Pemikiran Ibnu Arabi sangat unik terutama pemikiran tasawuf, walaupun disiplin keilmuan beliau tidak melulu tasawuf namun merambah displin ilmu lain, seperti filsafat, ilmu bahasa, fiqih dan lainnya. Pola pikir Ibnu Arabi yang mengkolaborasi berbagai disiplin ilmu agama dengan ilmu lainnya menjadi hal yang selalu menggugah para ilmuwan dan peneliti muslim untuk menggali lebih jauh. Salah satunya, ABoebakar Atjeh menjelaskan...
Ibn Arabi terkenal juqa sebagai tokoh besar dalam tasawwuf aqidah, mengenai ilmu ketuhanam. la salah seorang pelopor dalam mempertahankan paham wahdatuI wujud, ajaran hanya ada satu yang wujud, yaitu Tuhan. la menerangkan, bahwa tasawwuf itu ialah perpindahan atau peralihan dari satu keadaan kepada suatu keadaan yang lain, pindah dari alam kebendaan bumi kepada alam kerohanian langit. Perpindahan atau peralihan ini selalu kelihatan pada diri manusia. Sejalan dengan perubahan umurnya, berubah pula alam pikirannya. Tentu yang demikian itu terjadi jika manusia itu mempergunakan akalnya.
Ibn Arabi mengambil contoh pada dirinya sendiri. Sebagaimana manusia yang lain iapun pada waktu muda pernah dipengaruhi oleh keindahan alam sekitarnya dikitelingji penuh ranjau dan onak kehidupan benda yang memalingkan perhatiannya kepada keindahan lahir. Kita ambil babakan hidupnya tatkala ia berumur 38 tahun, yaïtu tahun peralihan antara muda remaja dan tua, suatu waktu yang hampir matang untuk beralih dari suatu alam pikiran ke dalam pikiran yang lain. Ketika itu ia pergi ke Hejaz dan tinggal serta berguru pada seorang ulama Mekkah. Gu- runya itu mempunyai seorang anak perempuan, yang menarik pikiran Ibn Arabi karena cantiknya, karena budinya dan karena ilmunya serta petah lidahnya. Pertemuan ini pernah menggelisahkan jiwa Ibn Arabi, sehingga sekian banyak lembaran karangannya dipergunakan untuk menggambarkan kekagumaninya atas kecantikan anak perempuan yang pernah dicintainya itu. Demikian indahnya uraian yang diberikan Ibn Arabi, sehingga dapat menjelaskan kepada kita bagaimana besar kekuatan cinta dan keindahan alam lahir dapat mempengaruhi seorang manusia. Salah satu kalimat diantara curahan hawa nafsu dan kegemaran duniawi Ibn Arabi tersimpul dalam perkataannya: "Demikian rupa, hatiku terpikat olehnya, pikiran dan jiwaku seakan-akan terbelenggu, sehingga tiap nama yang kusebut, namanyalah yang kukehendaki, tiap kampung yang kutuju, kampungnyalah juga seakan-akan yang kumasuki.
Hamburan kata-kata Ibn Arabi menunjukkan, bagaimana keadaan seseorang telah tenggelam dalam merasakan nikmat pendengaran, penglihatan dan perasaan itu. jika pengaruh itu tidak lekas-lekas dicuci dibersihkan, maka manusia it akan tidak dapat terlepas lagi daripada kecintanan dan kesempurnaan bumi yang dapat diraba dan dirasa itu.
Ibn Arabi menceritakan kesadarannya kembali kepada tujuan dan idam idaman hidupnya; semula takala ia datang ke Mekkah, dan menceritakan juga daya-upaya melepaskan dirinya daripada belenggu syahwat yang telah mengikatnya dalam alam pikirannya yang dapat kita anggap sebagai derajat kesucian pertama, peralihan dari kecenderungan yang bersifat bumi kepada kecenderungan yang meningkat ke langit. Ikhtiar ini dapat kita katakan permulaan menjauhkan diri daripada kesenangan lahir dan menerima kesenangan rohani, yang boleh kita anggap tingkat iman yang lebih tinggi, karena puncaknya kecaintaan dan keindahan itu tidaklah terletak dalam kesenangan atau keindahan yang dapat diraba, yang biasa dapat dilihat mata manusia itu.
Perhatian Ibn Arabi beralih dari bumi keangkasa raya, meningkat bersama panggilan jiwanya ke langit, kepada keindahan bintang-bintang yang bertaburan di cakrawala. Landangan berpindah dari ruang bilik yang sempit keluar dunia yang lebih luas dan kepada keindahan yang lebih mengagumkan serta menakjubkan. Ia jatuh cinta yang mesra, clnta yang berpadu dengan kepuasan rohani. la duduk termemung pada malan hari yang sepi, sambil bertopang dagu, melihat keindahan bintang-bintang itu sejauh-jauh mata memandang. Ia mengaku dalam karangannya: "Pada suara malam aku mengawini bintang-bintang itu, tidak ada sebuahpun di antaranya yang tidak aku nikahi dengan kelezatan rohani yang mesra. Sesudah aku bernikah dengan bintang-bintang itu, aku dikaruniai huruf-hurufnya, yang aku ikat pula dengan perkawinan. Aku cinta kepada bintang-bintang yang gemerlapan in, Sehingga siang menjadi buah tutur dan malam menjadi buah mimpiku. Kukemukakan mimpiku ini kepada mereka yang arif bijaksana. dan disambutnya dengan pujian dan sanjungan. Katanya Inilah lautan yang dalam, inilah dia samudera yang luas, yang tak dapat diselami dan diajuk dalamnya. Katanya pula: yang empunya mimpi ini telah dibukakan kepadanya ilmu yang tinggi, pengetahuan tentang rahasia yang dalam, hikmab bulan bintang yang luas, tidak ada yang dapat berbuat demikian seorangpun dari temannya yang semasa. Kemudian ia berdiam diri sejenak. Lalu berkata pula: jika terdapat yang empunya mimpi itu diantara kita ini, maka tak dapat tidak orang itu ialab pemuda Andalusia, karena ialab yang dapat sampai kesana”.
Ibn Arabi sudah mengalami perubaban, ia sudah beralih dari suatu babakan hidup kepada babakan hidup yang lain, dari babakan hidup cinta kepada makhluk bumi kepada cinta terhadap kawakib, menjadi buah mimpinya pada malam hari.
Adapun mimpi itu ibarat yang pernah dimimpikan oleh Nabi Yusuf as, tatkala ia berkata kepada ayahnya:
Memang, kata Dr. Zaki Mubarak, perbedaan antara dua khayal ini seperti perbedaan antara dua roh itu, sama-menyamai. Dalam hal ini Yusuf tidak berdusta, hanya Ibn Arabi berpanjang-panjang dalam ucapannya.
Daripada conoth ini kita ketahui bahwa orang-orang Sufi meletakkan makna hidup itu lebih tinggi daripada hidup biasa, kadang-kadang demikian tingginya sehingga orang biasa tak dapat memahaminya. jika mereka membicarakan sesuatu hukum dalam Islam, maka yang dipentingkannya ialah tujuan daripada hukum itu, dan dengan demikian ijtihadnya acapkali berbeda atau kelihatan berbeda dengan pengajaran-pengajaran ilmu fiqh biasa. Sebagai conoth kita kemukakan kembali Ibn Arabi berbicara tentang kiblat sebagai syarat sah sembahyang. Ia sanggup berkata : "Orang-orang Islam telah sepakat mengarahkan mukanya kepada kiblat yaitu Ka'bah, sebagai salah satu daripada syarat sah sembahyang. Jikalau keputusan ijma’ yang demikian itu belum disepakati, aku tidak akan mengatakan, bahwa yang demikian itu merupakan suatu syarat, karena Allah ta’ala berfirman : ”Kemanapun engkau memalingkan mukamu, disana engkau menghadap Allah”, satu ayat untuk dasar hukum, yang diturunkan di Mekkah kemudian, dan tidak mansuh perintahnya” (kitabnya Al-Futuhat, j. I:518)
Jikalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan Ibn Arabi akan menentang keputusan berkiblat kepada Ka’bah, tetapi jikalau kita renungkan lebih dalam kelihatan maksudnya yang lain, yang menunjukkan kekuatan pribadinya untuk mengucapkanya itu menunjukkan pandangan tasawwuf yang sudah mempengaruhi ajaran fikihya, sehingga pembahasan itu lebih banyak ditunjukan kepada pemeliharaan hatinya dan niat daripada kepada asuhan dan keseragaman badan belaka.
Sebagaimana Ibn Arabi, begitu juga orang-orang tasawwuf yang lain melihat syarat itu sebagai kepentingan bagi orang awam, dan melihat hakikat itu sebagai kebutuhan bagi orang khawas, sehingga pengajaran-pengajaran syari'at itu merupakan suatu penjelasan bagi hakikat, dan ilmu fiqh itu baginya tidak lain dari- pada suatu mukadimmah bagi pelajaran keadaan hati.
Dalam hal ini Ibn Arabi mendahului pendapat Ghazali. Dan memang meskipun sama-sama Sufi terdapat perbedaan besar antara dua mereka itu. Ghazali menghormati hukum-hukum dan pengajaran fiqh, sesudah itu barulah ia pindah kepada pengerjian Sufi, sedang Ibn Arabi dalam satu kaligus dengan keberanian yang luar biasa mengupas kedua ilmu itu, mengecam dan mengeritiknya. Orang menyangka bahwa sebabnya ialah bahwa Ghazali mengarang kitabnya sesudah ia suci dan baik dalam pengertiannya, sedang Ibn Arabi mengarang kitabnya dengan mengemukakan dirinya sebagai penutup auliya, di samping Muhammad penutup ambia. Kitab-kitab Ghazali penuh dengan ucapan-ucapan ulama-ulama salaf, sedang Ibn Arabi dengan keberaniannya selalu ia berbicara sendiri, meskipun pendapatnya bertentangan dengan ulama-ulama besar yang lain.
« Prev Post
Next Post »