Rabu, 21 Agustus 2024

Sejarah Dzikir Nafi Wal Itsbat

Dari mulai zaman Nabi Adam as umat Islam hanya berzikir dengan kalimah Allah Allah, sebab di zaman Adam sampai zaman Nuh belum ada berhala.

Setelah Nabi Adam as wafat, maka untuk memimpin manusia, diutus Nabi Nuh as. Di zaman Nabi ini mulai Iblis beraksi menganjurkan umat Nabi Nuh as agar membuat patung-patung, untuk memperingati bentuk (rupa) orang yang telah mati sebagai kenang-kenangan untuk waris-warisnya yang tinggal. Pada mula-mulanya patung-patung itu diambil menjadi barang sembahan.

Lantas Allah, Zat Yang Maha Esa, menurunkan wahyu kepada Nabi Nuh as, yakni diwajibkan kalimah Tauhid (la ilaha illallah), agar dengan kalimah yang tersebut dinafikan Tuhan yang lain diisbatkan Tuhan yang sebenarnya. Berarti umat Islam di zaman Nabi Nuh as dua golongan, pertama tetap bertuhan kepada Allah Tuhan yang sebenarnya, yakni golongan pertama idak kenal kepada Tuhan-Tuhan yang lain, seumpama penyembahan patung berhala-berhala, mereka tidak dapat ditipu iblis/syaitan. Tetapi di waktu manafikan yang sebenarnya ada syarat-syaratnya yaitu: Tidak boleh diceraikan nafi dan isbat, sehingga orang itu berkelalan/berkepanjangan mengingati Allah.

Golongan yang kedua mulai beroleh was-was/ragu-ragu dalam hatinya, bahwa kemungkinan ada pula tuhan lain seperti patung dan berhala. Jadi kalimah la ilaha illallah itu diturunkan bagi orang-orang yang telah mulai kotor jiwanya, sebab terselip dalam hatinya, ada pula tuhan-tuhan yang lain seumpama berhala itu. Kedua golongan yang tersebut, terus hidup satu, mati satu, hingga kedua golongan itu masih subur hidupnya, hingga sampai zaman sekarang.

Bagi manusia yang masih seperti golongan kedua itu, sudah sepatutnya mereka menafikan (meniadakan) tuhan yang berupa/berhala. Golongan yang pertama yang tidak ragu-ragu/syak wasangka dalam hatinya, yakni jiwanya tetap bersih, maka ia berkata di mulutnya, ataupun dalam hatinya: "Tiada Tuhan yang sebenarnya, melainkan Allah". Ahli tarekat Naqsyabandiyah termasuk golongan yang pertama, terutama ahli tarekat Naqsyabandiyah yang sudah dapat melihat dengan mata hatinya, bahwa hanya yang ada satu zat Allah Wahdatul Wujud dan Wahdatusy Syuhud dan Wajibul Wujud.

Paham kedua golongan itu tetap ada dari zaman Nabi Nuh as sampai sekarang. Bagi umat Islam yang bersih jiwanya yang tidak dapat dikotorkan oleh syaitan/iblis tidaklah mereka ragu-ragu terhadap kepada Allah, yakni golongan pertama ini tiadalah ia mengenal bahwa ada penyembahan/berhala dan sebagainya. Maka golongan pertama ini di waktu ia membaca La ilaha illallah tiadalah ia menafikan Tuhan-tuhan yang lain, hanya dalam hatinya Tiada Tuhan Melainkan Allah'. Apa yang akan dinafikannya, bukanlah 360 berhala/patung di sekitar Baitullah yang sudah dimusnahkan oleh Nabi Muhammad saw, agar jangan ada yang menduga bahwa berhala itu adalah Tuhan juga.

Bagi golongan kedua yang senantiasa terwaham-waham syak wasangka dalam hatinya, bahwa ada pula Tuhan patung berupa berhala-berhala, lantas golongan kedua ini, di waktu mereka mengatakan la ilaha dinafikannya Tuhan yang batal, dan sampai perkataannya pada illallah, diisbatkannya Tuhan yang sebenarnya.

Di antara tarekat lain yang sefaham dengan ahli tarekat Naqsyabandiyah ialah Almarhum Said Usman bin Abdullah bin Akil Yahya, selaku keturunan cucu dari Nabi Muhammad saw yang terkenal lautan ilmu, ya'ni almarhum yang tersebut telah menulis kitab sifat dua puluh di Jakarta pada tahun Hijrah 1324

Nyatalah dalam faham Almarhum yang tersebut di waktu membaca kalimah la ilaha illallah sehuruf dan sedikit pun tiada pernah Almarhum menafikan Tuhan yang lain seumpama tuhan berhala.

Perhatikanlah pada baris kedua katanya : Tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.

Yang sepaham dengan ahli tarekat Naqsyabandiyah lagi, ialah al-marhum A. Hasan. Dalam tafsir Al-Furqan halaman (10), tanyanya apabila Qur'an dihasrarkan? Ayat yang dihasrarkan itu maksudnya ialah rangkaian kalimah yang terbatas dan terkepung. Umpama dengan kalimat la dan Illa atau sebangsanya, seperti la ilaha illallah, artinya : "Tiada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah", demikian paham guru Persatuan Islam Bangil.

Mari kita perhatikan perkataan-perkataan ahli tarekat Sufiyah. Pertama kata ahli Syufiyah : Tobat manusia daripada dosanya, dan tobat aku dari mengatakan La Ilaha Illallah, yakni malu aku mengatakan : Tiada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah.

Berkata Zunnun Al-Masry : "Barang siapa yang memandang kepada yang lain, maka ia bertuhankan kepada yang lain. Barang siapa memandang kepada Allah, maka hiduplah ia. Barang siapa memandang kepada yang lain, binasalah ia".

Kemudian perlu pula diperingatkan kepada keterangan Dr. Hamka dalam Kitabnya "Tasawwuf dari abad ke abad" halaman 166 katanya : "Jika aku berkata La (tiada Tuhan), tujuannya ialah Illah (ada Allah)."

Untuk mempertahankan kebenarannya atas zikir Nafi Isbat (mata-pelajaran yang ketiga dalam tharekat Naqsyabandiyah), Dr. Syeikh H. Jalaluddin telah memberi keterangan :

  1. Pada Kitab Mas-alah
  2. Pada kitab rahasia Mutiara tarekat Naqsyabandiyah
  3. Pada kitab Mencari Allah dengan ilmu pasti dan
  4. Pada Sinar Keemasan No. 50/51, No. 53, No. 14/55 dan SK No. 58. Kalau ada pembaca yang belum puas dengan keterangan dalam kitab ini, silahkan membaca kitab-kitab yang tersebut.

Zikir Nafi Isbat yang tersebut dilaksanakan ahli tarekat Naqyshabandiya, bukanlah La ilaha illallah itu dibaca dengan lidah, malahan kalimah la illaha illallah itu, dibaca dalam hati, sedang hal lidah kepala ditegakkan ke langit-langit, mata ditutup dan waktu membaca kalimah la ilaha illah itu, napas ditahan di bawah pusat. Syarat-syarat mengerjakan zikir nafi isbat itu 7 macam. Kalau kurang syaratnya 7 macam, maka batal (tidak sah) zikir itu dikerjakan.

Di waktu kita masih hidup dilatih jiwa bersungguh-sungguh mengamalkannya, agar di waktu akan mati dengan mudah saja kita membaca kalimah la ilaha illallah dengan hati. Kalau akan kita baca kalimah la ilaha illallah dengan lidah di waktu akhir nafas (mati) sangat tipis harapan akan dapat kita laksanakan, sebab biasanya seseorang yang hampir mati itu lidahnya sudah bisu (kelu).

Demikian keterangan dan pendirian Naqsyabandiyah mengenai Zikir Nabi Isbat.

Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Pengantar Ilmu Tarekat". halaman 334-337, Cetakan III, Januari 1985 M, Penerbit Ramadhani, Solo, Jawa Tengah

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam