Rabu, 09 Oktober 2024

Dari Masyarakat Alami Ke Negara Sipil

Dalam risalah ini, dengan memandang manusia seperti apa adanya dan demikian pula seperti hukum yang mereka buat, saya bermaksud hendak menyelidiki apakah tidak mungkin kita dapat menetapkan peraturan adil dan pasti untuk menyelenggarakan tertib sipil pemerintahan. Selama melakukan riset, saya telah berusaha sekuat-kuatnya menyatukan apa yang diperbolehkan oleh hak dengan apa yang ditetapkan oleh kepentingan. Menurut pendapat saya, keadilan dan kegunaannya tidak dapat dipisahkan.

Saya ingin memasuki penyelidikan ini tanpa membicarakan sesuatu tentang betapa pentingnya subyek ini. Apabila saya ditanya, apakah saya seorang pangeran ataukah seorang pembuat hukum karena saya menulis tentang masalah politik, maka saya akan menjawab, bahwa saya bukan keduanya, dan karena alasan itulah saya menulis tentang masalah politik. Jikalau saya seorang pangeran atau pembuat hukum, maka saya tidak akan memboroskan waktu dengan melibatkan diri dalam menangani masalah teori, yang seharusnya saya manfaatkan untuk melakukan praktek. Saya akan berbuat sesuatu atau akan tetap tinggal diam.

Dilahirkan sebagai seorang warga negara dari suatu negara merdeka dan, dengan demikian, sebagai warga dari penguasa negara itu, betapapun lemah pengaruh suara saya, dengan ketetapan hati saya ingin membuktikan kemampuan saya untuk menangani berbagai urusan umum. Hak untuk memberikan suara pada kesempatan semacam ini, memberikan beban kewajiban kepada saya untuk lebih memperluas pengetahuan saya mengenai masalah tersebut. Saya sungguh merasa gembira, bila memikirkan masalah pemerintahan, saya selalu menemukan dalam riset saya dorongan baru untuk mengagumi negeri saya sendiri.

BAB I
POKOK PEMBICARAAN BUKU PERTAMA

Manusia dilahirkan bebas. Kendatipun demikian kita melihat di mana pun mereka hidup terbelenggu. Mereka yang merasa bahwa dirinya adalah pemimpin bagi yang lain, akan berpikir untuk berhenti agar tidak menjadi budak yang lebih besar dari rakyat yang diperintahnya. Bagaimana hal itu bisa terjadi, saya sendiri tidak tahu. Tetapi bilamana saya ditanya, apakah yang dapat saya sumbangkan, maka saya percaya bahwa saya mampu memecahkan permasalahan itu.

Jikalau saya membatasi diri hanya mempertimbangkan masalah kekuatan, akhirnya saya akan mengatakan, "Bila rakyat dipaksa untuk patuh dan mereka benar-benar patuh, itu baik. Tetapi, segera sesudah rakyat merasa mampu untuk melemparkan penindasan atas dirinya dan mereka benar-benar melakukannya, itu lebih baik lagi. Untuk memperoleh kembali kebebasannya, sudah tentu rakyat pun boleh menggunakan hak yang sama yang dahulu dipakai untuk mencabut kebebasan itu dari tangan mereka. Kebebasan itu dibenarkan untuk dikembalikan kepada rakyat, atau kebebasan itu dibenarkan untuk direnggut dari tangan rakyat”. Tertib sosial merupakan hak keramat untuk melayani semua kepentingan. Meskipun demikian hak ini tidak bersifat alami karena ia dibangun atas dasar konvensi. Yang menjadi persoalan sekarang, apa dan bagaimana konvensi itu. Sebelum saya sampai pada pokok permasalahan ini, saya masih harus menemtukan dasar pikiran seperti yang baru saja saya tegaskan.

BAB II
MASYARAKAT PERTAMA

Masyarakat yang paling awal dan satu-satunya yang bersifat alami adalah keluarga. Anak tetap terikat pada sang ayah selama masih membutuhkan perlindungannya. Segera setelah tiba waktunya kebutuhan itu berhenti, berakhirlah ikatan yang bersifat alami itu. Anak menjadi bebas dari kewajiban untuk taat pada ayahnya. Sebaliknya sang ayah pun bebas dari tugas kewajiban terhadap anaknya. Kedudukan keduanya menjadi sama-sama bebas. Bilamana mereka masih tetap terus tinggal bersama, hal itu bukanlah konsekuensi dari suatu kebiasaan (consequence of natural), tetapi suatu kebersamaan sukarela atau kebijakan dan ikatkan keluarga itu sendiri yang masih tetap dipertahankan atas dasar konvensi.

Kebebasan yang bersifat umum itu merupakan konsekuensi sifat manusia yang paling mendasar. Hukumnya yang pertama adalah penjagaan diri. Perhatiannya terutama ditujukan pada segala hal yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri, dan seketika itu pula ia menjadi pemimpin atas dirinya sendiri.

Karena itu, keluarga merupakan model pertama masyarakat politik: penghulu mencerminkan seorang ayah dalam keluarga dan sama bebas, dan demi memperoleh sesuatu yang lebih bermanfaat mereka hanya memisahkan kebebasannya ke dalam dua macam masyarakat. Perbedaannya ialah: dalam keluarga, rasa puas karena kasih-sayang pihak ayah yang menghasilkan kesadaran yang bermanfaat bagi anaknya dan sebaliknya si anak pun membalas budi bagi derita sang ayah selama memeliharanya. Sedangkan dalam negara, kepuasan memerintah telah menggantikan rasa cinta yang tidak dimiliki oleh penguasa terhadap rakyatnya.

Grotius menyangkal, bahwa semua kekuasaan manusia ditetapkan demi kepentingan mereka yang diperintah. Ia memberikan contoh perbudakan sebagai bukti pernyataannya. Cara berpikirinya yang konstan membenarkan fakta ini. Suatu cara yang lebih memuaskan mungkin saja dapat digunakan, tetapi tidak ada yang lebih menguntungkan bagi para penguasa yang lalim.

Karena itu Grotius menanyakan apakah seluruh manusia itu menjadi milik seratus orang saja, ataukah justru seratus orang itu menjadi milik seluruh ras manusia. Dari semua isi bukunya, Grotius cenderung pada pendapat yang pertama, sama halnya dengan pendapat Hobbes: Mereka sependapat bahwa masyarakat manusia terbagi seperti kelompok ternak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya sendiri yang melindungi ternaknya untuk kemudian dilahap olehnya.

Pengembala secara alami lebih unggul bila dibandingkan dengan ternaknya, dan demikian pula yang berlaku bagi kelompok manusia. Para penghulu secara alami juga lebih unggul daripada rakyatnya. Menurut pendapat Philo, dengan alasan itulah Kaisar Caligula telah menarik kesimpulan yang sangat tepat dari suatu analogi bahwa raja adalah dewa dan rakyat adalah hewan belaka.

Cara berpikir Caligula ini sejalan dengan pandangan Grotius dan Hobbes. Sebelumnya, Aristoteles telah menegaskan, bahwa manusia itu secara alami mempunyai nasib yang tidak sama: sebagian dilahirkan untuk menjadi budak dan sebagian lainnya untuk berkuasa.

Aristoteles benar, tetapi ia melakukan kesalahan ketika memandang akibat sebagai sebab. Tidak ada yang lebih pasti, bahwa semua orang yang dilahirkan dalam perbudakan adalah dilahirkan hanya untuk menjadi budak pula. Para budak telah demikian direndahkan martabatnya oleh belenggu yang mengikat mereka. Keadaan semacam ini menyebabkan mereka kehilangan semangat untuk mematahkan belenggu itu. Mereka bahkan lebih menyukai perhambaan, seperti halnya para rekan Ulysses yang lebih menyukai perilaku kasar. Apabila ada beberapa budak alami, sebab pokoknya ialah manusia dijadikan budak untuk melawan alam. Kekuatanlah yang telah menciptakan perbudakan yang pertama dengan jalan merendahkan serta menyalaghgunakan para korbannya, dan mengabadikan belenggu mereka.

Saya tidak akan memasuki suatu pembicaraan tentang Nabi Adam atau Kaisar Noah, ayah dari tiga raja besar yang telah memisahkan alam jagad di antara mereka, yang oleh banyak orang dianggap sebagai anak dewa Saturnus. Saya mengharapkan untuk memperoleh sambutan tepuk tangan karena sikap saya yang moderat ini; karena saya sendiri pun berasal dari keturunan langsung salah seorang putri raja itu, mungkin dari cabang yang tertua. Siapa yang dapat mengatakan, dalam pembuktian gelar itu, bahwa saya tak dapat menemukan dalam diri saya seorang raja yang sah dari ras manusia? Tetapi kita hanya menjumpai bahwa Adam-Iah yang berkuasa di dunia ini, sebagaimana halnya Robinson Crusoe berkuasa di pulaunya karena hanya dialah satu-satunya penghuni. Keadaan yang paling menguntungkan bagi suatu kerajaan adalah bila raja merasa aman di atas singgasananya. Ia tidak kuatir terhadap pemberontakan, perang dan persekongkolan (conspiracies).

BAB III
KEADILAN BAGI MEREKA YANG TERKUAT

Golongan yang terkuat tidak akan pernah merasa cukup kuat untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya secara mulus, terkecuali bila mereka dapat menemukan cara untuk merubah kekuatan menjadi hak dan ketaatan menjadi semacam kewajiban. Hak dari golongan yang terkuat - suatu hak yang dalam penampilannya tampak ironis - benar-benar ditetapkan sebagai satu prinsip.

Apakah kita tidak akan pernah mendapat penjelasan tentang hal ini? Kekuatan dalam pengertian ini adalah kekuatan fisik. Saya tidak melihat adanya suatu moralitas yang dapat dihasilkan oleh akibat kekuatan ini. Menyerah pada kekuatan merupakan tindakan yang terpaksa dan bukan oleh kehendak hati. Atau, paling tidak hanya sebagai tindak kebijaksanaan. Lalu dengan pengertian yang bagaimanakah hal itu dapat menjadi suatu kewajiban?

Marilah sejenak kita mengandaikan bahwa apa yang dianggap hak itu memang ada, tetapi saya tidak melihat sesuatu yang dapat muncul dari padanya selain omong-kosong yang tidak dapat dipahami. Kalau kita mengakui bahwa di dalam kekuatan itu terdapat hak, maka akibat telah berubah menjadi sebab. Semua kekuatan yang telah memperoleh keberhasilannya yang pertama, mengakui hal itu sebagai haknya. Segera setelah seseorang tidak lagi patuh pada peraturan tanpa mendapat hukuman, ini berarti bahwa orangpun akan bisa dibenarkan untuk mengulanginya lagi.

Yang terkuat selalu benar. Kian lama orang hanya akan berpacu untuk mendapatkan kekuatan. Tetapi, hak macam apakah itu, yang hilang bersama kekuatan yang melahirkannya? Bila seseorang perlu patuh karena paksaan kekuatan, maka tidak akan ada kesempatan untuk patuh karena rasa wajib; dan bila kekuatan itu tidak ada lagi, maka semua kewajiban akan sirna pula bersamanya. Oleh karena itu, kita melihat bahwa "hak" tidak menambah sesuatu pada kekuatan, tetapi hanyalah suatu istilah yang tidak mempu­ nyai arti apa pun.

Bila orang mengatakan, "Marilah kita mentaati orang yang paling kuat", maksudnya yang sebenarnya adalah, "Marilah kita menyerah pada kekuat­ an". Peraturan itu memang baik, tetapi berlebihlah sifatnya karena tidak akan pernah atau bisa dilanggar. Kita diberitahu bahwa semua kekuatan itu berasal dari Tuhan. Saya akui memang benar. Demikian pula semua pe­ nyakit datang dari tangan yang sama. Namun siapakah yang pernah me­ larang kita untuk memanggil dokter? Bila seorang perampok mendorong saya di suatu sudut sebuah hutan, tidakkah sebaiknya saya tidak hanya akan menyerahkan dompet saya jika ia dipaksa untuk melakukannya, tetapi juga karena sadar bahwa saya wajib menyerahkan kepadanya kendati saya ingin melarikan diri dari padanya ? Suatu fakta bahwa pistol di tangan pen­ jahat itu pun merupakan suatu kekuatan.

Oleh karena itu harus diakui bahwa kekuatan bukanlah suatu hak, dan ketataan hanya mengabdi pada kekuatan. Jadi, segala sesuatu seyogyanya kembali pada pertanyaan saya yang pertama.

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam