Tarekat ini didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, kadang-kadang disebut Al-Jili. Syeikh Abdul Qadir Jailani, seorang alim dan zahid, dianggap qutubul’aqtab, mula pertama seorang ahli fiqh yang terkenal dalam mazhab Hambali, kemudian sesudah beralih kegemarannya kepada ilmu tarekat dan hakekat menunjukkan keramat dan tanda-tanda yang berlainan dengan kebiasaan sehari-hari. Orang dapat membaca sejarah hidup dan keanehan-keanehannya dalam kitab yang dinamakan Manaqib Syeikh Abdul Qadir Jailani, asli tertulis dalam bahasa Arab, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia tersiar luas di negeri kita, yang dibaca oleh rakyat pada waktu-waktu tertentu, konon untuk mendapatkan berkahnya. Pertanyaan, apakah mu’jizat dan keramat itu terdapat dasar-dasar pemikirannya dalam Islam, saya ceritakan pada salah satu kesempatan lain, misalnya dalam kitab saya Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf.
Dalam kitab Shorter Encylopaedia of Islam, karangan H.A.R. Gibb, kita dapati sejarah perkembangan aliran tarekat ini. Ia mempunyai sebuah ribath sufi di Bagdad, yang ketika itu lebih penting dari pada Zawiyah, tempat melakukan suluk dan latihan-latihan Sufi. Sesudah ia wafat dalam tahun 561 H (1166 M), Madrasahnya itu diteruskan oleh anaknya Abdul Wahhab (1157 - 1196 M), kemudian dilanjutkan pula oleh anaknya Abdus Salam (w. 1213 M), diceritakan bahwa ada seorang lagi puteranya, bernama Abdul Razzaq (1134 - 1206/7 M) seorang yang sangat zuhud dan salih.
Ibn Batutah menceritakan, bahwa dalam masanya sudah mulai dipergunakan orang Zawiyah tempat melakukan latihan-latihan dipergunakan orang Zawiyah tempat melakukan latihan-latihan suluk, dan latihan-latihan yang dilakukan dalam beberapa zawiyah di Bagdad itu sesuai dengan ajaran-ajaran yang terdapat dalam ribath Syeikh Abdul Qadir Jailani, sehingga dengan demikian ajarannya itu lama-kelamaan merupakan satu mazhab Sufi, dan tiap murid yang telah menamatkan ajarannya sudah beroleh ijazah khirqah, berjanji akan meneruskan dan menyiarkan ajarannya itu.
Demikianlah diceritakan oleh Suhrawardi dalam kitabnya Awarif A-Ma'arif, tertulis pada pinggir kitab Ihya karangan Al-Ghazali (Kairo, 1306). Ada yang menerangkan, bahwa murid-murid diwajibkan memakai namanya, tetapi sebagaimana yang tersebut kitab Bahjatul Asrar, Abdul Qadir sendiri tidak menganggap penting perolehan khirqah itu, karena pembentukan jiwa dan budi pekerti sudah cukup baginya menjadi penutup ajarannya.
Sejak dalam masa hidupnya sudah ada beberapa orang yang telah menyempurnakan ajarannya dan pergi menyiarkan ajaran itu ke tempat lain. Seorang daripadanya ialah Ali bin Al-Haddad, yang kemudian terkenal di Yaman dengan gerakannya, yang lain bernama Muhammad Batha' ini, bertempat tinggal di Baalbek, tetapi mengembangkan juga tarekat ini di Syria. Taqiyuddin Abdul Mahir Al-Yunani terkenal sebagai seorang penyi'ar tarekat Qadiriyah yang ternama di Baalbek, sedăngkan Muhammad bin Abdus Samad adalah seorang yang dianggap keramat di Mesir, karena katanya ia mewakili Abdul Qadir sendiri, yang akan menuntun manusia menempuh jalan menuju Tuhan dan Rasul-Nya.
Bahwa anak-anaknya turut dengan giat menyiarkan tarekat ini sebenarnya dapat dipahami, meskipun lon Taimiyah pernah menerangkan, bahwa ia pernah bertemu dengan salah seorang anaknya, tetapi menjalankan amal ibadat sebagai seorang muslim yang ta’at dan salih. Tetapi penyelidikan ahli-ahli ketimuran barat, misalnya Le Chatelir dalam risalahnya Confreries musulmanes du Hejaz, menerangkan, bahwa ada beberapa orang anaknya dalam masa ayahnya masih hidup sudah menyiarkan ajaran ini di Maroko, Mesir, tanah Arab, Turkestan dan India. E. Mercier menerangkan dalam kitabnya Histoire de I’ Afri-que Septentrionale di antara lain, bahwa tarekat ini masuk dalam daerah Berber di Afrika Utara dalam abad ke-XII M dan mendapat sokongan daripada pemerintah Fathimiyah, yang memerintah sekitar 1171 M. Diceritakan, bahwa tarekat ini masuk ke Fes ialah oleh karena usaha anak-anak Abdul Qadir, pertama Ibrahim (wl. di Wasit tahun 1196 M), kedua Abdul Aziz (wl. di Jiyal, sebuah desa di Sinjar). Mereka pindah ke Spanyol, tetapi tidak berapa lama sebelum jatuh kota Granada (1492 M), mereka dengan keluarganya lari ke Marokko. Kuburan-kuburannya terdapat di Fez sebagai "Keturunan Jailani yang mulia" (Syurafa Jilala).
Selanjutnya, diterangkan, bahwa penyiaran tarekat ini di Asia Kecil dan Istambul terjadi oleh Ismail Rumi, yang mendirikan tempat khalwat besar serta empat puluh buah takiyah, tempat mengumpulkan dan memberi makan orang miskin. Dalam pada itu adanya ribath Qadiriyyah di Mekkah sudah berdiri sejak masih hidupnya Syeikh Abdul Qadir Jailani. Ribath yang terdiri di atas bukit jabal Qubis di Mekkah sangat terkenal sebagai pusat tarekat ini di Mekkah, dan banyak didatangi orang dari segala pojok bumi, juga tentu dari ulama-ulama Indonesia yang hendak menempuh tarekat dan beroleh ijazahnya. Memang Jabal Qubis ini saya kenal selama lima tahun saya di Mekkah di waktu saya kecil, dan di sana banyak terdapat rumah-rumah tempat tinggal ulama-ulama tarekat dan tempat khalwat. Saya masih ingat, bahwa dari puncak Jabal Qubis itu, di mana terdapat mesjid Syeikh Abdul Qadir yang bersejarah, kelihatan Mesjidil Haram secara mengharukan. Barangkali keadaan inilah yang menarik orang-orang tarekat itu di sana untuk berkhalwat.
Ada keyakinan orang, bahwa barang siapa yang mendengar panggilan temannya dari Masjidil Jabal Qubis itu, pasti beroleh kesempatan naik haji, maka oleh karena itu banyaklah orang menitip pesanan agar ia dipanggil dari Mesjid Abdul Qadir Jailani itu. Hallaj pernah berkhalwat di atas Jabal Qubis, duduk bersimpuh di atas sebuah batu gunung di tengah-tengah terik matahari di Mekkah.
Diceritakan pula, bahwa penyiaran tarekat ini di Afrika Tengah dan Selatan sangat cepat tersiar, misalnya di Guines, Kounta dan Tembaktu. .
Tarekat Qadiriyah mempunyai juga zikir-zikir, wirid dan hizib-hizib tertentu. Ada penganutnya yang berkeyakinan demikian rupa sehingga menempatkan Ali bin Abi Thalib di atas kedudukan Nabi Muhammad. Hal ini tentu tidak sesuai dengan pendirian Syeikh Abdul Qadir sendiri sebagai seorang Hambali, tentu sudah dipengaruhi oleh keyakinan aliran-aliran lain. Dengan demikian kita lihat, bahwa meskipun bernama Qadiriyyah, kadang-kadang tarekat ini sudah banyak dimasuki oleh faham-faham lain dalam pertumbuhannya. Wirid-wirid tarekat Qadiriyyyah yang sebenarnya termuat dalam kitab ’’Al-Fuyadat Al-Rabbiniyah’’, yang sekarang oleh Abdullah bin Muhammad Al-Ajami, juga seorang alim sufi yang umurnya mencapai 183 tahun (536-721).
Dalam kalangan mereka yang sangat mengagung-agungkan kekeramatan Syeikh Abdul Qadir Jailani terdapat ahli filsafat Ibn Arabi, yang menceriterakan panjang lebar dalam kitab *'Al-Futahat Al-Makkiyah’’, tentang tasawwufnya, pekerjaan-pekerjaan istimewa yang terus menerus dilakukan Syeikh Abdul Qadir Jailani dari dalam kuburnya, ucapan-ucapan Ibn Arabi yang dikuatkan oleh Ibn Wardi dalam kitab tarikhnya. Cerita-cerita keramat ini, terutama ceritera mengenai keyakinan bahwa sesudah kekuasaan Tuhan hanya terdapat kekuasaan Syeikh Abdul Qadir, menyebabkan Ibn Taimiyah, yang juga bermazhab Hambali menyerang pendapat pengarang-pengarang itu dalam usaha membersihkan diri Syeikh Abdul Qadir. Ibn Taimiyah menyerang dengan kitab ’’Al-Jawab As-Sahib” dan Ibrahim Syatibi menyerbu dengan kitabnya "Al-I’tisam", sehingga terjadilah peperangan dalam filsafat tasawwuf yang hebat sekali.
Kuburan Syeikh Abdul Qadir Jailani ini terdapat di Bagdad, dan meskipun pusatnya tarekat ini boleh dikatakan terdapat di Bagdad, tetapi cabang-cabangnya terdapat di seluruh dunia, sehingga Qadiriyah juga selain merupakan sebuah tarekat, juga merupakan sebuah organisasi atau pergerakan, yang selalu berusaha mengumpulkan dan mengirimkan bantuannya ke pusat untuk keperluan-keperluan amal yang tertentu.
Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Pengantar Ilmu Tarekat". halaman 308-312, Cetakan III, Januari 1985 M, Penerbit Ramadhani, Solo, Jawa Tengah
« Prev Post
Next Post »