Sabtu, 25 Januari 2025

Abul Husain Ahmad al-Nuri

Abul Husain Ahmad bin Muhammad al-Nuri lahir di Baghdad dan keluarganya berasal dari Khurasan. Ia adalah murid Sari al-Saqathi dan sahabat karib Junaid. Sebagai seorang tokoh sufi terkemuka di kota Baghdad ia telah menggubah berbagai syair mistis yang indah. Ia meninggal pada tahun 295 H/908 M.

DISIPLIN DIRI ABUL HUSIN AL-NURI 

Abul Husain Ahmad al-Nuri melakukan disiplin diri seperti yang dilakukan oleh Junaid. Ia dijuluki Nuri (manusia yang memperoleh cahaya) karena setiap kali ia berbicara di suatu ruangan pada malam yang gelap, dari mulutnya keluar cahaya sehingga seluruh ruangan itu menjadi terang. Alasan lain mengapa ia dijuluki demikian adalah karena ia menjelaskan rahasia-rahasia yang paling pelik dengan cahaya intuisi. Tetapi versi yang ketiga mengatakan bahwa ia mempunyai sebuah tempat menyepi di tengah padang pasir, di mana ia biasa shalat di sepanjang malam dan apabila ia berada di tempat itu, orang-orang bisa menyaksikan cahaya yang memancar dari tempat itu. 

Pada awal kehidupan mistiknya, setiap hari ia keluar rumah pagi-pagi sekali dan pergi ke tokonya mengambil beberapa potong roti untuk dibagi-bagikan sebagai sedekah. Setelah itu barulah ia pergi ke masjid untuk shalat shubuh dan tetap di situ sampai tengah hari. Kemudian ia baru pergi ke tokonya. Orang-orang di rumah menyangka bahwa ia telah makan di toko dan orang-orang di toko menyangka bahwa ia telah makan di rumah. Yang demikian dilakukannya secara terus-menerus selama dua puluh tahun tanpa seorang pun yang mengetahui perihal yang sesungguhnya. 

Mengenai dirinya sendiri, Abul Husain Ahmad al-Nuri berkisah sebagai berikut: 

Bertahun-tahun aku berjuang mengekang diri dan meninggalkan pergaulan ramai. Betapapun aku telah berusaha keras, namun jalan belum terbuka bagiku. 

“Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diriku,” aku berkata di dalam hati. “Jika tidak, biarlah aku mati terlepas dari hawa nafsu ini.” 

“Wahai jasadku,” aku berkata. “Bertahun-tahun sudah engkau menuruti hawa nafsumu sendiri, makan, melihat, mendengar, berjalan-jalan, mengambil, tidur, bersenang-senang dan memuaskan hasratmu. Sungguh, semua itu akan mencelakakanmu. Sekarang masuklah ke dalam penjara, akan kubelenggu dirimu dan kukalungkan kepada lehermu segala kewajiban kepada Allah. Jika engkau sanggup bertahan dalam keadaan seperti itu, engkau pasti meraih kebahagiaan. Tapi jika kau tak sanggup maka setidaknya engkau akan mati di atas jalan Allah.” 

Maka, berjalanlah aku di atas jalan Allah. Pernah kudengar bahwa hati para sufi merupakan alat yang amat awas dan mengetahui rahasia segala sesuatu yang terlihat dan terdengar oleh mereka. Karena aku sendiri tak memiliki hati yang seperti itu, maka aku pun berkata kepada diriku sendiri: “Ucapan-ucapan para Nabi dan manusa-manusia suci adalah benar. Mungkin sekali aku telah bersikap munafik dalam usahaku selama ini, dan kegagalanku ini adalah karena kesalahanku sendiri. Di sini tak ada tempat untuk berbeda pendapat. Sekarang aku ingin merenungi diriku sendiri sehingga aku benar-benar mengenalnya.” 

Maka, aku merenungi diriku sendiri. Ternyata kesalahanku adalah bahwa hati dan hawa nafsuku bersatu. Bila hati dan hawa nafsu berpadu, celakalah! Karena jika ada sesuatu yang menyinari hati, maka hawa nafsu akan menyerap sebagian daripadanya. Sadarlah aku bahwa hal inilah yang menjadi sumber dilema yang kuhadapi selama ini. Segala sesuatu yang datang dari hadirat Allah ke dalam hatiku, sebagian diserap oleh hawa nafsuku. 

Sejak saat itu, segala perbuatan yang diperkenankan oleh hawa nafsuku tidak kulakukan. Yang aku lakukan adalah hal-hal lain yang tak disukainya. Misalnya, apabila hawa nafsuku berkenan jika aku shalat, berpuasa, bersedekah, menyepi atau bergaul dengan sahabat-sahabatku, maka aku melakukan hal yang sebaliknya. Akhirnya segala hal yang diperkenankan hawa nafsuku bisa kubuang dan rahasia-rahasia mistik mulai terbuka di dalam diriku. 

“Siapakah engkau?” aku bertanya. 

“Aku adalah mutiara dari Lubuk Tanpa Hasrat.” Terdengar jawaban. “Katakan kepada murid-muridmu, lubukku adalah Lubuk Tanpa Hasrat dan mutiaraku adalah Mutiara dari Lubuk Tanpa Tujuan.” 

Kemudian aku turun ke sungai Tigris dan berdiri di antara dua buah perahu. 

“Aku tidak akan beranjak dari tempat ini,” aku berkata. “Sebelum ikan terjerat ke dalam jalaku.” 

Akhirnya masuklah seekor ikan ke dalam jalaku. Ketika kuangkat jalaku itu, aku pun berseru: “Alhamdulillah, perjuanganku telah berhasil.” 

Aku mengunjungi Junaid dan berkata kepadanya: “Sebuah karunia telah dilimpahkan kepadaku.” 

“Abul Husain Ahmad al-Nuri,” Junaid menjawab, “Bila yang terjerat oleh jalamu itu adalah seekor ular, bukan seekor ikan, itulah pertanda sebuah karunia. Karena engkau sendiri telah campur tangan. Hal itu hanyalah sebuah tipuan, bukan sebuah karunia. Tanda dari suatu karunia adalah bahwa engkau sama sekali tidak ada di sana lagi.” 

NURI DI DEPAN KHALIFAH 

Ketika Ghulam Khalil menyatakan perang terhadap para sufi, ia pergi menghadap khalifah dan mencela mereka. 

“Orang-orang telah menyaksikan beberapa kelompok sufi berdendang-dendang, menari-nari dan menghujat. Sepanjang hari mereka berjalan hilir mudik, dan di malam hari mereka bersembunyi di dalam kuburan-kuburan bawah tanah, dan berkhotbah. Sufi-sufi ini adalah manusia-manusia bid'ah. Seandainya pangeran kaum Muslimin bersedia mengeluarkan perintah agar sufi-sufi ini dibunuh, niscaya doktrin bid'ah akan musnah, karena sesungguhnya mereka itulah pemimpin-pemimmpin para bid'ah. Jika hal ini dilakukan oleh pangeran kaum Muslimin, aku jamin bahwa ia akan memperoleh pahala yang berlimpah.” 

Khalifah segera memerintahkan agar Abul Hamzah, Raqqam, Syibli, Nuri dan Junaid dibawa ke hadapannya. Setelah semuanya berkumpul, khalifah memerintahkan agar mereka dibunuh. Algojo mula-mula hendak memancung Raqqam tetapi Nuri melompat, menerjang maju dan berdiri menggantikan Raqqam. 

“Bunuhlah aku yang sedang tertawa-tawa bahagia ini terlebih dahulu,” kata Nuri. 

“Belum tiba giliranmu,” jawab si algojo. “Sebuah pedang bukanlah sebuah senjata yang harus dipergunakan secara tergesa-gesa.” 

“Jalanku ini berdasarkan kecintaan,” Nuri menjelaskan, “Aku lebih mencintai sahabatku daripada diriku sendiri. Yang paling berharga di atas dunia ini adalah kehidupan. Aku ingin memberikan beberapa saat kehidupan kepada saudara- saudaraku ini, karena itulah aku ingin mengorbankan hidupku sendiri, walau aku berpendapat bahwa sesaat di atas dunia jauh lebih berharga daripada seribu tahun di akhirat. Dunia ini adalah tempat berbakti dan akhirat adalah tempat yang dekat kepada Allah, sedang untuk menghampiri-Nya harus berbakti kepada-Nya.” 

Ucapan-ucapan Nuri ini disampaikan kepada khalifah yang menjadi sangat kagum karena ketulusan dan kejujuran Nuri itu. Maka diperintahkannya agar hukuman itu ditangguhkan dan persoalan mereka diserahkan kepada qadhi. 

“Mereka tak bisa dituntut tanpa bukti-bukti,” si gadhi menjelaskan. Sesungguhnya si gadhi telah mendengarkan khotbah-khotbah Nuri dan mengetahui keahlian Nuri dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Maka berpalinglah ia kepada Syibli. “Akan kutanyai orang gila ini mengenai sesuatu bidang yang tidak akan sanggup dijawabnya,” ia berkata di dalam hati. 

“Berapakah yang dizakatkan seseorang bila ia memiliki uang dua puluh dinar?” Si gadhi bertanya kepada Syibli. “Dua puluh setengah dinar,” jawab Syibli. 

“Siapakah yangmenetapkan zakat yang sebesar itu?” Si gadhi bertanya lagi. 

“Abu Bakar yang agung,” jawab Syibli, “Ia memberikan semua yang dimilikinya sebanyak empat puluh ribu dinar sebagai zakat.” jawab Syibli. 

“Ya, tetapi mengapa engkau tadi menambahkan setengah dinar?” 

“Sebagai denda.” jawab Syibli, “Ia telah menyimpan uang dua puluh dinar dan oleh karena itu ia harus membayar setengah dinar sebagai dendanya.” 

Kemudian si qadhi berpaling kepada Nuri dan mempertanyakan sebuah masalah hukum. Nuri segera memberi sebuah jawaban yang membuat si qadhi bingung, Nuri memberi penjelasan: 

“Qadhi, engkau telah mengajukan semua pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi tak satu pun di antaranya yang penting. Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang berdiri karena Dia, yang berjalan dan beristirahat karena Dia, yang hidup karena Dia dan berdiam diri merenungi- Nya. Apabila sesaat saja mereka berhenti merenungi-Nya nisaya binasalah mereka. Melalui Dia mereka tidur, melalui Dia mereka makan, melalui Dia mereka menerima, berjalan, melihat, mendengar dan melalui Dia mereka ada. Inilah ilmu yang sesungguhnya, bukan yang engkau pertanyakan itu.” 

Si gadhi terbungkam tak bisa berkata apa-apa. Kemudian ia mengirim surat kepada khalifah. 

“Jika orang-orang seperti mereka ini dianggap sebagai orang yang tidak bertuhan dan bid'ah, maka keputusanku adalah bahwa seluruh dunia ini tiada seorang pun yang percaya kepada Allah Yang Maha Esa.” 

Khalifah memerintahkan agar tahanan-tahanan itu di bawa ke hadapannya. 

“Adakah sesuatu hal yang kalian inginkan?” Khalifah bertanya kepada mereka. 

“Ada,” mereka menjawab. “Kami ingin agar engkau melupakan kami. Kami ingin agar engkau tidak memuliakan kami dengan restumu dan tidak mengusir kami dengan murkamu, karena bagi kami, kemurkaanmu itu sama dengan restumu, dan restumu itu sama dengan kemurkaanmu.” 

Khalifah menangis dengan hati yang tersayat dan membebaskan mereka dengan segala hormat. 

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI NURI 

Pada suatu hari Nuri melihat seseorang yang sedang shalat sambil memutar-mutar kumisnya. “Janganlah engkau sentuh kumis Allah,” Nuri menghardiknya. 

Seruan itu dilaporkan orang kepada Khalifah. Ahli-ahli hukum sudah sepakat bahwa ucapan seperti itu, berarti Nuri telah tergelincir ke dalam kekafiran. Oleh karena itu, Nuri dihadapkan kepada khalifah. 

“Benarkah engkau telah mengucapkan kata-kata seperti itu?” tanya khalifah. 

“Benar,” jawab Nuri. 

“Mengapa engkau berkata demikian?” tanya khalifah lagi. 

“Siapakah yang memilik hamba Allah?” Nuri balik bertanya kepada khalifah. 

“Allah,” jawab khalifah. 

“Siapakah yang memiliki kumis hamba-Nya itu?” Nuri melanjutkan. 

“Dia yang memiliki si hamba,” jawab khalifah. 

Di kemudian hari khalifah berkata: “Aku bersyukur kepada Allah karena Dia telah mencegahku untuk membinasakan Nuri.” 

“Di kejauhan yang tak terlihat, nampaklah olehku sebuah cahaya,” Nuri berkata, “aku terus menatapnya hingga aku sendirilah yang menjadi cahaya itu.” 

Pada suatu hari Junaid mengujungi Abul Husain Ahmad al-Nuri. Sesampainya di rumah, Abul Husain Ahmad al-Nuri menyambut kedatangannya dengan merebahkan diri di depan Junaid. Kemudian Nuri mengeluh karena ia telah diperlakukan secara tidak adil. 

“Perjuanganmu semakin berat, sedangkan engkau sudah kehabisan tenaga. Selama tiga puluh tahun ini, apabila Dia ada, maka aku pun tiada, dan apabila aku ada, maka Dia pun tiada. Ada-Nya adalah tiadaku. Semua permohonan-permohonanku dijawab-Nya dengan Aku sajalah yang ada, atau engkau saja.” 

Junaid berkata kepaa sahabta-sahabatnya: “Saksikanlah oleh kalian seorang manusia yang telah mengalami cobaan yang semakin beratnya dan telah dibuat bingung oleh Allah.” 

Kemudian Junaid berpaling kepada Nuri dan berkata: 

“Memang begitulah seharusnya. Dia tertutup oleh engkau. Apabila Dia terlihat melalui engkau meka engkau menjadi tiada dan segala yang ada adalah Dia. 

Beberapa sahabat mengunjungi Junaid dan berkata: “Telah beberapa hari ini, baik siang maupun malam, dengan membawa sebuah batu di tangannya Abul Husain Ahmad al-Nuri berjalan hilir mudik sambil berteriak-teriak: “Allah, Allah,” dan selama itu ia tidak makan, tidak minum dan tidak tidur tetapi ia tetap melakukan shalat tepat pada waktunya dan tak pernah melalaikannya.” 

Kemudian mereka berkata: 

“Ia masih waras dan belum beralih ke dalam keadaan lupa diri. Hal ini terbukti karena ia masih ingat kapan harus melakukan shalat dan masih bisa melakukannya. Itulah tanda bahwa ia masih sadar dan belum lupa diri. Seseorang yang telah lupa diri takkan sadar akan sesuatu pun.” 

“Bukan demikian halnya,” Junaid menjawab, “Semuanya yang kalian katakan itu tidak benar. Sesungguhnya manusia- manusia yang memuji-muji Allah, mereka akan dipelihara, dan dijaga Allah agar mereka tidak lalai beribadah kepada-Nya, apabila tiba saatnya bagi mereka untuk beribadah. 

Junaid kemudian pergi mengunjungi Nuri. 

“Abul Husain,” ia berkata kepada Abul Husain Ahmad al-Nuri, “Bila engkau memang tahu bahwa dengan berteriak-teriak itu Allah berkenan kepadamu, katakanlah kepadaku agar aku akan berteriak-teriak pula. Bila engkau memang tahu bahwa kepuasan bersama Dia adalah lebih baik, maka pergilah menyepi sehingga batinmu mendapatkan damai.” 

Abul Husain Ahmad al-Nuri segera menghentikan teriak-teriakannya itu. “Engkau memang seorang guru sejati,” katanya kepada Junaid. 

Syibli sedang berkhotbah ketika Abul Husain Ahmad al-Nuri masuk dan berdiri di sampingnya. 

“Sejahteralah engkau wahai Abu Bakar!” Abul Husain Ahmad al-Nuri mengucap salam kepada Syibli. 

“Semoga engkau pun memperoleh sejahtera, wahai pangeran di antara manusia-manusia yang murah hati,” Syibli membalas salamnya. 

Abul Husain Ahmad al-Nuri berkata: “Allah Yang Maha Besar tidak senang kepada seorang berilmu yang mengajarkan ilmunya sedang ia sendiri tidak melaksanakannya. Jika engkau melaksanakan hal-hal yang engkau ajarkan ini tetaplah di atas mimbar itu, jika tidak, turunlah.” 

Syibli merenung, ternyata ia sendiri tidak melaksanakan hal-hal yang dikhotbahkannya itu. Oleh karena itu ia pun turun dari atas mimbar itu. Selama empat bulan ia mengunci diri dan tak pernah keluar dari rumahnya. Kemudian dengan berbondong-bondong orang mendatangi Syibli, membawa dan menyuruhnya berbicara di atas mimbar. Hal ini terdengar oleh Abul Husain Ahmad al-Nuri dan ia pun segera ke tempat itu. 

“Abu Bakar,” Nuri berseru kepada Syibli. “Engkau menyembunyikan kebenaran dari mereka, jadi wajarlah apabila mereka menyuruhmu berbicara di atas mimbar. Aku sendiri dengan setulus hati telah mencoba menasehati mereka tetapi mereka mengusirku dengan lemparan batu dan membuangku ke tempat sampah.” 

“Wahai pangeran di antara manusia-manusia yang 

 “Tidak,” jawab mereka. 

“Dia itu Iblis,” Abul Husain Ahmad al-Nuri menjelaskan kepada sahabat-sahabtnya. “Tadi ia mengisahkan perbuatan- perbuatan yang telah dilakukannya dan riwayat hidupnya, kemudian ia meratapi kedukaan hatinya karena telah berpisah dari Allah. Seperti yang telah kalian saksikan si Iblis menangis dan aku pun ikut menangis bersama dia.” 

Ja'far al-Khuldi berkisah, Abul Husain Ahmad al-Nuri sedang berdoa di suatu tempat yang terpencil. Aku bisa mendengar apa-apa yang diucapkannya. 

“Ya Allah,” Abul Husain Ahmad al-Nuri berkata di dalam doanya, “Engkau menghukum penghuni-penghuni neraka. Semua mereka adalah ciptaan-Mu, melalui ke Mahatahuan-Mu, Kemahakuasaan-Mu dan Kehendak-Mu, sejak sedia kala. Jika Engkau memang menghendaki manusia ke dalam neraka, Engkaulah yang berkuasa untuk melemparkan mereka ke dalam neraka dan mengantarkan mereka ke dalam surga.” 

Aku takjub mendengar kata-kata itu. Kemudian pada suatu malam aku bermimpi. Dalam mimpi itu seseorang datang menjumpaiku dan berkata: 

“Allah memerintahkan: “Katakanlah kepada Abul Husain, sesungguhnya Aku telah memuliakan dan memberi kasih sayang kepadamu karena doamu itu.” 

Abul Husain Ahmad al-Nuri meriwayatkan, pada suatu malam ketika kulihat tidak seorang pun yang berada di sekitar Ka'bah, aku pun berjalan mengelilingi. Setiap kali melewati Hajar Aswad aku melakukan shalat dan berdoa: 

“Ya Allah, berikanlah kepadaku suatu kehidupan dan suatu sifat yang kekal.” 

Kemudian pada suatu hari terdengarlah olehku sebuah suara dari dalam Ka'bah: 

“Abul Husain, apakah engkau hendak menyamai-Ku?

Aku tidak berubah dari sifat-Ku tetapi aku membuat hamba- hamba-Ku bergerak dan berubah. Hal itu Kulakukan agar Ketuhanan menjadi jelas berbeda dari penghambaan. Hanya Aku sajalah yang kekal di dalam satu sifat sedang sifat manusia selalu berubah." 

Syibli meriwayatkan: Aku pergi mengunjungi Abul Husain Ahmad al-Nuri. Aku dapati ia sedang bertapa dan tak sehelai rambutnya pun yang bergerak. 

“Dari siapakah engaku belajar bertapa yang seperti ini?” aku bertanya kepadanya. 

“Dari seekor kucing yang duduk di lubang tikus,” jawab Abul Husain Ahmad al-Nuri. “Binatang itu malah lebih tenang daripada aku.” 

Pada suatu malam penduduk Qadisiyah gempar mendengar berita: 

“Seorang sahabat Allah terkurung di Lembah Singa. Selamatkanlah dia!” 

Semua orang bergegas ke Lembah Singa. Di sana mereka menemui Nuri sedang duduk di pinggir lubang kuburan yang telah digalinya sendiri, sedang singa-singa duduk mengurung dirinya. Orang-orang menyelamatkan Nuri dan membawanya kembali. Sesampainya di Wadisiyah mereka bertanya kepadanya apakah sebenarnya yang telah terjadi. 

“Setelah beberapa lama kuberpuasa,” Nuri mengisahkan. “Ketika aku berjalan di padang pasir itu terlihatlah olehku sebuah pohon kurma. Aku ingin sekali mencicipi buah kurma yang segar itu. Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri: “Ternyata masih ada hasrat di dalam hatimu. Akan kumasuki Lembah Singa ini agar engkau dicabik-cabik singa sehingga engkau tidak bisa menginginkan kurma lagi.” 

Nuri mengisahkan, suatu hari ketika aku sedang mandi di sebuah telaga, seorang pencuri mengambil pakaianku. Belum sempat aku keluar dari telaga itu, si pencuri telah kembali untuk menyerahkan pakaian itu kepadaku lagi. Ternyata tangannya terkena sampar. Aku berseru: “Ya Allah, karena ia telah mengembalikan pakaianku, maka sembuhkankan pula tangannya!” 

Sesaat itu juga tangannya sembuh. 

Pasar budak di kota Baghdad terbakar dan banyak orang yang terbakar hidup-hidup. Di dalam sebuah toko, dua orang budak yahudi yang tampan terkurung api. 

Pemilik budak itu berteriak-teriak: “Siapa saja yang bisa menyelamatkan mereka, akan kuberi seribu keping dinar emas. 

Tetapi tak seorang pun berani mencoba menyelamatkan budak-budak itu. Pada saat itu muncullah Nuri dan terlihat olehnya kedua budak yang masih muda itu berteriak-teriak meminta tolong. 

Sambil mengucap “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” Nuri mencebur ke dalam lautan api itu dan menyelamatkan keduanya. Kemudian pemilik budak-budak itu hendak memberi seribu dinar emas seperti yang telah dijanjikannya, kepada Nuri. 

“Simpanlah ems-emasmu itu,” Nuri menolak, “Berterimakasihlah kepada Allah. Sesungguhnya kemuliaan yang telah diberikan kepadaku ini adalah karena aku tidak mau menerima emas dan menukar akhirat dengan dunia.” 

Pada suatu hari ada seorang buta mengeluh: “Ya Allah, Ya Allah.” Nuri lalu menghampiri orang buta itu dan berkata: 

“Apakah yang engkau ketahui tentang Allah? Seandainya pun engkau telah mengenal-Nya mengapakah engkau masih hidup?” 

Setelah berkata demikian kesadaran Nuri hilang dan dadanya dipenuhi oleh hasrat mistis. Maka berjalanlah ia menuju padang pasir melalui padang alang-alang yang baru ditebas sehingga kaki dan tubuhnya penuh luka. Dari setiap tetes darahnya yang tertumpah ke atas tanah terdengar suara: Ya Allah, Ya Allah.” 

Abu Nasr bin Sarraj mengatakan ketika orang-orang membawa Nuri pulang dari padang alang-alang itu mereka berkata kepadanya: “Katakanlah, tiada Tuhan selain Allah.” 

Nuri menjawab: “Aku justru sedang menuju kepada-Nya,” 

Dan tidak lama kemudian ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. 


Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam