Kamis, 10 Oktober 2024

Perbudakan dan Komitmen Perjanjian Awal

BAB IV
PERBUDAKAN

Selama belum ada manusia yang mempunyai otoritas alami terhadap kawannya yang lain dan karena kekuatan tidak menghasilkan sesuatu hak apa pun, maka semua otoritas yang dibenarkan di antara sesama manusia harus ditetapkan atas dasar konvensi.

Grotius mengatakan, bila seorang individu dapat mengorbankan ke­ bebasannya untuk menjadi budak bagi tuannya, mengapa seluruh penduduk tidak dapat pula mengorbankan kebebasannya untuk menjadi hamba se­ orang raja? Ada beberapa kata yang samar-samar dalam kalimat ini yang memerlukan penjelasan, tetapi saya akan membatasi diri pada arti kata "Memindahkan" (alienate). Memindahkan adalah memberi atau menjual. Tetapi seorang yang menjadi budak orang lain tidak mungkin memberikan dirinya sendiri. Ia harus menjual dirinya dengan maksud paling tidak untuk sekedar nafkah hidupnya. Suatu pertanyaan: mengapa dan untuk apa orang sampai mau menjual dirinya? Sampai sekarang seorang raja bukannya me­ lengkapi hambanya dengan nafkah hidupnya (subsistence), tetapi sebalik­ nya ia mendapatkan nafkah hidupnya justru dari hambanya. Menurut Rabelais, penghidupan seorang raja tidaklah kecil. Apakah si hamba memberikan dirinya dengan syarat bahwa sang pangeran atau raja bersedia pula dengan ramah-tamah menerima harta kekayaan milik hambanya? Se­ telah memberikan upeti semacam itu, jelas bagi si hamba bahwa pada diri­ nya tidak lagi ada sesuatu sedikit pun yang tertinggal bagi keperluan hidupnya.

Kepada kita diberitahukan, bahwa seorang raja yang lalim (despot) dapat menjamin ketenangan sipil bagi hambanya. Bila benar demikian, lalu keuntungan apakah yang diperoleh hambanya bila terjadi peperangan yang didorong oleh ambisi sang raja? Apakah yang akan diperoleh hambanya bila ketenangan itu adalah sebagian dari kesengsaraannya? Kita pun menemukan ketenangan dalam ruang penjara di bawah tanah. Namun apakah ketenangan yang sama ketika mereka dijejoloskan ke dalam penjara dalam gua para raksasa bermata satu (Cyclops) yang setiap saat akan mendapat giliran untuk dilahap oleh mahluk itu.

Menyatakan bahwa ada orang yang ‘menghadiahkan' dirinya pada orang lain, sungguh suatu kemustahilan dan sama sekali tidak dapat dipahami. Tindakan semacam itu pasti tidak dapat dibenarkan dan tidak akan terjadi karena orang yang melakukannya pasti tidak waras. Hal yang sama berlaku pada semua orang yang mengira bahwa semua orang itu pun gila, dan ketololan semacam itu sudah tentu tidak akan membawa kebaikan.

Jikalau setiap individu dapat memindahkan kebebasan dirinya, maka ia tidak bisa membebaskan keturunannya. Karena dilahirkan sebagai seorang yang bebas, maka kebebasan itu menjadi miliknya sendiri yang paling hakiki dan tidak seorang pun berhak menghilangkannya, kecuali dirinya sendiri. Sebelum seseorang mencapai tingkat umur untuk dapat menggunakan akal pikirannya, maka seorang ayah atas nama anaknya dapat menetapkan kondisinya demi pemeliharaan serta kesejahteraannya. Namun ia tidak dapat menyerahkan anaknya kepada orang lain dengan akibat tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan tanpa syarat. Hadiah atau pemberian semacam itu sungguh bertentangan dengan tata-pola alami dan melampaui batas otoritas orang tua. Karena itu perlu mendirikan suatu pemerintahan yang tidak sewenang-wenang dan dapat dibenarkan, yang setiap generasi dapat secara bebas menerima atau menolaknya. Sudah tentu pemerintahan seperti itu tidak akan berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

Menyerahkan kebebasan kita kepada orang lain berarti melenyapkan kualitas kita sebagai manusia, yaitu hak dan kewajiban kemanusiaan. Tidak mungkin ada suatu kompensasi yang cukup untuk pengorbanan yang sedemikian lengkap itu. Tindakan mengorbankan kebebasan seperti itu bertentangan dengan sifat manusia. Sekali haknya dicabut dari kemauannya untuk bebas, orang pasti terjerumus ke dalam lembah kemiskinan moralitas. Akhirnya suatu perjanjian yang menetapkan otoritas mutlak di satu pihak dan ketaatan tak terbatas di pihak lain, harus dianggap sebagai tindakan sia-sia dan sangat bertentangan. Tidakkah jelas bahwa tidak ada kewajiban yang dapat dipaksakan atau dituntut dari seseorang? Bukankah keadaan sepihak karena ketiadaan keserasian serta pertukaran juga menyebabkan batalnya sesuatu tindakan? Apakah pula haknya, budak saya melawan saya karena seluruhnya yang ia miliki adalah milik saya, bahkan haknya pun sudah menjadi milik saya? Karena haknya telah saya miliki, maka adalah omong kosong belaka bila hak saya itu menentang saya.

Grotius dan beberapa orang lainnya menerangkan tentang asal-usul budak yang diperolehnya dari hasil peperangan, dengan maksud hanya untuk membenarkan adanya perbudakan itu. Menurut mereka, si pemenang mempunyai hak untuk membunuh musuh yang ditaklukkan, dan yang kalah memperoleh hidupnya dengan jalan mengorbankan kebebasannya. Suatu konvensi yang lebih bisa dibenarkan karena cenderung menguntungkan ke dua belah pihak.

Menjadi jelas bahwa anggapan adanya hak untuk membunuh lawan yang dikalahkan itu bukanlah suatu cara perang negara. Ketika manusia tetap berada dalam kemerdekaannya yang primitif, belum ada pergaulan di antara mereka yang cukup kuat untuk dapat melahirkan perang dan damai dan mereka pun bukan musuh alami. Yang menyebabkan terjadinya perang bukan dari persaingan antar manusia, tetapi persaingan yang menyangkut persengketaan kebendaan. Keadaan perang tidak muncul hanya oleh persoalan pribadi, tetapi hanya terjadi dari hubungan riil. Juga tiada perang pribadi antara orang dengan orang, baik dalam keadaan alami di mana belum ada hak milik yang tetap maupun dalam negeri sipil tempat segala sesuatu berada di bawah kekuasaan hukum.

Perkelahian, duel dan bentrokan bersenjata antar pribadi bukanlah tindakan yang melahirkan suatu keadaan perang. Perang kecil yang dibenarkan oleh “Establishments” dari Raja Perancis Louis IX yang kemudian dihentikan oleh Perdamaian Tuhan (Peace of God) merupakan kejahatan pemerintah feodal, suatu sistem pemerintahan yang sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan prinsip hak azasi dan setiap suara masyarakat yang berpemerintahan.

Perang bukan suatu urusan antara orang dengan orang, tetapi antara negara dengan negara. Dalam perang setiap individu hanya menjadi musuh secara kebetulan, bukan sebagai sesama manusia atau sesama warganegara, tetapi sebagai serdadu. Bukan sebagai anggota suatu negara, tetapi sebagai pembela negara. Dalam masalah denda, negara hanya dapat memandang negara lain sebagai musuh dan bukan orang karena tidak mungkin terdapat hubungan nyata antara segala hal yang mempunyai perbedaan sifat dasar.

Prinsip ini sesuai dengan peribahasa yang berlaku sepanjang masa, tidak terkecuali praktek semua rakyat yang diorganisasi secara politik. Pernyataan perang tidak menjelaskan mengenai kekuatan ataupun sasarannya. Seseorang yang dikenal, baik ia seorang raja atau perampok atau pun seluruh rakyat, bila ia merampok, membunuh atau menahan warga kepangeran yang lain tanpa sebelumnya menyampaikan pengumuman perang terhadap pangeran tersebut, ia bukan musuh, tetapi perampok. Bahkan dalam perang yang sesungguhnya pun seorang pangeran yang bersikap adil, sementara ia boleh merampas apa saja yang dapat diambil dalam negeri musuhnya termasuk yang menjadi milik umum, ia akan tetap menghargai orang yang dikalahkannya dan milik pribadi mereka itu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa si pangeran menghargai hak miliknya sendiri. Pada akhir perang, negeri yang saling bermusuhan akan menjadi lebih lemah. Angkatan perang suatu negeri berhak membunuh angkatan perang pembela negeri musuhnya selama mereka masih memegang senjatanya. Segera setelah musuhnya meletakkan senjata dan menyerahkan diri, mereka tidak lagi dianggap sebagai musuh. Mereka telah menjadi manusia biasa dan si pengenang tidak lagi mempunyai hak atas nyawa mereka (musuhnya). Ada kalanya terdapat kemungkinan suatu negara dapat menghancurkan negara lain tanpa menghancurkan seorang pun warga negeri itu. Perang tidak memberikan suatu hak untuk melakukan tindakan di luar sasaran pokoknya. Kesemuanya itu bukan prinsip yang dimiliki oleh Grotius, dan bukan pula diambil dari kekuasaan para penyair, tetapi diambil dari sifat dasar penalaran yang sehat.

Hak untuk menaklukkan tidak mempunyai dasar lain kecuali hukum bagi yang terkuat. Jikalau perang tidak memberikan hak pada para penakluk untuk secara besar-besaran membunuh mereka yang ditaklukkan, maka hak tersebut tidak ada dan tidak bisa dijadikan dasar untuk menjadikan mereka yang ditaklukkan sebagai budak. Orang tidak mempunyai hak untuk membunuh musuh kecuali pada saat ia tidak mungkin dapat memperbudaknya. Hak untuk memperbudak tidak bisa diperoleh dari hak untuk membunuh. Pertukaran yang membuat mereka tetap hidup dengan jalan membeli harga kebebasan mereka adalah sangat tidak adil. Sisa hidup mereka yang ditaklukkan tidak berhak dimiliki oleh si penakluk. Dalam menetapkan apakah hak untuk hidup atau mati itu berada di luar perbudakan, dan apakah perbudakan itu melebihi hak untuk hidup atau mati, maka kepada kita akan dihadapkan pada pertanyaan: bukankah kita jelas terlibat dalam lingkaran setan?

Andaikata hak yang mengerikan untuk membunuh siapa pun itu benar-benar ada, para budak yang diperoleh dari peperangan atau penduduk yang ditaklukkan tidak mungkin terikat pada kewajiban apa pun dengan pemimpin mereka, dan ia hanya terpaksa bila memang dipaksa untuk bertindak demikian. Dengan jalan memanfaatkan tenaganya sebagai imbalan pengampuan bagi hidupnya, bukan berarti si pemenang menghadiahkan kemurahan hati kepada mereka yang ditaklukkan.

Sebagai ganti dari membunuhnya — yang dengan begitu ia tidak memperoleh keuntungan apa pun ia membiarkan orang itu tetap hidup untuk dapat mengambil keuntungan dari hasil pemanfaatan tenaga kerjanya. Dengan menyelamatkan hidup mereka yang ditaklukkan, si penakluk memperoleh bantuan kekuatan dari beberapa kekuasaan lainnya, dan keadaan perang di antara mereka tetap berlangsung seperti dahulu. Bahkan persatuan antara mereka merupakan akibat dari tindakan tersebut. Sementara hak untuk perang digunakan, tidak akan ada perjanjian harus terjadi. Ada kemungkinan kepada saya akan diberitahukan bahwa mereka telah membuat suatu perjanjian. Apabila demikian, sulit untuk menghentikan keadaan perang yang diperkirakan akan berlanjut terus.

Jadi, dari sudut apa pun kita memandangnya, hak perbudakan tidak mempunyai suatu dasar. Ini bukan hanya karena tidak dapat dibenarkan, tetapi karena tidak masuk akal dan tidak mempunyai arti sama sekali. Istilah "perbudakan" dan "hak" saling bertentangan dan saling meniadakan. Baik itu dari seseorang terhadap orang lainnya atau pun dari orang terhadap penduduk. Adalah omong kosong untuk mengatakan: Saya membuat perjanjian dengan anda atas tanggungan anda dan untuk kepentingan saya. Saya akan melakukannya sejauh kecenderungan hati saya, dan akan mengerjakannya sejauh menyenangkan hati saya.

BAB V
KITA HARUS SELALU KEMBALI PADA PERJANJIAN PERTAMA

Jika saya menganggap benar semua yang telah saya sangkal dengan membuktikan kesalahannya, maka pada despotisme kita tidak akan menemukan kemurahan hati, apa pun alasannya. Selalu akan ada perbedaan antara menaklukkan sejumlah orang dengan memerintah suatu masyarakat. Bila orang yang tidak terorganisasi¹ berturut-turut ditaklukkan oleh satu orang, berapa pun jumlah mereka, bagi saya mereka hanya tampak sebagai majikan dan budak, dan saya tidak akan menganggapnya sebagai rakyat dan pemimpinnya. Mereka tidak lebih hanyalah pengelompokan orang dan juga tidak merupakan suatu persatuan atau "perserikatan" karena belum ada milik umum dan perkumpulan politik di kalangan mereka. Seseorang bisa saja memperbudak separuh dunia dan masih dapat pula melanjutkan sikap individualnya. Sudah tentu kepentingannya hanya terbatas pada dirinya sendiri, dan terpisah dari kepentingan orang lain. Apabila orang semacam itu kemudian jatuh, maka bekas kerajaannya tidak akan terus berlangsung dan tidak lagi terikat pada apa pun, bagaikan pohon yang hancur cerai berai termakan api dan menjadi segunduk abu.

"Rakyat", kata Grotius, "dapat memberikan dirinya kepada seorang raja”.² Jadi, menurut Grotius, sebelum mereka memberikan dirinya kepada raja, mereka itu adalah rakyat. Pemberian itu sendiri merupakan perjanjian sipil dan dianggap sebagai konsultasi umum. Oleh arena itu akan lebih baik bila kita hendak memilih seorang raja, kita harus meneliti terlebih dahulu bagaimana keadaan raja itu ketika menjadi rakyat. Tindakan itu sangat penting dilakukan lebih dahulu karena ia adalah fundasi yang sebenarnya dari sebuah masyarakat.

Sesungguhnya, andaikata tidak ada konvensi sebelumnya, di manakah — kecuali bila pemilihan itu dicapai dengan suara bulat — akan timbul kewajiban yang akan mengikat minoritas untuk tunduk pada pilihan mayoritas? Dari manakah seratus orang yang ingin tunduk pada seorang pemimpin memperoleh hak yang mengikat dengan suara sepuluh orang lainnya yang tidak ingin mengakui seorang pemimpin mana pun? Hukum yang memberikan suara mayoritas pada kekuasaan untuk memutuskan semua permasalahan masyarakat, hanya dapat ditetapkan dengan suatu perjanjian. Ini membuktikan keharusan adanya kesepakatan paling sedikit satu kali.

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam