Dalam masa Nabi tidak ada perpecahan dalam kalangan umat Islam, begitu juga dalam masa Salaf, yaitu masa sahabat dan tabi’in dalam pimpinan Nabi. Pengikut Nabi ta’at dan melakukan ajaran-ajaran Islam dengan cara yang sederhana, sebagaimana yang diterangkan olehnya. Apa yang tidak diketahui mudah ditanyakan kepadanya atau kepada sahabat-sahabat yang masih terdapat dimana-mana.
Perpecahan terjadi di hari-hari kemudian, dan perpecahan ini atau lebih tepat kalau kita namakan perselisihan paham dalam Islam pernah digambarkan oleh Nabi dalam beberapa ucapannya. Maka terjadilah sekitar abad kedua dan ketiga Hijrah golongan-golongan dan aliran- aliran dalam Islam, yang biasa dinamakan mazhab, yang satu berlainan pendirinnya daripada yang lain.
Golongan-golongan ini dapat kita (baca: Prof Dr. Aboebakar Atjeh) bahagi atas tiga bahagian, pertama mazhab i’tikad, yang satu sama lain berlainan pendiriannya mengenai aqidah atau keyakinan, seperti persoalan jabar, manusia terpaksa berbuat sesuatu karena sudah ditakdirkan Tuhan, seperti ikhtiar, manusia mempunnyai kemauan yang bebas dalam mengerjakan sesuatu perbuatannya, karena Tuhan hanya menjadikan manusia, tidak menjadikan perbuatannya, dan persoalan-persoalan lain sekitar perselisihan paham, ulama Kalam atau Mutakallimin. Tetapi dalam kesemuanya tidak terdapat perlainan pendapat dalam pokok-pokok keyakinan Islam, seperti bahwa Allah itu satu tunggal, Muhammad itu Rasul Tuhan, Qur’an itu diturunkan daripada Allah dan sebagainya.
Kedua mazhab siasat, yang mempunnyai pendirian-pendirian berbeda dalam persoalan khalifah atau orang-orang yang akan memimpin umat Islam sesudah wafat Nabi. Meskipun persoalan ini adalah persoalan ijtihad, tetapi beberapa golongan meletakkan persoalan khalifah itu dalam keyakinan yang harus dianut oleh pengikut-pengikutnya.
Dalam pada itu golongan mazhab yang ketiga dinamakan mazhab fiqh, yaitu golongan yang menumpahkan perhatian kepada membuat peraturan-peraturan antara manusia dan Tuhan, yang dinamakan ibadah, merupakan penjelasan yang terperinci daripada Qur’an dan Sunnah Nabi, dan peraturan-peraturan yang mengatur hidup antara manusia dengan manusia, yang dinamakan mu’amalat.
Dengan adanya aliran-aliran ini banyak orang menyangka ada perpecahan dalam Islam, tetapi sebenarnya perpecahan dalam arti kata yang sesungguhnya tidak ada. Karena seperti yang kita katakan di atas semua pertikaian paham antara satu dan lain mazhab tidak mengenai pokok-pokok agama, lubbuddin, tetapi mengenai pengulasan atau perdebatan cara berpikir yang terjadi karena sabab-sebab yang memang sudah ada pada manusia. Kita ketahui bahwa manusia itu tidak dapat berpikir dalam satu car a cang sama menghadapi sesuatu persoalan. Sejak ia lahir manusia ito sudah mempunnyai suatu pandangan falsafat yang tertentu terhadap dunia ini, yang berlainan coraknya antara satu sama lain.
Perlainan cara berpikir manusia itu melahirkan pendapat yang berlain-lainan dalam satu soal yang sama, ada yang mendekati filsafat, ada yang mendekati masyarakat, perekonomian dan lain-lain. Lalu terjadilah tinjauan manusia yang berbeda-beda.
Sebagaimana dalam filsafat, dalam agama pun persoalan yang dihadapi tidak terlepas daripada tiga pokok, manusia, alam dan Tuhan. Persoalan ini adalah persoalan yang sulit yang sudah menimbulkan banyak ahli pikir dari zaman ke zaman dalam mencari hakikatnya terutama menangani persoalan-persoalan mendalam yang bersangkut-paut dengan ketuhanan, yang mengatasi cara berpikir manusia, sangatlah sukarnya akan dapat membawa manusia itu kepada hakikat kebenarannya.
Plato melukiskan perumpamaan manusia dalam mencari sesuatu ha kikat seperti beberapa orang buta yang hendak mengetahui bagaimana rupa seekor gajah. Ada seorang yang meraba belalainya, lalu mengatakan, bahwa gajah itu seperti ular. yang lain terpegang telinganya, la lu mengambil keputusan bahwa gajah itu seperti tampan. Pendapat- pendapat itu disangkal oleh seorang buta yang kebetulan memegang kaki gajah, dan ia lalu berkeyakinan, bahwa gajah itu seperti sebatang pohon. yang lain memegang punggungnya dan mengatakan bahwa gajah itu seperti gunung. Demikianlah terjadi perselisihan pendapat diantara mereka yang mencari kebenaran dengan alat-alat yang kekurangan itu.
Socrates mengatakan: "Apabila sudah diketahui tempat pertikaian paham, hilanglah pertikaian paham itu". Mengetahui tempat pertikaian paham itulah yang sangat sukar, lebih sukar lagi bagi manusia yang penuh dengan perasaan.
Kegemaran dan syahwat manusia merupakan sebab utama juga dalam terjadinya perbedaan paham, karena kegemaran dan syahwat manusia itu acapakali mempengaruhi cara berpikirnya, dengan lain perkataan menimbulkan pendapat yang berbeda-beda. Spinoza berkata: "Kegemaranlah yang memperlihatkan kepada kita sesuatu itu cantik, bukan akal kita". Kegemaran dan syahwat itu merupakan anak timbangan yang berat dalam menentukan sesuatu baik dan buruk dalam keadaan dan pikiran. William James berkata: "Sejarah filsafat adalah sejarah pertentangan dan perlainan tabiat manusia, perlainan ini menimbulkan corak yang berlain-lainan dalam bidang peradaban, kesenian, dan hukum".
Diantara sebab perbedaan paham manusia ialah berlainan haluan, yang menyebabkan manusia itu berlainan pula coraknya dalam kehidupan, dalam meninjau sesuatu perkara. Sesuatu yang dianggap baik oleh ahli hukum belum tentu dianggap baik oleh tabib, belum tentu dianggap baik oleh ahli bintang, belum tentu dianggap baik oleh ahli bahasa, oleh ahli ilmu kalam dan oleh ahli filsafat. Meskipun pokok persoalan satu, pembahasan dan peninyauan mereka berbeda-beda ka rena tujuan mereka berbeda-beda. Dengan demikian terjadilah perbedaaan paham antara ulama ilmu kalam dan ulama ilmu fiqih dalam persoalan Qur’an, karena berlainan maksud yang akan ditujunya.
Ada suatu sebab yang sangat sukar untuk mempersatukan manusia dalam satu cara berpikir, sehingga mereka menangkap satu hakikat yang sama, yaitu cinta nenek moyang. Cerita nenek moyang berpindah dari mulut kemulut kepada manusia, tidak hanya untuk di dengar tetapi juga lama-lama menjadi keyakinan dan menjadi darah daging bagi keturunannya dari masa ke masa. Dongeng-dongeng dan cerita itu, meskipun kemudian ternyata tidak benar, sudah menyadi keyakinan, sudah menjadi takhayul yang sukar dikikis dari hati dihilangkan pengaruhnya dari cara berpikir manusia. Acapkali keyakinan-keyakinan semacam itu mendorong akal seseorang untuk menyatakan baik buruknya sesuatu. Maka terjadilah sifat ta’assub atau chauvinisme, pendewaan orang-orang tua dan ucapannya yang sukar dihilangkan daripada cara berpikir yang objektif.
Perlaianan dalam menangkap persoalan juga mempengaruhi hakikat kebenaran yang dicari. Sebuah uraian yang didengar bersama tidak sama dapat ditangkap oleh pikiran-pikiran yang mendengar itu. Tingkat kecerdasan mempengaruhi cara menangkap persoalan dengan pikiran itu. Oleh karena penangkapannya berlainan-lain, maka cara berpikirpun berlain-lainan pula dan tinyauan persoalan serta hasilnya tidak semua sama.
Kedudukan dan cinta kekuasaan sangat besar pengaruhnya dalam mengambil sesuatu keputusan. Apa yang dianggap benar oleh suatu kekuasaan belum tentu dianggap demikian oleh kekuasaan yang lain, karena yang demikian itu berlainan kepentingannya, berlainan maksud yang mendorongnya. Suatu persoalan yang dianggap baik oleh rakyat belum tentu dianggap baik oleh suatu kekuasaan, yang memperhitungkan keamanan negara dan kepentingan sesuatu golongan kecil. Demikian pula sebaliknya.
Perbedaan-perbedaan umum ini banyak sedikitnya mempengaruhi aliran-aliran dalam Islam, yang tumbuh sekitar abad ketiga dimana daerah Islam sudah menjadi demikian luasnya, sehingga ia menghadapi persoalan-persoalan yang aneka rupa dan aneka kepentingannya. Hukum-hukum fiqih yang tadinya sangat sederhana di Mekkah dan di Madinah dengan persoalan shalat, haji dan puasa, telah menjadi sukar bagi daerah Irak dan Persia umumnya, yang harus membahas hukum tawanan, hukum perdagangan, hukum perkawinan dan warisan yang sesuai dengan daerah itu. Sementara sahabat-sahabat Nabi tidak banyak mengeluarkan perniataan mengenai perkara-perkara dalam cerita hari kemudian, orang-orang lain agama yang memeluk Islam mengorek-ngorek persoalan ini, yang memaksakan ulama-ulama harus mencari alasan-alasan yang dapat menguatkan dalil-dalil Qur’an dan sunnah Nabi. Demikianlah selanjutnya persoalan-persoalan itu, sehingga terjadilah kemajuan dalam cara berpikir, yang membuahkan lahirnya perbedaan paham dan pendapat didalam Islam.
« Prev Post
Next Post »