Minggu, 29 Desember 2024

Imam Hasan al-Basri

Hasan bin Abil Hasan al-Bashri lahir di kota Madinah pada tahun 21 H/642 M. Ia adalah anak dari seorang budak yang ditangkap di Maisan, kemudian menjadi pembantu dari juru tulis Nabi Muhammad, Zaid bin Tsabit. Karena dibesarkan di Bashrah ia biasa bertemu dengan banyak sahabat Nabi, antara lain -seperti yang dikatakan orang-dengan tujuh puluh sahabat yang ikut dalam Perang Badar. Hasan tumbuh menjadi seorang tokoh di antara tokoh yang paling terkemuka pada zamannya. Ia termasyhur karena kesalehannya yang teguh, dan secara terang-terangan membenci sikap kalangan atas yang berfoya-foya. Sementara teolog-teolog dari kalangan Mu'tazilah memandang Hasan sebagai pendiri gerakan mereka 'Amr bin 'Ubaid dan Wasil bin Atha' terhitung sebagai muridnya), di dalam hagiografi sufi, ia dimuliakan sebagai salah seorang di antara tokoh-tokoh suci yang terbesar pada masa awal sejarah Islam. Hasan meninggal di kota Bashrah pada tahun 110 H/728 M. Banyak pidato-pidatonya -memang ia adalah seorang yang cemerlang- dan ucapan-ucapannya dikutip oleh penulis-penulis bangsa Arab dan tidak sedikit di antara surat-suratnya yang masih bisa kita baca hingga sekarang.

Hasan Dari Bashrah Bertobat 

Pada awalnya Hasan dari Bashrah adalah seorang pedagang batu permata, karena itu ia dijuluki Hasan si pedagang mutiara. Hasan mempunyai hubungan dagang dengan Bizantium, karena itu ia berkepentingan dengan para Jenderal dan Menteri Kaisar, dalam sebuah peristiwa ketika bepergian ke Bizantium, Hasan mengunjungi Perdana Menteri dan mereka berbincang-bincang beberapa saat. 

“Jika engkau suka, kita akan pergi ke suatu tempat”, si menteri mengajak Hasan. 

“Terserah kepadamu,” jawab Hasan, “Ke mana pun aku menurut.” 

Si menteri memerintahkan agar disediakan seekor kuda untuk Hasan. Si menteri naik ke punggung kudanya, Hasan pun melakukan hal yang sama, setelah itu berangkatlah mereka menuju padang pasir. Sesampainya di tempat tujuan, Hasan melihat sebuah tenda yang terbuat dari brokat Bizantium, diikat dengan tali sutra dan dipancang dengan tiang emas di atas tanah. Hasan berdiri di jejauhan. 

Tak berselang lama kemudian muncul sepasukan tentara perkasa dengan perlengkapan perang yang lengkap. Mereka lalu mengelilingi tenda itu, menggumamkan beberapa patah kata kemudian pergi. Setelah itu muncul para filsuf dan cendekiawan yang hampir empat ratus orang jumlahnya. Mereka mengelilingi tenda itu, menggumamkan beberapa patah kata kemudian berlalu dari tempat itu. Datang lagi tiga ratus orang tua yang arif bijaksana dan berjanggut putih, mereka menghampiri dan mengelilingi tenda itu, lalu menggumamkan beberapa patah kata, kemudian berlalu, Akhirnya datang pula lebih dari dua ratus perawan cantik masing-masing mengusung nampan penuh dengan emas, perak dan batu permata, mereka mengelilingi tenda itu dan menggumamkan beberapa patah kata kemudian pergi meniggalkannya. Hasan mengisahkan betapa ia sangat heran menyaksikan kejadian-kejadian itu dan bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah artinya semuanya itu? 

“Ketika kami meninggalkan tempat itu”, Hasan meneruskan kisahnya, “Aku bertanya kepada si perdana menteri, beliau menjawab bahwa dahulu Kaisar mempunyai seorang putera yang tampan, menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan tak terkalahkan di dalam arena kegagah perkasaan. Kaisar sangat sayang kepada puteranya itu. Tanpa diduga, tiba-tiba si pemuda jatuh sakit parah. Semua tabib paling ahli sekalipun tidak mampu menyembuhkan penyakitnya. Akhirnya si pemuda putera mahkota itu meninggal dan dikuburkan di bawah naungan tenda tersebut. Setiap tahun orang-orang datang berziarah ke kuburannya”. 

Sepasukan tentara yang mula-mula mengelilingi tenda tersebut berkata: “Wahai putera mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini terjadi di medan pertempuran, kami semua akan mengorbankan jiwa raga kami untuk menyelamatkanmu. Tetapi malapetaka yang menimpamu ini datang dari Dia yang tak sanggup kami perangi dan tak bisa kami tantang”. Setelah berucap seperti itu mereka pun berlalu dari tempat itu. 

Kemudian giliran para filsuf dan cendekiawan. Mereka berkata: Malapetaka yag menimpa dirimu ini datang dari Dia yang tidak bisa kami lawan dengan ilmu pengetahuan, filsafat dan tipu muslihat. Karena semua filsuf di atas bumi ini tidak berdaya menghadapi-Nya dan semua cendekiawan hanya orang-orang bodoh di hadapan-Nya. Jika tidak demikian halnya, kami telah berusaha dengan mengajukan dalih-dalih yang tak bisa dibantah oleh siapa pun di alam semesta ini. Setelah berucap demikian para filsuf dan cendekiawan itu pun pergi dari tempat tersebut. 

Selanjutnya orang-orang tua yang mulia tampil seraya berkata: “Wahai putera mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini bisa dicegah oleh campur tangan orang-orang tua, niscaya kami telah mencegahnya dengan doa-doa kami yang rendah hati ini, dan pastilah kami tidak akan meninggalkan engkau seorang diri di tempat ini. Tetapi malapetaka yang ditimpakan kepadamu datang dari Dia yang sedikit pun tak bisa dicegah oleh campur tangan manusia-manusia yang lemah”. Setelah kata-kata itu mereka ucapkan mereka pun berlalu. 

Kemudian gadis-gadis cantik dengan nampan-nampan berisi emas dan batu permata datang menghampiri, mengelilingi tenda itu dan berkata: “Wahai putera Kaisar, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini bisa ditebus dengan kekayaan dan kecantikan, niscaya kami merelakan diri dan harta kekayaan kami yang banyak ini untuk menebusmu dan tidak kami tinggalkan engkau di tempat ini. Namun malapetaka ini ditimpakan oleh Dia yang tak bisa dipengaruhi oleh harta kekayaan dan kecantikan.” Setelah kata-kata itu mereka ucapkan, merekapun meninggalkan tempat itu. 

Terakhir sekali Kaisar beserta perdana menteri tampil, masuk ke dalam tenda dan berkata: “Wahai biji mata dan pelita hati ayahanda! Wahai buah hati ayahanda! Apakah yang bisa dilakukan oleh ayahanda ini? Ayahanda telah mendatangkan sepasukan tentara yang perkasa, para filsuf dan cendekiawan, para pawang dan penasehat, dan dara-dara cantik yang jelita, harta benda dan segala macam barang-barang berharga. Ayahanda sendiri pun telah datang. Jika semua ini ada manfaatnya, maka ayahanda pasti melakukan segala sesuatu yang dapat ayahanda lakukan. Tetapi malapetaka ini telah ditimpakan kepadamu oleh Dia yang tidak bisa dilawan oleh ayahanda beserta segala aparat, pasukan, pengawal, harta benda dan barang-barang berharga ini. Semoga engkau mendapat kesejahteraan, selamat tinggal sampai tahun yang akan datang.” Kata-kata ini diucapkan sang Kaisar kemudian ia berlalu dari tempat itu. 

Cerita si menteri ini sangat menggugah hati Hasan. Ia tidak bisa melawan dorongan hatinya, dengan segera ia bersiap-siap untuk kembali ke negerinya. Sesampainya di kota Bashrah ia bersumpah tidak akan tertawa lagi di atas dunia ini sebelum mengetahui dengan pasti bagaimana nasib yang akan dihadapinya nanti. Ia melakukan segala macam kebaktian dan disiplin diri yang tak bisa ditandingi oleh siapa pun pada masa hidupnya. 

Hasan Dari Bashrah Dan Abu 'Amr 

Pada suatu hari, ketika Abu ‘Amr, seorang ahli tafsir terkemuka sedang mengajarkan Al-Quran, tiba-tiba datanglah seorang pemuda tampan ikut mendengarkan pembahasannya. Abu 'Amr terpesona memandang sang pemuda dan secara mendadak lupalah ia akan setiap kata dan huruf dalam Al-Quran. Ia sangat menyesal dan gelisah karena perbuatannya itu. Dalam keadaan seperti ini, pegilah ia mengunjungi Hasan dari Bashrah untuk mengadukan kegalauan hatinya itu. 

“Guru.” Abu ‘Amr bercerita sambil menangis dengan sedih, “Begitulah kejadiannya. Setiap kata dan huruf Al-Quran telah hilang dari ingatanku."

Hasan begitu terharu mendengar keadaan Abu 'Amr. 

“Sekarang ini adalah musim haji.” Hasan berkata kepadanya. “Pergilah ke Tanah Suci dan tunaikan ibadah haji. Sesudah itu pegilah ke Masjid Khaif. Di sana engkau akan bertemu dengan seorang tua. Jangan engkau langsung menyapanya tetapi tunggulah sampai keasyikannya beribadah selesai. Setelah itu barulah engkau mohonkan agar ia mau berdoa untukmu." 

Abu 'Amr menuruti nasehat Hasan. Di pojok ruangan masjid Khaif, Abu 'Amr melihat seorang tua yang pantas dimuliakan dan beberapa orang yang duduk mengelilingi dirinya. Beberapa saat kemudian masuklah seorang lelaki yang berpakaian putih bersih. Orang-orang itu memberi jalan kepadanya. Mengucapkan salam dan setelah itu mereka pun berbincang-bincang dengan dia. Ketika waktu shalat telah tiba, lelaki tersebut minta diri untuk meninggalkan tempat itu. Tidak berapa lama kemudian yang lain-lainnya pun pergi pula, sehingga yang tinggal di tempat itu hanyalah si orang tua tadi. 

Abu 'Amr menghampirinya dan mengucapkan salam. 

“Dengan Nama Allah, tolonglah diriku ini,” Abu ‘Amr berkata sambil menangis. Kemudian menerangkan dukacita yang menimpa dirinya. Si orang tua sangat prihatin mendengar penuturan Abu ‘Amr tersebut, lalu menengadahkan kepala dan berdoa. “Belum lagi ia merendahkan kepalanya,” Abu ‘Amr mengisahkan, “Semua kata dan huruf Al Quran telah dapat kuingat kembali. Aku bersujud di depannya karena begitu syukurnya.” 

Siapa yang telah menyuruhmu untuk menghadap kepadaku?” Kata orang tua itu bertanya kepada Abu ‘Amr. 

“Hasan dari Bashrah,” Jawab Abu ‘Amar. 

“Jika seseorang telah mempunyai imam seperti Hasan.” 

Lelaki tua tersebut berkomentar, “mengapa ia memerlukan imam yang lain? Tapi baiklah, Hasan telah menunjukkan siapa diriku ini dan kini akan kutunjukkan siapakah dia sebenarnya. Ia telah membuka selubung diriku dan kini kubuka pula selubung dirinya,” Kemudian orang tua itu meneruskan, “Lelaki yang berjubah putih tadi, yang datang ke sini setelah waktu shalat ‘Ashar, dan yang terlebih dahulu meninggalkan tempat ini serta dihormati orang-orang lain tadi, ia adalah Hasan. Setiap hari setelah melakukan Shalat 'Ashar di Bashrah ia berkunjung ke sini, berbincang-bincang bersamaku, dan kembali lagi ke Bashrah untuk shalat Maghrib di sana. Jika seseorang telah mempunyai imam seperti Hasan, mengapa ia masih merasa perlu memohonkan doa dari diriku ini?” 

Hasan dari Bashrah dan Penyembah Api 

Hasan mempunyai tetangga yang bernama Simon, seorang penyembah api. Suatu hari Simon jatuh sakit dan ajalnya hampir tiba. Sahabat-sahabat meminta agar Hasan sudi mengunjunginya. Akhirnya Hasan pun pergi menjenguk Simon yang terbaring di atas tempat tidur dan badannya telah kelam karena api dan asap. 

“Takutlah kepada Allah,” Hasan menasehati, “Engkau telah menyia-nyiakan seluruh usiamu di tengah-tengah api dan asap.” 

“Ada tiga hal yang telah mencegahku untuk menjadi seorang Muslim,” jawab Simon penyembah api. “Yang pertama adalah kenyataan bahwa walaupun kalian membenci keduniawian, tapi siang dan malam kalian mengejar harta kekayaan. Yang kedua, kalian mengatakan bahwa mati adalah suatu kenyataan yang harus dihadapi, namun kalian tidak bersiap-siap untuk menghadapinya. Yang ketiga, kalian mengatakan bahwa wajah Allah akan terlihat, namun hingga saat ini kalian melakukan segala sesuatu yang tidak diridhai-Nya.” 

Inilah ucapan dari manusia-manusia yang sungguh-sungguh mengetahui,” jawab Hasan. “Jika orang-orang Muslim berbuat seperti yang engkau katakan, apa pulakah yang hendak engkau katakan? Mereka mengakui keesaan Allah sedang engkau menyembah api selama tujuh puluh tahun, dan aku tak pernah berbuat seperti itu. Jika kita sama-sama terseret ke dalam neraka, api neraka akan membakar dirimu dan diriku, tetapi jika diizinkan Allah, api tidak akan berani menghanguskan sehelai rambut pun pada tubuhku. Hal ini adalah karena api diciptakan Allah dan segala ciptaan-Nya tunduk kepada perintah-Nya. Walau pun engkau menyembah api selama tujuh puluh tahun, marilah kita bersama-sama menaruh tangan kita ke dalam api agar engkau dapat menyaksikan sendiri betapa api itu sesungguhnya tak berdaya dan betapa Allah itu Maha Kuasa.” 

Setelah berkata demikian Hasan memasukkan tangannya ke dalam api. Namun sedikit pun ia tidak cedera atau terbakar. Menyaksikan hal ini Simon terheran-heran. Fajar pengetahuan terlihat olehnya. 

“Selama tujuh puluh tahun aku telah menyembah api,” mengeluh Simon, “kini hanya dengan satu atau dua hembusan nafas saja yang tersisa, apakah yang harus kulakukan?” 

“Jadilah seorang Muslim,” jawab Hasan. 

“Jika engkau memberiku sebuah jaminan tertulis bahwa Allah tidak akan menghukum diriku,” kata Simon, “Barulah aku menjadi Muslim. Tanpa jaminan itu aku tidak sudi memeluk agama Islam.” 

Hasan Segera Membuat Surat Jaminan. 

“Kini susullah orang-orang yang jujur di kota Bashrah untuk memberikan kesaksian mereka di atas surat jaminan tersebut. Simon mencucurkan air mata dan menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim. Kepada Hasan ia sampaikan wasiatnya yang terakhir, “Setelah aku mati, mandikanlah aku dengan tanganmu sendiri, kuburkanlah aku dan selipkan surat jaminan ini di tanganku. Surat ini akan menjadi bukti bahwa aku adalah seorang Muslim.” 

Setelah berwasiat demikian ia mengucap dua kalimat syahadat dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mereka memandikan jenazah Simon, menshalatkannya dan menguburkannya dengan sebuah surat jaminan di tangannya. Malam harinya Hasan pergi tidur sambil merenungi apa yang telah dilakukannya itu. “Bagaimana aku bisa menolong seseorang yang sedang tenggelam sedang aku sendiri dalam keadaan yang serupa. Aku sendiri tidak bisa menentukan nasibku, tetapi mengapa aku berani memastikan apa yang akan dilakukan oleh Allah?” 

Dengan pikiran-pikiran seperti ini Hasan terlena. Ia bermimpi bertemu dengan Simon, wajah Simon cerah dan bercahaya seperti sebuah pelita; di kepalanya memakai sebuah mahkota. Ia mengenakan sebuah jubah yang indah dan sedang berjalan-jalan di taman surga. 

“Bagaimana keadaanmu Simon?” tanya Hasan kepadanya. 

“Mengapakah engkau bertanya padahal engkau menyaksikan sendiri?” jawab Simon. “Allah Yang Maha Besar dengan segala kemurahan-Nya telah mendekatkan diriku kepada-Nya dan telah memperlihatkan wajah-Nya kepadaku. Karunia yag dilimpahkan-Nya kepadaku melebihi segala kata-kata. Engkau telah memberiku sebuah surat jaminan, terimalah kembali surat jaminan ini karena aku tidak membutuhkannya lagi.” 

Ketika Hasan terbangun, ia mendapatkan surat jaminan itu telah berada di tangannya. “Ya Allah,” Hasan berseru, “aku menyadari bahwa segala sesuatu yang Engkau lakukan adalah tanpa sebab kecuali karena kemurahan-Mu semata. Siapa yang akan tersesat di pintu-Mu? Engkau telah mengizinkan seseorang yang telah menyembah api tujuh puluh tahun lamanya untuk menghampiri-Mu, semata-mata karena sebuah ucapan. Betapakah Engkau akan menolak seseorang yang telah beriman selama tujuh puluh tahun?”  

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam