Sabtu, 13 Juli 2024

Memahami Wasilah dan Rabitah dalam Tarekat Sufi

Wasilah atau tawassul acapkali juga kita dengar dalam ilmu Sufi. Istilah ini, yang kemudian mempunyai arti yang tertentu, pada muianya hampir dapat diterjemahkan dengan penghubung atau hubungan, khususnya hubungan dengan guru.

Yang dijadikan alasan terpokok untuk wasilah ini ialah ayat Qur'an yang menerangkan :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

"Tuntut olehmu kepadanya akan wasilah" (Qur'an V ; 35).

Kemudian diambil pula perbandingan dari kisah Nabi Mi'raj ke langit menemui Tuhannya yang diantarkan oleh Malaikat Jibral. Pengantaran ini dianggap wasilah, sehingga dalam kalangan ahli tarekat cerita ini lebih terkenal dengan kata-kata : Nabi Muhammad Mi'raj hendak bertemu dengan Tuhan berwasilah. kepada Malaikat Jibril. Sesampai pada Sidratul Muntaha Malaikat Jibrail dtinggalkan di situ, karena Nabi ketika itu hendak masuk ke dalam laut ma'rifatullah, musyahadah akan Allah, yang bersifat laisa kamislihi syaun, yang tidak dapat diumpamakan dengan sesuatu benda apa pun juga.

Di sini ahli tarekat mengambil ibarat, bahwa mereka pun ada baiknya jika berwasilah kepada guru atau kepada pengajar pada waktu beribadah kepada Allah. Lalu istilah wasilah itu beroleh arti yang khusus baginya yaitu jalan yang menyampaikan hambanya kepada Allah. Tarekat Naqsyabandiyah mengartikan hakikat wasilah itu tabaruk atau mengambil berkat, sebagaimana yang dikerjakan oleh murid-murid tarekat sebelum melakukan zikir. Misalnya murid tarekat itu berdo'a : "Ya, Allah' Aku pinta pada-Mu dengan berkat Rasullallah dan dengan berkat guruku, agar Engkau memberikan daku ma’rifat dan cinta kasih hatiku kepada-Mu”.

Dalam hal ini tarekat berpegang pada sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang menceriterakan bahwa Sayyidina Umar Ibn Khattab ketika musim kemarau, waktu kekurangan air, meminta hujan dan do'anya dimulai dengan minla berkat Abbas bin Abdul Muthalib demikian : "Ya, Tuhanku! Kami dahulu selalu berdo'a kepada-Mu dengan berkat Nabi Engkau, sekarang kami tawassul dengan bapak kecil Nabi". Lalu hujan pun turunlah. Hadis ini terdapat dalam Sahih Bukhari, halaman 123, dalam kitab Sublus Salan, jilid II, halaman 134, dan kitab Nailul Authar, jilid II, halaman 6.

Hal ini menyatakan bagi ahli tarekat bahwa Sayyidina Umar pun berdo'a memakai wasilah Nabi dan sesudah Nabi wafat dengan wasilah Abbas bin Abdul Muthalib. Dengan demikian tawassul itu tidak hanya tertentu dengan Nabi saja, bahkan boleh juga dengan Sahabat- Sahabat Nabi, wali-wali dan ulama-ulama, karena ulama-ulama itu adalah warisan para Nabi-Nabi (Hadis Bukhari dan Muslim).

Mengenai rabithah, yang artinya hubungan atau ikatan, kita dapat keterangan pengertiannya dalam tarekat terbagi tiga : pertama rabithah wajib, kedua rabithah sunnat dan ketiga rabithah harus.

Adapun rabithah wajib adalah seperti yang terdapat pada waktu orang sembahyang menghadap kepada Baitullah. Menghadapkan dada dan muka ke Baitullah itu wajib hukumnya karena tidak sah sembahyang jika tidak menghadap ke Ka’bah itu, pada hal yang disembah bukanlah Ka’bah yang dihadapi itu, tetapi Allah semata-mata. Ka’bah hanya menjadi rabithah wajib.

Yang kedua rabithah sunnat namanya, seperti yang terdapat pada seseorang ma’mum, yang harus memandang kepada imammya dalam bersembahyang berjama’ah. Sekali-kali tidak dimaksudkan bahwa berpaling daripada menyembah Allah dalam sembahyang. Baik ma’mum maupun imam kedua-duanya bersama-sama menyembah Allah.

Ada sebuah cerita mengenai sembahyang berjama’ah di masa Nabi, yang diimami oleh Rasulullah sendiri. Orang kafir menuduh bahwa orang Islam itu menyembah Nabi Muhammad, karena dilihat cara gerak dan diamnya dalam sembahyang. Orang Islam menjawab : “Kami tidak menyembah Nabi Muhammad. Yang kami sembah hanya Allah. Hanya bersama-sama Nabi Muhammad'’. Maka rabithah yang terdapat dalam sembahyang berjama’ah ini, ialah rabithah sunnat namanya.

Kemudian mengenai rabithah yang ketiga, yaitu rabithah harus, diterangkan seperti melihat barang-barang yang baik pada waktu kita hendak mengerjakan sesuatu barang agar baik pula. Dalam kata sehari-hari : meniru mengikuti yang baik-baik. Murid diibaratkan orang buta yang harus mengikuti gurunya yang matanya jelas melihat. Yang dikatakan guru yang mursyid yaitu orang yang telah karam dalam laut muraqabah dan musyahadah berkekalan akan Tuhannya. Murid-murid tarekat yang hendak mengambil rabithah diwajibkan mengetahui bekas yang majazi dan bekas yang hakiki, dan faham pula ma’na wahdaniat yang mengandung tiga perkataan, pertama tidak terbilang zat Allah, kedua tidak terbilang sifat Allah dan ketiga tidak memberi bekas segala perbuatan makhluk pada, hakikat pekerjaan la haw la wa la quwata illa billah, tidak ada daya upaya melainkan dengan kehendak Allah.

Hakikat rabithah pada ahli tarekat ialah bersahabat atau sebanyak mungkin beserta dengan mursyid, dengan guru yang pandai-pandai, yang hatinya selalu ingat kepada Allah, melihat kepada orang-orang yang demikian atau kasih sayang kepada orang-orang itu, tidaklah dimaksudkan memperhambakan diri kepadanya atau mempersekutukan dia dengan Allah.

Tetapi ada tarekat-tarekat yang mengartikan rabithah itu meng- gambarkan rupa guru dalam kehendaknya kepada Allah.

Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Pengantar Ilmu Tarekat". halaman 102-105, Cetakan III, Januari 1985 M, Penerbit Ramadhani, Solo, Jawa Tengah

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam