Senin, 21 Oktober 2024

Tanda Pemerintahan Yang Baik

BAB IX
TANDA PEMERINTAH YANG BAIK

Pertanyaan, "Pemerintah yang bagaimanakah sebenarnya yang paling baik?" merupakan masalah yang sama tidak terpecahkan dengan yang tidak dapat ditentukan; atau bila anda menghendaki, ada sebanyak jawaban dengan banyaknya kemungkinan kombinasi dari keadaan bangsa yang mutlak dan relatif.

Tetapi apabila ditanyakan apakah tanda dari baik buruknya suatu bangsa yang diperintah, maka hal ini adalah soal lain lagi dan suatu jawaban tentu dapat diberikan terhadap pertanyaan ini.

Namun pertanyaan itu pun tidak dapat terjawab karena setiap orang ingin menjawabnya dengan caranya sendiri. Jadi warga memuji kesentosaan umum, warga negara adalah kebebasan individu. Seseorang lebih suka pada perlindungan atas miliknya, sedangkan yang lain perlindungan atas pribadinya. Orang ini setuju dengan pemerintah yang paling keras, sebaliknya orang lain berpendapat pemerintahan terbaik adalah pemerintahan yang paling lembut. Seseorang ingin agar kejahatan dihukum, yang lain ingin supaya kejahatan hanya dicegah. Orang yang satu ingin supaya negerinya menjadi negeri teror bagi negeri tetangganya, yang lain lebih suka agar negerinya tetap tidak diacuhkan. Seseorang lagi berpendapat semua berjalan baik selama uang beredar secara bebas, yang lain menilai lebih penting kalau rakyat sebaiknya mempunyai roti. Apakah kita akan membuat kemajuan, sekalipun terdapat persetujuan tentang segala hal dan maksud yang demikian ini? Orang tidak mempunyai suatu cara untuk mengukur kuantitas moral secara tepat, dan kendati mereka setuju dengan tanda pada suatu pemerintah yang baik, namun gagasan tentang nilai yang harus diberikan kepadanya akan sangat berbeda.

Bagi saya adalah sangat mengherankan, mengapa rakyat dapat membuat kesalahan yang demikian besar tentang suatu tanda yang begitu sederhana, atau mengapa mereka dapat begitu tidak jujur untuk tidak mengakuinya? Kemudian apakah tujuannya mengadakan perhimpunan politik itu? Sudah tentu guna melindungi serta memakmurkan para anggotanya. Tanda apakah yang paling pasti bahwa mereka merasa terlindungi dan dapat hidup makmur? Tandanya ialah jumlah mereka dan jumlah penduduknya. Lebih lanjut kita tidak perlu mencari-cari tanda yang dipersengketakan itu.

Pemerintah yang mutlak menganggap dirinya terbaik adalah pemerintah yang dapat meningkatkan jumlah warganya serta melipatgandakannya, asal saja segala sesuatunya sama, tanpa menggunakan peralatan ekstern apa pun, tanpa menaturalisasi orang-orang asing dan tanpa menerima penduduk baru serta warga negara bertambah dan berlipat ganda. Sedangkan pemerintah yang paling buruk adalah pemerintah yang menyebabkan penduduknya menjadi berkurang dan bejat. Para juru hitung, kini tibalah tugas anda: hitunglah, ukurlah dan bandingkanlah mereka itu.

BAB X
PENYALAHGUNAAN PEMERINTAH DAN KEcENDERUNGANNYA KE ARAH DEGENERASI

Sebagaimana keinginan pribadi yang terus menerus bergerak melawan kehendak umum, demikian pula pemerintah tidak henti-hentinya berusaha melawan penguasa. Makin meningkat usaha ini, makin berubahlah undang-undang dasar, dan karena tidak ada kehendak dari suatu badan yang lain yang menghasilkan suatu keseimbangan dalam menentang keinginan raja, akhirnya penguasa harus ditindas oleh raja hingga hancurlah perjanjian sosial. Perbuatan jahat yang menjadi pembawaan lahir serta yang tidak dapat dihindarkan ini berkecenderungan, sudah sejak negara hukum menkhancurkannya, seperti usia tua dan kematian menggerogoti tubuh manusia.

Ada dua cara umum yang dapat memerosotkan derajat atau wibawa pemerintah: bila pemerintah menderita penyusutan (contraction), atau bila negara dibubarkan.

Pemerintah menderita penyusutan ketika anggotanya berubah dari yang besar jumlahnya menjadi lebih sedikit; ketika dalam menjalankan kebijakannya ia berubah dari demokrasi menjadi aristokrasi; dan dari aristokrasi menjadi pemerintah kerajaan. Inilah jalan yang sudah tentu cenderung di-tempuhnya. Andaikata arahnya mundur, mulai dari jumlah yang kecil menuju pada jumlah yang besar, maka dapat dikatakan bahwa itu hanyalah untuk bersantai-santai; tetapi kemampuan yang terbalik ini tidaklah mung-kin.

Sebenarnya, pemerintah tidak pernah mengubah bentuknya kecuali ke-tika ia kehabisan energi (tenaga) yang membuatnya terlampau lemah untuk menopang dirinya sendiri. Apabila pemerintah lebih santai bekerja dengan cara memperbesar dirinya (ruang lingkupnya), maka kekuatannya akan le-nyap sama sekali dan ia tidak dapat hidup lebih lama lagi. Kemudian ia perlu sekali menghimpun dan memulihkan kembali energinya, atau negara yang ditopangnya akan jatuh berantakan.

Pembubaran negara hanya dapat terjadi dengan dua jalan: pertama, ji-kalau raja tidak lagi setia pada hukum dalam pemerintahan negara serta merebut kekuasaan penguasa. Terjadilah kemudian suatu perubahan yang sangat luar biasa. Negara, bukan pemerintah, menderita penyusutan (con- traction); saya maksudkan bahwa negara yang besar itu dibubarkan, dan dari puing-puingnya dibentuk negara yang lain, yang keseluruhannya ter- diri dari para anggota pemerintah, yang di dalam kedudukannya yang baru itu mereka tidak mempunyai hubungan dengan rakyat lainnya kecuali dengan raja lalim serta pemimpin mereka. Pada saat pemerintah merebut kedaulatan, perjanjian sosial hancur. Semua warga negara secara pribadi berhak masuk kembali ke dalam kebebasan alami mereka. Sejak saat itu dengan kekerasan dipaksa supaya taat, tetapi tidak diharuskan sebagai suatu kewajiban.

Hal yang sama terjadi ketika para anggota pemerintah masing-masing merampas kekuasaan, yang seharusnya hanya mereka lakukan sebagai satu badan. Suatu keadaan yang tidak lain adalah pelanggaran terhadap hukum, dan bahkan menyebabkan kekacauan yang lebih besar. Pada saat itu ba- nyaknya pangeran sama dengan banyaknya hakim, dan negara tidak kurang terpecahnya daripada pemerintah, harus musnah atau merubah bentuknya.

Apabila negara dibubarkan, penyalahgunaan pemerintahan yang bagi- manapun disebut "anarki". Tetapi, untuk membedakannya, demokrasi merosot ke dalam ochiocracy (kekuasaan rakyat yang tidak terkendali), dan aristokrasi menjadi "oligarchy” (kekuasaan beberapa gelintir selalu ber- ubah menjadi "tyranny” (kekuasaan yang kejam), tetapi istilah "tyranny" itu adalah samar-samar dan perlu sekali untuk dijelaskan.

Dalam kata yang kasar, seseorang tiran adalah seorang raja yang me- merintah dengan kekerasan tanpa mempertimbangkan rasa keadilan atau hukum. Dalam arti yang tepat, seorang tiran adalah individu yang merebut wewenang raja untuk kepentingan diri sendiri tanpa sesuatu hak atasnya. Orang Yunani menggunakan nama itu untuk mereka yang dilukiskan se- bagaimana tersebut di atas: mereka menerapkannya secara acuh-tak-acuh pada raja yang baik, yang kekuasaannya tidak sah.2 Jadi, ”tiran” (orang yang kejam) dan ”usurper” (perebut kekuasaan) adalah istilah yang benar- benar mengandung arti yang sama.

Bahwasanya saya dapat menggunakan nama yang berbeda pada sesuatu yang berlainan, saya menamakan perebut kekuasaan dari otoritas raja adalah seorang "tirani" (kejam) dan perebut wewenang dari penguasa se- bagai seorang ”despot” (lalim). Jadi, seorang tiran (kejam) tidak dapat menjadi seorang despot (lalim), tetapi seorang despot (lalim) adalah selalu seorang tiran (kejam).

BAB XI
MATINYA NEGARA HUKUM

Demikianlah kecenderungan yang wajar serta tidak terelakkan dari pemerinintah yang terbaik yang diberi kekuasaan. Apabila Sparta dan Roma lenyap, negara manakah pula yang mengharapkan dapat hidup terus menerus? Jikalau kita ingin membentuk suatu lembaga, marilah berusaha membuatnya agar dapat bertahan lama, tetapi sekali-kali janganlah mengharapkan abadi umurnya. Mereka yang berhasil dalam suatu usaha seharusnya jangan hendaknyca mengusahakan sesuatu yang tidak dimungkinkan, atau menyanjung diri bahwa mereka dapat membuat karya manusia menjadi abadi. Pada kenyataannya manusia tidak mampu membuat sesuatu yang abadi.

Negara hukum seperti layaknya tubuh manusia, mulai mati sejak ia lahir dan dalam dirinya terkandung sebab-sebab kehancurannya. Tetapi, masa hidup keduaduanya akan menjadi lebih lama atau lebih singkat dan keadaan semacam ini bergantung pada kuat atau lemahnya keadaan tubuhnya. Sebagaimana kita ketahui, keadaan tubuh manusia adalah karya alam, sedangkan keadaan negara adalah produk suatu karya seni. Sekalipun secara konsekuen tidak bergantung pada manusia untuk menjamin umur panjang bagi dirinya. Namun untuk memberikan umur sepanjang mungkin kepada negara adalah bergantung pada manusia, yakni dengan memberikan konstitusi yang sebaik mungkin kepadanya. Lambat laun yang paling bersemangat pun akan hancur pula, tetapi negara akan lenyap dalam perjalanan waktu yang lebih kemudian ketimbang lainnya. Kecuali apabila terjadi bencana yang sama sekali tidak terduga yang mempercepat kematiannya atau keruntuhannya.

Azas kehidupan politik terletak dalam otoritas penguasa. Kekuasaan legislatif adalah jantung negara, dan kekuasaan eksekutif adalah otaknya yang menggerakkan semua bagian. Otak dapat lumpuh (paralytic), dan individu masih tetap hidup. Orang mungkin dapat sinting dan tetap hidup, tetapi apabila jantung berhenti menjalankan tugasnya, maka hewan pun mati.

Negara dapat hidup bukan karena hukum, tetapi karena kekuasaan legislatif. Hukum yang kemarin berlaku tidak pula dapat berlaku untuk hari ini. Tetapi kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam dapat disimpulkan dari sikap diam orangnya, dan penguasa yang mampu mencabut hukum dianggap secara terus-menerus menyetujui hukum yang tidak di- cabutnya. Apa pun yang sekali telah dinyatakan sebagai kehendaknya adalah senantiasa tetap merupakan kehendaknya, setidak-tidaknya sampai pernyataan itu ditariknya kembali.

Kemudian, mengapa hukum yang lama itu begitu banyak dihormati? Karena alasan itulah pula seperti yang baru saja saya kemukakan. Kita percaya, tiada lain hanya kehendak mereka Yang Mulia yang telah pergi mendahului kita, yang lama dapat dipertahankan dan terus berlaku. Jikalau penguasa menganggap hal itu selalu tidak bermanfaat lagi, maka sudah bisa dipastikan untuk disebut. Inilah prinsipnya, mengapa hukum di setiap negara yang memiliki konstitusi yang baik selalu memperoleh kekuatan baru, asal saja negara tidak menjadi lemah karenanya. Rasa hormat kita pada segala yang berasal dari zaman kuno membuat hukum lebih pantas dimuliakan setiap hari. Apabila hukum diperlemah oleh zaman, maka kita yakin bahwa kekuasaan legislatif tidak dapat menjalankan tugasnya lagi dan negara menjadi kadaluawarsa.

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam