Minggu, 13 Oktober 2024

Batas Kekuasaan dan Hak Hidup Manusia

BAB IV
BATAS KEKUASAAN PENGUASA

Apabila negara atau kota (city) hanya merupakan suatu bentuk pribadi moral (moral person), yang eksistensinya terwujud karena persatuan anggotanya, dan kalau perhatiannya yang terpenting adalah melindungi diri sendiri, maka menjadi suatu keharusan baginya untuk memiliki suatu kekuasaan memaksa yang universal, yang dibutuhkan untuk menggerakkan dan mengatur setiap bagian dengan cara yang menyenangkan keseluruhannya. Sebagaimana alam memberikan kepada setiap orang untuk memerintah secara absolut kepada semua anggotanya, maka kesepakatan sosial (social compact) memberikan kepada negara hukum hak untuk memerintah secara absolut pada para anggota yang membentuknya. Kekuasaan inilah seperti yang saya katakan sebelumnya, yang mendukung nama "kedaulatan" (sovereignty) bila diatur oleh kehendak umum.

Tetapi, selain pribadi umum (public person), kita harus mempertimbangkan pula pribadi perorangan yang menyusunnya, dan sudah tentu yang hidup serta kebebasannya tergantung dari padanya. Masalahnya di sini bagaimana membedakan dengan baik antara hak warga negara dan hak penguasa. Antara kewajiban yang harus dipenuhi oleh warga negara dalam kualitasnya sebagai subyek dan hak alami yang sepatutnya mereka nikmati dalam kualitasnya sebagai manusia.

Diakui bahwa semua yang dipindahkan oleh kesepakatan sosial dari individu hanyalah sebagian dari kekuasaannya, miliknya, kebebasan dan pemanfaatannya yang paling penting bagi komunitas. Kita pun harus mengakui bahwa satu-satunya hakim yang menentukan sesuatu yang dianggap penting bagi komunitas hanyalah penguasa.

Semua layanan yang bisa diberikan oleh seorang warga negara kepada negara wajib diberikan setelah penguasa memintanya. Selain itu penguasa tidak dapat memaksakan suatu beban apa pun pada subyek yang tak ada gunanya bagi komunitas. Ia bahkan tidak dapat memiliki kecenderungan untuk melakukannya, karena hukum akal budi (law of reason) tidak mempunyai sesuatu yang dapat dilakukan tanpa suatu alasan yang melebihi hukum alam.

Perjanjian yang mengikat kita pada lembaga sosial hanya bersifat wajib karena mereka berada dalam kebersamaan. Sifatnya memang demikian hingga penyelesaiannya pun kita tidak dapat bekerja untuk kepentingan lainnya dan pada saat yang bersamaan tanpa mengerjakan untuk kepentingan kita sendiri. Mengapa kehendak umum selalu benar dan mengapa pula semua kehendak tanpa kecuali mencari kebahagiaan bagi setiap individu di antara mereka. Bila tidak ada seseorang yang tidak mengambil kata “tiap” untuk dirinya sendiri, maka siapa pula yang tidak memikirkan dirinya sendiri ketika memberikan suaranya untuk semua? Ini membuktikan bahwa persamaan hak dan ide keadilan yang mengilhaminya diambil dari pilihan di mana masing-masing memberi pada dirinya sendiri. Inilah akibat dari sifat manusia. Kehendak umum wajib berbuat demikian pula terhadap sarannya sebagaimana intinya: ia harus datang dari semuanya kalau kita ingin menerapkan pada semuanya. Ia akan kehilangan sifat kejujurannya bila ia cenderung pada salah satu individu dan obyek tertentu karena dinilai dari sisi yang ada di luar kita. Kita tidak memiliki kebenaran prinsip keadilan untuk membimbing kita.

Pada kenyataannya, secepat menjadi persoalan fakta atau hak dari suatu individu yang sebelumnya tidak diatur lebih dahulu oleh konvensi umum, maka persoalan itu akan mudah menjadi pertengkaran. Itu adalah suatu proses yang terjadi di dalamnya; di satu pihak kepentingan perorangan dan di lain pihak kepentingan umum. Tetapi saya tidak melihat sesuatu hukum yang seharusnya diikuti, atau seorang hakim yang berkewajiban memutuskannya. Akan menggelikan bila dalam kasus seperti itu mempertanyakan keputusan yang tepat dari kehendak umum, yang mungkin hanya berupa kesimpulan dari satu kelompok. Akibatnya, bagi kelompok lain akan dianggap hanya sebagai kehendak luar (external) dan perorangan, yang pada kesempatan semacam itu mempercepat terjadinya ketidakadilan sebagai subyek kesalahan. Jadi, dengan cara yang sama bila kehendak pribadi tidak dapat mewakili kehendak umum, maka sebaliknya kehendak umum akan merubah sifatnya kalau obyeknya bersifat perorangan^2 dan kehendak umum tidak bisa menyatakan baik atas seseorang atau suatu fakta. Misalnya, ketika penduduk Athena mengangkat atau mengeluarkan pemimpin mereka, memberikan penghormatan pada seseorang, menjatuhkan hukuman pada yang lain, dan dengan banyaknya dekrit perorangan mereka melaksanakan semua tindakan pemerintah tanpa pandang bulu. Dengan demikian rakyat yang seharusnya berbicara, tidak lagi mempunyai suatu kehendak umum. Mereka tidak lagi bertindak sebagai penguasa, tetapi bertindak sebagai hakim. Sudah tentu hal ini bertentangan dengan ide bersama, tetapi saya harus mempunyai cukup waktu untuk menjabarkan ide saya ini.

Kita harus memahami bahwa sifat ke-umum-an kehendak itu kurang bergantung pada jumlah pemberi suara jika dibandingkan dengan ketergantungannya pada kepentingan bersama yang menyatukan mereka. Dalam pendirian ini, masing-masing perlu tunduk pada kondisi yang ia tentukan pada yang lain — suatu persatuan yang mengagumkan dari kepentingan dan keadilan — yang memberikan pada pertimbangan umum suatu watak yang adil; yang akan lenyap dalam diskusi tentang semua urusan pribadi karena ketiadaan suatu kepentingan bersama guna memadukan serta mengenal keputusan hakim dengan kelompok.

Dengan jalan apa pun kita kembali pada prinsip bahwa kita akan selalu tiba pada kesimpulan yang sama, ialah: kesepakatan sosial (social compact) menetapkan di antara warga negaranya suatu persamaan bahwa mereka semua terikat pada perjanjian di bawah kondisi yang sama dan semua akan menikmati hak yang sama. Jadi, oleh sifat kesepakatan itu semua tindakan kedaulatan (sovereignty), yakni tindakan otentik dari kehendak umum, mengharuskan semua warga negara seperti halnya dengan suatu cara yang sama menunjukkan perhatian bahwa penguasa tidak mengenal perbedaan antar sesama individu yang menyusunnya. Oleh karena itu, tindakan apakah sebaiknya yang dilakukan oleh kedaulatan (sovereignty)? Ini bukanlah suatu konvensi antara seorang yang tertinggi (superior) dan yang terendah (inferior), tetapi suatu konvensi dari suatu badan dengan setiap anggotanya — suatu konvensi yang dibenarkan karena ia mempunyai basis yaitu kontrak sosial. Adalah adil karena kebersamaan adalah untuk semua, menguntungkan karena tidak ada tujuan lain kecuali kebaikan umum, dan kokoh karena dijamin oleh kekuatan publik serta oleh kekuasaan tertinggi (supreme power). Sementara subyek hanya berada di bawah perintah dari konvensi semacam itu, mereka tidak akan taat kepada siapa pun selain pada kehendaknya sendiri. Untuk menyelidiki seberapa luas masing-masing hak dari penguasa dan warga negara dengan maksud untuk menanyakan seberapa jauh warga negara dapat mengikat janji dengan dirinya sendiri, setiap orang terhadap semua dan semua terhadap setiap orang.

Dengan demikian kita melihat bahwa kekuasaan penguasa (sovereign power) semuanya absolut, semuanya keramat seperti halnya semuanya tidak dapat dilanggar (inviolable) atau diganggu gugat, tidak ingin dan tidak dapat melampaui ikatan konvensi umum. Setiap orang sepenuhnya bisa memberikan segala yang masih tertinggal pada diri mereka, dari kekayaannya dan kebebasannya pada konvensi ini. Hingga penguasa tidak pernah mempunyai hak untuk menuntut pada satu subyek lebih besar dibandingkan dengan subyek lainnya karena hal itu akan menjadi persoalan pribadi dan dalam kasus demikian kekuasaan penguasa tidak lagi mempunyai wewenang atasnya.

Perbedaan ini bila sekali diakui, jelas palsu bahwa individu telah membuat suatu penolakan riil terhadap kontrak sosial. Sebaliknya, akibat ada nya kontrak sosial mereka berpendapat keadaannya lebih menyenangkan dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Sebagai ganti dari setiap pemindahan hak, mereka hanya membuat suatu perubahan yang menguntungkan yaitu dari suatu cara hidup yang berubah-ubah serta sulit ke suatu cara hidup yang lebih baik dan aman tenteram; dari suatu cara hidup dengan keadaan alami yang bebas ke suatu keadaan yang merdeka; dari pemilikan kekuasaan yang merugikan dan merusak pihak lain ke perlindungan untuk diri mereka sendiri; dan dari kekuatan tenaga yang bisa diungguli oleh pekerjaan orang lain ke suatu hak di mana kesatuan masyarakat (social union) membuat keadaan tak terkalahkan. Bahkan hidup mereka yang diserahkan untuk negara terus menerus memperoleh perlindungan. Bahkan hidup mereka yang telah diserahkan kepada negara secara terus menerus memperoleh perlindungan dari padanya. Bila mereka merasa tidak terlindungi keamanannya, perbaikan apakah yang mereka peroleh? Apakah yang lebih sering mereka lakukan dalam keadaan yang penuh dengan ancaman bahaya ketika hidup dalam keadaan alami, yang terus menerus diliputi pertentangan yang sulit dielakkan, di mana mereka akan mempertahankan hidupnya bila perlu memikul resiko demi melindungi hidupnya? Sebenarnya mereka harus berjuang bagi negeri mereka bila diharuskan untuk mengabdikan dirinya.

Namun sesudah itu tidak seorang pun yang mempunyai kesempatan untuk berjuang bagi kepentingan dirinya sebagai individu. Tidakkah kita memperoleh keuntungan yang besar dengan mengucapkan terima kasih atas perlindungannya karena memang kita berhutang budi atas jaminan keamanan yang diberikan kepada kita, yang ada kalanya kita hanya terkena sebagian dari bahaya yang harus kita tanggulangi sebagai individu segera setelah kita menghilangkan bahaya itu?

BAB V
HAK UNTUK HIDUP DAN MATI

Mungkin dipertanyakan, bagaimana individu tanpa memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri dapat menyerahkan suatu hak yang tidak dimilikinya itu kepada penguasa. Pertanyaan ini tampaknya sulit dipecahkan karena dinyatakan tidak tepat. Setiap orang berhak mengambil resiko dalam hidupnya demi mempertahankan hidupnya sendiri. Pernahkan ada orang yang mengatakan bahwa ia bermaksud bunuh diri dengan melompat dari suatu jendela karena hanya untuk menghindari kobaran api? Apakah seseorang dapat dipersalahkan telah melakukan kejahatan ketika ia tewas di laut yang sedang membadai karena sebelum ia berangkat berlayar telah mengetahui adanya bahaya itu?

Tujuan akhir perjanjian sosial (social treaty) adalah memelihara kelangsungan beberapa kelompok yang sedang mengadakan ikatan perjanjian. Siapa pun yang ingin menikmati tujuan akhir itu harus bersedia memikul berbagai resiko, bahkan berbagai bahaya yang tidak terpisahkan dari caracara yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir itu. Seseorang yang ingin memelihara hidupnya dengan mengorbankan hidup orang lain, sebagai gantinya wajib memberikan jasanya pula untuk melindungi mereka bila diperlukan. Warga negara bukan seorang hakim yang dapat menggunakan hukum guna melindungi dirinya dari bahaya. Bila seorang pangeran berkata kepada warganya, “Anda sebaiknya mati agar berguna bagi negara”, maka matilah ia karena hanya dalam kondisi itulah ia dapat menikmati kesetiaannya sampai dengan saat itu, mengingat hidupnya tidak hanya dianggap sebagai anugerah alam semata, tetapi juga sebagai suatu pemberian bersyarat dari negara.

Hukuman mati yang dijatuhkan kepada seorang kriminal bisa dilihat dari titik pandangan yang sama, yaitu untuk menjamin dirinya agar tidak menjadi korban pembunuhan, maka seseorang bersedia untuk mati bila ia menjadi pembunuh. Sedemikian jauh dalam perjanjian ini semua kelompok pok bermaksud mengatur diri mereka sendiri hingga mereka hanya berpikir tentang bagaimana memelihara hidupnya, dan sebaliknya tidak sedikit pun diperkirakan tatkala mengadakan kesepakatan ada salah satu kelompok yang sepantasnya tampil di tiang gantungan.

Selanjutnya, setiap penjahat (malefactor) yang menyerang hak sosial dengan jalan melanggar undang-undang karena kejahatannya sebagai seorang pemberontak dan pengkhianat negerinya, ia tidak lagi dinyatakan sebagai warga negeri itu. Eksistensi negara kemudian menjadi bertentangan dengan dirinya hingga salah satu harus binasa. Bila si kriminal dihukum mati, ia akan mengalami penderitaan lebih banyak sebagai seorang musuh dibandingkan dengan sebagai seorang warga negara. Tindakan terhadapnya itu adalah akibat vonis hakim sebagai bukti dan pernyataan bahwa ia telah memutuskan perjanjian sosial (social treaty) dan ia tidak lagi menjadi warga negara itu. Namun kalau ia masih dianggap sebagai warga, paling tidak bila ia masih tinggal sementara di negeri itu, ia harus disingkirkan dengan jalan membuangnya di suatu tempat yang terisolasi sebagai seorang pelanggar pakta atau menghukum mati padanya karena dinyatakan sebagai seorang musuh dan bukan pribadi moral (moral person); ia tidak lebih hanyalah seorang laki-laki belaka. Kenyataan ini membuktikan bahwa hak kekuasaan peranglah yang membunuh orang yang dikalahkan.

Mungkin ada orang bertanya, bukankah pengutukan terhadap seorang kriminal itu sebagai tindakan individu? Saya setuju atas pertanyaan itu, tetapi pengutukan terhadap seorang kriminal itu tidak bersangkut-paut dengan penguasa. Itu adalah suatu hak yang dapat diberikan oleh penguasa kendati ia sendiri tidak melaksanakannya. Gagasan saya adalah konsisten, tetapi pada suatu saat saya tidak dapat menerangkan semuanya.

Dapat ditambahkan bahwa acapkali terjadi dengan melakukan hukuman atau siksaan merupakan suatu tanda kelemahan pemerintah. Tidak ada sesuatu yang lebih hina dari perlakuan ini hingga ia dapat dilukiskan sebagai sikap yang tidak baik. Tidak ada hak untuk menghukum mati atas seseorang, bahkan sebagai contoh sekalipun, kecuali kalau hidup orang itu sudah tidak dapat dibina lagi tanpa membahayakan negara.

Mengenai hak untuk memperoleh pengampunan atau membebaskan seorang kriminal dari hukuman yang diputuskan oleh hakim berdasarkan hukum yang berlaku, hanyalah termasuk sesuatu yang berada di atas hakim dan hukum, yaitu penguasa. Tetapi, dalam penanganan perkara ini haknya tidak jelas dan kesempatan untuk menggunakan hak itu memang ada, hanya saja langka terjadi. Dalam suatu negara dengan pemerintahan yang baik, dijumpai hanya sedikit hukuman yang dijatuhkan. Bukan karena di negeri itu banyak pengampunan yang diberikan kepada si terhukum, tetapi karena hanya terdapat sedikit jumlah kejahatan yang terjadi. Bilamana negara itu sedang mengalami kemunduran atau kemerosotan, jumlah kriminalitas menunjukkan adanya pelanggaran hukum yang kian meluas tanpa si pelanggar memperoleh hukuman sewajarnya. Di bawah pemerintahan Republik Romawi, baik senat maupun para konsul, juga tidak pernah mencoba untuk memberikan pengampunan pada suatu perbuatan kriminal. Bahkan tidak pula terhadap rakyatnya kendatipun ada kalanya mereka membatalkan hukuman yang telah diputuskan sendiri. Frekuensi pengampunan yang dipermaklumkan bahwa kejahatan kriminal segera tidak lagi berguna bagi mereka, mudah dilihat ke arah mana harus ditujukan. Tetapi hati saya berbisik dan berusaha menahan goresan hati saya: mari sebaiknya kita menyerahkan diskusi tentang permasalahan ini pada manusia yang bersifat adil yang tidak pernah berbuat salah, dan yang tidak pernah menghendaki pengampunan untuk dirinya sendiri.

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam