Kamis, 18 Juli 2024

Manaqib Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani

Managqib Syeikh Abdul Kadir Jailani, yang biasa dibaca orang seluruh Indonesia pada hari-hari terpenting dalam kehidupan sesuatu keluarga, dicetak dalam bahasa Indonesia berhuruf Arab pada percetakan Sayyid Ali Al-Aidrus, Keramat Raya Jakarta, dengan semboyan pada kulitnya sebuah ayat Qur’an yang berbunyi : ’’Ketahui'ah, bahwa aulia Allah itu tidak pernah merasa takut dan gentar’’, dengan gambar Kubah Qutub Rabbani yang besar dan megah di Bagdad itu.

Pengarang kitab ini, yang tidak menyebut namanya karena takut ria dan takabur, mengatakan, bahwa yang mendorongkannya menyusun Managib ini ialah ucapan Syeikh Adawi Al-Hamazawi, bahwa menyebut-nyebut dan mengingat-ingat Syeikh Abdul Kadir Jailani itu, menyebabkan turun rahmat Tuhan kepadanya. Maka terjadilah kegemaran terhadap bacaan ini yang sangat luas di tengah-tengah bangsa kita. Bacaan itu biasanya didahului dengan bacaan fatehah, lengkap dengan bunga rampai, air dingin dan pembakaran menyan. Di tengah-tengah kepulan asap yang harum itu seorang kiyai membaca Manaqib tsb. dan seluruh isi rumah mendengarnya dengan khusyu’ dan tawadhu’.

Apa sebenarnya isi Managib itu? Isinya ialah sebahagian besar mengenai riwayat hidupnya, tetapi yang terutama ditonjol-tonjolkan ialah budi pekerti yang baik, kesalehannya, kezuhudannya dan keramat atau keanehan-keanehan yang didapati orang pada dirinya. Dikatakan bahwa Syeikh Abdul Kadir itu anaknya Abu Saleh, anak Abdullah dst. sampai hubungannya kepada Hasan anak Ali bin Abi Thalib, kemanakan Nabi Muhammad saw. Ibunya bernama Fatimah anak Sayyid Abdullah As-Suma’i Al-Husaini. Tentang keramatnya sangat banyaknya, tak ada hingganya. Imam Nawawi menceriterakan tentang keramat ini dalam bukunya bernama Bustanal Arifin, dan mengatakan bahwa Abdul Kadir itu adalah guru dalam mazhab Syafi’i dan hambali. Imam Sarbuni menceriterakan dalam kitabnya Thabaqat, bahwa tanda-tanda luar biasa daripada kekeramatan Syeikh Abdul Kadir sudah dirasakan ibunya sejak dalam kandungan, di antaranya ia tidak mau menyusu pada siang hari pada akhir bulan Sya’ban dan dalam bulan Ramadhan, sehingga hal itu menjadi tanda kedatangan bulan puasa pada tiap-tiap tahun. Konon ibunya tatkala pergi mengaji dikelilingi oleh Malaikat, yang menjaga anaknya. Selanjutnya dikemukakan ceritera mengenai kasih sayang. Syeikh Abdul Kadir sejak kecil kepada fakir miskin, menjauhkan segala perbuatan ma’siat, gemar belajar dan beramal tidak berkeputusan, seorang anak yang jujur, cinta kepada ibu bapanya.

Ceritera-ceritera dalam Managib ini sesuai dengan beberapa uraian yang ditulis oleh Rusly Akhmad dalam kitabnya berhuruf Latin, bernama Syeikh Abdul Kadir Jailani, penerbitan Pena Mas (Jakarta,1962).

Pada waktu masih kanak-kanak Sayyidinu Abdul Kadir tak suka bermain-main dengan anak-anak lain. Kekuatan jiwa batin yang dinyatakan sejak bayinya itu berjalan terus sampai nampak dalam sepak terjangnya sehari-hari dalam kehidupan yang suci.

Ibunya dan kakeknya Sayyidina Abdullah Suma’i kedua-duanya Wali juga memberikan didikan yang sesuai dengan bakat dan kedudukan sebagai seorang wali.

Boleh dikata bahwa Abdul Kadir dilahirkan dan dididik dalam ayunan dan lingkungan keluarga Sufi. Di mana saja, manakala beliau berpikir-pikir akan bermain-main maka terdengarlah olehnya suara yang menanyakan padanya, ke mana ia mau pergi. Tiap-tiap kali ia mendengar suara itu, kembalilah ia ke pangkuan ibunya dan mencari perlindungan daripadanya. Ketika ia berumur 10 tahun, dia diperintahkan mengaji.

Gurunya minta kepada para muridnya, agar kepadanya diberikan kelonggaran tempat tersendiri untuk duduk belajar. Pada waktu itu pula mendadak datang pada gurunya seorang laki-laki yang tidak dikenal olehnya, menyatakan yang dia mendengar daripada Malaikat, bahwa Abdul Kadir di kelak kemudian hari akan mencapai suatu tingkatan yang tinggi dalam kebatinan dan kerohanian.

Begitulah Abdul Kadir hidup dan belajar di kota Jailan sampai berusia 18 tahun. Dalam waktu itu beliau telah menerima didikan sepantasnya bagi seorang pemuda dari sesuatu keturunan baik-baik dan otaknya meningkat begitu tajam dan begitu cerdasnya sampai sesuatu pelajaran yang seharusnya dihafal dalam waktu sedikitnya satu minggu olehnya dapat dihafal dan difahamnya dalam waktu satu hari saja.

Pada suatu hari, yaitu pada hari Arafah bagi kaum Muslimin yang naik haji atau sehari sebelum hari Idul Adha, pergilah Abdul Kadir ke ladang untuk meluku.

la berdiri di belakang bajak dan sapi bajaknya di depannya. Kemudian sapi menoleh ke belakang dan berkata kepadanya, bahwa bukan beginilah tujuan hidupnya dilahirkan di dunia ini. Peristiwa ini mengejutkan dia dan kembalilah dia pulang. Sekembali di rumahnya naik di atas atap rumah dan dengan mata hati bathini dia melihat suatu majlis yang amat besar di Arafah itu. Setelah itu ia memohon kepada ibunya, agar ibunya suka membaktikan dirinya kepada Tuhan serta suka mengirimkannya untuk pergi ke Bagdad meneruskan pelajarannya.

Sebagai diketahui oleh umum, pada waktu itu Bagdadlah sebuah pusat kota ilmu yang terkenal oleh seluruh kaum Muslimin dan didatangi oleh para pemuda dari seluruh penjuru dunia Islam, Abdul Kadir berkeinginan keras untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kerohaniannya dalam bergaul dengan lain-lain wali beserta orang-orang suci di Bagdad.

Kecintaan ibunya, rumah dan tempat kelahirannya, perjalanan yang sukar, berbahaya dan jauh, lagi pula akan berdiam dalam suatu tempat di mana tidak ada teman dan sanak famili, itu semuanya bagi Abdul Kadir tak menjadikan halangan atau mengurangkan keinginan untuk mencari tambahan ilmunya.

Ketika ibunya mendengar permohonan anaknya itu, maka keluarlah air matanya, mengingat bahwa dia sudah tua dan suaminya, ayah Abdullah Kadir telah lama meninggal dunia. Maka timbullah pertanyaan dalam hatinya, apakah dia akan dapat bertemu kembali dengan anaknya yang ia cintai dan ia didik dengan kasih mesra itu ?

Tetapi karena ibunya itu adalah seorang wanita yang bersih hati dan ta’at, maka dia tidak menghalang-halangi kehendak anaknya untuk berbakti kepada Tuhan dengan kebaktian yang sebesar-besarnya

Setelah ibunya menyetujui permohonan ia tadi dan mengizinkan untuk berangkat ke Bagdad, maka segeralah segala sesuatu yang perlu untuk perjalanan yang jauh itu disiapkan. Uang bekal 40 dinar oleh ibunya dimasukkan dalam baju anaknya, lalu dijahit agar tak mudah hilang atau dicuri orang. Kemudian Abdul Kadir menggabungkan diri pada suatu kalifah yang akan berangkat menuju ke Bagdad.

Tetapi sebelum berpisah, ibunya meminta suatu janji dari anaknya, bahwa Abdul Kadir tidak berkata bohong kepada siapa dan dalam keadaan bagaimanapun juga, walaupun ibunya telah tahu benar, bahwa anaknya itu sejak kecil tak pernah berdusta.

Janji itu dipersembahkan kepada ibunya, kemudian berpisahlah ibu dengan anak, kedua-duanya dengan hati yang amat berat.

Harus diingat pula di sini, bahwa perpisahan itu tidak untuk mencari harta, kekayaan, kemewahan, pangkat dan nama, tetapi melulu untuk berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa semata-mata.

Setelah beberapa hari kafilah itu berangkat, dan Abdul Kadir turut di dalamnya, berjalan dengan selamat, maka tatkala hampir kafilah itu memasuki kota Bagdad, apakah yang terjadi ?

Enam puluh penyamun berkuda merampok kafilah itu habis-habisan.

Tetapi apa anehnya ?

Semua perampok tadi tak ada yang memperdulikan, menganiaya atau galak pada Abdul Kadir, karena sangka mereka pemuda ini tak punya apa-apa.

Kemudian ada salah seorang penyamun datang bertanya padanya, apa yang dia punyai, dijawabnya, bahwa dia mempunyai 40 dinar, dijahit dalam bajunya.

Penyamun tadi lalu lapor kepada pemimpinnya apa yang telah dia dengar dari pemuda itu.

Lalu diperintahkan oleh pemimpin penyamun tadi supaya pemuda itu dihadapkan padanya.

Setelah Abdul Kadir menghadap dan ditanya oleh pemimpin penyamun itu, apakah benar apa yang telah dikatakan tadi, dijawab olehnya, bahwa benar apa yang telah ia katakan tadi.

Pemimpin penyamun lalu menyuruh mengiris jahitan bajunya, dan setelah jahitan baju itu tersayat, maka keluarlah 40 dinar itu. Melihat uang itu hati penyamun itu tidak menjadi suka cita, tetapi terpesona sejenak, kemudian menanyakan lagi pada Abdul Kadir, apakah sebabnya dia berkata yang sebenarnya itu.

Dijawab oleh Abdul Kadir dengan tenang, bahwa beliau telah berjanji kepada ibunya, tak akan berkata bohong pada siapa pun dan dalam keadaan bagaimanapun juga.

Mendengar jawaban itu pemimpin penyamun tadi bercucuranlah air mata dan menangis dengan tersedu-sedu, karena ia merasa dalam hati kecilnya bahwa ia selama hidupnya sampai di sa’at itu, terus-menerus telah melanggar perintah-perintah Tuhannya, sedang seorang pemuda ini tidak berani melanggar janji terhadap ibunya.

Seketika itu juga pemimpin penyamun tadi berjabat tangan dengan Abdul Kadir dan berjanji dengan bersikap sopan dan sungguh akan memberhentikan pekerjaan menyamun ini yang diakuinya sendiri sebagai suatu perbuatan yang hina dan jahat.

Kemudian diperintahkan oleh pemimpin penyamun tadi pada anak buahnya, supaya semua barang-barang dikembalikan kepada yang punya masing-masing di antara kafilah itu dan dilanjutkaniah perjalanan kafilah itu dengan selamat ke Bagdad.

Anak buah penyamun itu seluruhnya mengikut jejak langkah pemimpinnya dan kembalilah mereka dalam masyarakat biasa mencari nafkah dengan hala! dan jujur.

Demikian saya catat beberapa ceritera dari karangan Rusly Akhmad mengenai Syeikh Abdul Kadir Jailani, sebuah kitab kecil yang tertulis dalam bahasa Indonesia berhuruf Latin, dan oleh karena itu dapatlah dibaca oleh golongan terpelajar dan dicapai dengan mudahnya.

Lebih jauh Imam Taqiyuddin menceriterakan, bahwa pada suatu kali, tatkala Syeikh Abdul Kadir memasuki kota Bagdad ia bertemu dengan Nabi Khaidir, yang memerintahkan ia menunggu pada salah suatu tempat sampai ia kembali. Syeikh Abdul Kadir konon menunggu pada tepi sebuah jalan selama tujuh tahun lamanya, dan selama itu ia hidup dengan makan rumput. Kemudian terdengar suara yang memerintahkan ia masuk kota Bagdad itu. Syeikh Hammadu Dibas pada suatu hari menunggu muridnya Abdul Kadir dalam ruang pengajaran. Dan oleh karena pintu tertutup, Syeikh Abdul Kadir tak berani masuk ke dalamnya, sehingga semalaman itu ia tidur di luar, sampai Dibas pada pagi harinya membuka pintu itu mendapat Syeikh Abdul Kadir di luarnya. Lalu dipeluknya dan berkata : ’’Tuhan sudah menjadikan engkau kepala dari segala wali-wali.

Manaqib banyak sekali menceriterakan hal-hal yang bersangkut-paut dengan kekeramatan Abdul Kadir, misalnya mengenai keselamatan harta Abdul Muzaffar sebanyak 700 dinar, yang dengan berkat Syeikh Abdul Kadir dapat diselamatkan daripada perampokan di jalan ke Syam, mengenai kealimannya dalam ilmu pengetahuan, karena se- sudah ia berguru pada Dibas, ia beroleh dua lautan ilmu, pertama bahrun nubuwah keilmuan Nabi yang tidak habis-habisnya, kedua bahrul futuwah, ilmu Ali bin Abi Thalib yang tidak dapat dihingga. Pernah murid-muridnya menceriterakan, bahwa dari dalam bajunya ke luar satu ular, yang berkata padanya, bahwa ia seorang wali yang tidak dapat dipertakut-takuti, ceritera seekor burung mati yang dihidupkannya kembali hanya dengan membaca Bismillah, ceritera seorang yang mengadukan nasibnya kepadanya, karena ia bermimpi berbuat zina, _yang dijawabnya bahwa ia sudah mengetahui lebih dahulu karena ia sudah melihat tertulis pada Luh Mahfuz dan sudah diminta keampunan Tuhan, bahwa ia pernah mengatakan tiap orang yang menghadapi sesuatu malapetaka akan terhindar dari bahaya itu jika menyebut namanya dan bertawassui kepadanya, selanjutnya pernah menyembuhkan seorang perempuan sakit hanya dengan menyuruh mengucapkan pada telinganya enyahlah engkau, hai Khanis!”’, ceritera mengenai beberapa orang yang akan bersoal jawab dengan dia, karena keramatnya jatuh murca sekaliannya, ceritera pernah menciptakan seekor ayam hidup daripada sepotong tulang untuk memberi makan seorang anak yang sedang menderita kelaparan, ceritera seorang Nasrani yang masuk Islam di tangannya, karena orang Nasrani itu bermimpi bertemu Nabi Isa, yang memerintahkan dia masuk Islam pada Syeikh Abdul Kadir Jailani karena ia sebaik-baiknya wali, ceritera Khalladi pernah menemui tiga ratus enam puluh orang wali, tetapi tidak ada yang sebesar Syeikh Abdul Kadir Jailani, ceritera ia menanggung dosa murid-muridnya, yang tidak mati sebelum tobat kepadanya, ceritera ia memungut buah apel dari angin, tatkala ia lapar bersama Syeikh Abdul Muzafar dil.

Diceriterakan orang, bahwa ia pada suatu hari kedatangan cahaya di dadanya yang kilau-kemilau dan yang berkata : **Akulah Tuhanmu!’’ Tetapi Syeikh Abdul Kadir Jailani tahu, bahwa cahaya yang berkata itu tak lain dari setan. la mengusirnya dengan kata-kata yang keji. Barulah setan itu memperlihatkan dirinya dan mengakui kelemahannya sambil berkata : ’’Sudah tujuh puluh orang ahli tarekat kusesatkan, tetapi engkau tidak dapat aku perdayakan’’. Dan oleh karena itu Izzuddin bin Abdus Salam berkata, bahwa tidak ada seorang wali pun yang dapat mengatasi kedudukan Syeikh Abdul Kadir Jailani.

Dalam pada itu orang Sufi mempertengkarkan, mengenai siapa yang lebih tinggi, makam Abdul Kadirkah atau makam Abul Hasan Asy-Syazili. Berkata Syamsuddin Al-Hanafi, bahwa Allah telah memperlihatkan kepadanya ketinggian kedua makam itu, ia dapati makam Asy-Syazali lebih tinggi dari makam Abdul Kadir, yang demikian itu katanya disebabkan karena Abdul Kadir pada suatu hari ditanyakan orang siapa gurunya. Lalu ia menjawab, bahwa di masa yang telah lampau gurunya itu Syeikh Hammadu Ad-Dibasi, tetapi sekarang ia meminum ilmunya itu dari dua lautan, dari lautan Nubuwah Nabi Muhammad, dan dari fautan Futuwah Ali bin Abi Thalib. Tetapi tatkala ditanya yang demikian itu kepada Syazili maka jawabnya, bahwa gurunya di masa yang telah sudah Syeikh Abdus Salam bin Musyisy, sedang sekarang ia meminum ilmu daripada sepuluh lautan, lima lautan langit dan lima lautan bumi. Adapun lautan langit yang lima terdiri dari gurunya, Jibrail, Mikail, Israfil, Izrail dan Roh, sedang lima yang di bumi adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan Nabi Muhammad.

Meskipun demikian Syeikh Ahmad Al-Kamsyakhanuwi dalam kitabnya ’’Jami’ul Usul fil Aulia’’ (Mesir 1331 H.), mengatakan bahwa ahli-ahli Hakekat menetapkan bahwa makam Abdul Kadir Jailani lebih tinggi daripada Syazili.

Pokok-pokok dasar tarekatnya sama banyaknya dengan Syazili, sama-sama lima buah. Pokok tarekat Syazili terdiri dari lima, yaitu taqwa kepada Tuhan lahir. dan batin, mengikut Sunnah dalam perkataan dan perbuatan, menjauhkan diri dari makhluk di depan dan di belakang, rela terhadap Tuhan dalam pemberiannya yang sedikit atau banyak, dan kembali kepada Tuhan dalam waktu susah dan senang. Sedang pokok tarekat Qadiriyah yang lima itu adalah, pertama tinggi cita-cita, kedua memelihara kehormatan, ketiga memelihara hikmah, -ke empat melaksanakan maksud, dan kelima mengagungkan nikmat, keseluruhnya ditujukan kepada Tuhan Allah semata-mata.

Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Pengantar Ilmu Tarekat". halaman 312-319, Cetakan III, Januari 1985 M, Penerbit Ramadhani, Solo, Jawa Tengah

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam