.
Sebagai yang sudah diterangkan, perlainan paham antara Wahabi dan aliran-aliran lain ialah bahwa Wahabi menujukan selurah amal ibayat kepada penyembahan Tuhan semata-mata. Hal ini berdasarkan kepada firman Tuhan : "Wahai Nabi, cukuplah bagimu Allah saja dan bagi orang mu’min yang mengikutmu” (Qur'an VIII: 64), Ayat ini sudah cukup mengandung seluruh keyakinan Wahabi terhadap pengertian Allah; Allah yang menjadi pokok pangkal segala kecukupan. Oleh karena itu segala pekerjaan yang diuntukkan baginya tidak dibolehkan dipersembahkan kepada selain Allah sebabyang demikian itu ajalah sjirk dan Allah tijak sekali-kali dapat mengampuni kemusjrikan.
Selain daripada mengenai ketuhanan, Wahabi menolak tawassul atau perantaraan dalam ibadat dan jo’a dalam segala bentuknya, menolak ziarah kubur, begitu juga mengunjungi mesjid dengan maksuj ziarah kecuali Masjjijil Haram ji Mekkah, Masjjijil Aqsha jiJeruzalem jan Mesjjijin Nabawi ji Madinah Mereka tunjuk kepada Qur’an dan Sunnah, tetapi tidak mau mengakui kekuasaan_penafsiran oleh ulama? muta’achchirin (Qur'an).
Begitu juga lain-lain soal secara perincian apa yang harus dikerjakan menurut paham aliran ini tersebut di dalam sebuah kumpulan kitab yang dinamakan Majmuatut Tauhid (Mekkah, 1343 H), yang oleh mereka dinamakan kitab yang berharga guna mengetahui hak-hak Tuhan terhadap hamba-Nya, kitab yang disiarkan dengan cuma-cuma oleh alm. Sultan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Faisal Al-Saud, berisi tidak saja karangan-karangan Muhammad bin Abdul Wahab/Ibn Taimiyah, juga ulama-ulama besar yang lain dalam aliran ini, ulama-ulama yang mereka namakan penghidup jejak ulama-ulama Salaf yang salih (muhji asar assalih). Kitab itu berisi sejak dari pelajaran tauhid sampai kepada hukum-hukum fiqh dan segala amal ibadat serta mu'amalat, semuanya disesuaikan dengan ajaran aliran Wahabi itu. Tentu sajj berhubung dengan kesempitan tempat tidak dapat saya uraikan disini satu persatu daripada masalah-masalahnya yang penting, Tetapi secara garis besar dapat saya kemukakan bahwa aliran ini dengan segala seluk-beluknya hampir merupakan suatu mazhab tersendiri dalam Islam.
Yang demikian itu disebabkan oleh perjuangan Muhammad bin Abdul Wahab yang menjadi penegak dan pendiri daripada aliran paham ini
Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787 M) lahir di Ujajnah di Arab Tengah dan sesudah mengikuti pelajaran beberapa lama, juga sesudah mengunjungi Irak dan Persia, lalu mendirikan aliran ini dalam tahun 1760, dengan penyiarannya dibantu oleh keluarga raja yang memerintah dalam daerah itu. Sebagaimana yang sudah diterangkan diatas pokok ajarannya terdiri daripada larangan mengerjakan segala sesuatu yang baru dalam agama yang tidak terdapat dalam masa tiga abad sesudah Nabi. Pekerjaan yang demikian itu dianggap terlarang dalam agama Islam dan harus dibasmi dengan sekeras-kerasnya.
Diantara larangan-larangan itu termasuk memuliakan orang-orang keramat dan kuburan-kuburan, tidak terkecuali kuburan Nabi Muhammad sendiri. Selanjutnya yang termasuk larangan aliran ini ialah mengambil segala bentuk hijup yang mewah seperti merokok, musik, memakai pakaian sutera dan perhiasan emas oleh laki-laki dan sebagainya.
Ajaran Islam seperti praktek yang terdapat dimana-mana sekarang ini pada pendapat mereka penuh dengan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran ke Esaan Tuhan dan oleh karena itu mereka hendak kembali kepada ajaran Tauhid semula dalam Islam dan kehidupan murni menurut Sunnah Nabi. Itulah sebabnya maka mereka menamakan dirinya golongan Muwahhidin, artinya pendukung tauhid Allah. Kitabnya yang terpenting ialah kitab At-Tauhij yang sudah kita sebutkan. Pengikut-pengikutnya taat kepada Qur'an dan Sunnah, tetapi menolak segala penafsiran dari ulama-ulama terakhir.
Abdul Wahab dalam tahun 1760 mendapat pengikut rajj-raja Dar'iya di Nejed, Saihi keluarga Ibn Saud, Raja-raja ini turut menjalankan aliran paham itu dalam daerahnya. Mereka mengalahkan ibukota Riyad dalam tahun 1773, dan pengluasan daerah itu sampai begitu jauh, sehingga antara tahun 1803-1806 mereka dapat menaklukkan Mekkah dan Medinah serta daerah Hejjaz. dalam tahun 1811 seluruh daerah Arab Utara jatuh ke dalam kekuasaannya.
Oleh karena pemerintahan Turki tidak sanggup mencegah pengluasan ini, maka pemerintah itu terpaksa meminta bantuan Muhammad Ali dari Mesir. Dalam tahun 1812 mulailah anak Muhammad Ali itu, Thusun, mengirimkan sebuah pasukan untuk keperluan tersebut, tetapi barulah dibawah pimpinan Ibrahim Pasya seluruh kekuatan Wahabi itu dapat dihancurkan, serta dalam tahun 1818 merekapun dapatlah menduduki negeri Dar’iya.
Dalam tahun 1812, dinasti Ibn Saud bangkit pula kembali dengan kekuatannya di Riyadh. Meskipun sampai akhir abad tersebut keadaan suasana tenang saja. Dalam tahun 1819 Ibn Saud bermusuhan kembali dengan dinasti Ibn Rasyid di Ha’il.
Pada mulanya tentera Ibn Rasyid ini dapat mempertahankan dirinya dari serangan lawannya, tetapi dalam tahun 1901 tentera Wahabi dibawah pimpinan Sultan Abdul Aziz Ibn Saud menang kembali dan dapat menjujuki Riyadh. Peperangan dunia yang pertama memberikan kesempatan yang baik bagi pemerintahan Ibn Saud untuk meluaskan daerahnya dan meluaskan juga aliran pahamnya.
Dihancurkannya dalam 1912 lawannya itu dan didudukilah kemba-i ibu kota Hail. Begitu juga dalam tahun 1924 tentaranya dengan kemenangan dapat menduduki Mekkah dan Hejjaz. Dalam tahun 1926 ia pun diakuilah menjadi raja Hejjaz dan Sultan Need serta daerah takluknya. Dan akhirnya dalam tahun 1932 semua daerah-daerah itu dipersatukan dalam sebuah kerajaan besar Wahabi, yang diberi nama kerajaan Arab Saudi.
Sebelum ia wafat dalam tahun 1953 Ibn Saud giat sekali menyiarkan aliran Wahabi itu dimana-mana dalam kerajaannya, melalui pahlawan-pahlawannya yang fanatik, yang bernama Ikhwan. Pada mulanya tindakan-tindakannya itu sangat keras dan sangat menyinggung perasaan aliran-aliran Islam yang lain, tetapi lama-kelamaan bertambah lunak juga sikapnya, terutama di dalam kota suci Mekkah dan Madinah, yang oleh karena ibadat hajji didatangi oleh ratusan ribu umat Islam jari segala pojok dunia yang bermacam-macam corak aliran mazhab Islamnya.
Bagaimana juga kemudian ternyata sikapnya yang pada mulanya sangat kaku menghadapi kebudayaan dunia sekarang cepat sekali berubah. Sultan Abdul Aziz dalam sejarah Islam termasuk salah seorang yang dianggap maju jalam menerima paham-paham kebudayaan barat yang moderen, terutama dalam memperbaiki negerinya dan jalam memperbaiki perhubungan guna perbaikan ibadat haji dengan tidak melupakan kejakinan-kejakinannya yang kokoh dan kuat mengenai hukum-hukum agama Islam sebagaimana yang dianut oleh aliran Wahhabi ini.
« Prev Post
Next Post »