Teori Wahdatul Wujud selalu diidentikkan dengan sosok wali besar Ibnu Arabi, namun pro dan kontra muncul seputar interpretasi terhadap teori ini. Aneka interpretasi inilah yang menjadikan teori ini semakin ambigue dan membingungkan, bahkan terkadang keluar dari sosok Ibnu Arabi. Dihadapan interpretasi inilah, ABoebakar Atjeh mencoba menjembatani, apakah wahdatul wujud yang selama ini berkembang merupakan pemikiran orisinal tadawuf Ibnu Arabi. Lebih detail, beliau menjelaskan...
Ibn Arabi tidaklah dapat disebut menganut paham Hulul atau Itihad, ia mempunyai pendirian tersendiri terhadap Tuhan dan makhluk.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Hulul itu ialah suatu keadaan menurut keyakinan orang sufi, bahwa Tuhan itu berada dimana-mana, diluar dan didalam makhluk (mukhith tersebut dalam Quran dan immanent dalam ilmu filsafat). Quran mengatakan, bahwa Tuhan meliputi segala sesuatu, dan suatu aliran dalam sejarah filsafat menerangkan, bahwa zat pencipta itu terdapat dalam makhluk. juga ada ayat Quran yang menyebutkan, bahwa Tuhan itu lebih dekat daripada urat leher manusia, bahkan Nabi Muhamad pernah menjawab pertanyaan seorang Arab, dimana Tuhan, bahwa Tuhan itu dalam hati orang mu’min. Setengah mazhab Sufi menafsirkan keterangan ini secara lahir dan umum, lalu menganggap, bahwa Tuhan itu dapat menempatkan d͟͟i͟rinya, halla, pada tiap makhluk, terutama manusia. Mazhab ini dinamakan mazhab Hulul dan oleh ulama-ulama Ahli Sunnah wal jama’ah (Asy’ari) dianggap menyeleweng dari ajaran Islam yang sebenarnya, karena zat Tuhan dan zat manusia dengan demikian menjadi berpadu, suatu hal yang mustahil terjadi antara qadim dan hadis.
Juga Ibn Arabi tidak dapat dikatakan menganut mazhab Ittihad dalam arti kata yang sebenarnya, meskipun ia seorang ahli filsafat yang ulung. Ittihad artinya dalam istilah sufi berpadu, apalagi merupakan suatu kesatuan yang bulat. Zat manusia tetap zat manusia, dan zat Tuhan tetap zat Tuhan, karena tidak mungkin berpadu antara zat manusia yang hadis dengan zat Tuhan yang qadim. Tetapi ahli-ahli filsafat Islam mengatakan, bahwa perhubungan itu mungkin sekali-sekali terjadi dengan perantaraan akal umum ('aqlul kul, active intelligent), yang demikian itu untuk memungkinkan manusia menerima wahyu atau ilham langsung dari Tuhan, yang dinamakan 'ilmu ladunni atau 'ilmu wahbi. Mazhab ini dinamakan mazhab Ittihad. Ibn Arabi tidak menempuh jalan ini, karena belum merupakan tauhid tanzih, dan karena dianggapnya syirik, sebab ada campur tangan zat lain dalam penciptaan disamping zat Tuhan yang mutlak tunggal adanya.
Ibn Arabi membuat teori Wihdah dengan maksudnya, hanya ada satu zat Tuhan yang berkuasa dalam segala-galanya, selaìn itu tidak ada. Semua makhluk itu hanyalah akibat dan gambaran, mir'ah, daripada kekuasaan pencipta yang amat hebat itu, yang bernama Allah. Sepintas lalu kelihatan, bahwa keyakinan Ibn Arabi itu bersamaan dengan Hulul atau Ittihad, apalagi dengan ucapannya, bahwa Hal itu adalah 'ainul khalk yang dapat ditawilkan orang dengan : "Hak itu adalah intipati segala ciptaan, yang lalu diartikan, bahwa Ibn Arabi menyamakan makhluk dengan khalik, serta atas dasar ini menuduhnya kafir atau zindiq.
Ibn Arabi meyakini "Wihdatul Wujud dalam segala yang bersifat kebendaan dan kerohanian, dan berkata, bahwa wujud itu adalah intipati dari segala yang ada, dan bersama dari segala yang baharu itu adalah ketinggian bagi zatnya, bukan lain melainkan dia sendiri, dia yang tertinggi, karena segala yang bersifat a'yan yang binasa atau 'adam itu akan kekal kepadanya, tidak ada baginya wujud yang abadi, meskipun keadaannya aneka rupa dan bilangannya amat banyak, dalam ciptaan dan keadaan, melainkan yang kekal adalah 'ain atau sumber intipatinya, yang merupakan satu daripada kumpulan, akan lenyap kedalam kumpulan. Wujud yang banyak itu hanya merupakan anan, merupakan turunan, yaitu merupakan urusan yang bersifat hina atau adam, tidak ada semua itu melainkan 'ain yang tunggal daripada zat-zat itu sendiri, tidak dihubung-hubungkan melainkan satu tunggal dalam zat yang banyak itu. Itulah yang dikatakan: Dia, bukan Dia ! Engkau, bukan Engkau !" (Fushushul Hikam, hal 72-74, atau Mashra’ul Tasawwuf, hal. 62-63).
Kalimat yang bersifat filsafat dari Ibn Arabi ini tidak mudah diartikan dengan pengertian biasa. Boleh diartikan kalimat itu dengan: Segala sesuatu itu, melihat kepada isinya dan keadaannya, disebut Tuhan, tetapi melihat kepada nama Allah yang khas, bukan Tuhan, hanya suatu kenyataan zatnya, bukan pula seluruhnya. Tentu boleh pula diartikan dengan arti kata-kata biasa, bahwa segala sesuatu itu adalah Allah jua atau dengan kata-kata kiasan, bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah, semuanya adalah binasa kecuali wajah Allah itu sendiri (Quran).
Abu Sa’id al-kharraz (mgl. 286 II), seorang sufi yang terdahulu di Bagdad, lebih jelas menafsirkan pengertian itu dengan keterangan, bahwa segala sesuatu ciptaan allah itu merupakan satu wajah daripada ucapan-ucapannya, yang menerangkan dirinya sendiri: bahwa Allah itu tidak dikenal melainkan dengan meliputi segala sesuatu ciptaannya, Dialah awal dan akhir, dialah lahir dan bathin, dialah zat yang tersembunyi dalam keadaannya yang nyata. Semuanya dari Allah dan tidak ada sesuatu melainkan Allah yang tampak dan tidak tampak.
Inilah pendirian mazhab Wihdatul Wujud. Penganutnya tidak menganggap penuh tauhid ucapan yang tersimpul dalam kalimat “la ilaha llallah”,”tidak ada Tuhan melainkan Allah”, karena didalamnya masih terdapat perbandingan Allah dengan Tuhan lain. Mereka lebih jazab menyebut ”laysa illallah”, yang berari ”tidak ada melainkan Allah”, atau ”bukan dia melainkan Dia”.
Imam Ghazali membenarkan tauhid tanzih ini dan berkata dalam Misykatul Anwar: “Huwallah”, ”Dialah Allah” atau ”Huwa”,”Dia itu Dia” secara syuhudiyah atau wujudiyah.
Memang sudah menjadi pendirian orang sufi, bahwa Hak itu lahir pada tiap-tiap ciptaan, dialah yang lahir dalam tiap-tiap sesuatu yang dapat dipahami, dialah yang batin daripada segala paham, sampai kepada paham orang yang berkata, bahwa alam ini rupanya dan huwiyahnya.
Ibnu Katib dikala menyebut nama Ruzabari menggunakan gelaran yang terhormat "Penghulu Kami Abu Ali". Orang bertanya kepadanya, mengapa ia memakai gelar yang demikian tingginya. Ia menjawab : "Karena Abu Ali pergi daripada ilmu syari’at kepada ilmu hakikat, sedang kita kembali daripada ilmu hakikat kepada ilmu syari’at!" (Tarikh Bagdad).
emikianlah keadaan dengan Ibn Arabi, diserang, diikuti dan dikafirkan, tetapi dikala orang berhadapan dengannya, dan ia mengupas salah satu persoalan Islam, ulama dalam masanya mengatakan bahwa ia adalah seorang qulub atau bintang ulama.
Diantara kitab yang paling tajam memuat serangan-serangan dan kecaman terhadap Ibn Arabi ialah Tanbihul Ghabi ila Takfiri Ibn Arabi dan kitab Tahsrul Ibal min Ahlil Inad bi Bid’ail Ittihad’, yang kedua-duanya dikarang oleh Burhanuddin al-Buqai’ (809-885 H), kedua-duanya dicetak kembali menjadi sebuah kitab dengan julul Masra’ut Tasauwuf” (Cairo, 1953), diterbitkan oleh gerakan yang menamakan dirinya Ansharus Sunnatul Muhammadiyah, serta diberi komentar dan catatan oleh Abdurrahman al-Wa- kil, salah seorang daripada anggota gerakan tersebut.
Siapa Al-Buqa’i? Dalam kitab Syaratus Zahabi diterangkan bahwa ia bernama Ibrahim bin Umar Burhanuddin al-Buqa’i mazhab Syafi’i, ahli hadits, ahli tafsir dan ahli sejarah. Ia lahir dalam tahun 809 H. dalam sebuah desa bernama kharbah, daerah Buqa’. Kemudian ia pergi ke Damaskus mempelajari Quran, pembacaan dan pengertianya, mempelajari nahwu, fiqih dan ilmu-ilmu lain. Diantara gurunya disebut Ibn Nashiruddin dan Ibn Hajar. Banyak ia menulis kitab-kitab yang bertalian dengan pengertian dan tafsir Quran, sebuah kitabnya bernama Inwanuz Zaman, berisi riwayat hidup ulama-ulama dalam segala bidang dan masa. Diantara kitabnya yang lain ialah risalah yang kita sebutkan namanya diatas, berisi tantangan terhadap Ibnu Faridh dan Ibn Arabi. Lama ia tinggal di Baitul Maqdis dan di Mesir. Ia meninggal di Damaskus dalam bulan Rajab tahun 835 dalam umur 76 tahun.
Sebagaimana kita lihat, bahwa dalam sejarah hidupnya tidak disebut ada ia mempelajari tasawwuf atau memahami cara berpikir ulama-ulama sufi Oleh karena itu saya mengambil kesimpulan, bahwa serangan-seranganya itu semata-mata didasarkan atas ilmu-ilmunya, yang memang berlainan bidang dengan ilmu batin atau ilmu tasawwuf. Dalam kitabnya itu dimuat kalimat- kalimat dan ucapan Ibn Arabi, terutama yang berasal dari karya-karyanya Fassus Hikam, terutama kalimat-kalimat yang dapat dijadikan dasar untuk menggelarkan Ibn Arabi kafir, setan dan zindiq bersama dengan ulama-ulama yang lain dalam bidang tasawwuf, seperti Ibnal Faridh.
Orang sufi, sebagaimana diterangkan oleh AI-jili dalam "Insanul Kamil" (1:67), mengartikan huwiyah itu dengan kegaiabannya yang tidak mungkin tampaknya dengan mata, tetapi dapat dijelaskan dengan menyebut jumlah nama dan sifat. Jurjani dalam At-Ta'rifat memberi arti kepada huwiyah itu yaitu hakikat yang melingkupi seluruh hakikat dan yang meliputi pusat seluruh pokok dalam kegaiaban yang mutlak pula. Lalu secara kasar mereka menyebut alam ini kenyatataan dan batinnya atau lukisannya ialah hakikatnya.
Najmuddin Ibn Israil (563-677 H.} menerangakan dalam bentuk sajak sebagai berikut:
Ibnal Faridh (576-632 H.), yang juga dianggap Hujjah Alil Wahdah dan dituduh kafir bersama Ibn Arabi, bersyair yang sama maksudnya:
Pada tempat yang lain Ibnal Faridh menerangkan bahwa dalam hakikat ia belum pernah sembahyang sendiri, selalu ada imam dan selalu ada yang mengawasinya dibelakang, kiri dan kanan, keduanya berhimpun dalam sujud, bukan orang lain yang sembahyang dan sembahyang itu bukan untuk orang lain, tetapi untuk kesatuan yang diakui dalam perjanjian semula azali. Sja’ir ini yang sukar kita pahami karena berpijak pengertiannya dengan maksud beberapa ayat Qur’an dan Hadis mengenai hakikat sembahyang, ditutup oleh Ibnal Faridh dengan sajak, yang jika saya terjemahkan kira-kira demikian isinya:
Kemudian ia bersyair pula :
Sumber : Aboebakar Atjeh, Ibnu Arabi: Tokoh Tasawuf dan Filsafat Agama, Penerbit Tintamas Djakarta, hal. 32-43. Dimutakhirkan ke Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), oleh Muhamad Abdullah Amir
« Prev Post
Next Post »