Keluarga Abu Bakr Dulaf bin Jahdar (Ja'far bin Yunus) al-Syibli berasal dari Khurasan, tetapi ia sendiri dilahirkan di Baghdad atau Samarra. Ayahnya adalah seorang pejabat istana dan ia sendiri diangkat untuk mengabdi kepada negara. Sebagai Gubernur Demavend ia dipanggil ke Baghdad untuk dilantik, dan di kota inilah ia bertobat kepada Allah. Sebagai salah seorang sahabat Junaid, ia menjadi seorang tokoh terkemuka di dalam peristiwa al-Hallaj yang menghebohkan itu. Namanya menjadi aib karena tingkah lakunya yang eksentrik, tingkah laku yanng menyebabkan ia dikirim ke sebuah rumah sakit jiwa. Al-Syibli meninggal dunia pada tahun 334 H/486 M dalam usia 87 tahun.
PANGGILAN TERHADAP SYIBLI
Abu Bakr al-Syibli adalah Gubernur di Demavend. Ia dipanggil Khalifah ke Baghdad. Maka bersama-sama dengan Gubernur Rayy dan rombongan, berangkatlah ia menghadap khalifah. Setelah dilantik dan dikenakan jubah kehormatan, mereka pulang. Di tengah perjalanan, Gubernur Rayy bersin dan mengusapkan jubah kehormatan itu ke hidung dan mulutnya. Perbuatannyaitu dilaporkan orangkepada khalifah dan khalifah memberikan perintah agar jubah kehormatan itu dilepaskan daripadanya, kemudian ia dihukum cambuk dan dipecat. Peristiwa ini membuka mata Syibli.
“Seseorang yang mempergunakan jubah anugerah seorang manusia sebagai sapu tangan,” Syibli merenung, “dianggap patut dipecat dan dihina. Dan oleh karena itu lepaslah jubah dinasnya. Bagaimana pula halnya dengan seseorang yang mempergunakan jubah anugerah Raja alam semesta sebagai sapu tangan? Apakah yang akan ditimpakan kepada dirinya?”
Syibli segera menghadap khalifah dan berkata:
“Wahai pangeran, engkau sebagai seorang manusia tidak suka apabila jubah anugerahmu diperlakukan secara tidak hormat, dan semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubahmu itu. Raja alam semesta telah menganugerahkan kepadaku sebuah jubah kehormatan di samping cinta dan pengetahuan. Betapakah Dia akan suka apabila aku menggunakannya sebagai sapu tangan di dalam mengabdi seorang manusia?”
Ditinggalkannya istana khalifah dan bergabunglah ia dengan murid-murid Khair al-Nassaj. Di situ dialaminya sebuah pengalaman yang aneh dan Khair mengirim Syibli kepada Junaid. Maka pergilah Syibli menghadap Junaid.
“Engkau dikatakan sebagai seorang penjual mutiara. Berilah atau juallah kepadaku sebutir,” Syibli berkata kepada Junaid.
“Bila kujual kepadamu, engkau tidak akan sanggup membelinya dan jika kuberikan kepadamu, karena begitu mudah mendapatkannya, engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Oleh karena itu lakukanlah seperti yang telah aku lakukan. Dengan kepala terlebih dahulu, ceburilah lautan ini dan apabila engkau menanti dengan penuh kesabaran, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”
“Jadi apakah yang harus kulakukan kini?” Syibli bertanya.
“Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun,” jawab Junaid.
Hal itu dipenuhi Syibli. Setelah setahun berlalu, Junaid memberikan tugas-tugas yang lain kepadanya. Pekerjaanmu sekarang ini bersifat komersial dan akan mencemarkan namamu. Mengemislah setahun lamanya, sehingga engkau tidak disibukkan hal-hal yang lain.
Setahun pula lamanya Syibli menyusuri jalan-jalan di kota Baghdad. Tetapi tak seorang pun yang mau memberikan sedekah kepadanya. Maka kembalilah ia kepada Junaid dan menyampaikan hal ini.
“Sekarang sadarilah nilai dirimu. Karena dirimu ini tidak ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah segan kepada mereka. Untuk beberpa lamanya engkau pernah menjadi bendahara dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi gubernur. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau rugikan.”
Syibli kembali ke Demavend. Rumah demi rumah dimasukinya. Maksudnya adalah untuk memberi imbalan kepada setiap orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang yang pernah dirugikannya tetapi orang itu tidak diketahui kemana perginya.
“Dengan mengingat orang itu,” Syibli berkata, “aku telah membagi-bagikan seratus ribu dirham, tetapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian."
Setelah empat tahun berlalu, Syibli kembali kepada Junaid.
“Masih ada sisa-sisa keangkuhan di dalam dirimu. Mengemislah engkau selama setahun lagi.” Junaid berkata kepada Syibli.
“Setiap aku mengemis,” Syibli mengisahkan, “semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid, dan junaid membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin. Pada malam hari aku dibiarkannya lapar.” Setahun kemudian berkatalah Junaid kepadaku:
“Kini kuterima engkau sebagai sahabatku tetapi dengan satu syarat, yaitu engkau harus menjadi pelayan bagi sahabat- sahabatku yang lain.”
Maka setahun pula lamanya aku menjadi pelayan sahabat-sahabat itu. Setelah itu berkatalah junaid kepadaku:
“Abu Bakr, bagaimanakah sekarang pandanganmu terhadap dirimu sendiri?”
“Aku memandang diriku ini sebagai orang yang terhina di antara makhluk-makhluk Allah,” jawabku.
“Jika demikian sempurnalah keyakinanmu,” kata Junaid.
Pada saat itu Syibli telah memperoleh kemajuan, ia sering mengisi lengan bajunya dengan gula dan kepada setiap anak-anak yang dijumpainya akan disuapinya dengan sepotong gula dan setelah itu ia akan berkata kepada si anak: “Sebutlah Allah.”
Setelah itu diisinya baju anak-anak itu dengan uang dirham dan dinar. Kemudian ia akan berkata kepada mereka: “Kepada setiap orang di antara kalian yang menyebutkan Allah sekali saja, akan kuberikan uang emas.”
Tetapi di belakang hari api cemburu menggelora di dalam dadanya. Dihunusnya sebuah pedang dan berserulah ia:
“Setiap orang yang menyebutkan Allah akan kupenggal kepalanya dengan pedang ini.”
“Dahulu engkau memberikan gula dan emas,” kata mereka, “tetapi mengapa sekarang engkau akan memenggal kepala?”
“Dahulu kukira mereka menyebutkan nama-Nya karena pengalaman dan pengetahuan yang sebenarnya,” kata Syibli. “Tetapi kini sadarlah aku bahwa mereka menyebutkan nama- Nya tanpa sepenuh hati dan karena kebiasaan semata-mata. Aku tidak rela nama-Nya diucapkan oleh lidah-lidah yang kotor.”
Setelah itu di setiap tempat yang dapat ditemuinya dituliskannya nama Allah. Tiba-tiba didengarlah olehnya sebuah suara yang bekata kepadanya:
“Berapa lama lagikah engkau menyibukkan dirimu dengan sebuah nama? Jika engkau benar-benar seorang pencari, bangkitlah dan carilah Yang Mempunyai Nama itu!”
Kata-kata ini sangat mempengaruhi dirinya. Ia sama sekali tidak bisa merasa damai dan tenang seperti sediakala. Sedemikian kuatnya api cinta menguasai dirinya, sedemikian dalamnya ia tenggelam dalam gejolak mistis, sehingga ia tak bisa menahan diri dan mencebur ke sungai Tigris. Tetapi air sungai menyongsong tubuhnya dan melemparkannya ke pinggir. Kemudian ia meloncat ke dalam api, tetapi nyala api tidak bisa membakarnya. Maka dicarinyalah suatu tempat di mana singa-singa lapar berkumpul, dan melompatlah ia ke tengah-tengah gerombolan singa itu tetapi singa-singaitulari tunggang langgang meninggalkan dirinya seorang diri. Dari puncak gunung ia terjun tetapi angin menyambut tubuhnya dan mendaratkannya dengan empuk. Kegelisahannya kini menjadi-jadi.
“Alangkah celaka seseorang,” Syibli berseru, “yang tidak diterima air maupun api, oleh binatang-binatang buas maupun gunung-gunung.”
Tetapi seketika itu juga terdengarlah olehnya sebuah suara yang berkata:
“Seseorang yang diterima oleh Allah tidak diterima oleh yang lain-lainnya.”
Kemudian orang-orang merantai dan membelenggu Syibli. Mereka membawanya ke rumah sakit jiwa.
“Dia sudah gila,” kata mereka.
“Menurut penglihatan kalian diriku gila dan kalian waras.” Jawab Syibli, “Semoga Allah menambahkan kegilaanku dan kewarasan kalian, sehingga karena kegilaan ini aku semakin dekat kepada-Nya. Dan karena kewarasan itu kalian semakin jauh daripada-Nya.”
Khalifah mengirimkan seseorang untuk menyembuhkan Syibli. Para penjaga datang dan secara paksa memasukkan obat ke dalam mulutnya.
“Tidak perlu kalian bersusah-susah. Penyakit ini bukanlah penyakit yang bisa disembuhkan oleh obat,” cegah Syibli.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI SYIBLI
Pada suatu hari beberapa orang sahabatnya mengunjungi Syibli yang sedang dirantai.
“Siapakah kalian?” Syibli bertanya kepada mereka.
“Sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.
Seketika itu juga Syibli melempari mereka dengan batu dan mereka semua melarikan diri.
“Pembohong,” Syibli meneriaki mereka. “Apakah para sahabat akan lari dari sahabat mereka hanya karena beberapa butir batu? Kelakuan kalian ini membuktikan bahwa kalian adalah sahabat kalian sendiri, bukan sahabt-sahabatku.”
Ketika orang-orang menyaksikan Syibli berlari-lari sambil membawa bara api di tangannya.
“Hendak kemanakah engkau?” orang-orang bertanya kepadanya.
“Aku hendak membakar Ka'bah,” Syibli menjawab, “sehingga orang-orang hanya mengabdi kepada Yang Memiliki Ka'bah.”
Di dalam peristiwa lain, Syibli sedang membawa sepotong kayu yang dibakar di kedua ujungnya.
“Aku hendak membakar neraka dan dengan api di satu ujung kayu ini dan surga dengan api di ujung lainnya,” Syibli menjawab, “sehingga manusia bisa mengabdi karena Allah semata-mata.”
Sudah beberapa hari lamanya, baik di waktu siang maupun di waktu malam Syibli menari-nari di bawah sebatang pohon sambil meneriakan: “Hu, Hu.”
“Apakah artinya semua ini?” Sahabat-sahabatnya bertanya.
“Merpati hutan yang berada di atas pohon itu meneriakkan “Ku, Ku,” maka aku pun mengiringinya dengan “Hu, Hu” jawab Syibli.
Diriwayatkan bahwa merpati hutan itu tidak menghentikan “Ku, Ku” nya sebelum Syibli menghentikan “Hu, Hu” nya.
Diriwayatkan bahwa ketika Syibli pertama sekali memulai disiplin diri, beberapa tahun lamanya ia biasa mengusapkan garam ke matanya agar ia tidak tertidur. Dikatakan bahwa untuk maksud tersebut ia telah menghabiskan tujuh onggok garam.
“Allah Yang Maha Besar sedang mengawasi diriku,” Syibli berkata. Kemudian ia menambahkan: “Seseorang yang tertidur adalah lalai dan seorang yang lalai ditutup penglihatannya."
Ketika Junaid mengunjungi Syibli, didapatinya Syibli sedang melukai kulit alis matanya dengan sebuah penjempit.
“Mengapa engkau melakukan hal ini?” Junaid bertanya kepadanya.
“Kebenaran telah menjadi nyata, tetapi aku tidak kuat memandangnya,” jawab Syibli, “Kulukai diriku dengan harapan Alalh akan berkenan memandangku walaupun untuk sekilas saja.”
Syibli sering pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat kayu. Setiap kali ia terlena, ia memukul tubuhnya dengan kayu-kayu itu. Pada suatu kali, semua kayu yang dibawanya telah terpatahkan, maka dinding gua itu dipukul dan ditendangnya.
Karena tenggelam di dalam ekstase mistis, mulailah Syibli berkhotbah dan kepada khalayak ia mengajarkan rahasia mistik. Junaid mencela perbuatan Syibli:
“Kita hanya mengucapkan kata-kata tersebut di dalam gua,” kata Junaid kepadanya. “Tetapi engkau datang dan mengumandangkan kata-kata itu kepada semua orang.”
“Aku berkata dan aku mendengar,” jawab Syibli. “Di dunia dan di akhirat nanti siapakah yang ada kecuali aku? Atau lebih tepat lagi, kata-kata ini berasal dari Allah dan kembali kepada Allah, sedang Syibli sama sekali tidak ada.”
Jika demikian halnya, engkau memperoleh keleluasaan,” jawab Junaid.
Suatu hari Syibli terus-menerus mengucapkan “Allah, Allah.”
Soerang murid yang masih muda dan serius berkata kepadanya:
“Mengapa engkau tidak mengucapkan “Tiada Tuhan kecuali Allah.”
Syibli mengeluh, kemudian ia menjelaskan:
“Aku khawaatir begitu kuucapkan “Tiada Tuhan,” nafasku terhenti dan aku tidak sempat melanjutkannya dengan “kecuali Allah,” jika hal seperti itu terjadi, celakalah aku.
Penjelasan Syibli ini sedemikian menggugah hati si murid. Tubuhnya gemetar dan sesaat kemudian ia menemui ajalnya. Sahabat-sahabatnya datang dan memaksa Syibli untuk menghadap kahlifah di Istana. Syibli yang masih berada di dalam alunan ekstase berjalan sempoyongan seperti orang yang sedang mabuk. Ia dituduh melakukan pembunuhan. “Syibli bagaimanakah pembelaanmu?” khalifah bertanya kepadanya.
“Pemuda itu terbakar oleh gelora api cinta di dalam kedambaannya mendengar keagungan Allah.” Syibli menjawab. “Ia telah terlepas dari segala ikatan dan telah bebas dari segala hawa nafsu. Telah habis kesabarannya dan tak bisa bertahan lebih lama lagi karena terus-menerus dikunjungi utusan-utusan dari hadirat Ilahi. Gemerlap cahaya keindahan karena merenungi kunjungan Ilahi yang menyusup ke dalam kalbunya. Bagaikan seekor burung, sukmanya terbang meninggalkan raga. Apakah kesalahan atau kejahatan yang telah dilakukan Syibli dalam hal ini?”
“Cepat antarkan Syibli ke rumahnya, khalifah memberikan perintah. “Kata-katanya sedemikian menggoncangkan batinku sehingga aku khawatir akan terjatuh dari tahta ini.”
Sewaktu Syibli berada di kota Baghdad, ia berkata:
“Kita membutuhkan uang seribu dirham untuk membeli sepatu bagi orang-orang miskin yang hendak pergi ke tanah suci.”
Seorang pemuda beragama Nasrani berdiri dan berkata:
“Akan kuberikan uang sebanyak itu dengan satu syarat, yaitu engkau akan membawaku serta.”
“Anak muda,” jawab Syibli, “engkau tidak boleh menunaikan ibadah haji.”
“Kalian tidak mempunyai keledai. Anggaplah aku sebagai keledai dan bawalah aku pergi.” Jawab di pemuda.
Akhirnya berangkatlah mereka dan si pemuda Nasrani yang menyertai mereka, dengan cekatan melayani segala keperluan mereka.
“Bagaimanakah keadaanmu anak muda?” Tanya Syibli.
“Aku sedemikian senang memikirkan bahwa aku bisa menyertai kalian sehingga aku tidak bisa tidur,” jawab si pemuda.
Si pemuda Nasrani membawa sebuah sapu. Setiap kali mereka berisitirahat di sebuah persinggahan ia segera menyapu lantainya dan mencabuti semak-semak yang tumbuh di tempat itu. Ketika sampai di tempat di mana setiap orang harus mengenakan pakaian ihram, dilihatnya apa yang dilakukan oleh orang-orang lain dan ditirunya perbuatan mereka itu. Akhirnya sampailah mereka ke Ka'bah.
Syibli berkata kepada pemuda Nasrani itu:
“Dengan mengenakan sabuk itu, aku tidak mengizinkan engkau memasuki Masjidil Haram.”
Pemuda itu merebahkan kepalanya ke pintu Masjidil Haram dan mengeluh:
“Ya Allah, Syibli mengatakan bahwa ia tidak mengizinkan aku ke dalam rumah-Mu.”
Seketika itu juga terdengarlah sebuah seruan: “Syibli, Kami telah membawanya dari Kota Baghdad dengan mengobarkan api cinta di dalam dadanya, dengan rantai cinta Kami telah menyeretnya ke rumah kami. Syibli, berilah jalan kepadanya! Dan engkau sahabatku, masuklah!”
Si pemuda Nasrani masuk ke dalam Masjidil Haram untuk ikut melaksanakan ibadah haji. Kemudian barulah teman-teman seperjalanannya masuk. Setelah selesai mereka pun keluar dari Masjidil Haram, tetapi si pemuda masih ada di dalam.
“Anak muda, keluarlah!” Syibli berteriak.
“Dia tidak mengizinkan aku keluar dari sini.” Terdengar jawaban si pemuda. “Setiap kali aku hendak keluar kudapati pintu tertutup. Bagaimanakah nasibku nanti?”
Pada suatu ketika secara bersamaan Junaid dan Syibli jatuh sakit. Seorang tabib yang beragama Nasrani mengunjungi Syibli.
“Apakah keluhanmu?” Si tabib bertanya.
“Tidak ada,” jawab Syibli.
“Apa?” jawab si tabib.
“Aku tidak merasa sakit,” jawab Syibli.
Kemudian si tabib mengunjungi Junaid.
Junaid mengatakan setiap hal yang dirasakannya dengan sejelas-jelasnya. Tabib Nasrani itu memberikan obat, kemudian pergi. Di belakang hari Junaid dan Syibli bertemu.
“Mengapa engkau sudi menerangkan semua keluhanmu kepada seorang Nasrani?” Syibli bertanya kepada Junaid.
“Agar si tabib Nasrani itu menyadari, jika sahabat-Nya sendiri diperlalukan-Nya seperti itu. Apakah yang akan dilakukan-Nya terhadap musuh-Nya nanti.” Jawab junaid. Kemudian ia balik bertanya kepada Syibli:
“Dan mengapa engkau tidak mau mengatakan keluhan- keluhanmu kepadanya?”
“Aku merasa malu untuk menyampaikan keluh kesahku kepada musuh Sahabatku!” Jawab Syibli.
Pada suatu ketika Syibli sedang berjalan-jalan dan dilihatnya dua orang anak yang bertengkar karena satu buah kenari yang mereka temukan.
“Bersabarlah kalian, biar aku yang membagi buah kenari ini untuk kalian!” Kata Syibli.
Ketika dibelah ternyata buah kenari itu kosong. Kemudian terdengarlah sebuah seruan kepada Syibli: “Teruskanlah, bagilah buah kenari itu jika engkau benar- benar seorang penengah.”
Mengenai peristiwa ini di kemudian hari Syibli dengan malu menyatakan:
“Semua pertengkaran karena buah kenari yang kosong! Dan lagak sebagai penengah terhadap sesuatu yang sama sekali tidak ada.”
SYIBLI MENINGGAL DUNIA
Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan mata Syibli tampak murung. Dimintanya abu, kemudian ditaburkannya abu itu ke atas kepalanya. Ia sangat gelisah.
“Mengapa engkau segelisah ini?” Sahabat-sahabatnya bertanya-tanya.
“Aku sangat iri kepada Iblis,” jawab Syibli. “Di sini aku duduk dalam dahaga tetapi Dia memberi kepada yang lain. Allah telah berkata: Sesungguhnya laknat-Ku kepadamu hingga hari Kiamat (OS. 38:78). Aku iri karena Iblislah yang mendapatkan kutukan Allah itu, padahal aku pun ingin menerima kutukan itu. Karena walaupun berupa kutukan, bukankah kutukan itu dari Dia dan dari kekuasaan- Nya? Apakah yang diketahui oleh si laknat itu mengenai nilai kutukan tersebut? Mengapa Alalh tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum Muslimin dengan membuat mereka menginjak mahkota di atas singgasana-Nya? Hanya ahli permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang raja mengenakan gelang manik yang terbuat dari kaca atau kristal, tampaknya sebagai permata. Tetapi jika pedagang sayur yang menempakan cincin stempel dari batu permata dan mengenakannya di jarinya, cincin itu tampak sebagai manik yang terbuat dari kaca.”
Setelah itu, beberapa saat Syibli terlihat tenang. Kemudian kegelisahannya kembali lagi.
“Mengapa engkau gelisah lagi?” Tanya sahabat- sahabatnya.
“Angin sedang berhembus dari dua arah,” jawab Syibli. “Yang satu angin kasih sayang dan yang lainnya kemurkaan. Siapa saja yang terhembus angin kasih sayang maka tercapailah harapan yang akan tercapai itu, maka aku bisa menanggung segala penderitaan dan jerih payah ini. Apabila angin kemurkaan berhembus ke arahku, maka penderitaan ini tidak ada artinya dibandingkan dengan bencana yang akan menimpa diriku nanti.” Selanjutnya Syibli mengatakan:
“Tidak ada yang lebih berat di dalam batinku daripada uang satu dirham yang kuambil dari seseorang secara aniaya, walaupun untuk itu aku telah menyedekahkan seribu dirham. Batinku tidak memperoleh ketenangan. Berilah aku air untuk bersuci.”
Sahabat-sahabatnya membawa air dan menolong Syibli bersuci, tetapi mereka lupa mengguyurkan air ke janggutnya dan Syibli terpaksa mengingatkan hal ini kepada mereka.
Sepanjang malam itu Syibli menyenandungkan syair berikut ini:
Bagi setiap rumah yang Engkau ambil sebagai tempat-Mu.
Tiada faedahnya pelita untuk menerangi.
Ketika umat manusia harus menunjukkan
Bukti-bukti mereka kepada Sang Hakim dan Raja.
Maka bukti kami, di negeri yang menggetarkan itu, adalah
Keindahan wajah-Mu yang selalu kami dambakan.
Orang-orang telah berkumpul untuk melaksanakan shalat jenazahnya. Ia sedang menghadapi ajalnya tetapi ia masih mengetahui segala sesuatu yang terjadi di sekeliling dirinya.
“Sungguh aneh!” Syibli berkata, “Orang-orang mati telah datang untuk menshalatkan seorang yang masih hidup.”
Katakanlah: “Tiada Tuhan selain Allah,” mereka berbisik kepada Syibli.
“Karena tidak sesuatu jua pun selain daripada Dia, bagaimanakah aku dapat mengucapkan sebuah penyanggahan,” jawabnya.
“Tidak ada sesuatu pun yang bisa menolongmu, ucapkanlah syahadat,” mereka mendesak Syibli.
“Raja cinta berkata: Aku tidak sudi menerima suap,” balas Syibli.
Kemudian seseorang melantangkan suara untuk mendesak Syibli.
“Telah datang pula seorang mati untuk membangunkan seorang yang hidup,” kata Syibli.
Beberapa saat berlalu. Kemudian mereka bertanya kepada Syibli:
“Bagaimana keadaanmu?”
“Aku telah kembali kepada Sang Kekasih,” jawab Syibli.
Setelah itu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
« Prev Post
Next Post »