Rabu, 22 Januari 2025

Abul Qasim al-Junaid al-Baghdadi

Abul Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi, adalah putra seorang pedagang barang pecah belah dan keponakan dari Sari al-Saqathi. Ia adalah sahabat al-Muhasibi yang merupakan penyebar besar aliran “waras” dalam tasawuf. Ia telah mengembangkan sebuah doktrin tasawuf yang mempengaruhi keseluruhan wacana mistisme ortodoks dalam Islam. Teorinya yang dijelaskannya kepada tokoh-tokoh semasanya masih bisa kita temukan hingga saat ini. Ia meninggal pada tahun 198 H/910 M di Baghdad, sebagai pemimpin dari sebuah aliran yang besar dan berpengaruh luas.

MASA REMAJA JUNAID AL-BAGHDADI 

Sejak kecil Abul Qasim al-Junaid sudah merasakan kegelisahan spiritual. Ia adalah pencari Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana, cerdas dan mempunyai intuisi yang tajam. Pada suatu hari ketika pulang dari madrasah, Abul Qasim al-Junaid mendapati ayahnya sedang menangis. “Apakah yang terjadi?” tanya Junaid kepada ayahnya. “Aku ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi ia tidak mau menerimanya,” ayahnya menjelaskan. “Aku menangis karena seumur hidupku baru sekarang inilah aku bisa mengumpulkan uang lima dirham, tetapi ternyata pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah.” 

 “Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang akan memberikannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia mau menerimanya.” Junaid berkata. 

Uang lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junaid ke rumah pamannya. Sesampainya di tujuan, ia mengetuk pintu. 

“Siapakah itu?” Terdengar sahutan dari dalam. 

“Junaid,” jawabnya. “Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hakmu ini.” 

“Aku tidak mau menerimanya,” Sari menyahut. 

“Demi Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini,” Junaid berseru. 

“Junaid, bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?” Sari bertanya. 

“Allah berbuak baik kepadamu,” jawab Junaid, “Karena telah memberikan kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah membuatnya sibuk dengan urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela maupun tidak, harus mengantarkan sebagian harta kekayaannya kepada yang berrhak menerimanya.” 

Sari sangat senang mendengar jawaban itu. 

“Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu.” 

Sambil berkata demikian Sari membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk Junaid disediakannya tempat yag khusus di dalam lubuk hatinya. 

Abul Qasim al-Junaid baru berumur tujuh tahun ketika Sari membawanya ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram, empat ratus syeikh sedang membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka mengemukakan pendapatnya masing-masing. 

“Kemukakan pula pendapatmu,” Junaid. Maka berkatalah Junaid: 

“Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan Sari mendorong karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran.” 

“Tepat sekali, wahai pelipur hati muslim-muslim sejati.” Keempat ratus syeikh tersebut berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi kesyukuran yang dikemukakan Junaid itulah yang paling tepat. 

Sari berkata kepada Junaid: “Nak, tidak lama lagi akan kenyataanlah bahwa karunia yang istimewa dari Allah kepadamu adalah lidahmu.” 

Junaid tidak sanggup menahan tangisnya ketika mendengar kata-kata pamannya itu. 

“Bagaimanakah engkau memperoleh semua pengetahuan ini?” Sari bertanya kepadanya. 

“Dengan duduk mendengarkanmu,” jawab Abul Qasim al-Junaid. 

Abul Qasim al-Junaid lalu kembali ke Baghdad dan berdagang barang pecah belah. Setiap hari ia menurunkan tirai tokonya dan melakukan shalat sunnat sebanyak empat ratus rakaat. Belakangan hari, usaha dagang itu ditinggalkannya dan ia mengunci diri dalam sebuah kamar di rumah Sari. Di dalam kamar itulah ia menyibukkan diri untuk menyempurnakan batinnya. Si situ pula ia membentangkan sajadah ketekunan sehingga tidak sesuatu hal pun selain Allah yang terpikirkannya. 

JUNAID DIUJI 

Selama empat puluh tahun Abul Qasim al-Junaid menekuni kehidupan mistiknya. Tiga puluh tahun lamanya, setiap selesai shalat isya' ia berdiri dan mengucapkan “Allah, Allah” terus-menerus hingga fajar, dan melakukan shalat shubuh tanpa perlu berwudlu lagi. 

“Setelah empat puluh tahun berlalu,” Abul Qasim al-Junaid berkisah, “Timbullah kesombongan di dalam hatiku, aku mengira bahwa tujuanku telah tercapai. Segeralah terdengar olehku suara dari langit yang menyeru kepadaku: “Junaid, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk menunjukkan kepadamu sabuk pinggang Majusimu. Mendengar seruan itu aku mengeluh: “Ya Allah, dosa apakah yang dilakukan Junaid?” Suara itu menjawab: “Apakah engkau hidup untuk melakukan dosa yang lebih besar daripada itu?” 

Abul Qasim al-Junaid mengeluh menundukkan kepalanya. 

“Apakah manusia belum patut untuk menemui Tuhan-nya,” bisik Abul Qasim al-Junaid, “Maka segala amal baiknya adalah dosa semata.” 

Abul Qasim al-Junaid lalu terus berdiam di dalam kamarnya dan terus-menerus mengucapkan “Allah, Allah” sepanjang malam. Tetapi fitnah menyerang dirinya dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada khalifah. 

“Kita tidak bisa berbuat apa-apa kepada Junaid bila kita tak mempunyai bukti,” jawab khalifah. 

Kebetulnh sekali khalifah mempunyai seorang hamba perempuan berwajah sangat cantik. Gadis ini telah dibelinya seharga tiga ribu dinar dan sangat disayanginya. Khalifah memerintahkan agar hamba perempuannya itu mengenakan pakaian yang gemerlapan dan didandani dengan batu-batu permata yang mahal. 

“Pegilah ke tampat Abul Oasim al-Junaid,” khalifah memerintahkan hamba perempuannya, “Berdirilah di depannya, buka cadar dan perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dan pakaianmu untuknya. Setelah itu katakanlah kepada Junaid: ‘Aku datang kemari agar engkau mau melamar diriku, sehingga bersamamu aku bisa mengabdikan diri untuk berbakti kepada Allah. Hatiku tidak berrkenan kepada siapa pun kecuali kepadamu! Kemudian perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah pakaianmu dan godalah ia dengan segenap daya upayamu.” 

Ditemani seorang pelayan, gadis itu diantar ke tempat Abul Qasim al-Junaid. Si gadis menemui Junaid dan melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang diperintahkan kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junaid. Abul Qasim al-Junaid membisu dan tak memberi jawaban. Si gadis mengulangi daya upayanya dan Abul Qasim al-Junaid yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya. 

“Ah!” Serunya sambil meniupkan nafasnya ke arah si gadis. Si gadis terjatuh dan seketika itu juga menemui ajalnya. 

Pelayan yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan menyampaikan segala kejadian itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia memohon ampunan Allah karena perbuatannya itu. 

“Seseorang yang memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan menyaksikan hal yang tak patut untuk disaksikannya,” khalifah berkata. 

Khalifah bangkit dan berangkatlah ia untuk mengunjungi Abul Qasim al-Junaid. “Manusia seperti Junaid tidak bisa dipanggil untuk menghadapnya,” ia berkata. 

Setelah bertemu dengan Abul Oasim al-Junaid, khalifah bertanya: 

“Wahai guru, bagaimana engkau sampai hati membinasakan tubuh gadis yang sedemikian eloknya?” 

“Wahai pangeran kaum muslimin,” Abul Qasim al-Junaid menjawab, “Belas kasihmu kepada orang-orang yang mematuhimu sedemikian besarnya, sehingga engkau sampai hati untuk menginginkan jerih payahku selama empat puluh tahun mendisiplinkan diri, bertirakat, menyangkal diri, musnah diterbangkan angin. Tetapi apakah artinya diriku di dalam semua itu? Janganlah engkau lakukan sesuatu hal kepada orang lain apabila engkau sendiri tidak menginginkannya!” 

“Selama tiga puluh tahun aku mengawasi batinku,” Abul Oasim al-Junaid mengatakan, “Setelah itu selama sepuluh tahun batinku mengawasi diriku. Pada saat ini, telah dua puluh tahun lamanya aku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai batinku dan batinku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai diriku.” 

“Selama tiga tahun,” Abul Oasim al-Junaid melanjutkan, “Allah telah berkata-kata dengan Junaid melalui lidah Junaid sendiri, sedang Junaid tidak ada dan orang-orang lain tidak menyadari hal itu.” 

JUNAID BERKHOTBAH 

Ketika lidah Abul Qasim al-Junaid telah fasih mengucapkan kata-kata mulia, Sari al-Sagathi mendesak bahwa Junaid berkewajiban untuk berkhotbah di depan umum. Awalnya Abul Oasim al-Junaid enggan, ia tidak ingin melakukan hal itu. 

“Apabila guru masih ada, tidaklah pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” Junaid berkilah. 

Kemudian pada suatu malam Abul Qasim al-Junaid bermimpi dan dalam mimpi tersebut ia bertemu dengan Nabi SAW. 

“Berkhotbahlah!” Nabi berkata kepadanya. 

Keesokan paginya ia hendak pergi mengabarkan hal itu kepada Sari, tetapi ternyata Sari sudah berdiri di depan pintu rumahnya. 

 “Sebelumnya engkau selalu merasa enggan dan menunggu agar orang-orang mendesakmu untuk berkhotbah. Tetapi mulai saat ini engkau harus berkhotbah karena kata-katamu dijadikan sebagai alat bagi keselamatan seluruh dunia. Engkau tak mau berkhotbah ketika diminta murid-muridmu, engkau tak mau ketika diminta oleh para syeikh di kota Baghdad. Dan engkau tak mau berkhotbah ketika kudesak. Tetapi kini Nabi sendirilah yang memberi perintah kepadamu, oleh karena itu engkau harus mau berkhotbah.” 

“Semoga Allah mengampuni diriku,” jawab Abul Qasim al-Junaid. “Tetapi bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa aku telah berjumpa dengan Nabi dalam mimpiku?” 

“Aku bertemu dengan Allah dalam mimpi,” jawab Sari, “dan Dia berkata kepadaku: Telah Kuutus Rasul-Ku untuk menyuruh Junaid berkhotbah di atas mimbar.” 

“Aku mau berkhotbah,” Abul Qasim al-Junaid menyerah, “Tetapi dengan satu syarat bahwa yang mendengarkan khotbah-khotbahku tidak lebih dari empat puluh orang.” 

Pada suatu hari Abul Qasim al-Junaid berkhotbah. Jumlah pendengar hanya empat puluh orang. Delapan belas orang di antaranya menemui ajal mereka sedang sisanya yang berjumlah dua puluh dua orang jatuh pingsan dan harus digotong ke rumahnya masing-masing. 

Pada kesempatan lain Abul Qasim al-Junaid berkhotbah di dalam masjid besar. Di antara jamaahnya ada seorang pemuda nasrani tetapi tak seorang pun yang mengetahui bahwa ia beragama nasrani. Si pemuda menghampiri Abul Qasim al-Junaid dan berkata: “Nabi pernah berkata: 'Berhati-hatilah dengan wawasan seseorang yang beriman karena ia bisa melihat dengan nur Allah, Apakah maksudnya?” 

“Yang dimaksudnya adalah,” Abul Qasim al-Junaid menjawab, “Bahwa engkau harus menjadi seorang Muslim dan melepaskan sabuk nasranimu itu, karena sekarang ini adalah zaman Islam.” 

Si pemuda segera memeluk Islam setelah mendengar jawaban Abul Qasim al-Junaid tersebut. 

Setelah berkhotbah beberapa kali, orang-orang menentang Abul Qasim al-Junaid. Junaid menghentikan khotbahnya dan mengurung diri di dalam kamarnya. Betatapun ia didesak untuk berkhotbah kembali, ia tetap menolak. 

“Aku sudah cukup puas,” jawab Abul Qasim al-Junaid, “Aku tidak mau ke atas mimbar dan mulai berkhotbah. 

“Apakah kebijaksanaan yang terkandung di dalam perbuatanmu ini?” Seseorang bertanya kepadanya.” 

Abul Qasim al-Junaid menjawab: “Aku teringat sebuah hadits di mana Nabi berkata: “Di hari-hari terakhir nanti yang menjadi juru bicara di antara umat manusia adalah yang paling bodoh di antara mereka. Dialah yang akan berkhotbah kepada umat manusia.” Aku menyadari bahwa aku adalah yang terbodoh di antara umat manusia dan aku berkhotbah karena kata Nabi itu, aku takkan menentang kata-katanya itu.” 

Pada suatu ketika mata Abul Qasim al-Junaid sakit dan dipanggilnyalah seorang tabib. 

“Jika matamu terasa perih, jangan biarkan air masuk ke dalam matamu,” si tabib menasehati. 

Ketika tabib itu telah pergi, Abul Qasim al-Junaid bersuci, shalat dan setelah itu pergi tidur. Ketika terbangun ternyata matanya telah sembuh dan terdengarlah oleh sebuah seruan: “Junaid bersedia mengorbankan matanya demi nikmat Kami. Seandainya untuk tujuan yang sama ia telah memohon ampunan Kami untuk semua penghuni neraka, niscaya permohonannya akan Kami kabulkan. 

Ketika si tabib datang dan menyaksikan bahwa mata Abul Qasim al-Junaid telah sembuh: 

“Apakah yang telah engkau lakukan?” Ia bertanya. 

“Aku bersuci untuk shalat,” jawab Abul Qasim al-Junaid. 

Mendengar jawaban ini si tabib yang beragama nasrani itu segera masuk Islam. 

“Inilah kesembuhan dari Sang Pencipta, bukan dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya,” katanya kepada Abul Qasim al-Junaid. “Matakulah yang selama ini sakit, bukan matamu. Engkaulah yang sebenarnya seorang tabib, bukan aku. 

Abul Qasim al-Junaid mengisahkan: Pada suatu ketika aku ingin melihat Iblis. Aku berdiri di pintu masjid dan dari kejauhan terlihatlah olehku seorang tua yang sedang berjalan ke arahku. Begitu aku memandangnya, rasa ngeri mencekam perasaanku. 

“Siapakah engkau ini?” Aku bertanya kepadanya. 

“Yang engkau inginkan,” jawabnya. 

“Wahai makhluk yang terkutuk,” aku berseru, “Apakah yang menyebabkan engkau tidak mau bersujud kepada Adam?” 

“Bagaimana pendapatmu Junaid?” Iblis menjawab, “Bila aku bersujud kepada yang lain daripada-Nya?” 

Abul Qasim al-Junaid mengisahkan, betapa ia menjadi bingung karena jawaban iblis itu. 

Dari dalam lubuk hatiku terdengarlah sebuah seruan: “Katakan, engkau adalah pendusta. Seandainya engkau adalah seorang hamba yang setia niscaya engkau mematuhi perintah-Nya.” 

Ketika Iblis mendengar kata-kata ini, ia meraung nyaring “Demi Allah Junaid, engkau telah membinasakan aku!” Dan setelah itu ia pun hilang. 

Pada masa sekarang ini semakin sedikit dan sulit ditemukan saudara-saudara seagama,” seseorang berkata di depan Abul Qasim al-Junaid. 

Abul Qasim al-Junaid membalas, “Jika engkau menghendaki seseorang untuk memikul bebanmu, maka orang-orang seperti itu memang sulit dan sedikit dijumpai. Tetapi jika engkau menghendaki seseorang untuk ikut memikul bebannya, maka orang seperti itu banyak sekali padaku.” 

Jika Abul Qasim al-Junaid berkhotbah mengenai keesaan Allah, ia sering membahasnya dari sudut pandang yang berbeda, sehingga tak seorang pun bisa memahaminya. Pada suatu hari Syibli yang berada di antara pendengar-pendengar mengucapkan: “Allah, Allah!” 

Mendengar ucapan itu Abul Qasim al-Junaid berkata: “Apabila Allah itu tidak ada, maka menyebutkan sesuatu yang tidak ada adalah suatu pertanda dari ketiadaan, dan ketiadaan adalah sesuatu hal yang diharamkan. Apabila Allah itu ada, maka menyebut nama-Nya sambil merenungi-Nya sebagai ada adalah suatu pertanda tidak menghargai." 

Seseorang membawa uang lima ratus dinar dan memberikan uang itu kepada Abul Qasim al-Junaid. 

“Adakah yang masih engkau miliki selain daripada ini?” Abul Qasim al-Junaid bertanya kepadanya. 

“Ya, banyak!” Jawab orang itu. 

“Apakah engkau masih ingin mempunyai uang yang lebih banyak lagi?” 

“Ya.” 

“Kalau begitu ambillah uang ini kembali, engkau lebih berhak untuk memilikinya. Aku tidak memiliki sesuatu pun tapi aku tak menginginkan sesuatu pun.” 

Ketika Abul Oasim al-Junaid sedang berkhotbah, salah seorang pendengarnya bangkit dan mulai mengemis. 

“Orang ini cukup sehat,” Abul Qasim al-Junaid berkata di dalam hati. “Ia bisa mencari nafkah, tetapi mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya seperti ini?” 

Malam itu Abul Oasim al-Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung. 

“Makanlah!” Sebuah suara memerintah Abul Oasim al-Junaid. 

Ketika Abul Oasim al-Junaid mengangkat tudung itu, terlihatlah olehnya si pengemis terkapar mati di atas piring. 

“Aku tidak mau memakan daging manusia.” Abul Oasim al-Junaid menolak. 

“Tetapi bukankah itu yang engkau lakukan kemarin ketika berada di dalam masjid?” 

Abul Oasim al-Junaid segera menyadari bahwa ia bersalah karena telah berbuat fitnah di dalam hatinya dan oleh karena itu ia dihukum. 

“Aku tersentak dalam keadaan takut,” Abul Qasim al-Junaid mengisahkan. “Aku segera bersuci dan melakukan shalat sunnat dua rakaat. Setelah itu aku pergi keluar mencari si pengemis. Kudapati ia sedang berada di tepi sungai Tigris. Ia sedang memungut sisa-sisa sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Si pengemis mengangkat kepala dan terlihatlah olehnya aku yang sedang menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku: “Abul Qasim al-Junaid, sudahkah engkau bertobat karena telah berprasangka buruk terhadapku?” “Sudah,” jawabku. “Jika demikian pergilah dari sini. Dialah yang menerima tobat hamba-hamba-Nya, dan jagalah pikiranmu.” 

“Aku telah mendapat pelajaran mengenai keyakinan yang tulus dari seorang tukang cukur,” Abul Qasim al-Junaid merenungi dan setelah itu ia pun berkisah sebagai berikut: 

Ketika aku berada di Mekkah, kulihat seorang tukang cukur sedang menggunting rambut seseorang. Aku berkata kepadanya: “Bila karena Allah, bersediakah engkau mencukur rambutku?” 

“Aku bersedia,” jawab si tukang cukur. Ia segera menghentikan pekerjaannya dan berkata kepada langganannya itu: “Berdirilah, apabila nama Allah diucapkan, hal-hal yang lain harus ditunda.” 

Ia menyuruhku duduk. Diciumnya kepalaku dan dicukurnya rambutku. Setelah selesai ia memberikan kepadaku segumpal kertas yang berisi beberapa keping mata uang. 

“Gunakanlah uang ini untuk keperluanmu,” katanya kepadaku. 

Aku pun lalu bertekad bahwa hadiah yang pertama kali kuperoleh sejak saat itu akan kuserahkan kepada si tukang cukur tersebut. 

Oleh sejak saat itu aku menerima sekantong uang emas dari Bashrah. Uang ini kuberikan kepada tukang cukur itu. 

“Apakah ini?” ia bertanya kepadaku. 

“Aku telah bertekad,” aku menjelaskan. “Hadiah yang pertama kali kuperoleh akan kuberikan kepadamu. Uang itu baru saja kuterima.” 

Tetapi si tukang cukur menjawab: 

“Tidakkah engkau malu kepada Allah?” Engkau telah mengatakan kepadaku: ‘Demi Allah, cukurlah rambutku, tetapi kemudian engkau memberi hadiah kepadaku. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan demi Allah dan meminta bayaran?” 

Seorang pencuri telah dihukum gantung di kota Baghdad. Abul Qasim al-Junaid datang dan mencium kakinya. 

“Mengapa engkau berbuat demikian? Orang-orang bertanya kepada Abul Qasim al-Junaid. 

“Semoga seribu belas kasih dilimpahkan Allah kepadanya,” jawab Abul Qasim al-Junaid. “Ia telah membuktikan bahwa dirinya setia di dalam usahanya. Sedemikian sempurna ia melakukan pekerjaannya sehingga untuk itu direlakannya hidupnya.” 

Pada suatu malam seorang pencuri menyusup masuk ke kamar Abul Qasim al-Junaid. Tak sesuatu pun yang ditemukannya kecuali sehelai pakaian. Pakaian itu diambilnya, setelah itu ia pergi meninggalkan rumah Abul Qasim al-Junaid. Keesokan harinya ketika Abul Qasim al-Junaid sedang berjalan-jalan di pasar, dilihatnya pakaiannya itu di tangan seorang pedagang perantara yang sedang menawarkan kepada seorang pembeli. 

Calon pembeli itu berkata: “Sebelum kubeli pakaian ini aku meminta seseorang yang sanggup memberi kesaksian bahwa pakaian itu memang kepunyaanmu." 

“Akulah yang akan memberi kesaksian bahwa pakaian itu adalah miliknya.” Abul Qasim al-Junaid berkata sambil menghampiri mereka. 

Maka terjuallah pakaian itu. 

Seorang perempuan tua datang menghadap Abul Qasim al-Junaid dan bermohon: “Putraku pergi entah ke mana, doakanlah agar ia kembali.” 

“Bersabarlah,” Abul Qasim al-Junaid menasehati pe5rempuan tua itu. 

Dengan sabar perempuan tua itu menanti beberapa hari lamanya. Kemudian ia kembali kepada Abul Qasim al-Junaid. 

“Bersabarlah,” Abul Qasim al-Junaid mengulangi nasehatnya. 

Kejadian seperti ini telah beberapa kali berulang. Akhirnya wanita tua itu datang dan berkata lantang, “Aku sudah tak bisa bersabar lebih lama lagi. Doakanlah kepada Allah.” 

Abul Qasim al-Junaid menjawab: “Jika engkau berkata dengan sebenarnya, putramu tentu telah kembali. Allah berkata: Dialah yang akan menjawab orang yang berduka apabila orang itu menyeru kepada-Nya.” 

Setelah itu Abul Qasim al-Junaid berdoa kepada Allah. Ketika perempuan itu sampai di rumah ternyata anaknya telah berada di sana. 

Seorang murid mengira bahwa dirinya telah mencapai derajat kesempurnaan. 

“Oleh karena itu lebih baik aku menyendiri,” ia berkata dalam hatinya. 

Maka pergilah ia mengasingkan diri di suatu tempat dan untuk beberapa lamanya berdiam di sana. Setiap malam beberapa orang yang membawa seekor unta datang kepadanya dan berkata: “Kami akan mengantarmu ke surga,” Maka naiklah ia ke atas punggung unta itu dan mereka pun berangkat ke suatu tempat yang indah dan nyaman, penuh dengan manusia gagah dan tampan, di mana banyak makanan lezat dan anak-anak sungai. Di tempat itu ia tinggal hingga fajar, kemudian ia tertidur dan ketika terbangun ternyata ia berada di kamarnya sendiri kembali. Karena pengalaman ini, ia menjadi bangga dan sombong. 

“Setiap malam aku diantarkan ke surga,” ia membanggakan dirinya. 

Kata-katanya ini terdengar oleh Abul Qasim al-Junaid. Abul Qasim al-Junaid segera bangkit dan datang ke tampat di mana ia mendapati muridnya itu sedang berlagak dengan sangat angkuhnya. Abul Qasim al-Junaid bertanya apa yang telah dialaminya dan si murid menceritakan seluruh pengalamannya ini kepada syeikh. 

“Malam nanti apabila engkau diantarkan ke sana,” Abul Qasim al-Junaid berkata kepada muridnya itu, “Ucapkanlah: Tiada kekuasaan dan kekuatan kecuali pada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar.” 

Malam itu, seperti biasanya si murid diantarkan pula ke tempat tersebut. Dalam hatinya ia tidak yakin terhadap perkataan syeikh Abul Qasim al-Junaid, tetapi ketika sampai di tempat itu, sekedar sebagai percobaan ia mengucapkan: Tiada kekuasaan dan kekuatan....” 

Seketika itu pula orang-orang yang berada di tempat itu meraung-raung dan melarikan diri. Kemudian terlihatlah olehnya bahwa tempat itu hanyalah tempat pembuangan sampah sedang di hadapannya berserakan tulang-tulang binatang. Setelah menyadari kekeliruannya itu, si murid bertobat dan bergabung dengan murid-murid Abul Qasim al-Junaid yag lain. Tahulah ia bahwa menyendiri bagi seorang murid bagaikan racun yang mematikan. 

Salah seorag murid Abul Qasim al-Junaid menyendiri di sebuah tempat yang terpencil di kota Bashrah. Suatu malam, sebuah pikiran buruk terlintas di dalam hatinya. Ketika ia memandang ke dalam cermin terlihatlah olehnya betapa wajahnya telah berubah hitam, ia sangat kaget. Segala daya upaya dilakukan untuk membersihkan wajahnya, tetapi sia-sia. Sedemikian malunya dia sehingga tidak berani menunjukkan mukanya kepada siapa pun. Setelah tiga hari berlalu, barulah kehitaman wajahnya kembali normal sedikit demi sedikit. 

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya. 

“Siapakah itu?” ia bertanya. 

“Aku datang untuk mengantar surat dari Abul Qasim al-Junaid,” sebuah sahutan dari luar. 

Si Murid membaca surat Abul Qasim al-Junaid. 

“Mengapa tidak engkau jaga tingkah lakumu di hadapan Yang Maha Besar. Telah tiga hari tiga malam aku bekerja sebagai seorang tukang celup untuk memutihkan kembali wajahmu yang hitam itu.” 

Suatu hari, salah seorang murid Abul Qasim al-Junaid melakukan suatu kesalahan kecil. Karena malu ia melarikan diri dan tidak mau pulang. Beberapa hari kemudian, ketika berjalan-jalan dengan sahabat-sahabat di dalam pasar, tiba-tiba terlihatlah oleh Abul Qasim al-Junaid muridnya itu. Si murid lari karena malu. 

“Seekor burung kita terlepas dari sangkar,” Abul Qasim al-Junaid berseru kepada sahabat-sahabatnya dan mengejar si murid. 

Ketika menoleh ke belakang, si murid melihat bahwa Syeikh membuntutinya. Maka ia pun mempercepat larinya. Akhirnya ia bertemu jalan buntu, karena malu ia tetap menghadapkan mukanya ke tembok. Tak lama kemudian si syeikh telah berada di tempat itu. 

“Hendak ke manakah engkau guru?” si murid bertanya kepada Abul Qasim al-Junaid. 

“Apabila seseorang membentur dinding, seorang syeikh dapat memberikan bantuannya,” jawab Abul Qasim al-Junaid. 

Murid itu dibawanya pulang ke pertapaan. Sesampainya di sana si murid menjatuhkan dirinya di depan kaki sang guru dan memohon ampun kepada Allah. Semua yang yang menyaksikan pemandangan ini tergugah hatinya, banyak di antara mereka yang ikut bertobat. 

Syeikh Abul Qasim al-Junaid mempunyai seorang murid yang dicintainya melebihi muridnya yang lain. Murid-murid lain merasa iri, hal ini disadari oleh syeikh melalui intuisi mistiknya. 

“Sesungguhnya ia melebihi kalian di dalam tingkah laku dan tingkat pemahamannya,” Abul Qasim al-Junaid menjelaskan kepada mereka. “Begitulah menurut pendapatku. Tetapi mari kita membuat sebuah percobaan agar kalian semua menyadari hal itu.” 

Kemudian Abul Qasim al-Junaid memerintahkan agar dua puluh ekor burung dibawakan kepadanya. 

“Ambil burung-burung ini oleh kalian, seekor seorang,” Abul Qasim al-Junaid berkata kepada murid-muridnya. “Bawalah burung itu ke suatu tempat yang tak terlihat oleh siapa pun juga, kemudian bunuhlah. Setelah itu bawalah kembali ke sini. 

Setiap murid pergi dengan membawa seekor burung, membunuh burung itu dan membawa bangkainya kembali, kecuali murid kesayangan Abul Qasim al-Junaid itu. Ia pulang dengan membawa seekor burung yang masih hidup. 

“Mengapa tak kau bunuh burungmu itu?” Abul Qasim al-Junaid bertanya kepadanya. 

“Karena guru mengatakan hal itu harus dilakukan di suatu tempat yang tidak bisa dilihat oleh siapapun juga,” jawab si murid. “Dan ke mana pun aku pergi, Allah senantiasa menyaksikannya.” 

“Kalian saksikanlah tingkat pemahamannya!” Abul Qasim al-Junaid berkata kepada seluruh muridnya. “Bandingkanlah dengan yang lain-lainnya.” Semua murid Abul Qasim al-Junaid segera mohon ampunan Allah. 

Abul Qasim al-Junaid mempunyai delapan orang murid istimewa yang melaksanakan setiap buah pikirannya. Pada suatu hari, terpikirkan oleh mereka bahwa mereka harus terjun ke perang suci. Keesokan paginya Abul Qasim al-Junaid menyuruh pelayannya mempersiapkan perlengkapan perang. Beserta delapan murid tersebut ia berangkat ke medan perang. 

Ketika kedua belah pihak yang bertempur saling berhadapan, tampillah seorang satria perkasa dari pasukan kafir itu, lantas dibinasakannya ke delapan murid Abul Qasim al-Junaid. 

“Aku menengadah ke langit,” Abul Qasim al-Junaid mengisahkan, “Dan di sana terlihat olehku sembilan buah usungan. Roh masing-masing dari delapan muridku yang syahid itu diangkat ke sebuah usungan, jadi masih ada satu usungan yang kosong. Usungan yang masih kosong itu tentulah untukku, aku berpikir dan karena itu aku pun mencebur kembali ke dalam kancah pertempuran. Tetapi satria perkasa yang telah membunuh delapan sahabatku itu tampil dan berkata: Abul Qasim al-Junaid, usungan yang kesembilan itu adalah untukku. Kembalilah ke Baghdad dan jadilah seorang syeikh untuk kaum muslimin, dan bawalah aku ke dalam Islam.” 

“Maka jadilah ia seorang muslim. Dengan pedang yang telah digunakannya untuk membunuh delapan muridku itu ia pun berbalik membunuh orang-orang kafir dalam jumlah yang sama. Kemudian ia sendiri terbunuh sebagai seorang syuhada.” Abul Qasim al-Junaid mengakhiri kisahnya. “Ruhnya ditaruh ke atas usungan yang masih kosong tadi. Kemudian kesembilan usungan itu menghilang tidak terlihat lagi.” 

Seorang sayyid bernama Nasri, sedang melakukan perjalanan ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di Baghdad ia pun pergi mengunjungi Abul Qasim al-Junaid. 

“Dari manakah engkau datang sayyid?” Abul Qasim al- Junaid bertanya setelah menjawab salam. 

“Aku datang dari Ghilan,” jawab sang sayyid. 

“Keturunan siapakah engkau?” tanya Abul Qasim al-Junaid. 

“Aku adalah keturunan Ali, pangeran kaum Muslimin, semoga Allah memberkatinya.” Jawabnya. 

“Nenek moyangmu itu bersenjatakan dua bilah pedang,” ujar Abul Qasim al-Junaid. “Yang satu untuk melawwan orang-orang kafir dan yang lainnya untuk melawan dirinya sendiri. Pada saat ini, sebagai putranya, pedang manakah yang engkau gunakan?” 

Sang sayyid menangis sedih mendengar kata-kata ini. Direbahkannya dirinya di depan Abul Qasim al-Junaid dan berkatalah ia: 

“Guru, di sinilah ibadah hajiku. Tunjukanlah kepadaku jalan menuju Allah.” 

“Dadamu adalah tempat bernaung Allah. Usahakanlah sedaya upayamu agar tidak ada yang cemar memasuki tempat bernaung-Nya itu.” 

“Hanya itulah yang ingin kuketahui,” si sayyid berkata. Junaid Meninggal Dunia 

Ketika ajalnya sudah dekat, Abul Qasim al-Junaid menyuruh sahabat-sahabtnya untuk membentangkan meja dan mempersiapkan makanan. 

“Aku ingin menghembuskan nafasku yang terakhir ketika sahabat-sahabatku sedang menyantap seporsi sop.” 

Abul Qasim al-Junaid berkata. 

Kesakitan petama menyerang dirinya. 

“Berilah aku air utuk bersuci,” ia meminta kepada sahabat-sahabatnya. 

Tanpa disengaja mereka lupa membersihkan sela-sela jari tangannya. Atas permintaan Abul Qasim al-Junaid sendiri kekhilafan ini mereka perbaiki. Kemudian Abul Qasim al-Junaid bersujud sambil menangis. 

“Wahai pemimpin kami,” murid-muridnya menegurnya. “Dengan semua pengabdian dan kepatuhanmu kepada Allah seperti yang telah engkau lakukan, mengapakah engkau bersujud pada saat-saat seperti ini?” 

“Tidak pernah aku merasa perlu bersujud daripada saat-saat ini,” jawab Abul Qasim al-Junaid. 

Kemudian Abul Qasim al-Junaid membaca ayat-ayat al-Qur'an tanpa henti-hentinya. 

“Dan engkau pun membaca al-Qur'an?” Salah seorang muridnya bertanya. 

“Siapakah yang lebih berhak daripadaku membaca al-Qur'an, karena aku tahu bahwa sebentar lagi catatan kehidupanku akan digulung dan akan kulihat pengabdian dan kepatuhanku selama tujuh puluh tahun tergantung di angkasa pada sehelai benang. Kemudian angin bertiup dan mengayunkan kesana kemari, hingga aku tak tahu, apakah angin itu akan memisahkan atau mempertemukanku dengan-Nya. Di sebelahku akan membentang tebing pemisah surga dan neraka, dan di sebelah yang lain malaikat maut. Hakim yang adil akan menantikanku di sana, teguh tak tergoyahkan di dalam keadilan yang sempurna. Sebuah jalan telah terbentang di hadapanku dan aku tak tahu kemana aku hendak dibawa.” 

Setelah tamat dengan al-Qur'an yang dibacanya, dilanjutkannya pula tujuh puluh ayat dari surat al-Baqarah. 

Kesakitan kedua menyerang Abul Qasim al-Junaid. 

“Sebutlah nama Allah,” sahabat-sahabatnya mem-bisikkan. 

“Aku tidak lupa,” jawab Abul Qasim al-Junaid. Tangannya meraih tasbih dan keempat jarinya kaku mencengkeram tasbih itu, sehingga salah seorang muridnya harus melepaskannya. 

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” Abul Oasim al-Junaid berseru, kemudian menutup matanya dan sampailah ajalnya. 

Ketika jenazahnya dimandikan, salah seorang yang ikut memandikannya bermaksud membasuh matanya. Tetapi sebuah suara dari langit mencegah: “Lepaskan tanganmu dari mata sahabat-Ku. Matanya tertutup bersama nama-Ku dan tidak akan dibukakan kembali kecuali ketika dia menghadap-Ku nanti,” kemudian ia hendak membuka jari-jari Junaid untuk dibasuhnya. Sekali lagi terdengar suara mencegah: Jari-jari yang telah kaku bersama nama-Ku tidak akan dibukakan kecuali melalui perintah-Ku.” 

Ketika jenazah Abul Qasim al-Junaid diusung, seekor burung merpati berbulu putih hinggap di sudut peti matinya. Percuma saja para sahabat mencoba mengusir burung itu. Karena ia tak mau pergi. Akhirnya burung itu berekata: 

“Jaganlah kalian menyulitkan diri kalian sendiri dan menyusahkan aku. Cakar-cakarku telah tertancap di sudut peti mati ini oleh paku cinta. Itulah sebabnya aku hinggap di sini. Janganlah kalian bersusah payah. Sejak saat itujazadnya dirawat oleh para malaikat. Jika bukan karena kegaduhan yang kalian buat, niscaya jazad Abul Gasim al-Junaid telah terbang ke angkasa sebagai seekor elang putih bersama-sama dengan kami.”

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam