Abu Hafshin Amr bin Salam al-Haddad merupakan seorang pandai besi di kota Nishapur. Dia pernah berkunjung ke Baghdad dan berjumpa dengan Junaid yang kagum menyaksikan pengabdiannya kepada Allah. Abu Hafshin juga pernah berjumpa dengan asy-Syibli dan tokoh-tokoh sufi lainnya di kota Baghdad. Setelah kembali ke Nishapur ia menjalankan usahanya seperti dahulu dan meninggal dunia di kota ini pada tahun 265 H/879 M.
PERTOBATAN ABU HAFSHIN AL-HADDAD
Ketika masih remaja, Abu Hafshin al-Haddad jatuh cinta kepada seorang gadis pelayan. Ia sedemikian tergila-gila sehingga tak dapat hidup dengan tenang.
“Ada seorang dukun Yahudi yang tinggal di pinggiran kota Nishapur. Ia tentu bisa menolongmu,” sahabat-sahabatnya menyarankan.
Maka pergilah Abu Hafshin al-Haddad menemui dukun Yahudi itu dan menjelaskan masalah yang sedang dihadapinya.
Si Yahudi menyarankan: “Selama empat puluh hari janganlah engkau melakukan shalat, dengan cara bagaimanapun juga janganlah kau taati perintah Allah, dan jangan lakukan perbuatan-perbuatan baik. Selama itu pula jangan engkau sebut-sebut nama Allah dan sama sekali jangan memikirkan hal-hal yang baik. Setelah semua ini engkau lakukan, barulah aku dengan sihirku sanggup membuat keinginanmu itu tercapai.”
Selama empat puluh hari Abu Hafshin melaksanakan nasehat si dukun. Setelah itu si dukun memberikan sebuah jimat untuknya, tetapi ternyata tidak ada hasilnya.
Si Yahudi berdalih: “Sudah pasti bahwa selama ini engkau pernah melakukan perbuatan baik. Jika tidak, tentu tujuanmu itu telah tercapai.”
“Tak ada pelanggaran yang pernah kulakukan,” Abu Hafshin al-Haddad membela diri. “Satu-satunya kebajikan yang kuingat adalah menyepak sebuah batu ketika aku datang ke sini agar tak ada orang yang tersandung karenanya.”
“Jangan menjengkelkan Allah yang perintah-perintah-Nya hendak engkau tentang selama empat puluh hari. Dia tak akan menyia-nyiakan kemurahan-Nya walau untuk kebaikan kecil seperti yang telah engkau lakukan,” cela si Yahudi.
Kata-kata itu mengobarkan api di dalam dada Abu Hafshin al-Haddad, bahkan sedemikian berkobarnya sehingga ia bertobat melalui si Yahudi itu.
Abu Hafshin al-Haddad terus melakukan usahanya sebagai pandai besi, dan menyembunyikan keajaiban yang telah terjadi terhadap dirinya itu. Setiap hari ia memperoleh uang satu dinar. Dan setiap malam pula uang satu dinar itu diberikannya kepada orang-orang miskin, atau secara sembunyi-sembunyi dimasukkannya ke dalam kotak surat di rumah para janda. Kemudian, bila waktu isya' telah tiba, ja pun pergi mengemis dan dengan uang yang diperolehnya melalui cara ini ia berbuka puasa. Kadang ia mengumpulkan bawang atau sisa-sisa lainnya yang terdapat di kamar cuci umum, lalu dijadikannya sebagai santapannya.
Demikianlah perilaku Abu Hafshin al-Haddad untuk beberapa lama. Pada suatu hari seorang buta berjalan di dalam pasar sambil membaca ayat: “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka akan ditunjukkan Allah kepada mereka yang tak pernah mereka sangka sebelumnya....” Ayat ini menyesakkan dada Abu Hafshin al-Haddad sehingga ia tak sadarkan diri. Di tempat pertukangannya, sebagai ganti jepitan ia masukkan tangannya ke dalam tungku perapian untuk mengambil sepotong besi yang sedang membara. Besi tersebut ia letakkan ke atas paron untuk dipalu anak-anak buahnya. Semua anak buah Abu Hafshin al-Haddad tersadar, betapa Abu Hafshin al-Haddad menempa besi panas itu dengan tangannya sendiri.
“Tuan, apa yang engkau perbuat ini?” Seru mereka.
“Palu!” Abu Hafshin al-Haddad memberi perintah.
“Tuan, apakah yang harus kami palu.” Tanya mereka,
“Besi ini sudah bersih.”
Barulah Abu Hafshin al-Haddad sadar. Dilihatnya besi yang membara di tangannya dan didengarnya seruan-seruan anak buahnya: “Besi itu sudah bersih. Apakah yang harus kami palu?” Besi tersebut dilemparkannya. Bengkel itu segera ditinggalkannya dan siapa pun boleh mengurusnya.
“Sudah lama sebenarnya aku ingin meninggalkan usaha tersebut, tapi tak bisa. Akhirnya kejadian ini menimpa diriku dan secara paksa membebaskanku. Betapa pun aku mencoba meninggalkan usaha itu, namun sia-sia. Akhirnya usaha itu sendiri yang meninggalkan diriku.”
Sesudah itu, Abu Hafshin al-Haddad menjalani kehidupan dengan disiplin diri yang keras, menyepi dan bertapa.
ABU HAFSHIN AL-HADDAD DAN JUNAID
Abu Hafshin al-Haddad hendak ke tanah suci menunaikan ibadah haji, tapi ia tidak bisa membaca dan berbahasa Arab. Ketika sampai di kota Baghdad, murid-murid sufi saling berbisik.
“Sangatlah memalukan apabila syeikh dari segala syeikh di Khurasan masih membutuhkan juru bahasa untuk memahami bahasanya sendiri.”
Junaid menyuruh murid-muridnya untuk menyambut kedatangan Abu Hafshin Abu Hafshin al-Haddad. Abu Hafshin al-Haddad sendiri menydari apa yang sedang dipikirkan oleh para sahabat itu dan segera ia berbicara dalam bahasa Arab sehingga orang-orang Baghdad itu kagum akan kemurnian bahasa Arabnya. Beberapa cendekiawan berkumpul di sekelilingnya dan bertanya tentang cinta yang menyebabkan seseorang rela mengorbankan diri.
“Engkau lebih pintar berbicara, jawablah pertanyaan mereka itu,” Abu Hafshin al-Haddad berkata kepada Junaid.
“Menurut pendapatku,” Junaid memulai, “Apabila kita benar-benar mengorbankan diri sendiri, maka kita tidak beranggapan bahwa kita telah mengorbankan diri dan membanggakan segala perbuatan yang telah kita lakukan.”
“Hebat sekali,” seru Abu Hafshin al-Haddad. “Tetapi menurut pendapatku, mengorbankan diri sendiri berarti berlaku adil kepada orang lain dan tidak mengharap agar orang lain berlaku adil kepada diri kita sendiri."
“Laksanakan petuah ini, wahai sahabat-sahabat,” Junaid berkata kepada mereka.
“Pelaksanaan yang benar, lebih sulit dari sekedar kata-kata.” Abu Hafshin al-Haddad menandaskan.
Ketika mendengar kata-kata Abu Hafshin al-Haddad ini, Junaid berseru kepada sahabat-sahabat:
“Bangkitlah sahabat-sahabat! Di dalam pengorbanan diri sendiri, Abu Hafshin al-Haddad melebihi Adam beserta anak cucunya.”
Abu Hafshin al-Haddad menanamkan rasa hormat dan disiplin ke dalam diri sahabat-sahabatnya. Tak seorang pun di antara murid-muridnya yang berani duduk di depannya dan menatap matanya. Di depannya, mereka selalu berdiri dan tidak akan duduk sebelum dipersilahkan. Abu Hafshin al-Haddad sendiri duduk di antara mereka bagaikan seorang sultan.
Melihat hal itu Junaid menegurnya: “Engkau mengajar sahabat-sahabatmu tingkah laku seperti menghadap sultan.”
“Engkau hanya melihat apa yang terlihat, tetapi bukankah dari alamat surat saja kita bisa menduga apa yang tertulis di dalamnya.” Jawab Abu Hafshin al-Haddad.
Setelah itu, Abu Hafshin al-Haddad melanjutkan: “Suruhlah sahabat-sahabatmu memasak kaldu dan halwa.
Junaid lalu menyuruh seorang muridnya memasak kaldu dan halwa. Setelah selesai, Abu Hafshin al-Haddad berkata:
“Panggillah seorang kuli dan letakkan makanan ini ke atas kepalanya. Kemudian suruh ia berjalan sambil membawa makanan ini sampai ia letih dan tak sanggup melanjutkan perjalanan. Di depan rumah siapa pun ia berhenti, suruh ia memanggil si empunya rumah. Dan siapa saja yang membuka pintu, suruh ia memberikan saja kaldu dan halwa ini kepadanya."
Si kuli mematuhi segala perintah ini. Ia pun berjalan sampai kelelahan dan tak sanggup lagi meneruskan. Makanan-makanan itu diletakkannya di depan sebuah rumah, kemudian ia memanggil penghuni rumah itu. Ternyata pemilik rumah itu adalah seorang lelaki yang telah tua, ia menyahut:
“Jika engkau membawa kaldu dan halwa, barulah kubukakan pintu.”
“Aku membawa kaldu dan halwa.” Jawab si kuli.
“Masuklah,” lelaki itu mempersilahkan setelah membukakan pintu.
“Aku sangat heran,” belakangan si kuli mengisahkan kejadian itu, ‘Aku bertanya kepada lelaki tua itu, “Apakah yang telah terjadi?”
“Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku membawa kaldu dan halwa?”
Orang tua itu menjawab: “Ketika aku sedang berdoa tadi malam, teringat olehku bahwa anak-anakku sudah lama meminta kaldu dan halwa kepadaku. Aku tahu bahwa doaku tadi malam tidaklah percuma.”
Ada seorang murid yang senantiasa melayani Abu Hafshin al-Haddad dengan sangat takzim. Junaid sering memperhatikan si murid karena senang melihat sikapnya. Junaid bertanya kepada Abu Hafshin al-Haddad:
“Sudah berapa tahunkah ia berada di bawah bimbinganmu?”
“Sepuluh tahun,” jawab Abu Hafshin al-Haddad.
“Tingkah lakunya tiada tercela dan sikapnya sopan. Benar-benar seorang pemuda yang mengagumkan,” Junaid memberi penilaian.
“Ya, jawab Abu Hafshin al-Haddad. “Sudah tujuh belas ribu dinar disumbangkannya untuk tujuan kita ini, kemudian dipinjamkannya pula tujuh belas ribu dinar untuk keperluan yang sama. Walau demikian, ia masih belum berani juga mengajukan satu pertanyaan pun kepada kami,”
Kemudian Abu Hafshin al-Haddad berangkat mengarungi padang pasir. Inilah pengisahan mengenai pengalamannya di padang pasir itu:
Di tengah padang pasir itu, aku bertemu dengan Abu Thurab lalu kami berjalan bersama-sama. Sudah enam belas hari aku tak makan ketika terlihat olehku sebuah telaga, aku ingin minum dan melangkah ke arah telaga itu. Tetapi aku berrhenti dan merenung.
“Apa yang menyebabkan engkau berhenti?” Abu Thurab bertanya kepadaku.
“Aku ingin menyaksikan, mana yang akan menang di antara pengetahuan dengan kepastian, sehingga bisa kupilih yang menang di antara keduanya. Jika kemenangan diperoleh oleh pengetahuan, air telaga ini akan kuminum, tetapi jika kepastian yang menang, aku akan terus berjalan,” jawabku.
“Engkau pasti akan mendapat kemajuan,” Abu Thurab berkata padaku.
Ketika sampai di kota Mekkah, Abu Hafshin al-Haddad menyaksikan jamaah-jamaah yang miskin dan terluntalunta. Ia ingin sekali memberikan sesuatu kepada mereka tetapi tak ada yang dimilikinya dan oleh karena itu ia sangat gelisah. Kegelisahan ini sedemikian mencekam hatinya dan ia tak sanggup meredakannya, akhirnya dipungutnya sebuah batu dan ia berteriak:
“Demi keagungan-Mu, jika Engkau tidak memberikan sesuatu kepadaku, akan kuhancurkan semua lampu-lampu di dalam masjid itu!”
Kemudian ia mengelilingi Ka'bah. Tak lama kemudian datanglah seorang lelaki menghampiri dan memberinya sekantong emas yang kemudian dibagi-bagikannya kepada orang-orang miskin tersebut.
Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Abu Hafshin al-Haddad kembali ke Baghdad. Sahabat-sahabat Junaid menyambut kedatangannya.
Oleh-oleh apakah yang engkau bawa untuk kami?”
Tanya junaid kepadanya.
“Yang hendak kukatakan inilah oleh-olehku,” jawab Abu Hafshin al-Haddad.
“Mungkin sekali di antara sahabat-sahabat kita ada yang tidak sanggup menghadapi kehidupan ini seperti yang seharusnya. Jika tingkah lakunya kepadamu kurang cocok, carilah ke dalam dirimu sebuah alasan untuk memaafkannya, lalu maafkanlah kesalahannya itu. Bila debu salah faham tak bisa dihilangkan karena maaf itu, sedang kau berada di pihak yang benar, cari pula alasan untuk memaafkannya lalu maafkan perbuatannya itu. Apabila debu salah faham tetap tak bisa dihilangkan, cari pula alasan lain walau sampai empat puluh kali. Apabila debu itu tak bisa dihilangkan sedang engkau berada di pihak yang benar, dan keempat puluh alasan itu tidak bisa mengimbangi kesalahan yang telah dilakukannya terhadap dirimu, maka duduklah dan berkatalah kepada dirimu sendiri: 'Betapa keras kepala dan betapa kelam hatimu ini! Betapa kesat hatimu, betapa buruk kelakuanmu, betapa angkuhnya engkau! Saudaramu telah mengajukan empat puluh alasan agar kesalahannya dimaafkan, tetapi engkau tidak bisa menerima alasan-alasan itu dan tetap membenci dia. Aku berlepas tangan terhadapmu. Engkau tahu apa yang kau inginkan, berbuatlah sekehendakmu!”
Junaid sangat kagum mendengar kata-kata ini.
“Tetapi siapakah yang mempunyai kekuatan seperti itu?” Junaid bertanya kepada dirinya sendiri.
ABU HAFSHIN AL-HADDAD DAN SYIBLI
Selama empat bulan Syibli menerima Abu Hafshin al-Haddad sebagai tamu. Setiap hari ia menyajikan aneka macam santapan dan berbagai makanan ringan.
Ketika pamit, Abu Hafshin al-Haddad berkata kepada Syibli.
“Jika engkau datang ke Nishapur akan kuajarkan kepadamu cara menjamu tamu dan kemurahan hati yang sejati.”
“Apa kesalahan yang telah kulakukan?” Syibli bertanya.
“Engkau terlalu merepotkan dirimu. Jamuan yang berlebihan tidaklah sama dengan kemurahan hati. Engkau harus melayani tamu seperti melayani dirimu sendiri.
Dengan demikian kedatangan tamu tidak merupakan beban kepadamu dan kepergiannya tidak merupakan alasan untuk merasa lega. Jika engkau terus menjamu tamu secara berlebihan, maka kedatangannya akan engkau anggap sebagai beban dan kepergiannya sebagai kelegaan. Seorang yang beranggapan demikian terhadap tamu, tak bisa dikatakan bersifat pemurah.”
Ketika Syibli datang ke Nishapur, ia menginap di rumah Abu Hafshin al-Haddad. Semua tamu berjumlah empat puluh orang, dan sewaktu malam tiba, Abu Hafshin al-Haddad menyalakan empat puluh satu buah pelita.
“Bukankah engkau sendiri mengatakan bahwa kita jangan berlebihan?” Syibli menegur Abu Hafshin al-Haddad.
“Jika demikian, padamkanlah olehmu lampu-lampu itu.”
Syibli menuruti, tetapi betapa pun ia berusaha hanya satu lampu yang bisa dipadamkannya.
“Syeikh, apakah artinya semua ini?” Syibli bertanya kepada Abu Hafshin al-Haddad.
“Kalian adalah empat puluh utusan Allah, karena seorang tamu adalah utusan Allah. Jadi wajarlah jika demi Allah aku menyalakan sebuah pelita untuk masing-masing di antara kalian dan sebuah untuk diriku sendiri. Keempat puluh pelita yang kunyalakan demi Allah itu tidak sanggup engkau padamkan, tetapi satu pelita yang kunyalakan untuk diriku sendiri itu berhasil engkau padamkan. Segala hal yang telah kau lakukan di Baghdad itu dahulu, engkau lakukan demi diriku, tetapi yang kulakukan di sini, kulakukan demi Allah. Jadi yang kau lakukan dahulu itu merupakan hal yang berlebih-lebihan tetapi yang kulakukan ini bukan.”
« Prev Post
Next Post »