Rabu, 10 Juli 2024

Peran Guru atau Mursyid dalam Tarekat Sufi

Syeikh atau guru mempunyai kedudukan yang penting dalam tarekat. Ia tidak saja merupakan seorang pemimpin yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan sehari-hari, agar tidak menyimpang daripada ajaran-ajaran Islam dan terjerumus ke dalam ma'siat, berbuat dosa besar atau dosa kecil, yang segera harus ditegurnya, tetapi ia merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi sekali kedudukannya dalam tarekat itu. Ia merupakan perantaraan dalam ibadat antara murid dan Tuhan. Demikian keyakinan yang terdapat dalam kalangan ahli-ahli tarekat itu.

Oleh karena itu jabatan ini tidaklah dapat dipangku oleh sembarangan orang, meskipun ia mempunyai lengkap pengetahuannya tentang sesuatu tarekat, tetapi yang terpenting adalah ia harus mempunyai kesucian rohani dan kehidupan bathin yang murni. Bermacam-macam bernama yang tinggi diberikan kepadanya menurut kedudukannya, misalnya nussak, orang yang menjalankan segala amal dan perintah agama, ubbad, orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadat, mursyid, orang yang mengajar agama atau memberi contoh kepada murid-muridnya, imam, pemimpin tidak saja dalam segala ibadat tetapi dalam sesuatu aliran keyakinan, syeikh, kepala dari kumpulan tarekat, dan kadang-kadang dinamakan juga dengan nama kehormatan sadah yang artinya penghulu atau orang yang dihormati dan diberi kekuasaan penuh.

Menurut kitab " Tanwirul Qulub fi mu'amlati allamil ghuyub" (Mesir, 1343 H.) yang dikarang oleh seorang penganut tarekat Nagsyabandiyah; Syeikh Muhammad Amin Al-Kurdi, dari mazhab Syafi'i, yang dinamakan Syeikh itu ialah orang yang sudah mencapai maqam rijalul kamal, seorang yang sudah sempurna suluknya dalam ilmu syari'at dan hakikat menurut Qur'an, Sunnah dan Ijma' dan yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid, yang sudah sampai kepadanya makam yang tinggi itu, dari tingkat ke tingkat hingga kepada Nabi kita Muhammad saw dan kepada Allah SWT dengan melakukan kesungguhan, ikatan-ikatan janji dan wasiat, dan memperoleh izin dan ijazah, untuk menyampaikan ajaran-ajaran suluk itu kepada orang lain. Jadi seorang Syeikh yang diakui itu sebenarnya tidaklah boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki tempat itu karena dorongan nafsunya belaka. Maka Syeikh yang arif, yang mempunyai sifat-sifat dan kesungguhan-kesungguhan seperti yang disebutkan itu, itulah yang dibolehkan memimpin sesuatu tarekat, Syeikh yang merupakan penghubung dan wasilah antara murid-muridnya dan Tuhannya, merupakan pintu yang harus dilalui murid menuju kepada Tuhannya itu. Seorang Syeikh yang belum pernah mempunyai mursyid, kata Al-Kurdi, maka mursyidnya itu ialah syetan, tidak boleh tampil ke muka dan memberikan petunjuk-petunjuk kepada muridnya, irsyad, kecuali sesudah beroleh pendidikan yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari gurunya yang berhak dan mempunyai silsilah pendidikannya yang benar. Berkata Imam Ar-Razi, bahawa seorang Syeikh yang tidak berijazah, dalam pengajarannya akan lebih merusakkan daripada memperbaiki, dan dosanya sama dengan dosa seorang perampok, karena ia menceraiakan murid-murid yang benar dengan pemimpin-pemimpinnya yang arif.

Dengan demikian seorang mursyid mempunyai tanggung jawab yang berat. Pertama ia harus alim dan ahli dalam memberikan tuntunan-tuntunan kepada murid-muridnya dalam ilmu fiqih, aqa'id dan tauhid, dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala prasangka dan keragu-raguan daripada murid-muridnya mengenai persoalan itu. Kedua bahwa ia mengenal atau arif dengan segala sifat-sifat kesempurnaan hati, segala adab-adabnya, segala kegelisahan jiwa dan penyakitnya, begitu juga mengetahui cara menyehatkannya kembali serta memperbaikinya sebagai semula. Ketiga bahwa ia mempunyai belas kasihan terhadap orang Islam, khusus terhadap murid-muridnya. Apa bila ia melihat, ada di antara mereka yang tidak dapat dengan segera meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya sehingga belum dapat menghindarkan diri daripada kebiasaan-kebiasaannya yang tidak baik, maka ia bersabar, memperbanyak ma'af dan mengulang nasehat-nasehatnya dengan tidak bosan-bosan, tidak dengan segera memutuskan hubungan murid itu dalam tarekatnya. Segala kesalahan-kesalahan itu jangan sedikit juga pun mengalirkan akibat kepada kesukaran-kesukaran yang lain. Dengan penuh lemah-lembut seorang mursyid selalu sedia memberikan petunjuk-petunjuk kepada murid-murid yang diasuhnya.

Keempat mursyid itu hendaklah pandai menyimpan rahasia murid-muridnya, tidak membuka kebaikan mereka terutama di depan mata umum, tetapi sebaliknya mengawasi dengan pandangan Sufinya yang tajam serta memperbaikinya dengan cara yang sangat bijaksana. Kelima bahwa ia tidak menyalahgunakan amanah muridnya, tidak mempergunakan harta benda murid-muridnya itu dalam bentuk apa pada kesempatan apa pun juga, begitu juga tidak boleh menginginkan apa yang ada pada mereka. Keenam bahwa ia tidak sekali-kali menyuruh atau memerintah murid-muridnya itu dengan suatu perintah, kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas juga dikerjakan olehnya sendiri, demikian juga dalam melarang segala macam perbuatan, dalam melakukan segala ibadat yang sunat atau menjauhkan segala perbuatan yang makruh, pendeknya dalam segala keadaan ahwal dan dalam segala perasaan azwaq, dirinyalah yang menjadi ukuran lebih dahulu, dirinyalah yang menjadi contoh lebih dahulu, kemudian barulah disalurkan kepada perintah atau larangan kepada murid-muridnya. Jika tidak demikian kesanggupannya, hendaklah ia diam, jangan berbicara tentang keadaan jiwa dan usaha dengan murid-muridnya. Ketujuh bahwa seorang mursyid hendaklah ingat sungguh-sungguh, tidak terlalu banyak bergaul apalagi bercengkerama bersenda-gurau dengan murid-muridnya. Ia hanya bergaul dengan murid-muridnya sekali sehari dan semalam, dalam melaksanakan zikir-zikir dan wirid-wirid, pada kesempatan mana ia menyampaikan beberapa petunjuk mengenai syari’at dan tarekat, mempergunakan kitab-kitab yang baik untuk tuntunan alirannya, sehingga dengan demikian ia dapat menghindarkan segala keragu-raguan, dan memimpin murid-muridnya itu beribadat kepada Tuhan dengan amalan-amalan yang sah.

Kedelapan ia mengusahakan segala ucapan bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama tentang ucapan-ucapan yang pada pe dapatnya akan memberi bekas kepada kehidupan bathin murid-muridnya itu. Kesembilan seorang mursyid yang bijaksana selalu berlapang dada, ikhlas, tidak ingin memberi perintah kepada seseorang murid itu apa yang tidak sanggup, tidak memerintahkan sesuatu amal yang kelihatan kurang digemari atau disanggupinya, Ia selalu bermurah hati dalam mengajarkannya. Kesepuluh apabila ia melihat ada seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dia, memperlihatkan kebesaran dan ketinggian hatinya, maka segera ia memerintah murid itu pergi berkhalwat pada suatu tempat yang tidak jauh, juga tidak terlalu dekat dengan mursyidnya itu. Kesebelas apabila ia melihat bahwa kehormatan terhadap dirinya sudah kurang dalam anggapan dan hati murid-muridnya, hendaklah ia mengambil siasat yang bijaksana untuk mencegah yang demikian itu, karena kepercayaan dan kehormatan yang berkurang itu, merupakan musuh terbesar baginya.

Kedua belas jangan dilupakan olehnya memberi petunjuk-petunjuk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu kepada murid-muridnya untuk memperbaiki hal mereka. Ketiga belas sesuatu yang harus mendapat perhatiannya yang penuh ialah kebangsaan rohani yang sewaktu-waktu timbul pada muridnya yang masih dalam didikan. Kadang-kadang murid itu menceritakan kepadanya tentang sesuatu ru’yah yang dilihatnya, mukasyafah yang terbuka baginya, dan musyahad yang dihadapinya, yang di dalamnya terdapat perkara-perkara yang istimewa, maka hendaklah ia berdiam diri, jangan banyak berbicara tentang itu. Sebaliknya hendaklah ia memberikan amal lebih banyak yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar, dan dengan itu ia mengangkat muridnya ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih mulia. Sebab apabila mursyid itu berbicara tentang hal-hal aneh tersebut, ditakuti akan terjadi sesuatu yang merusakkan bagi murid itu, karena memang gampang seseorang melihat dirinya meningkat. tetapi kadang-kadang hal yang tidak benar segera menjatuhkan martabatnya. Keempat belas ia melarang murid-muridnya banyak berbicara dengan teman temannya, kecuali dalam hal-hal yang penting, terutama harus dilarang murid-murid itu berbicara dengan teman-temannya tentang keramat dan wirid-wirid yang istimewa, karena jikalau ia membiarkan yang demikian itu lambat-launnya murid itu rusak karena ia meningkat dalam takabur dan berbesar diri terhadap yang lain itu.

Kelima belas ia menyediakan tempat berkhalwat, bagi perseorangan murid-muridnya, yang tidak dibolehkan masuk seorang pun daripada anak-anaknya kecuali untuk keperluan khusus, begitu juga mursyid itu menyediakan sebuah tempat berkhalwat khusus untuk dirinya dengan sahabat-sahabatnya.

Keenam belas hendaklah dijaga, agar muridnya tidak melihat segala gerak-geriknya, tidak melihat tidurnya, tidak melihat cara makan dan minumnya, karena yang demikian itu sewaktu-waktu dapat mengurangi penghormatannya terhadap Syeikh, dan mengetahui sampai di mana kesempurnaannya, lalu dibawa berceritera dan menggunjingkan hal itu untuk kemaslahatan sesama murid. Ketujuh belas ia mencegah muridnya memperbanyak makan, karena banyak makan itu melambatkan tercapainya latihan-latihan yang diberikan mursyidnya itu. Kebanyakan manusia itu adalah budak bagi kepentingan perutnya. Kedelappan belas melarang murid-muridnya berhubungan dengan Syeikh tarekat lain, karena acapkali yang demikian itu memberikan akibat yang kurang baik bagi muridnya. Tetapi apabila ia lihat kecintaan muridnya karena pergaulan itu tidak berkurang terhadap dirinya, dan tidak dikhawatirkan terguncang pendirian muridnya itu, maka yang demikian itu tidak mengapa.

Kesembilan belas ia melarang murid-muridnya pulang-balik kepada raja-raja dan orang-orang besar dengan tidak ada keperluan yang tertentu, karena pergaulannya dapat membesarkan nafsu keduniaannya dan melupakan, bahwa ia sedang dididik berjalan ke akhirat. Kedua puluh mursyid itu selalu dalam khutbah-khutbahnya mempergunakan kata-kata dan cara-cara yang lemah-lemah yang dapat menawan hati dan fikiran, jangan sekali-kali khutbahnya itu mengandung kecaman atau ancaman, karena yang demikian itu dapat menjauhkan jiwa muridnya daripadanya.

Kedua puluh satu apabila seorang mengundangmya, maka ia menerima undangan itu dengan penuh kehormatan dan penghargaan, begitu juga dengan rasa merendahkan diri.

Kedua puluh dua apabila ia duduk di tengah-tengah muridnya, maka hendaklah ia duduk dengan tenang dan penuh sabar, jangan banyak menoleh ke kiri-kanan, jangan mengantuk atau tidur di tengah-tengah mereka itu, jangan melunjurkan kakinya di tengah-tengah pertemuan menutup matanya, merendahkan suaranya, menghindarkan segala sifat-sifat yang tercela, karena apa yang dilakukannya itu semuanya akan dituruti oleh murid-muridnya, yang dianggap sebagai kelakuan-kelakuan yang terpuji dan ditirunya.

Kedua puluh tiga bahwa ia harus menjaga pada waktu seseorang muridnya datang menemuinya dia jangan memalingkan mukanya, meskipun pada waktu itu ia hendak melihat atau menoleh ke arah lain : Ia memanggil muridnya itu meskipun ternyata tidak ada sesuatu yang akan ditanyakannya. Apabila ia datang kepada murid, hendaklah dijaga adab sopan-santun dan tingkah-lakunya dalam keadaan sebaik-baiknya. Kedua puluh empat hendaklah ia suka bertanya tentang seseorang murid yang tidak hadir atau kelihatan serta memeriksa sebab-sebab ia tidak hadir itu. Apabila murid itu ternyata sakit, segeralah ia menengok, apabila murid itu memerlukan sesuatu, segeralah ia berikhtiar menolongnya, dan apabila ia ternyata uzur, hendaklah ia menyuruh memanggil dan berkirim salam.

Ghazali menyatakan, bahwa murid tak boleh tidak harus mempunyai syeikh (dalam bahasa Persia: Pir) yang memimpinnya. Sebab jalan iman adalah samar, sedang jalan-jalan iblis banyak dan terang. Dan siapa yang tak mempunyai Syeikh sebagai penunjuk jalan, ia pasti akan dituntun oleh iblis dalam perjalanannya. Karena itu murid harus berpegang kepada syeikhnya, sebagaimana seorang buta di pinggir sungai berpegang kepada pemimpinnya, mempercayakan diri kepadanya, jangan menentangnya sedikit pun dan berjanji mengikutinya dengan mutlak. Murid harus tahu, bahwa keuntungan yang didapatinya karena kekeliruan syeikhnya, apabila ia bersalah, lebih besar daripada keuntungan yang diperolehnya dari kebenarannya sendiri, apabila ia benar. Demikian catatan Gibb dalam bukunya "Lintasan Sejarah Islam", terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Pengantar Ilmu Tarekat". halaman 79-84, Cetakan III, Januari 1985 M, Penerbit Ramadhani, Solo, Jawa Tengah

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam