Kamis, 24 Oktober 2024

Sarana Mencegah Perebutan Kekuasaan

BAB XVI
LEMBAGA PEMERINTAH BUKAN SUATU KONTRAK

Pada saat kekuasaan legislatif telah mencapai kemantapannya, tahap berikutnya adalah membentuk kekuasaan eksekutif. Yang tersebut terakhir ini geraknya terbatas pada tindakan khusus, seperti terpisahnya inti perundang-undangan, adalah wajar. Andaikata penguasa mungkin dapat melaksanakan kekuasaan eksekutif, dianggap demikian, maka hak dan fakta akan demikian kacaunya hingga tidak akan ada cara untuk membedakan apa yang disebut hukum atau yang bukan hukum; dan negara hukum akan menjadi mangsa kejejaman itu, dan negara hukum itupun didirikan untuk menindas kekejaman itu.

Menurut kontrak sosial semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama, apa pun yang hendak mereka lakukan, semua dapat menentukan kendati tidak seorang pun berhak meminta orang lain untuk melakukan apa yang ia sendiri tidak melakukannya. Hak ini adalah wajar dan demikian sangat diperlukan oleh kehidupan dan gerak negara hukum sehingga penguasa menyerahkan kepada pangeran di lembaga pemerintah.

Sementara orang menganggap bahwa tindakan membentuk pemerintah adalah suatu kontrak antara rakyat dan para pemimpin yang mereka pilih bagi diri mereka sendiri. Kontrak ini menetapkan persyaratan antara dua pihak, yaitu pihak yang satu wajib memerintah dan pihak yang lain berkewajiban menaatinya. Saya yakin akan diakui bahwa masalah ini akan merupakan suatu kontrak yang aneh. Namun, marilah kita lihat bagaimana pendapat ini memperoleh dukungan.

Pertama, kita mengetahui bahwa kekuasaan tertinggi tidak dapat mengubah maupun mengalihkan haknya sendiri; bila membatasinya akan berarti menghancurkannya. Oleh karena itu adalah mustahil dan bertentangan untuk mengira bahwa penguasa harus memberikan kepada dirinya seorang yang lebih tinggi. Mewajibkan pada dirinya sendiri untuk menaati seorang pemimpin, maka ia kembali pada kebebasan sepenuhnya.

Lagi pula, adalah jelas bahwa suatu kontrak yang dibuat antara rakyat serta semacamnya dan orang-orang istimewa akan merupakan tindakan yang bersifat pribadi. Dari ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kontrak ini tidak dapat menjadi suatu hukum atau suatu tindakan kedaulatan, dan sebagai akibatnya itu tidak dapat menjadi legal.

Selanjutnya kita melihat bahwa pihak yang mengadakan kontrak dalam kaitan dengan satu sama lain hanya akan mengikuti hukum alam, dan tanpa jaminan apapun tentang pelaksanaan perjanjian itu secara timbal balik. Suatu keadaan yang bagaimanapun akan menjijikkan bagi negara sipil: karena pihak yang dipersenjatai dengan kekuasaan itu selalu dapat mengawasi pelaksanaannya, maka justru tidaklah konsisten untuk menganggap perbuatan yangdimaksud sebagai suatu kontrak, seperti halnya menganggap seseorang mengadakan kontrak dengan orang lain, kemudian mengatakan padanya, "Saya memberikan semua milik saya kepada anda, asal saja anda mengembalikan kepada saya sebanyak yang anda sukai".

Tetapi, dalam negara hanya ada satu kontrak, yang saya maksudkan perjanjian asosiasi: semua yang lain berada di luarnya". Tidak dapat diulukiskan adanya kontrak umum, yang tidak akan merupakan pelanggaran terhadap yang pertama itu.

BAB XVII
LEMBAGA PEMERINTAH

Bagaimakah tindakan melembagakan pemerintah harus kita lukiskan? Pertama, saya akan mengatakan bahwa tindakan ini adalah rumit, atau ia terdiri atas dua masalah lain, yakni menetapkan hukum dan melaksanakan hukum.

Menurut yang pertama, penguasa menetapkan adanya suatu badan pemerintah yang disusun menurut sesuatu bentuk, dan dengan jelas perbuatan tersebut merupakan hukum.

Menurut yang kedua, rakyat mengatakan bahwa para pemimpinlah yang ditugaskan untuk membentuk pemerintah. Tetapi nominasi ini sebagai suatu tindakan istimewa, bukanlah suatu hukum yang kedua melainkan hanya akibat dari tindakan pertama sebagai suatu fungsi pemerintah.

Kesulitan yang timbul adalah, bagaimana dapat dimengerti adanya suatu tindakan pemerintah sebelum ada pemerintah, dan bagaimana rakyat selain sebagai penguasa atau subyek dapat pula menjadi pangeran atau hakim dalam keadaan tertentu.

Di sini kita menemukan salah satu sifat yang mengherankan dari negara hukum, yakni ia mendamaikan tindakan yang jelas bertentangan. Karena dengan tindakan ini kedaulatan tiba-tiba dialihkan ke dalam demokrasi sedemikian rupa hingga para warga menjadi hakim, beralih dari mengadakan tindakan umum ke tindakan khusus, dan dari membuat hukum ke pelaksanaan hukum. Peralihan itu terjadi tanpa adanya perubahan yang masuk akal semata-mata melalui hubungan baru dari semua dengan semua.

Perubahan keadaan relatif ini bukan suatu kekeliruan yang bersifat spekulatif, yang dalam praktek tiada contohnya: dalam parlemen Inggris setiap hari, pada keadaan tertentu Majelis Rendah berubah menjadi beberapa komite besar dapat membicarakan berbagai permasalahan secara lebih baik lagi, dan menjadi suatu komisi biasa dari majelis yang amat berdaulat itu yang telah membentuknya beberapa saat sebelumnya. Berdasarkan sifat komite ini, ia kemudian melaporkan cara kerjanya pada dirinya sendiri sebagai Majelis Rendah, dan mengadakan permusyawaratan baru dengan acara lain tentang segala yang telah diputuskan di suatu komite.

Demikianlah manfaatnya yang khas bagi suatu pemerintahan yang de- mokratis. Pemerintah sebenarnya dapat ditetapkan dengan tindakan biasa yang didasarkan pada kehendak umum. Kemudian, pemerintah sementara ini tetap memegang kekuasaan seandainya bentuk inilah yang disetujui, atau atas nama penguasa menyusun pemerintah sesuai dengan ketentuan hukum. Seluruh cara kerjanya adalah sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Tidaklah mungkin membentuk pemerintah yang sah dengan cara lain, atau tanpa melanggar azas yang ditentukan sebelumnya.

BAB XVIII
SARANA MENCEGAH PEREBUTAN KEKUASAAN PEMERINTAH

Hasil penjelasan ini membenarkan penegasan saya sebagaimana yang terdapat dalam Bab XVI, bahwa tindakan menyusun pemerintah itu bukan suatu kontrak, melainkan suatu hukum. Para pemegang kekuasaan ekse- kutif bukanlah para pemimpin rakyat melainkan para pejabat. Rakyat dapat menetapkan serta menggantikan mereka bila rakyat menghendaki; bagi mereka hal itu bukan masalah perjanjian melainkan masalah ketaatan; dan dalam melaksanakan fungsi yang ditentukan oleh negara bagi mereka, para anggota badan eksekutif hanya memenuhi kewajiban mereka sebagai warga negara dan mereka tidak berhak mempersoalkan persyaratannya.

Oleh karena itu bila terjadi rakyat ingin membentuk suatu pemerintah yang turun menurun yakni, apakah bercorak monarki dalam tangan satu keluarga, atau aristokrasi dalam urutan warga, bukanlah suatu . perjanjian yang mereka buat: itu adalah suatu bentuk sementara pemerintahan yang diberikan oleh rakyat sampai tiba pada saatnya nanti rakyat menginginkan bentuk lain.

Sungguh benar, perubahan demikian itu selalu berbahaya, dan pemerinth sudah mantap sebaiknya jangan sekali-kali diusik kecuali kalau ia bertentangan dengan kesejahteraan umum. Tetapi, sikap hati-hati ini me- rupakan peribahasa kebijaksanaan, dan bukan peraturan dari hak, dan ne- gara tidak wajib lagi meneruskan otoritas sipil ke dalam tangan para pe- mimpinnya bila dibandingkan dengan otoritas militer di dalam tangan para jenderalnya.

Dengan cara kerja yang sifatnya demikian ini, sangat mustahil untuk mengamati dengan sangat teliti semua formalitas yang diharuskan untuk membedakan antara tindakan yang biasa serta legal dan suatu keributan pendurhaka; antara kehendak seluruh rakyat dan tuntutan suatu fraksi. Demikian pula bila yang tersebut terakhir ternyata mempunyai pengaruh, maka kekuasaan eksekutif hendaknya jangan menyerah lebih jauh daripada yang diperlukan oleh hukum secara mutlak dan tepat. Kewajiban ini memberikan banyak peluang bagi pangeran untuk mempertahankan kekuasaannya sekalipun rakyat tidak menginginkannya. Dengan demikian mencegah timbulnya perebutan kekuasaan. Dengan berkedok hanya untuk melaksanakan hak-hak yang sepenuhnya, ia dengan mudah dapat melampaui batas; dan dengan berpura-pura bertujuan memelihara kesentosaan umum, ia mencegah adanya sidang majelis yang bermaksud memulihkan ketenteraman yang baik.

Ketenangan yang mungkin rakyat terpaksa mengamatinya, dan segala ekses yang timbul pada waktu bersamaan mungkin didorong oleh pemerintah hingga dapat menjadi senjata yang ampuh guna melanjutkan skema kelalimannya: yang tersebut terdahulu dapat didesak sebagai suatu bukti bahwa rakyat menyetujui jalannya pemerintahan karena khawatir akan adanya banyak keluhan atau pengaduhan mengenai hal ini; yang tersebut terakhir menggunakannya sebagai alasan untuk menjatuhkan hukuman pada mereka yang telah berani berbicara terlampau bebas. Dengan praktek semacam inilah, para decemvirs (sidang dewan 10 orang) yang menurut hukum mereka harus dipilih setiap tahun, berhasil memperpanjang masa kerjanya selama setahun lagi. Selama masa jedah itu, dengan memakai comitia (komite) bersidang, mereka berusaha mengabadikan kekuasaannya. Cara yang sama dalam keadaan siap, digunakan oleh semua pemerintah di dunia yang apabila sekali mereka dipersenjatai dengan kekuatan rakyat, cepat atau lambat akhirnya pasti akan merebut otoritas penguasa.

Majelis yang bersidang secara periodik, yang telah saya uraikan itu, adalah alat yang paling tepat untuk mencegah atau setidak-tidaknya memperlambat timbulnya kejahatan ini. Demikian pula halnya bila mereka tidak perlu diundang secara formal. Dalam kaitan ini pangeran tidak dapat mencegah persidangan mereka tanpa secara terbuka menyatakan dirinya sebagai pelanggar hukum dan sebagai musuh negara.

Pada pembukaan sidang majelis yang tujuannya hanya untuk mempertahankan perjanjian sosial, dua hal harus selalu diajukan, bagaimanapun sekali-kali jangan diabaikan, dan pemungutan suara harus diadakan secara terpisah mengenai setiap hal.

Yang pertama, "Apakah penguasa ingin mempertahankan bentuk pemerintahan yang sekarang ini?"

Yang kedua, "Apakah rakyat ingin membiarkan mereka yang pada dewasa ini ditugaskan untuk duduk dalam pemerintah?"

Di sini saya menduga, apa yang saya pikirkan telah saya buktikan sepenuhnya bahwa dalam negara tidak ada suatu hukum fundamental yang tidak dapat dicabut, demikian pula mengenai sidang serta dengan suara bulat ingin mencapai tujuan itu, maka pasti kesepakatan sosial itu akan diubah secara legal. Grotius berpikir, bahkan setiap warga negara dapat meninggalkan negaranya di mana ia menjadi salah seorang anggotanya, dan ia memperoleh kembali kebebasan alaminya serta miliknya serta menarik diri dari negeri itu.

Adalah sangat mustahil untuk menganggap semua warga negara yang bersatu dalam majelis tidak dapat melakukan sesuatu seperti yang dapat dilakukan oleh setiap mereka.

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam