Kamis, 22 Agustus 2024

Tarekat Khalwatiyah (1)

Tarekat Khalawatiyah ialah suatu cabang dari tarekat aqidah Suhrawardiyah, yang didirikan di Bagdad oleh Abdul Qadhir Suhrawardi (w. 1167 M) dan oleh Umar Suhrawardi (w. 1234 M), yang tiap kali menamakan dirinya golongan Siddiqiyah, karena mereka menganggap dirinya berasal dari keturunan Khalifah Abu Bakar ra. Bidang usahanya yang terbesar terdapat di Afghanistan dan India. Di antara cabang-cabangnya yang terkenal Jalaliyah, Jamaliyah, Zainiyah, Safawiyah, Rawshaniyah dan yang akan kita bicarakan Khalawatiyah. Cabang Khalawatiyah didirikan di Khurasan oleh Zahiruddin (w. 1397 M) dan pesat sekali meluasnya di daerah Turki, sehingga bercabang-cabang pula sangat banyaknya, seperti di Anatolia Jarrahiyah, Ightibashiyah, Usysyaqiyah, Niyaziyah, Sunbuliyah, Syamsiyah, Gulsaniyah dan Syujaiyah, di Mesir Dhafiyah, Hafnawiyah, Salariyah, SaWiyah-Dardiyah, dan Maghaziyah, di Nubiya, di Hejjaz dan di Somali Sailiyyah, di Kabiliya Rahmaniyah.

Memang keluarga Suhrawardi ini termasuk keluarga Sufi yang ternama. Abul Futuh Suhrawardi terkenal dengan nama Syeikh Maqtul atau seorang tokoh sufi, yang oleh kawan-kawannya diberi gelar ulama berdasarkan paham malakut, dilahirkan di Zinjan, dekat Irak dalam tahun 549 H. Sesudah belajar beberapa waktu dalam ilmu hikmah dan usul fiqh pada Imam Majduddin Al-Jili, dan dalam ilmu yang lain-lain pada beberapa guru-guru besar, ia lalu terkenal sebagai seorang yang sangat ahli tentang ketuhanan dan penafsiran Al-Qur'an. Ialah yang mendirikan suatu aliran Sufi yang disebut mazhab Isyraqiyah, aliran yang menerangkan, bahwa Tuhan itu merupakan pokok daripada cahaya. Namanya mengagumkan tatkala ia menafsirkan ayat Al-Qur'an mengenai Nurullah, yang tersebut dalam Surat Nur, demikian jelasnya, sehingga orang menuduh dia memberi bentuk jisim dan jauhar kepada Tuhan, yang dianggap bertentangan dengan pendirian tauhid ahli Sunnah wal Jama'ah, bahwa Tuhan itu tidak dapat diumpamakan dengan sesuatu zat apa pun juga yang baharu. Salahuddin Al-Ayyubi menangkap Abul Futuh dan menyerahkan kepada anaknya Az-Zahir, raja Halab, untuk dihukum bunuh, tetapi hukuman ini diubah atas permintaannya sendiri menjadi hukuman penjara dalam sebuah kamar yang gelap-gulita dengan tidak diberi makan dan minum sampai ia mati dalam tahun 587 H.

Suhrawardi yang lain bernama Abu Hafas Umar Suhrawardi, juga seorang tokoh sufi terbesar di Baghdad, pengarang kitab "Awariful Ma'arif", sebuah karangan yang mengagumkan dan sangat menarik perhatian Imam Ghazali, sehingga seluruh kitab itu dimuat pada akhir karya "Ihya Ulumuddin" yang oleh tarekat Suhrawardiyah serta cabang-cabangnya dijadikan pokok pegangan dalam suluknya, dan Suhrawardi ini meninggal dalam tahun 638 H. Sebelum ada kitab Ihya Ulumuddin, "Awariful Ma'arif" karangan Suhrawardi ini merupakan kitab tasauf yang terlengkap, yang membahas hampir semua masalah dalam bidang ilmu batin ini. Karangan ini terdiri dari lebih kurang enam puluh bab, dimulai dengan menguraikan sejarah nama dan terjadinya serta fadhilatnya ilmu tasauf, sampai kepada membicarakan dengan mendalam ilmu tarekat mengenai riadhah bermacam-macam ibadat, sembahyang puasa dan amal-amal yang lain, sampai kepada kewajiban-kewajiban dalam suluk, mengenai syeikh, murid, ikhwan, mengenai ribadh dan adab, mengenai akhlak, mengenai khirqah, mengenai ma'rifat dan mukasyafah sufi, mengenai khawatir, mengenai hal dan makam, dan persoalan-persoalan lain yang bersangkut-paut dengan tarekat. Kitab ini adalah tuntunan yang terlengkap untuk tarekat-tarekat yang tergabung dalam mazhab Suhrawardiyah, dan oleh karena itu apa pun nama yang digunakan untuk cabang-cabang itu, semuanya berpedoman kepada karangan Suhrawardi Sufi ini, meskipun di sana-sini ditambah dan dikurangi menurut keperluan yang dianggap perlu oleh syeikh tarekat mursyid, dalam menjalankan tugasnya. Dalam bab ke-enam puluh dua dimuat uraian istilah-istilah sufi yang sudah disaring menurut pendapat Suhrawardi, mengenai persoalan jama' dan tafarruk, mengenai tajalli dan isti'ar, mengenai tajrid dan tafriq, mengenai ghulbah, mengenai musamarah, mengenai sakar dan sahu, mengenai 'ilmuyaqin, ainu'yaqin dan haqqul yaqin, mengenai waktu, mengenai ghaibah dan syuhud, mengenai zauq dan syarab, mengenai muhadharab, mukasyafah dan musyahadah, mengenai talwin dan tamkin, dan lain-lain persoalan yang bertalian dengan masaalah bidayah dan nihayah, yang semuanya dapat menunjukkan kepada kita sesuatu tarekat berasal dari ajaran Suhrawardi itu.

Mengenai ma'rifat Suhrawardi menyaring, bahwa hamba Allah yang sungguh-sungguh mengenal ma'rifat itu (a'raful khalaq billah) ialah manusia yang luar biasa menaruh keheranan kepada perbuatan Allah. Manusia yang semacam ini memulai jalannya dengan amal kemudian meningkat kepada ahwal, kemudian menghimpunkan antara amal dan ahwal, sehingga ia memasuki jalan kesudahan yang mengikat kecintaan hatinya kepada Tuhan, kecintaan yang bergerak saban detik dan hidup saban masa, bergerak jiwa, bergerak badan dan bergerak manusia yang terbentuk dari jiwa dan badan itu berdiri dengan Tuhan (Qa'imam billah} dan sujud di hadapan Allah (sajidan baina yadayillah), sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Allah sendiri dalam Qur’an : "Semua sujud bagi Allah, siapa dan apa yang ada dalam tujuh petala langit dan bumi, secara sukarela atau secara paksaan, maupun bayang-bayang mereka, akan tunduk semua pagi dan sore kepada Tuhan seru semesta".

Jikalau hati sudah sujud dan jiwa sudah tersungkur, terjadilah mahabbah kecintaan terpilih antara manusia itu dengan Tuhannya dan antara Tuhan dengan manusia itu, seluruh bahagian badannya tergetar dan hidup merasa lezat dengan zikir Tuhan dan bacaan kalam-nya, sebagaimana mahabbah Tuhan pun tercurahlah kepadanya dan kepada seluruh keutamaan sekitarnya. Dengan menggunakan sebuah hadits Nabi dijelaskanlah, bahwa apabila Tuhan telah mencintai se-orang hamba-Nya, la mengatakan kepada Jibrail untuk diberitahukan kepada seluruh isi langit dan bumi, dan cinta itu lalu diterima oleh se-mua makhluk (Abu Hurairah - Bukhari).

Filsafat kedua Suhrawardi ini dibicarakan oleh Dr. Muhammad Musthafa Hilmi, guru besar dalam ilmu filsafat di Mesir, dalam kitabnya "Al-Hayatur Ruhiyah fil Islam" (Mesir, 1949).

Saya tidak mempunyai sebuah kitab yang khusus membicarakan ajaran dan amalan tarekat Khalawatiyah, mungkin karena sebagai biasa terjadi dalam dunia tarekat, ajaran-ajaran itu hanya disampaikan oleh mursyid-mursyid kepada murid-muridnya dalam lingkungan terbatas, tidak dicetak dan disiarkan dalam pasar buku. Tetapi ada sebuah kitab kecil yang dicetak dan diterbitkan di Mesir, karangan Syeikh Hasan Abdur Raziq Al-Athwabi, yang meninggal pada 10 Syawwal th. 1941, bernama "Al-Futuhatur Rabbaniyah", yang rupanya dituntukkan bagi murid-muridnya dalam tarikat Khalawatiyah, sampai ke tangan saya, dan oleh karena itu dapat saya pelajari serba sedikit apa yang terjadi dengan ajaran dan amalan itu. Dalam kitab ini saya dapati sekumpulan syair dalam bahasa Arab yang diberi bernama Syu'bul Iman, ringkas dan padat segala ajaran dilukiskan oleh syeikh tarekat Abdur Razaq atau Abdul Raziq, yang diberi kata sambutan oleh seorang syeikh tarekat juga, Muhammad Ibrahim Al-Qayati dan beberapa ulama Azhar terbesar yang lain, yang dalam ucapan-ucapannya memberikan saya sedikit penerangan tentang pribadi Hasan Abdur Razak ini mengenai perjuangannya, kekermatannya dan pengaruhnya dalam dunia tarekat Khalawatiyah. Syair yang hanya terdiri daripada empat belas baris cukup untuk memperingatkan seluruh pokok-pokok terpenting daripada ajaran Khalawatiyah, dapat dibaca dan diingat oleh murid-muridnya dalam susunan sajak yang indah, kemudian dikupas dan ditafsirkan dalam kitab Al-Futuhatur Rabbaniyah ala Syu'bil Ammniyah, yang merupakan suatu kupasan yang indah sekali dengan kata-kata dan gubahan penuh berirama.

Apakah di Indonesia tarekat Khalawatiyah ini berpengaruh belum dapat saya pastikan, tetapi pernah tersiar dan mempengaruhi dunia tarekat di negeri ini. Di antara lain ternyata dari seorang tokoh tarekat terbesar, Syeikh Yusuf Al-Khalawati, yang kuburannya saya kunjungi terdapat di Lakiung (Goa) dekat Makasar. Pada kuburannya, yang saban jam menerima puluhan bahkan ratusan pengunjung dari mana-mana, terdapat catatan, bahwa Syeikh Yusuf itu bernama juga Tuanku Salamaka, lahir 1626, pergi haji 1644, diasingkan oleh Belanda dari Banten ke Ceylon 1683, dipindahkan dari Ceylon ke Afrika Selatan 1694, meninggal 23-5-1699 dan dikuburkan di Lakiung tersebut 23-5- 1703.

Di Sulawesi dan sekitarnya masih giat dikerjakan tarekat Khalawatiyah itu. Saya pernah mengunjungi beberapa mesjidnya.

Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Pengantar Ilmu Tarekat". halaman 337-341, Cetakan III, Januari 1985 M, Penerbit Ramadhani, Solo, Jawa Tengah

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam