Kamis, 11 Juli 2024

Silsilah dan Khirqah dalam Tarekat

Silsilah bagi seorang Syeikh atau guru tarekat, yang acapkali dinamakan juga mursyid, karena ia memberi pertunjuk kepada murid-muridnya, merupakan syarat terpenting untuk mengajarkan atau memimpin sesuatu tarekat. Mereka yang akan menggabungkan diri kepada sesuatu tarekat, hendaklah mengetahui sungguh-sungguh nisbah atau hubungan guru-gurunya itu sambung-bersambung antara satu sama lain sampai kepada Nabi. Karena yang demikian itu dianggap perlu dan tidak boleh tidak, sebab bantuan kerohanian yang diambil dari guru-gurunya itu harus benar, dan jika tidak benar tidak berhubungan sampai kepada Nabi, maka bantuan itu dianggap terputus dan tidak merupakan warisan daripada Nabi. Murid tarekat hanya membuat bai'at, sumpah setia atau janji, dan tidak menerima ijazah dan khirqah, tanda kesanggupan, kecuali kepada mursyid yang mempunyai silsilah yang baik.

Silsilah itu merupakan hubungan nama-nama yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang lain, biasanya tertulis rapi dengan bahasa Arab di atas sepotong kertas, yang diserahkan kepada murid tarekat, sesudah ia melakukan latihan dan amal-amal, dan sesudah menerima pertunjuk-pertunjuk, irsyad dan peringatan-peringatan, talqin, dan se-sudah membuat janji untuk tidak melakukan ma'siat-ma'siat yang dilarang oleh gurunya, ahd, dan menerima ijazah atau khirqah, sebagai tanda boleh meneruskan lagi pelajaran tarekat itu kepada orang lain. Sebagai contoh saya sebutkan di sini silsilah Syeikh Muhammad Amin Al-Kurdi, salah seorang Syeikh tarekat Naqsyabandiyah terkenal, wafat 1332 H. pengarang "Kitab Tanwirul Qulub", yang menerangkan, bahwa ia mengambil tarekat Naqsyabandiyah itu dari Syeikh Umar, yang mengambil dari ayahnya Usman, selanjutnya sambung-menyambung mengambil dari Syeikh Khalid, Syeikh Abdullah Ad-Dahlawi, dari Habibullah Jan Janan Mazhur, dari Nur Muhammad Al-Badwani, dari Muhammad Saifuddin, dari Muhammad Ma'sum, dari ayahnya Ahmad Al-Faruqi As-Sarhandi, dari Muhammad Al-Baqi Billah, dari Muhammad Khawajiki As-Samarqandi, dari ayahnya Darwis Muhammad As-Samarqandi, dari Muhammad Az-Zahdi, dari Ubaidillah As-Samarqan-di, dari Ya'kub Al-Jarkhi, dari Muhammad bin Muhammad Ala'uddin Al-Akthar Al-Bukhari Al-Khawarizmi, yang mengambil dari pencipta tarekat Naqsyabandiyah sendiri, bernama Syah Naqsyaband Baha'ud-din Muhammad bin Muhammad Al-Uwaisi Al-Bukhari, yang mengambil pula dari Amir Kalal, dari Muhammad Baba As-Samasi, dari Ali Ar-Ramitani, yang termasyhur dengan nama Syeikh Azinan, dari Syeikh Mahmud Al-Anjir Faghnawi, dari Syeikh Arif Ar-Riyukiri, dari Syeikh Abdul Khalik Al-Khajduwani, dari Syeikh Abu Ya’kub Yusuf Al-Hamadani, dari Syeikh Abu Ali Al-Fadhal At-Thusi, dari Syeikh Abul Hasan Ali bin Ja’far Al-Kharqani dari Syeikh Abu Yazid Thaifur Al-Bisthami, dari Imam Ja’far As-Sadiq, dari Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq, dari Salman Al-Farisi, sahabat Nabi, yang meng-ambil pula dari Abu Bakar As-Siddiq, sahabat Nabi dan Khalifah yang pertama, yang akhirnya mengambil dari Nabi Muhammad saw, yang menerima pula melalui Jibrail dari Allah SWT. .

Demikianlah jalannya silsilah itu, ada yang melalui Abu Bakar, ada yang melalui Ali bin Abi Thalib, atau salah seorang sahabat yang lain, yang akhirnya sampai kepada Nabi, kepada Jibril dan kepada Tuhan, beberapa ajaran-ajarannya.

Jika seorang mursyid mempunyai silsilah semacam itu, maka berkahlah ia mengajar tarekat tersebut kepada orang-orang lain. Syeikh tarekat Sammaniyah misalnya harus sampai kepada Muhammad Samman, yang kemudian sampai kepada sahabat dan kepada Nabi, Syeikh tarekat Syattariyah harus sampai kepada Asy-Syattari, yang kemudian sampai kepada sahabat dan kepada Nabi, demikianlah dengan semua tarekat yang lain-lain.

Perbedaan antara ijazah dan khirqah kadang-kadang terletak dalam perbedaan bentuk, ijazah biasanya merupakan surat keterangan yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk selanjutnya mengajarkan tarekat itu kepada orang lain, baik bersama-sama dengan beberapa wasiat dan nasehat, khirqah kadang-kadang merupakan sepotong kain atau pakaian dari bekas gurunya, yang biasanya oleh murid dianggap setengah suci dan menjadi kenang-kenangan baginya.

Dr. Zaki Mubarak menerangkan, bahwa ada adab yang diletakkan orang Sufi, baik pada waktu memberikan wasiat dan nasehat kepada murid-muridnya, maupun pada waktu murid-muridnya menerima wasiat dan nasehat itu, yang merupakan suatu kejadian penting pada akhir pelajarannya, di kala mereka menerima ijazah dari gurunya itu.

Wasiat dan nasehat ini merupakan suatu kesenian susunan kata-kata yang indah, yang dapat memberi kesan yang dalam kepada orang yang dinasehati, dan dapat menjadi tali ikatan persaudaraan yang ko-koh yang tidak akan putus-putus antara guru dan muridnya, antara orang yang memberi nasehat dengan orang yang dinasehati atau yang menerima wasiat terakhir. Oleh karena itu sedapat mungkin guru-guru tarekat memilih kata-kata yang sangat muluk, pengertian-pengertian yang sangat mendalam, dan cara-cara serta adab yang akan tinggal lama dalam ingatan kedua belah pihak.

Bagaimana contoh wasiat dan nasehat itu dapat kita pelajari misalnya dari perkataan Alqamah bin Lubiad yang dihadapkan kepada anaknya : "Wahai anakku! Apabila pada suatu masa engkau terpaksa menghadapi sesuatu keperluan, yang tidak dapat engkau selesaikan sendiri, maka carilah sahabatmu yang dapat menolong engkau. Untuk sahabatmu itu carilah orang yang dalam pergaulan dengan engkau ia memperbaiki engkau. Jika engkau berbuat khidmat kepadanya, ia memeliharakan keselamatan engkau, jika engkau mengalami kemiskinan, ia memberikan dikau makan dan minum, jika engkau mengeluarkan kata-kata, ia membenarkan perkataanmu, jika engkau ditimpa kesukaran dan kesusahan, ia selalu siap sedia mempersembahkan bantuannya kepadamu, jika engkau mengulurkan tanganmu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang baik, ia selalu siap sedia memperluas dan menyiarkan kebaikan dan kebajikan itu, jika ia melihat engkau berbuat kebajikan kepadanya, ia tidak melupakan dalam ingatannya kebajikanmu itu, jika engkau meminta sesuatu kepadanya, diberikannya dengan suka rela. jika engkau berdiam diri ia datang kepadamu mengajak berkata-kata, jika engkau diselubungi malapetaka dan ketakutan, ia siap sedia dengan tidak membuat perhitungan meringankan penderitaanmu!" (Uyunul Akhbar).

Memang wasiat itu merupakan suatu kebiasaan yang sudah lama dalam kalangan bangsa Arab. Qur'an menyebutkan beberapa contoh tentang wasiat, misalnya seperti yang pernah dikemukakan oleh Luqman kepada anaknya : "Wahai anakku aku berwasiat kepadamu, bahwa janganlah engkau syirik kepada Allah, karena syirik itu merupakan suatu kezaliman yang besar. Wahai anakku, dirikanlah. sembahyang, berbuatlah kebajikan, basmilah kemunkaran, bersabarlah tentang apa yang menimpa dirimu, karena yang demikian itu adalah pekerjaan-pekerjaan penting. Janganlah engkau berlaku congkak terhadap manusia, di waktu berjalan jangan engkau bertingkah-laku sombong, karena Tuhan tidak menyukai mereka yang bersikap angkuh. Tenanglah engkau dalam perjalananmu, lemah-lembutlah engkau dalam perkataanmu, karena Tuhan membenci suara-suara yang menyamai suara keie- dai" (Qur'an XXXI : 13 - 19).

Wasiat itu terdapat di dalam Hadis, baik tatkala Nabi memberi pengajaran kepada pengikut-pengikutnya, baik pada waktu ia melepaskan pasukan yang akan melakukan sesuatu tugas peperangan dan jihad atas jatan Allah, wasiat-wasiat itu diucapkan oleh Sahabat-Sahabat pada waktu mereka memangku jabatan Khalifah, pada waktu mereka menghadapi sesuatu kejadian penting dalam pemerintahnnya, begitu juga wasiat-wasiat itu tidak pernah ditinggalkan oleh pembesar-pembesar Islam setiap saat dan masa, sebagaimana tiap-tiap kepala kabilah tidak pernah meninggalkan pesan dan tegur sapanya sewaktu-waktu diperlakukan kepada anak-anak buahnya.

Kesenian berwasiat ini dikenal juga oleh bangsa-bangsa yang kemudian menggabungkan dirinya dalam ikatan Islam yang luas dan perkasa itu. Orang Persia mengenalnya, orang Mesir mengenalnya. Tentu saja raja-raja Persia dalam wasiat-wasiatnya mengemukakan hal-hal yang penting untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pemerintahan, seperti yang pernah ternyata dari wasiat Ardesyir anak Bapak yang ditinggalkan untuk anak-anaknya dan raja-raja bawahannya. Nabi-nabi meninggalkan wasiatnya, Isa Al-Masih meninggalkan wasiatnya, Ghazali meninggalkan wasiatnya, guru-guru Sufi meninggalkan wasiatnya, dan Khatib-Khatib di atas mimbar tiap hari Jum’at dan hari raya meninggalkan wasiat-wasiatnya. Sehingga dengan demikian wasiat itu menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan Islam.

Dan oleh karena itu penyusunannya dalam bahasa Arab merupakan suatu bentuk tertentu, indah kata-kata dan susunan kalimat, dalam artinya dan jauh tujuan dan sasarannya, karena dalam banyak hal wasiat itu merupakan pembukaan pintu-pintu baru untuk kehidupan seseorang. Jika diperincikan selanjutnya, maka kita dapatilah wasiat raja-raja, yang dinamakan `uhud, kepada pembesar bawahannya, wasiat guru kepada muridnya, wasiat ayah kepada anaknya, dan wasiat pemimpin kepada rakyatnya. Jika wasiat kebanyakan itu mengenai kehidupan dan perbaikan cara-cara hidup, maka wasiat-wasiat orang Sufi dalam banyak hal di samping bahan-bahan yang sama terutama ditujukan kepada mempertinggi budi pekerti dan memperhalus jiwa manusia, serta mempertebal rasa lemah dalam hati manusia itu dalam menghadapi kodrat dan iradat Tuhannya.

Di samping Aus bin Harisah yang mewasiatkan bahwa mati itu lebih baik daripada fakir dan kemuliaan itu terletak dalam menolak segala haram, kita mendengarkan wasiat Sufi yang berlainan coraknya, sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib: “Ketahuilah bahwa dunia beralih ke belakang, sedang akhirat bergerak ke depan. Baik dunia maupun akhirat mempunyai anaknya. Berusaha agar engkau menjadi anak akhirat, bukan anak dunia. Bukankah orang-orang yang gemar kepada dunia menjadikan bumi itu permadaninya, tanah menjadi tikar dan air untuk penyejar dirinya? Bukankah orang yang rindu kepada syorga harus berkorban meninggalkan hawa nafsunya, orang yang ingin memelihara dirinya dari api neraka harus mengelakng diri daripada segala perbuatan yang haram, dan oleh karena itu orang yang ingin membelakangi dunia ini dan hidup zahid, pasti harus dapat menderita segala percobaan yang akan menghindarkan dia dan menyelubunginya dalam dunia”. Meskipun dari dua orang ahli peperangan, tetapi wasiat yang mereka ucapkan berbeda antara satu sama lain. Wasiat Ali bin Abi Thalib hendak membawa manusia itu kepada membersihkan jiwanya, memperbaiki hatinya, membawa menyendiri daripada dunia yang fana, dan membawa merasakan kegemaran kepada akhirat yang baqa.

Tatkala Ibn Sirin ditanya orang, manakah adab yang lebih dekat dan lebih halus terhadap Tuhan, maka ia menjawab hendaklah mengenal Tuhannya dengan sebaik-baiknya, hendaklah beramal seta'at-ta'atnya, hendaklah bersyukur kepadanya pada waktu senang, dan tetap bersabar pada waktu susah. Junaid selalu memulai wasiatnya dengan menyebutkan nama Tuhan dan mengajak takut kepadanya dan isinya biasanya ditujukan kepada dua hal, pertama menyuruh memperbesar belas kasihan sesama manusia dan kedua memperkeras tindakap terhadap perbaikan jiwa dan diri sendiri. Abu Sa’id Al-Ghazali selalu mempergunakan kata-kata: "Ingatlah wasiatku ini, wahai murid-muridku! Berharaplah akan mendapat pahala dari Allah. Kejahatan akan dikembalikan kepada dirimu, hilangkanlah dia dengan ta’at, matikanlah dia dengan kebajikan, potonglah dia dengan tidak mengharapkan sesuatu dari selain Allah, basmilah dia dengan rasa malu terhadap Tuhan, karena Tuhan itu pelindung! Berlomba-lombalah berbuat semua kebajikan, yang kamu kerjakan dalam segala tingkatan hidupmu, meskipun hatimu merasa takut menerimanya". Sementara Zun Nun selalu mengucapkan perbandingan dalam wasiat, misalnya "Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi daripada Islam, tat ada kemurahan lebih indah daripada taqwa, tidak ada akal yang dapat menyamai daripada kesalitian, tidak ada bantuan yang lebih manfa’at daripada taubat, tidak ada pakaian yang lebih hebat dari kesehatan, tidak ada perlindungan yang lebih aman daripada keselamatan, dan tidak ada perbendaharaan yang lebih kaya daripada merendah diri, begitu juga tidak ada harta yang lebih berharga daripada kerelaan dengan makananmu apa yang ada! Ingatlah bahwa orang yang dapat menahan diri dari meminta-minta, sebenarnya ia membina kesenangan tiap-tiap kegemaran menciptakan kelelahan hidup, tiap keserakahan akhirnya membawa kepada onggokan dosa, tiap sikap pelahap menjatuhkan manusia kepada suasana hina yang keji, tiap tam’a’ membuahkan dusta, tiap keinginan membuahkan sesalan, tiap harapan menimbulkan penolakan, dan tiap untung serta keuntungan membawa manusia kepada kerugian adanya"

Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Pengantar Ilmu Tarekat". halaman 99-102, Cetakan III, Januari 1985 M, Penerbit Ramadhani, Solo, Jawa Tengah

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam