Sebagaimana keyahudian begitu juga kenasranian banyak sekali masuk kedalam ajaran Islam. Memang pada permulaan masa Abbasiyah ini banyak sekali orang-orang Nasrani Arab dan lain Arab, baik yang sudah masuk Islam atau tidak memeluk agama Islam, dipekerjakan untuk kepentingan penyelidikan ilmu pengetahuan dan penerjemahan kitab-kitab dari bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Arab dengan biaya pemerintah.
Prof. Goldziher, seorang ahli ketimuran dan ahli agama Islam bangsa jerman yang terkenal, menerangkan, bahwa banyak sekali kenasranian ini, ucapan-ucapan dan cara berpikir, dimasukkan orang ke dalam hadis-hadis, yang dikatakan berasal dari Nabi Muhammad. Tentu saja tidak seluruh pikiran Goldziher ini kita benarkan, karena hanya berdasarkan kepada persamaan cara ungkapan kerohanian tetapi sebagaimana kita katakan diatas perhubungan antara umat Islam dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, begitu juga pertentangan yang ditimbulkan oleh perbedaan pendirian dalam i'tikad bukan tidak meninggalkan bekas-bekas dalam uraian-uraian Islam yang tertulis dalam masa Abbasiyah itu.
Persamaan tentu ada, karena semua agama berasal dari Tuhan yang satu dan wahyu yang sama dibawa oleh Malaikat jibril. Qur'anpun membenarkan pokok-pokok agama itu bersamaan. Dalam surat An-Nisa', ayat 163-165, ditegaskan dengan firmam Allah: Bahwa kami turunkan wahyu ini kepadamu sebagaimana wahyu yang pernah kami turunkan kepada Nuh dan Nabi-Nabi sesudahnya, sebagaimana wahyu-wahyu yang sudah kami turunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'kub dan keluarga, Isa, Ayub, Yunus, Harun, Sulaiman; dan sebagaimana pernah kami turunkan Zabur kepada Daud (dan kitab-kitab suci yang lain kepada Rasul-Rasul) yang kami ceriterakan kepadamu di masa yang lampau, dan juga Rasul-Rasul yang kami tidak ceriterakan kepada engkau. Allah telah berbicara dengan Musa, dan Rasul-Rasul yang menyadi juru bicara keselamatan dan juru kabar takut, agar tidak ada pertengkaran lagi sesudah Rasul-Rasul itu, dan Allah maha perkasa serta mempunyai hikmah yang berlimpah-limpah (Qur'an).
Jelas kepada kita, bahwa agama-agama itu memang bersama pada dasarnya, karena semuanya berasal daripada wahyu Tuhan yang sama pula. Tetapi yang dimaksudkan dengan masuknya keyahudi dan kenasranian kedalam Islam ialah dalam bentuk tafsir yang ditambah-tambah dan ceritera-ceritera yang disulam-sulam, dihubung-hubungkan dengan nama sahabat dan dikatakan berasal dari Nabi Muhammad.
Pemasukan ini setengahnya untuk memperindah sesuatu uraian atau untuk membela sesuatu pendirian aliran-aliran yang tumbuh pada permulaan zaman Abbasiyah itu, yang hampir dalam semua aliran kemajuan berpikir terdapat tokoh-tokoh keahlian dari penganut kedua agama besar itu.
Dalam Qur'an banyak sekali terdapat ayat-ayat yang memperbincangkan Injil, yang diakuinya sebagai kitab suci dari Allah. Diantaranya .. "Kemudian kami perikutkan sesudah mereka dengan beberapa Rasul dan kami perikutkan pula dengan Isa anak Marjam : kapadanya kami anugerahkan kitab Injil dan ia kami jadikan kasih sebagai dalam hati orang-orang yang mengikutinya" (Qur’an LVII : 27). "Ingatlah ketika Allah berfirman : "Hai Isa anak Marjam kenangkanlah niktmat yang akn limpahkan kepadau dan kepada ibumu, dan ketika aku perkuatkan engkau dengan roh suci, sehingga engkau dapat bercakap-cakap dengan manusia dalam buajaanmu dan dikala engkau sudah besar. Kenangkanlah juga ketika aku mengajarkan kelu kepada kitab bersama ilmu pengetahuan, Taurat dan Injil" (Qur'an V: 110), dan "Dan hendaklah penganut-penganut Injil itu menghukum sesuatu dengan wahyu yang sudah diturunkan Tuhan kepada mereka" (Qur'an VI.‘ 47).
Memang menurut kejakinan Islam isi Injil itu pada keasliannya hampir tidak berbeda dengan isi Al-Qur’an. Tetapi orang Islam berpendapat, bahwa orang-orang Jahudi Nasarani kemudian telah banyak menukar-nukarkan ayat-ayat suci itu. Bahkan pernah diterangkan oleh Ibn Hazm dan Ibn Taimijah dan lain-lain ulama besar, bahwa mereka tidak dapat menerima lagi lafad-lafad Injil pada waktu yang achir ini karena sudah ditukar-tukarjan (Al Fisal fi Milal wan Nihal).
Kebudajaan Nasrani yang terpenting bersumber kepada Injil dan kitab-kitab yang mengulas kitab Injil itu, begitu juga ceriera-certiera dan dongeng-dongeng yang ditambah-tambah kemudian oleh penganut-penganutnya. Islam kemasukan ke nasranian ini melalui beberapa jalan, pertama yang terpenting melalui orang-orang Nasrani Arab, yang terdapat bertaburan dalam banyak kabilah Arab, terutama Kabilah Tughlab dan Najan. jalan lain misalnya melalui orang-orang Kristen yang sudah Islam tup kemudian dalam gerakan Da’wah dan karang-mengarang. Dengan tidak terasa golongan terachir ini memasukkan paham-pahamnya kedalam tafsir Qur'an dan penghubungkan cierteranya itu juga dengan hadis-hadis Nabi.
Dalam pokoknya Qur'an mengandung criera-ceriiera yang berasal dari Injil, seperti criera mengenai Isa dan Mar jam, critera-cariiera itu dalam bentuk yang sangat sederhana, sambil menekankan kepada nasihat dan ajaraan, tamsil dan pelajara yang harus dicamkan oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya.
Hari-hari kemudian dalam masa Abbasijah itu datanglah juru-juru tafsir yang mengambil banyak ucapan-ucapan dan keterangan dari orang-orang Jahudi dan Nasrani yang sudah masuk Islam dan dimasukkannya kedalam pengulasan tafsir itu.
Barangsiapa yang membaca tafsir surat Maryam dalam karangan At-Thabari, pasti akan menemui banyak sekali ceritera-ceritera yang berasal dari Injil, yang diambil melalui ucapan-ucapan Wahab bin Munabbih dan keluarganya, melalui Ibn Juraij dan melalui Zakaria bin Yahya ibn Za'idah. Lihat juĝalah dalam tafsir At-Thabari itu penafsiran surat Al-Imran dan mengenai mu'jizat mu'jizat Isa, yang dalam Qur'an diterangkan dengan cara yang sederhana sekali tentang kedatangan seorang Rasul kepada Bani Israil dengan menerangkan bahwa ia datang kepada mereka dengan ayat dan tanda Tuhan, membuat seekor burung dari tanah dan ditiupinya, lalu burung itu terbang dengan izin Tuhan. Dalam menafsirkan ayat ini Ibn juraij lalu menerangkan, bahwa burung itu ialah kelelawar yang tidak disinggung sama sekali oleh ayat- ayat Qur'an itu dan h anya terdapat nama tersebut dalam kitab-kitab Kristen, Thabari mengambil banyak sekali dongeng-dongeng ini dari Ibn Humaid, dari Salmah, dari Ibn Ishak, dan dimasukkannya sebagai kelengkapan tafsirinya (lihat At-Thabari III: 190).
Ahmad Amin dalam gubahannya Dhuha/ Islam I (Mesir, 1952, hal 358-359) m enteriterakan panyang lebar tentang cara ahl: ahl! tafsir yang memasukkan kesanasinian ini kedalam pengulasan ayat-ayat Qur'an dan dengan demikian tafsir-tafir mereka menija di kitab-kitab besar yang berjilid-jilid. Ia mengeta.mat: cetera-ceritera panyang yang dipetik Thabari untuk tafsirinya mengenai Zakaria, Jahja bin Zakaria, mengenai Marjam dan Isa serta pengikutnya, mengenai hidangan yang diturunkan Tuhan dari langit, dari uraian-uraian yang terdapat dalam Kitab Qishashul Anbija, karangan As-Sa'labi (mj! 427 H).
Dengan demikian terj adilah pengutipan-pengutipan dari Injil yang kemudian dikatakan hadis-hadis Nabi.
Sudah kita singgung diatas, bahwa Goldziher pedas sekali mengecam Islam dengan menerangkan banyak hadis-hadis Nabi yang sebenarnya adalah petikan-petikan Injil terdapat dalam Islam, seperti sedekah yang dirahasiakan dan keadaan orang-orang miskin, doa-doa dan lain-lain sebagainya. Tetapi sebagai yang sudah kita sebutkan diatas juga tidak semua persamaan itu dapat diucapkan pengutipan dari Injil oleh Islam, terkadang jika dibanding kan cara pengungkapan Qur'an dan Hadis dengan cara pengungkapan Injil dan pikiran-pikiran penganutnya.
Memang dalam beberapa hal kita aluk banyak sekali cara-cara berpikir Kristen ini diselundupkan orang kedalam Islam melalui ceritera-ceritera orang-orang salih dan perbaikan budi pekerti, misalnya seperti yang dikatakan oleh Ahmad Amin dalam kitabanya tersebut diatas terdapat dalam kitab Ihja Ulumuddin, karangan Imam Ghazali dan ceritera-ceritera tasauf yang lain, yang penuh dengan kisah-kisah dari Nabi Isa dan dari kawan-kawan sincina. Sebagai ceritera tentu saja tidak merupakan kecelaan apa-apa, asal tidak dianggap sebagai isi terpokok daripada ajaran Islam yangsederhana.
Sebagaimana sederhananya Qur'an dalam menerangkan sesuatu, begitu pulalah sederhananya Nabi Muhammad dalam menggambarkan sesuatu ajaran kepada pengikut-pengikutnya. Sebagai conoth kita kemukakan suatu ceritera, bahwa ada beberapa teman Abu Musa al-Asj'ari yang banyak menantau datang kepada Rasulullah dan berkata : „Ja Rasulullah! Kami bertemu dengan orang-orang yang kami sangka termasuk terafdhal manusia sesudah engkau, ia berpuasa saban hari dan ia beribadat pada malamnya dengan segala kegiatan, sampai saat kami meninggalkan mereka". Rasullulah bertanya: „Siapakah yang mengurus orang itu dikala ia puasa dan beribadat?" jawab mereka: „Kami semua yang melajaninya" Kemudian Nabi berkata: „Sebenarnya semua kami ini lebih baik dan lebih afdhal daripada orang itu". Kita lihat bagaimana sederhananya Rasulullah mengungkapkan pendapatnya untuk menerangkan bahwa pekerjaan sosial lebih utama daripada ibadat yang dilakukan sehari dan semalam suntuk.
Demikianlah kita lihat banyak sekali ahli-ahli sejarah Islam juga berasal dari orang-orang Nasrani, seperti Ja'kubi, jurjis, Al-Mas'udi dan lain-lain yang diduga turut membungai sejarah Islam dengan kenarsanian dan kejahudian. Orang-orang yang seperti ini bertambah banyak tatkala negeri Sjam dan Irak telah merupakan daerah Islam dan turut mempengaruhi kebudajaan dan cara berpfkir orang Islam.
Maka dengan demikian tidaklah salah tuduhan Von Kreimer, bahwa aliran Mu'tazilah itu lahir oleh orang-orang Nasrani, karena banyak sekali persoalan-persoalan yang dibawanya adalah persoalan-persoalan kenarsanian atau yang sudah terdapat dalam kalangan masjarakat gereja Kristen, seperti kemauan merdeka dari manusia, apakah manusia itu dapat berbuat sekhendak hatinya atau menurut kehendak Tuhan, begitu juga persoalan mengenai sifat-sifat Tuhan, yang banyak berasal dari orang-orang Nasrani, seperti dari Jahja Dimsiji, Abu Kara, yang selalu berbicara tentang pendirian bahwa Allah itu sumber kebadijan, bahwa Allah itu seperti matahari yang melahirkan cahajanija dsb. Begitu juga Mu'tazilah itu turut membicarakan persoalan bentuk Tuhan (tajism), dengan ayat-ayat Mutasjabih, yang harus dibahas dengan menggunakan akal lebih utama daripada menggunakan nas kitab subi. Ibn Taimijah menuduh orang-orang Islam mengambil cara penjembahan kubur dari orang Kristen, karena Nabi melarang menyadikan kuburan itu mesjid dan Imam Sjafi'i melarang demikian, karena menganggap adalah bid'ah membuat tembok kubur, menyalakan lampu, berdoa menghadap! kubur, yang semuanya itu berasal dari pekerjaannya orang Nasrani. Segala prakteh ini dimasukkan orang Islam dalam masa Abbasijah itu kedalam karangan-karangannya, seperti tafsir dan hadis, maka timbullah aliran-aliran yang banyak itu yang mempercoalkan segala pendapat tersebut dalam masa abad ketiga sesudah wafat Nabi.
Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam)". halaman 20-24, Cetakan I, Januari Tahun 1966 M, Penerbit Tintasmas, Jakarta
« Prev Post
Next Post »