Kamis, 09 Januari 2025

Imam Syaqiq al-Balkhi

Abu Ali bin Ibrahim Syaqiq al-Azdi dari Balkh adalah seorang berpengetahuan luas, mulanya dia bekerja sebagai pedagang namun kemudian berubah ke jalan hidup sufi. Dia pergi haji ke Mekkah, dan gugur ketika berjuang dalam perang suci pada tahun 194 H (810 M).

KEHIDUPAN SYAQIQ AL-BALKH 

Syaqiq al-Balkh adalah seorang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan banyak kitab yang telah ditulisnya. Ketika ia belajar jalan kesufian dari Ibrahim bin Adham, dalam waktu bersamaan ia juga mengajar Hatim si Orang Tuli. Syaqiq al-Balkh mengakui bahwa ia telah belajar dari 1700 orang guru dan memiliki buku sebanyak beberapa pikulan unta. 

Kisah pertobatan Syaqiq al-Balkh dimulai sewaktu Syaqiq al-Balkh mengadakan suatu perjalanan dagang ke Turkistan, Di dalam lawatan itu ia berhenti untuk melihat-lihat sebuah kuil. Di dalamnya ia melihat ada seorang yang sedang menyembah berhala dengan khusyuk. Syaqiq al-Balkh menegur si penyembah berhala itu: “Sesungguhnya yang menciptakan engkau adalah Yang Maha Hidup, Maha Kuasa serta Maha Tahu, sembahlah Dia. Hendaklah engkau malu dan jangan menyembah sebuah berhala yang tak bisa mendatangkan kebaikan maupun keburukan kepadamu.” 

“Jika benar kata-katamu itu,” jawab si penyembah berhala, “Mengapakah Dia tidak sanggup memberikan nafkahmu sehari-hari di kota kediamanmu sendiri? Masih perlukah engkau melakukan perjalanan sejauh ini?”. 

Kata-kata ini membuka hati Syaqiq al-Balkh. Dia akhirnya kembali pulang ke Balkh. Seorang penganut Zoroaster yang kebetulan menuju kota yang sama bertanya kepada Syaqiq al-Balkh: “Apakah usahamu?” 

“Berdagang,” jawab Syaqiq al-Balkh. 

“Jika engkau mencari rezeki yang belum ditakdirkan untukmu, sampai kiamat sekalipun engkau tidak mendapatkannya. Tetapi jika engkau hendak mencari rezeki yang telah ditakdirkan untukmu, engkau tidak perlu pergi ke mana-mana, karena rezeki itu akan datang sendiri.” 

Ucapan ini semakin menyadarkan Syaqiq al-Balkh dan kecintaannya terhadap kekayaan dunia semakin pudar. Akhirnya sampailah Syaqiq al-Balkh ke kota Balkh. Sahabat-sahabatnya menyambut kedatangannya dengan hangat karena ia terkenal dengan kemurahan hatinya. Pada masa itu yang menjadi pangeran di kota Balkh adalah Ali bin Isa bin Haman, yang memelihara beberapa ekor anjing pemburu. Kebetulan pada saat itu seekor anjingnya hilang. 

“Anjing itu ada di rumah tetangga Syaqiq al-Balkh,” orang-orang melaporkannya kepada si pangeran. 

Maka ditangkaplah tetangga Syaqiq al-Balkh itu dengan tuduhan telah mencuri seekor anjing. Ia dipukuli. Akhirnya tetangganya itu meminta perlindungan kepada Syaqiq al-Balkh. Maka pergilah Syaqiq al-Balkh menghadap sang pangeran lalu memohon: “Berikanlah kepadaku waktu tiga hari untuk mengembalikan anjingmu itu. Tetapi bebaskanlah sahabatku itu.” 

Si pangeran membebaskan tetangga Syaqiq al-Balkh. Tiga hari kemudian secara kebetulan seseorang menemukan seekor anjing. Orang itu berkata di dalam hatinya: “Anjing ini akan kuberikan kepada Syaqiq al-Balkh. Syaqiq al-Balkh adalah seorang yang pemurah, tentu ia akan memberikan imbalan kepadaku.” 

Anjing itu dibawanya kepada Syaqiq al-Balkh. Kemudian Syaqiq al-Balkh menyerahkan binatang itu kepada si pangeran dan terpenuhilah janjinya. Setelah peristiwa itu Syaqiq al-Balkh bertekad untuk benar-benar berpaling dari urusan duniawi. 

Di kemudian hari, terjadi bencana kelaparan di kota Balkh, sampai begitu parah sehingga manusia memakan sesamanya. Di sebuah pasar Syaqiq al-Balkh melihat seorang hamba yang tertawa-tawa dengan gembira. Syaqiq al-Balkh bertanya kepadanya: “Apakah yang membuatmu segembira ini? Tidak kau lihatlah betapa semua orang menanggung kelaparan?” 

“Apa peduliku?”, jawab si hamba. “Tuanku memiliki sebuah desa dan mempunyai banyak persediaan gandum. Ia tidak akan membiarkan aku kelaparan.” 

Mendengar jawaban si hamba ini, Syaqiq al-Balkh tidak bisa menahan dirinya, maka berserulah ia kepada Allah: “Ya Allah, budak ini sangat gembira karena tuannya mempunya gandum. Engkau adalah Raja di antara sekian raja, dan telah berjanji akan memberikan makanan kami sehari-hari. Jika demikian, mengapakah kami harus gelisah?” 

Setelah peristiwa itu, ditinggalkannyalah segala urusan duniawi lalu bertobat dengan sepenuh hatinya. Ia terus melangkah di atas jalan Allah dan memasrahkan diri kepada-Nya. Syaqiq al-Balkh sering berkata: “Aku adalah murid dari seorang hamba." 

Hatim Tuli mengisahkan: Aku dan Syaqiq al-Balkh ikut berperang. Suatu hari terjadi pertempuran yang begitu dahsyat. Kedua pasukan saling berbentur rapat dan yang kelihatan hanya ujung-ujung tombak saja, sedang anak panah meluncur bagaikan hujan. Syaqiq al-Balkh berseru kepadaku: “Hatim! Bagaimana engkau menikmati pertempuran ini? Apa seperti malam terakhir ketika engkau bergaul bersama isterimu?” 

“Sama sekali tidak,” jawabku. 

“Dengan nama Allah, mengapa tidak?” Syaqiq al-Balkh berseru. “Begitulah yang kurasakan saat ini. Aku merasa seperti yang engkau rasakan malam itu di tempat tidurmu.” 

Ketika malam tiba, Syagig al-Balkh membaringkan tubuhnya dan dengan berselimutkan jubahnya ia pun tertidur. Sedemikian sempurna kepasrahannya kepada Allah, sehingga walau terkurung oleh pasukan musuh yang sangat banyak itu, ia masih bisa tertidur pulas. 

Suatu hari ketika Syagig al-Balkh sedang memberikan ceramah, terdengarlah berita bahwa pasukan kafir telah berada di gerbang kota. Syagig al-Balkh segera menyerbu ke luar, mengobrak-abrik pasukan musuh dan kembali ke tempat semula. Salah seorang muridnya menaruh seikat bunga di sajadahnya. Syagig al-Balkh memungut kembang-kembang itu lalu menciuminya. Melihat perbuatan Syagig al-Balkh ini, seorang yang tak tahu kejadian tadi berseru: “Pasukan musuh sudah berada di gerbang kota tetapi imam kaum Muslimin masih mencium-cium bunga!” 

“Si munafik hanya melihat bunga-bunga yang diciumi tetapi tak melihat betapa orang-orang kafir telah dikocar-kacirkan,” balas Syagig al-Balkh. 

Syagig al-Balkh di Depan Harun al-Rasyid Syagigal-Balkhmengadakanperjalananke Mekkahuntuk menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di kota Baghdad, Harun al-Rasyid memanggilnya untuk menghadap. Setelahmenghadap, bertanyalah Harunal-Rasyid kepada Syagig al-Balkh: "Engkahkah Syagig al-Balkh pertapa?” 

“Aku adalah Syaqiq al-Balkh, tetapi aku bukan seorang pertapa,” jawab Syagig al-Balkh. 

“Berilah petuah kepadaku!” Perintah Harun. 

“Jika demikian, dengarkanlah!” Syagig al-Balkh memulai. “Allah yang Maha Besar telah memberi kepadamu kedudukan Abu bakar yang setia dan Dia menghendaki kesetiaan yang sama darimu. Allah telah memberi kedudukan Umar yang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan, Dia menghendaki engkau dapat pula membedakan kebenaran dari kepalsuan. Allah telah memberimu kedudukan Utsman yang memperoleh cahaya kesederhaan dan kemuliaan, dan Dia menghendaki agar engkau juga bersikap sederhana dan mulia. Allah telah memberikan kepadamu kedudukan Ali yang diberkahi-Nya dengan kebijaksanaan dan sikap adil, Dia menghendaki agar engkau bersikap bijaksana dan adil pula.” 

“Lanjutkanlah!” pinta Harun. 

“Allah mempunyai tempat yang diberi nama neraka,” Syagig al-Balkh meneruskan. “Dia telah mengangkatmu menjadi penjaga pintu neraka dan mempersenjatai dirimu dengan tiga hal, kekayaan, pedang dan cambuk. Allah memerintahkan: “Dengan kekayaan, pedang dan cambuk ini usirlah umat manusia dari neraka. Jika ada orang yang datang mengharapkan pertolonganmu, janganlah engkau bersikap kikir. Jika ada orang yang menentang perintah Allah, perbaikilah dirinya dengan cambuk ini. Jika ada yang membunuh saudaranya, tuntutlah pembalasan yang adil dengan pedang ini! Jika engkau tidak melaksanakan perintah Allah itu, niscaya engkau akan menjadi pemimpin orang-orang yang masuk ke dalam neraka itu.” 

“Lanjutkanlah!” desak Harun lagi. 

“Engkau adalah sebuah telaga dan anak buahmu adalah anak-anak sungainya. Apabila telaga itu airnya bening, niscaya ia tidak akan cemar karena kekeruhan anak-anak sungai tersebut. Apabila telaga itu keruh, betapakah mungkin anak-anak sungai tersebut akan bening?” 

“Lanjutkanlah!” 

“Seandainya engkau hampir mati kehausan di tengah padang pasir dan pada saat itu ada seseorang menawarkan seteguk air, berapakah harga yang berani engkau bayar untuk mendapatkan air itu?” 

“Berapapun yang dimintanya,” jawab Harun. 

“Seandainya ia baru menjual air itu seharga setengah kerajaanmu?” 

“Aku akan menerima tawarannya itu,” jawab Harun. 

“Kemudian andaikan air yang telah engkau minum itu tidak bisa keluar dari dalam tubuhmu sehingga engkau terancam binasa,” Syagig al-Balkh melanjutkan, “Sesudah itu datang pula seseorang menawarkan bantuannya kepadamu: “Akan kusembuhkan engkau tetapi serahkanlah setengah dari kerajaanmu kepadaku,” Apakah jawabanmu?” 

“Akan kuterima tawarannya itu,” jawab Harun. 

“Oleh karena itu, mengapa engkau membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya seteguk air yang engkau minum lantas engkau keluarkan kembali?” 

Harun menangis dan melepas Syagig al-Balkh dengan penuh kehormatan. 

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam