Jumat, 19 Juli 2024

Tarekat Naqsyabandiyah

Di Indonesia sangat terkenal tarekat Naksyabandiyah, yang peme luknya terdapat tidak sedikit, baik di Jawa, baik di Sumatera, maupun di Sulawesi. Tarekat ini asalnya didirikan oleh Muhammad bin Baha’uddin Al-Uwaisi Al-Bukhari (717 — 791) H.). la biasa dinamakan Naksyabandi, terambil dari kata Naksyaband, yang berarti lukisan, konon karena ia ahli dalam memberikan lukisan kehidupan yang ghaib-ghaib. Benar atau tidaknya pengertian ini, kita baca di dalam buku The Darvishes’’, karangan J.P Brown. Dalam ’’Berlin Catalgue’’, No. 2188, dari Ahlwardt, kata Naksyaband itu diartikan sama dengan penjagaan bentuk kebahagiaan hati. Gelaran Syah diberikan orang kemudian untuk kehormatan.

Muhammad bin Baha’uddin lahir dalam sebuah desa bernama Hinduwan, yang kemudian bernama desa Arifan, jarak beberapa kilo meter dari Bukhara. Sebagaimana wali-wali yang lain Muhammad Baha’uddin pun mempunyai ceritera dan tanda-tanda kelahirannya yang anch. Pada suatu hari seorang wali besar Muhammad Baba Sammasi,berjalan melalui desa Arifan itu. Tatkala ia memasuki desa itu ia berkata kepada teman-temannya : ’’Bau yang harum kita ciumi sekarang ini, datangnya dari seorang laki-laki yang akan lahir dalam desa ini”. Perkataan ini diucapkannya sebelum lahir Baha’uddin. Pada kali yang lain ia menerangkan pula, bahwa bau yang harum itu telah bertambah semerbak, ucapan mana dikeluarkan kira-kira tiga hari sebelum Baha’uddin lahir. Setelah Baha’uddin lahir ia diantarkan kepada Muhammad Baba tersebut, yang diterimanya dengan penerimaan yang penuh gembira, seraya berkata : ’’Ini adalah anakku, dan baik saksilah kamu, bahwa aku menerimanya’’. Tatkala ayah Baha’uddin berdatang sembah, agar Amir Kulal tidak menyia-nyiakan anaknya, Amir Kulal berdiri-dan sambil meletakkan tangannya ke atas dada bayi itu, ujarnya :’*Jika saya sia-siakan haknya, pendidikannya dan rawatan untuknya yang lemah-lembut, bukanlah aku ini seorang manusia yang mempunyai makam dalam sejarah Baha’uddin’’.

Kitab Jami’ul Usul menceriterakan lebih lanjut, bahwa desa Hinduwan atau Arifan itu adalah sebuah desa yang sangat baik letaknya dan indah bentuknya. Dalam desa itu terdapat banyak taman-taman yang molek dan kebun-kebunan yang menghijau dengan buah-buahan yang aneka warna dan lezat-lezat rasanya. Dalam desa itulah lahir Muhammad Baha’uddin, di tengah-tengah penduduk yang berkelakuan baik-baik pula, dalam tahun 718 (1317 M.), diiringi dengan kejadian-kejadian yang ajaib, di luar kiraan manusia mengenai diri wali ini.

Ceritera mengenai hidup Naksyabandi menghubungkan keturunannya dengan seorang hidup Qutub Sufi besar, Syeikh Abdulqadir Al-Jailani, yang merupakan keturunan dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib, kemenakan Nabi Muhammad dan Khalifah yang ke-IV.

Diceriterakan, bahwa Muhammad Baha’uddin mengambil pelajaran tarekat dan ilmu adab dari qutub Amir Kulal, yang baru kita sebutkan tadi, tetapi mengenai ilmu hakikat ia banyak beroleh pelajaran dari Uwai Al-Qarni, karena ia dididik kerohaniannya oleh wali besar Abdul Khalik Al-Khujdawani, yang mengamalkan pendidikan Uwais itu. Kata orang, bahwa ia memakai Al-Uwais di belakang namanya, karena ada hubungan nenek dengan Uwais Al-Qarni itu.

H.A.R. Gibb dalam kitab ’’Shorter Encyl of Islam’’ (Leiden 1953) menceriterakan, bahwa Muhammad Baha’uddin dalam usia delapan belas tahun memang pernah dikirim untuk belajar ke Sammas, suatu desa yang letaknya kira-kira tiga mil dari Bukhara, untuk mempelajari ilmu Tasawwuf dari seorang guru yang sangat ternama ketika itu, yaitu Muhammad Baba Al-Sammasi. Meskipun demikian tidaklah seluruh tarekat Naksyabandi itu bersamaan dengan tarekat Baba Al-Sammasi, misalnya menurut tarekat Baba Al-Sammasi zikir itu harus diucapkan dengan suara yang keras, tetapi Naksyabandi lebih menyukai zikir se- cara tarekat Abdul Khalik Al-Khujdawani (seorang wali besar, w 575 H.), yang diucapkan dengan suara yang hampir tidak kedengaran dalam diri pribadi.

Dengan demikian maka terjadilah perbedaan faham antara Naksyabandi dengan teman-teman setarekat yang lain dari As-Sammasi, yang pada akhirnya membenarkan pendirian Naksyabandi dan dalam sakitnya mengangkat dia menjadi khalifahnya.

Kemudian diceriterdkan bahwa Naksyabandi pergi ke Samarkand dan dari sana ke Bukhara, di mana ia kawin, sesudah itu pulang kembali ke desanya. Beberapa waktu ia pergi ke Nasaf, untuk melanjutkan pelajarannya pada seorang khalifah As-Sammasi yang bernama Amir Kulal. Juga diceriterakan bahwa ia pernah tinggal di desa-desa Bukhara dan belajar selama tujuh tahun pada seorang arif Ad-Dikkirani, setelah itu ia bekerja pada Sultan Khalid, yang pemerintahnya pernah dipuji oleh Ibn Battutah dalam kitab sejarahnya, dan yang ibu negerinya terletak di Samarkand yang makmur itu. Banyak sedikitnya kemasyhuran pemerintahan itu konon adalah disebabkan oleh Muhammad Baha’uddin Naksyabandi.

Sesudah raja yang dilayaninya itu kemudian mangkat (1347 M.), Naksyabandi pulang kembali ke Zewartun, di mana ia menjalankan hidup Sufi dan zuhud, dan di mana ia tujuh tahun lamanya dalam kehidupan yang demikian itu melakukan amal-amal untuk manusia dan binatang. Hari-hari yang akhir daripada usianya digunakan untuk tinggal dalam desa kelahirannya, dan meninggal di sana di tengah-tengah keluarga dan pengikutnya yang mencintainya dalam tahun 791 H. (1389 M.). Tetapi ada juga yang mengatakan, bahwa gubahnya itu terdapat di Bukhara (Vambery), Travel in Central Asia, 1864), yang dikunjungi saban waktu terutama oleh orang-orang Cina, yang datang dari Tiongkok.

Bahwa tarekat Naksyabandi berhubung Jangsung kepada Nabi Muhammad, diterangkan dalam silsilahnya oleh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya ’’Tanwirul Qulub’’ (Mesir, 1343 H.). Katanya, bahwa Naksyabandi beroleh tarekat itu dari Amir Kulal bin Hamzah, yang mengambil dari Muhammad Baba As-Sammasi, yang mengambil pula dari Ali Ar-Ramitni, yang masyhur dengan nama Syeikh Azizan, yang menerima tarekat itu dari Mahmud Al-Fughnawi, yang mengambil berturut-turut dari Arif Ar-Riyukri, dari Abdul Khalik Al-Khujdawani, dari Abu Yakub Yusuf Al-Hamdani, dari Abu Ali Al-Fadhal bin Muhammad At-Thusi Al-Farmadi, dari Abul Hasan Ali bin Ja’far Al-Khirqani dari Abu Yazid Al-Bisthami, yang mengambil dari Imam Ja’far Shadiq, salah seorang keturunan dari Abu Bakar As-Shiddiq, yang mengambil pula tarekat itu dari neneknya Qasim bin Muhammad, anak Abu Bakar As-Shiddiq, yang mengambil pula dari Salman Al-Farisi, salah seorang sahabat Nabi terbesar, yang menerima pula tarekat itu dari Abu Bakar As-Shiddiq, sahabat Nabi dan khalifahnya yang pertama, dan Abu Bakar ini menerimd langsung tarekat itu dari Muhammad, sebagai yang dicurahkan melalui Malaikat Jibrail oleh Allah Ta’- ala. Memang banyak yang mencari hubungan tarekat dengan Abu Bakar, karena sahabat ini adalah kesayangan Nabi, dan oleh karena itu kepadanya dicurahkan ilmu yang istimewa, seperti yang diterangkan oleh Nabi Muhammad sendiri : ’’Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar’’. Dan tarekat Naksyabandi pun konon berasal langsung dari Abu Bakar, dan dengan demikian dari Nabi Muhammad.

Tarekat Naksyabandiyah ini kemudian pecah atas beberapa cabang, satu di antaranya dinamakan tarekat Naksyabandiyah Al-Aliyah, yang didasarkan atas amal perbuatan, yang terdiri dari sebelas perkataan Persi, delapan berasal dari Syeikh Abdul Ghalib Al-Khujdawani dan tiga dari Syeikh Baha’uddin Naksyabandi sendiri.

Yang berasal dari perkataan- Persi ialah

  1. Husydardam, artinya memelihara keluar masuknya nafas daripada kealpaan kepada Tuhan, sehingga hati itu selalu hadir dan ingat kepadanya, yang oleh tarekat Naksyabandi dianggap masuk nafas itu hidup berhubungan dengan Tuhan, keluar nafas itu mati bercerai dengan Tuhan,
  2. Nazarbar Qidam, yang artinya bahwa orang salik Naksyabandi tiap berjalan wajib melihat ke kakinya, pada waktu duduk melihat kepada kedua tangannya, tidak boleh melihat lukis-lukisan, warna-warna yang indah, dan pemandangan-pemandangan yang indah, yang dapat membimbangkan hati daripada ingat kepada Tuhan,
  1. Safardarwathan, yang artinya berpindah daripada sifat manusia yang kotor kepada sifat malaikat yang suci, maka diwajibkan kepada tiap salik akan mengontrol hatinya, Jangan ada ketinggalan cinta kepada makhluk, dan jika rasa cinta kepada makhluk itu masih terdapat dalam hatinya, hendaklah ia bersungguh-sungguh menghilangkannya,
  2. Khalawat dar ajuman, yang artinya khalawat dalam kenyataan, yaitu agar hati selalu hadir kepada hak yang nyata dalam segala keadaan,
  3. Yadkard, yang artinya kekal mengulang-ulang zikir, baik zikir asma atau zat, baik zikir nafi, maupun zikir isbat,
  4. Bazkasyat, artinya mengulang !agi zikir nafi dan isbat sesudah meresap kalimat ’’O, Tuhanku, Engkaulah tujuanku, dan kerelaan-Mulah tuntutanku’’, karena dengan demikian akan fanalah pandangan yang salik itu terhadap kepada adanya segala makhluk,
  5. Nakandasyt, yang artinya, bahwa murid-murid itu harus memelihara hatinya daripada segala bisikan khawatir,
  6. Yaddasyd, yang artinya tawajjuh yang istimewa, dengan tidak disertai kata-kata kepada memantapkan nur zat ahdiyah dan hak, yang keadaan ini tidak bisa dicapai kecuali sesudah fana yang sempurna dan baqga yang lengkap.

Adapun tambahan tiga dasar, yang diletakkan oleh Naksyabandi sendiri ialah 1. wuquf zamani, yang artinya tiap-tiap dua atau tiga jam seorang salik memperhatikan kembali keadaan jiwanya, jika dalam waktu itu ia teringat kepada Tuhan lalu bersyukur kepada-Nya jika terlupa harus meminta ampun dan mengucapkan istigfar, 2. wuquf ‘adadi, yang artinya memelihara bilangan ganjil, ketika melakukan zikir nafi dan isbat, misalnya disudahi pada kali yang ketiga, kali yang kelima, sampai kali yang kedua puluh satu, dan 3. wuquf qalbi, yang artinya menghilangkan fikiran lebih dahulu daripada segala perasaan, kemudian dikumpulkan segala tenaga dan pancaindera, untuk melakukan tawajjuh dengan segala mata hati yang hakiki untuk menyelami ma’rifat Tuhannya.

Dikemukakan, bahwa tarekat Naksyabandiyah itu merupakan suatu tarekat yang lebih dekat kepada tujuannya, dan lebih mudah untu} murid-murid mencapai derajat, karena didasarkan kepada pelaksanaan yang sangat sederhana, misalnya mengutamakan latihan rasa lebih da- hulu yang dinamakan dengan kata istilah jazbah, daripada latihan suluk yang lain, kedua sangat kokoh memegang sunnah Nabi dan menjauhkan bid’ah, menjauhkan diri daripada sifat-sifat yang buruk, memakai segala sifat-sifat yang baik dan akhlak yang sempurna, sedang ke banyakan tarekat yang lain mendahulukan suluk daripada jazbah itu. lain daripada itu Tarekat Naksyabandiyah itu mengajarkan zikir-zikir yang sangat sederhana, lebih mengutamakan zikir hati daripada zikir mulut dengan mengangkat suara. Jika kita ringkaskan, apakah yang menjadi tujuan pokok daripada tarekat Naksyabandiyah itu, maka kita akan bertemu dengan enam dasar yang terpenting, yaitu taubat, uziah, zuhud, taqwa, qana’ah dan taslim. Untuk mencapai ini mereka jadikan rukun tarekatnya enam pula, pertama ilm, kedua hilm, ketiga sabar, keempat ridha, kelima ikhlas, dan keenam akhlak yang baik. Ada enam hukum yang dijadikan pegangan dalam tarekat Naksyabandi, pertama ma’rifat, kedua yakin, ketiga sakba, keempat sadaq, kelima syukur, dan keenam tafakkur tentang segala apa yang dijadikan Tuhan. Maka oleh karena itu ada enam pula yang wajib dikerjakan dalam tarekat ini, pertama zikir, kedua meninggalkan hawa nafsu, ketiga meninggalkan dunia, keempat melakukan agama dengan sungguh-sungguh, kelima berbuat baik (ihsan) kepada segala makhluk, can keenam mengerjakan amal kebajikan (amal khair).

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam