Senin, 22 Juli 2024

Akhlak dan Budi dalam Perspektif Kaum Sufi

Dalam tarekat manapun juga, salah satu daripada persoalan yang terpenting dalam suluk ialah memperbaiki ahwal dan menuntun murid mencapai maqam yang lebih tinggi, dengan lain perkataan memperbaiki akhlak dan budi.

Salah satu daripada sifat-sifat yang sangat dianjurkan orang Sufi itu misalnya ialah Sabar. Ghazali menerangkan bahwa Sabar itu adalah bawaan daripada sesuatu pengertian yang yakin. Yang dikatakan Sabar olehnya ialah meninggalkan segala macam dekerjaan yang digerakkan oleh syahwat, tetap pada pendirian agama yang mungkin bertentangan dengan kehendak hawa nafsu, semata-mata karena menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat. Apabila kehendak seseorang terlalu keras, maka tak dapat tidak kehendak itu membzwa dia kepada keyakinan, dan kehendak yang sudah divakini betul-be.ul dinamakan iman. Keyakinan bahwa kehendak hawa nafsu itu musuh yang dapat memotong jalan kepada Tuhan menyebabkan keteguhan keyakinannya pada agama. Dan apabila ketetapan yang demikiar itu sudah diperoleh maka timbullah perbuatannya yang bertentangan dengan kehendak hawa nafsu itu.

Yang dikehendaki dengan sabar, berkata Ghazali selanjutnya, ialah beramal menurut tujuan sesuatu keyakinan yang benar, karena keyakinan itu mengerti sungguh-sungguh, bahwa perbuatan ma’siat itu meljarat dan ta’at itu bermanfa’at, sehingga tidak mungkin ma’siat itu ditinggalkan dan ta’at itu dilaksanakan melainkan dengan sabar, maka dengan demikian berarti pula, bahwa pekerjaan tersebut ialah menegakkan agama dengan menentang hawa nafsunya.

Pendapat Ghazali ini tentang sabar sebenarnya tidak begitu berbeda dengan faham Socrates, yang mengatakan bahwa dasar hidup ialah pengetahuan atau pengertian, apabila seseorang mengetahui sesuatu kebajikan, maka diperbuatnya kebajikan itu, sebaliknya apabila ia mengetahui yang dihadapinya itu suatu kejahatan, maka lalu ditinggalkannya kejahatan itu.

Seorang ahli filsafat Emile Polak berpendapat, bahwa ilmu saja, tidak cukup untuk meletakkan dasar yang utama bagi sesuatu kelebihan. Mengetahui sesuatu kewajiban saja tidak cukup untuk menjalankan kewajiban itu dengan baik, orang harus juga mempunyai kegemarannya dan kemauannya yang kuat untuk melaksanakan kewajiban itu. Maka oleh karena itu Ghazali pun menegaskan bahwa dalam menjalankan sabar harus seseorang melihat manfa’atnya, yang digemarinya atau dicintainya.

Imam Ghazali membedakan beberapa nama yang diberikan kepada sabar. Jika sabar itu ditujukan untuk menahan nafsu perut dan nafsu keinginan bersetubuh, sabar itu bernama ’iffah, jika untuk menahan diri daripada keserakahan kaya, ia dinamakan dhabtun nafs, jika ia berlaku dalam peperangan untuk mencari kemenangan, ia dinamakan syaja’ah, jika ditujukan untuk menahan amarah dan kesal, ia dinamakan hilm, jika ia ditujukan untuk menahan sesuatu penghinaan atau kecaman, ia bernama si’atus sadar, jika ia ditujukan kepada merahasiakan sesuatu, ia dinamakan kitmanus sir, dan jika ia ditujukan untuk meninggikan kehidupan, ia dinamakan zuhud, jika ia ditujukan kepada menerima nasib sebagaimana yang ada, maka ia dinamakan qina’ah.

Sabar itu dibagi menurut hukum atas beberapa golongan yaitu wajib, sunat, makruh, dan haram. Sabar yang dilakukan untuk menjauhkan diri daripada segala yang haram dikatakan wajib, sabar yang diderita untuk menjauhkan diri daripada segala pekerjaan yang makruh,dihukum sunat, dan sabar atas segala yang tidak diperkenankan, maka hukumnya pun harus dijauhi. Seorang yang menurut agama misalnya dihukum potong tangannya, haruslah ia menerima hukuman itu dengan sabar, seorang yang diganggu kehormatan keluarganya, maka sabarnya itu haram. Dan begitu juga sabar membiarkan isterinya terbuka aurat- nya dilihat oleh orang yang tidak termasuk muhrimnya, maka sabarnya itu makruh.

Menurut Ghazali sabar itu hendaklah dilakukan dalam sembarang waktu, orang harus sabar pada waktu senang, orang harus sabar pada waktu susah, bahkan orang yang sabar pada waktu senang lebih tinggi nilainya.

Keta’atan menghendaki sabar, karena manusia yang tersendiri menghendaki lebih banyak pengawasan atas dirinya dalam mengerjakan ibadat. Maka sabar tentang keta’atan itu mempunyai tiga keadaan. Yang pertama sebelum ta’at, seperti mengokohkan niat dan ikhlas menahan diri daripada semua gerak-gerik yang dapat membawa kepadanya, membulatkan tekad dan tujuan. Yang kedua pada waktu mengerjakan sesuatu amal, dilakukan dengan penuh kesungguhan sampai selesai. Dan yang ketiga sesudah selesai mengerjakan amal itu, di antara lain-lain tidak merasa bangga dan menampak-nampakkan kepada orang, sehingga orang lain melihatnya dengan penuh keheranan.

Sabar itu dikerjakan demikian rupa sehingga menjadi kebiasaan sehari-hari. Terutama dalam menghadapi sesuatu kejahatan yang ringandan mudah dikerjakan, sabar itu menjadi lebih berat sifatnya, seperti sabar tentang dosa-dosa yang dapat dengan mudah dilancarkan lidah, seperti mengumpat orang, berdusta, bercekcokan mulut, memuji-mu}i diri sendiri dan mengemukakan jasa-jasa yang dikerjakan, baik untuk berbangga atau untuk mengadakan sesuatu berbandingan dengan orang lain, berkelakar, yang dapat menjadikan penyakit untuk hati, dll. Bersabar atas kesakitan yang diperbuat orang, adalah utama sekali, dan sa- bar yang terbesar dan tertinggi nilainya ialah sabar yang diderita terhadap bermacam-macam bala, seperti mati salah seorang yang dianggap penting untuk kehidupannya, kehancuran segala harta benda dan kehilangan kesenangan dan kesehatan.

Orang-Orang Sufi menganggap, bahwa penderitaan hati dan pertumpahan air mata tidak menghilangkan fadilat sabar, karena ihwal ini adalah pembawaan manusia, yang hanya dapat berpisah dengan manusia itu apabila ia mati.

Sabar itu dapat dihasilkan hanya dengan menekan hawa nafsu, dan membangkitkan kesungguhan kepada agama. Melemahkan hawa nafsu itu dikerjakan dengan mengurangi keperluan kebendaannya, menghilangkan sebab-sebabnya, dan mengekang diri apa yang diingini. Kesungguhan pada agama dapat dibangkitkan dengan memperbanyak amal ibadat, dengan berfikir dan merenungkan ceritera-ceritera mengenai sabar dan akibat-akibatnya.

Dalam Qur’an banyak sekali terdapat ayat-ayat sabar yang ditujukan sebagai nasehat dalam bermacam-macam keadaan. Di antara lain-lain Tuhan berfirman : ’’Wahai sekalian orang yang beriman, perbesarlah sabar dan nasehat-menasehatilah antaramu dengan sabar!’’ Katanya pula : ’’Kami coba dirimu dengan mendatangkan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, kematian, dan kekurangan buah-buahan, tetapi akan Kami gembirakan kemudian itu orang-orang yang sabar!’’ Katanya lagi : ’’Minta tolonglah kamu dengan sabar dan dengan sembahyang, karena Tuhan itu selalu ada dekat mereka yang sabar’’.

Begitu juga dalam Hadis banyak sekali terdapat keterangan-keterangan yang menyatakan kelebihan sabar dan keutamaannya Ibn Sinan menceriterakan bahwa Nabi pernah berkata : ’’Pekerjaan orang mukmin itu sangat menakjubkan, karena semuanya baik, tidaklah sama dengan pekerjaan orang yang tidak beriman. Seseorang mukmin, apabila ia beroleh kesenangan ia bersyukur, dan yang demikian itu baik baginya’’.

Ibn Mas’ud menceriterakan, bahwa sesudah peperangan Hunain Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan, di antaranya kepada Akra’ Ibn Habis seratus ekor onta, begitu juga kepada Uyaynah seratus ekor onta, sebagaimana kepada orang-orang bangsawan Arab. Pembahagian yang mewah ini menimbulkan iri hati orang-orang Ansar, yang lalu mengeritik perbuatan Nabi, yang dikatakan tidak adil. Tatkala kecaman ini disampaikan oleh Ibn Mas’ud kepada Nabi berubahlah matanya seketika menjadi merah, seraya katanya : ’’Jikalau aku dikatakan tidak adil, maka siapakah lagi yang dapat dinamakan adil itu. Mudah-mudahan Tuhan memberikan rahmat kepada Nabi Musa, yang menderita lebih banyak daripada pengikut-pengikutnya yang bodoh dan dungu, sedang ia terus-mener:is sabar’’. Begitu juga Nabi pernah mengatakan, bahwa besar sesuatu ganjaran Tuhan bergantung kepada besarnya bala yang diturunkan kepada seseorang, karena jika Tuhan mencintai seseorang pasti menurunkan cobaan kepadanya, jika orang itu rela menderita, maka Tuhan pun rela pula terhadapnya, jika orang itu menggerutu, maka Tuhan pun membencinya dan tidak bersenang hati.

Imam Ghazali dalam mengemukakan fadilat sadaq, mendasarkan keterangannya kepada beberapa ayat Qur’an.

Orang-orang Sufi diwajibkan misalnya benar, jujur dan terusterang dalam pemikiran, perkataan dan perbuatannya. Keadaan itu dalam ajaran Sufi dinamakan sadaq, dan orang yang bersifat demikian bernama siddiq. Ajaran Islam biasa pun memastikan pemeluknya memakai sifat ini, dan tidak membolehkan seseorang berdusta, tidak jujur atau tidak benar dalam perkataan dan perbuatannya.

Mari kita bicarakan perbaikan akhlak secara Sufi itu. Saya ambil sebagai contoh suatu cara yang umum, yang dinamakan takhalli, tahalli dan tajalli. Dengan riyadhah ini pun orang Sufi hendak membawa murid-muridnya kepada ma’rifatullah, dari muslim biasa kepada mu’min, kepada siddiqin, salihin, mutahaqqiqin dan meningkat sendiri kepada ’arifin, mereka yang mengenal sungguh-sungguh akan Tuhannya.

Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Pengantar Ilmu Tarekat". halaman 179-183, Cetakan III, Januari 1985 M, Penerbit Ramadhani, Solo, Jawa Tengah

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam