Kamis, 02 Januari 2025

Fudhail Bin Iyadz

Abu Ali al-Fuzail bin Iyaz al-Talaqani lahir di Khurasan. Diriwayatkan bahwa sewaktu masih remaja, Fuzail adalah seorang penyamun. Setelah bertobat, Fuzail pergi ke Kufah kemudian ke Makkah, di mana ia menetap beberapa tahun lamanya hingga wafatnya pada tahun 187 H/803 M. Nama Fuzail cukup terkenal sebagai seorang ahli Hadits, dan keberaniannya dalam mengkhotbahi Khalifah Harun ar-Rasyid sering diperbincangkan orang.

FUZAIL SI PENYAMUN DAN KISAH PERTOBATANNYA 

Sewaktu masih remaja, Fuzail mendirikan kemah di tengah-tengah padangpasir, yaitu diantara Merv dan Baward. Jubahnya terbuat dari bahan kasar, topinya terbuat dari bulu domba, dan di lehernya senantiasa tergantung sebuah tasbih. Fuzail mempunyai banyak teman yang semuanya terdiri dari para pencuri dan penyamun. Siang dan malam mereka merampok dan membunuh lalu menyerahkan hasil rampasan mereka kepada Fuzail karena ia adalah pemimpin mereka. Fuzail mengambil sesuatu yang disukainya, sesudah itu membagi-bagikan sisa harta rampasan tersebut kepada semua sahabatnya. Ia selalu tanggap tentang sesuatu dan tak pernah absen dari pertemuan-pertemuan mereka. Setiap anggota baru yang sekali saja tidak menghadiri pertemuan, Fuzail akan mengeluarkannya dari kelompok mereka. 

Suatu hari sebuah kafilah yang besar melewati daerah mereka, Fuzail dan sahabat-sahabatnya telah menanti-nantikan kedatangan kafilah itu. Di dalam rombongan itu ada seorang lelaki yang pernah mendengar desas-desus mengenai para perampok itu. Ketika ia melihat kawanan perampok itu dari kejauhan, ia pun berpikir, bagaimana ia harus menyembunyikan sekantong emas yang di milikinya. 

“Kantong emas itu akan kusembunyikan,” ia berkata di dalam hati. “Dengan demikian jika para perampok membegal rombongan ini, aku masih mempunyai modal untuk diandalkan.” 

Ia menyimpang dari jalan raya. Kemudian ia melihat sebuah kemah dan di dekat kemah itu ada seorang yang wajah dan pakaiannya tampak sebagai seorang pertapa. Maka kantong emas itu pun lalu dititipkannya kepada orang itu yang sebenarnya adalah Fuzail sendiri. 

“Taruhlah kantongmu itu di pojok kemahku,” Fuzail berkata kepadanya. Lelaki itu melakukan seperti apa yang dikatakan Fuzail. Kemudian ia kembali ke rombongannya, tetapi ternyata mereka telah dibegal oleh kawanan Fuzail. Semua barang bawaan mereka telah dirampas sedang kaki dan tangan mereka diikat. Lelaki itu melepaskan ikatan sahabat-sahabat seperjalanannya. Setelah mengumpulkan harta benda mereka yang masih tersisa, menyingkirlah mereka dari tempat kejadian itu. Lelaki tadi kembali ke kemah Fuzail untuk mengambil kantong emasnya. Ia melihat Fuzail sedang berkerumun dengan kawanan perampok dan membagi-bagikan hasil rampasan mereka. 

“Celaka, ternyata aku telah menitipkan kantong emasku kepada seorang maling,” lelaki itu mengeluh. 

Tetapi Fuzail yang dari kejauhan melihatnya, memanggilnya dan ia pun datang menghampiri. 

“Apa yang engkau inginkan?” lelaki itu bertanya kepada Fuzail. 

“Ambillah barangmu dari tempat tadi dan setelah itu tinggalkanlah tempat ini.” 

Lelaki itu segera berlari ke kemah Fuzail, mengambil kantong emas dan meninggalkan mereka itu. 

Dengan keheranan, teman-teman Fuzail berkata: “Dari seluruh kafilah itu kita tidak mendapatkan satu dirham pun dalam bentuk tunai, tetapi mengapa engkau mengembalikan sepuluh ribu dirham itu kepadanya?” 

Fuzail menjawab: “Ia telah mempercayaiku seperti aku mempercayai Allah akan menerima tobatku nanti. Aku hargai kepercayaannya itu agar Allah menghargai kepercayaanku pula.” 

Pada hari yang lain mereka membegal kafilah pula dan merampas harta benda mereka. Ketika kawanan Fuzail sedang makan, seorang anggota kafilah itu datang menghampiri mereka dan bertanya: “Siapakah pemimpin kalian?” 

Kawanan perampok itu menjawab: “Ia tidak ada di sini. Ia sedang shalat di balik pohon yang terletak di pinggir sungai itu.” 

“Tetapi sekarang ini belum waktunya untuk shalat,” lelaki itu berkata. 

“Ia sedang melakukan shalat sunnah,” salah seorang di antara penyamun itu menjelaskan. 

“Dan ia tidak makan bersama-sama dengan kalian?” lelaki itu melanjutkan. 

“Ia sedang berpuasa,” jawab salah seorang. 

“Tetapi sekarang ini bukan bulan Ramadhan?” 

“Ia sedang berpuasa sunnah.” 

Dengan sangat heran lelaki tadi menghampiri Fuzail yang sedang khusyuk di dalam shalatnya. Setelah selesai, berkatalah ia kepada Fuzail. 

“Ada sebuah peribahasa yang mengatakan 'Hal-hal yang bertentangan tidak dapat dipersatukan'. Bagaimana mungkin seseorang berpuasa, merampok, shalat dan membunuh orang muslim pada waktu yang bersamaan?” 

“Apakah engkau memahami al-Quran?”, Fuzail bertanya kepadanya. 

“Ya”, jawab lelaki itu. 

“Tidakkah Allah Yang Maha Kuasa berkata: Orang-orang lain telah mengakui dosa-dosa mereka dan mencampur adukkan perbuatan-perbuatan yang baik dengan perbuatan-perbuatan yang aniaya?” 

Lelaki itu terdiam tidak bisa berkata apa-apa. 

Orang-orang mengatakan bahwa pada dasarnya Fuzail adalah seorang yang berjiwa kesatria dan berhati mulia. Apabila di dalam sebuah kafilah terdapat seorang wanita, maka barang-barang wanita itu tidak akan diganggunya. Begitu pula harta benda orang-orang miskin tidak akan dirampas Fuzail. Untuk setiap korbannya, ia selalu me-ninggalkan sebagian dari harta bendanya yang dirampas. Sebenarnya semua kecenderungan Fuzail tertuju kepada perbuatan yang baik. 

Pada awal petualangannya Fuzail tergila-gila kepada seorang wanita. Fuzail selalu menghadiahkan hasil rampasannya kepada wanita kekasihnya itu. Karena mabuk asmara, Fuzail sering memanjat dinding rumah si wanita tanpa perdulikan keadaan cuaca yang bagaimana pun juga. Sementara berbuat demikian, ia selalu menangis. 

Suatu malam ketika ia sedang memanjat rumah kekasihnya itu, lewatlah sebuah kafilah dan di antara mereka ada yang sedang membacakan ayat-ayat al-Quran. 

Terdengarlah oleh Fuzail ayat yang berbunyi: “Belum tibakah saatnya hati orang-orang yang percaya merendah untuk mengingat Allah?” 

Ayat ini bagaikan anak panah menembus jantung Fuzail seolah sebuah tantangan yang berseru kepadanya: “Wahai Fuzail, berapa lama lagikah engkau akan membegal para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan membegalmu!” 

Fuzail terjatuh dan berseru: “Memang telah tiba saatnya, bahkan hampir terlambat!” 

Fuzail merasa bingung dan malu. Ia berlari ke arah sebuah reruntuhan bangunan. Ternyata di situ sedang berkemah sebuah kafilah. Mereka berkata: “Marilah kita melanjutkan perjalanan,” tetapi salah seorang di antara mereka mencegah: “Tidak mungkin, Fuzail sedang menanti dan akan menghadang kita.” 

Mendengar pembicaraan mereka itu Fuzail berseru: “Berita gembira! Fuzail telah bertobat!” 

Setelah berseru demikian ia pun pergi. Sepanjang hari ia berjalan sambil menangis. Hal ini sangat menggembirakan orang-orang yang membenci dirinya. Kepada setiap orang di antara sahabat-sahabatnya, Fuzail meminta agar janji setia di antara mereka dihapuskan. Akhirnya hanya tersisa seorang Yahudi di Baward. Fuzail meminta agar janji setia di antara mereka berdua dihapuskan. Namun si Yahudi tidak mau dibujuk. 

“Sekarang kita bisa memperolok-olok pengikut Muhammad, si Yahudi berbisik kepada teman-temannya sambil tergelak-gelak. 

“Jika engkau menginginkanku untuk menghapuskan janji setia yang telah kita ikrarkan itu, maka ratakanlah bukit itu,” si Yahudi berkata kepada Fuzail sambil menunjuk ke arah sebuah bukit pasir. Bukit itu tidak mungkin dapat dipindahkan oleh seorang manusia, kecuali untuk waktu yang sangat lama. Fuzail yang malang mulai mencangkul bukit itu sedikit demi sedikit, tetapi bagaimanakah tugas tersebut bisa diselesaikan? Pada suatu pagi, ketika Fuzail sangat letih, tiba-tiba datanglah angin kencang yang meniup bukit pasir tersebut hingga rata. Setelah melihat betapa bukit pasir itu telah menjadi rata, si Yahudi yang merasa sangat takjub itu, berkata kepada Fuzail: 

“Sesungguhnya aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan menghapuskan janji setia kita sebelum engkau memberikan uang kepadaku. Oleh karena itu masuklah ke dalam rumahku, ambil segenggam uang emas yang terletak di bawah permadani dan berikan kepadaku. Demikian sumpahku akan terpenuhi dan janji setia di antara kita bisa dihapuskan.” 

Fuzail masuk ke dalam rumah si orang Yahudi, sesungguhnya si Yahudi telah menaruh gumpalan-gumpalan tanah di bawah permadani itu. Tetapi ketika Fuzail meraba ke bawah permadani itu dan menarik tangannya keluar, ternyata yang diperolehnya adalah segenggam penuh dinar emas. Dinar-dinar emas itu diserahkannya kepada si orang Yahudi. 

“Islamkanlah aku!” si Yahudi berseru kepada Fuzail. 

Fuzail mengislamkannya dan jadilah ia seorang Muslim. 

Kemudian si Yahudi berkata kepada Fuzail: “Tahukah engkau mengapa aku menjadi seorang muslim? Hingga sesaat yang lalu aku masih ragu, yang manakah agama yang benar. Aku pernah membaca di dalam Taurat: “Jika seseorang benar-benar bertobat, kemudian menaruh tangannya ke atas tanah, maka tanah itu akan berubah menjadi emas.” Sesungguhnya di bawah permadani tadi telah kutaruh tanah untuk membuktikan tobatmu. Dan ketika tanah itu berubah menjadi emas karena tersentuh oleh tanganmu, tahulah aku bahwa engkau benar-benar bertobat dan bahwa agamamu adalah agama yang benar.” 

Fuzail memohon kepada seseorang: “Demi Allah, ikatlah kaki dan tanganku, kemudian bawalah aku ke hadapan sultan agar ia mengadiliku karena berbagai kejahatan yang pernah kulakukan.” 

Orang itu memenuhi permohonan Fuzail. Ketika sultan melihat Fuzail, terlihatlah olehnya tanda-tanda manusia berbudi pada dirinya. 

“Aku tidak bisa mengadilinya.” Sultan berkata. Kemudian ia memerintahkan agar Fuzail diantarkan pulang dengan segala hormat. Ketika sampai di rumahnya Fuzail mengeluarkan sebuah tangisan yang keras. 

“Dengarlah Fuzail yang sedang berteriak-teriak itu! Mungkin ia sedang disiksa, orang-orang berkata. 

“Memang benar, aku sedang disiksa!” Fuzail menjawab. 

Apamu yang dipukuli?” mereka bertanya. 

“Batinku!” jawab Fuzail. 

Kemudian Fuzail menjumpai istrinya. “Istriku.” Katanya, “Aku akan pergi ke rumah Allah. Jika engkau suka, engkau akan kubebaskan.” 

Tetapi istrinya menjawab: “Aku tidak mau berpisah dari sisimu. Kemana pun engkau pergi, aku akan menyertaimu.” 

Maka berangkatlah mereka ke Mekkah. Allah Yang Maha Kuasa telah memudahkan perjalanan mereka. Di Mekkah mereka tinggal di dekat Kabah dan bisa bertemu dengan beberapa orang-orang suci. Untuk beberapa lama Fuzail berteman akrab dengan Imam Abu Hanifah. Mengenai kekerasan disiplin diri Fuzail telah benyak kisah-kisah yang ditulis orang. Di kota Mekkah ini terbukalah kesempaan bagi Fuzail untuk berkhotbah dan penduduk kota senantiasa berbondong-bondong untuk mendengarkan kata-katanya. Nama Fuzail segera menjadi buah bibir di seluruh pelosok dunia, sehingga sanak keluarganya meninggalkan Baward menuju Mekkah untuk menemuinya. Mereka mengetuk pintu rumah Fuzail, namun Fuzail tidak menjawab. Mereka tidak mau meninggalkan tempat itu, maka naiklah Fuzail ke atap rumahnya dan dari sana ia berseru kepada mereka: 

“Wahai penganggur-penganggur, semoga Allah memberikan pekerjaan kepada kalian!” 

Beberapa kali Fuzail mengucapkan kata-kata pedas seperti itu, sehingga sanak keluarganya menangis dan lupa diri. Akhirnya karena putus asa tidak bisa bercengkerama dengan Fuzail, mereka pun meninggalkan tempat itu. Fuzail masih tetap di atas atap dan tidak mau membukakan pintu rumahnya. 

FUZAIL DAN KHALIFAH HARUN AR-RASYID 

Pada suatu malam, Harun ar-Rasyid memanggil Fazl Barmesid, salah seorang di antara pengawal-pengawal kesayangannya. Harun ar-Rasyid berkata kepada Fazl. 

“Malam ini bawalah aku kepada seseorang yang menunjukkan kepadaku siapakah aku ini sebenarnya. Aku sudah bosan dengan segala kebesaran dan kebanggaan.” 

Fazl membawa Harun ar-Rasyid ke rumah Shofyan al-Uyaina. Mereka mengetuk pintu dan dari dalam Shofyan menyahut: 

“Siapakah itu?” 

Pemimpin kaum muslimin,” jawab Fazl. 

Shofyan berkata: “Mengapakah Sultan sudi menyusahkan diri? Mengapa tidak dikabarkan saja kepadaku sehingga aku datang sendiri untuk menghadapnya?” 

Mendengar ucapan tersebut, Harun ar-Rasyid berkata: “Ia bukan orang yang kucari. Ia pun menjilatku seperti yang lain-lainnya." 

Mendengar kata-kata Sultan tersebut, Shofyan berkata: 

“Jika demikian, Fuzail bin Iyaz adalah orang yang engkau cari. Pergilah kepadanya.” Kemudian Shofyan membacakan ayat: “Apakah orang-orang yang berbuat aniaya menyangka bahwa kami akan menyamakan mereka dengan orang-orang yang menerima serta melakukan perbuatan-perbuatan yang sah?” 

Harun ar-Rasyid menimpali: “Seandainya aku menginginkan nasehat-nasehat yang baik niscaya ayat itu telah mencukupi.” 

Kemudian mereka mengetuk pintu rumah Fuzail. Dari dalam Fuzail bertanya: “Siapakah itu?” 

“Pemimpin kaum muslimin,” jawab Fazl. 

“Bukankah suatu kewajiban untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?” sela Fazl. 

“Jangan kalian menggangguku,” seru Fuzail. 

“Tidak ada sesuatu hal yang disebut kekuasaan,” jawab Fuzail. 

“Jika engkau secara paksa mendobrak masuk, engkau tahu apa yang engkau lakukan.” 

Harun ar-Rasyid melangkah masuk. Begitu Harun menghampirinya, Fuzail meniup lampu hingga padam agar ia tidak bisa melihat wajah sultan. Harun ar-Rasyid dmengulurkan tangannya dan disambut oleh tangan Fuzail yang kemudian berkata: 

“Betapa lembut dan halus tangan ini! Semoga tangan ini terhindar dari api neraka!” 

Setelah berkata demikian Fuzail berdiri dan berdoa. Harun ar-Rasyid sangat tergugah hatinya dan tak bisa menahan tangisnya. 

“Katakan sesuatu kepadaku,” Harun memohon kepada Fuzail. 

Fuzail mengucapkan salam kepadanya dan berkata: 

“Leluhurmu, pamannya nabi Muhammad, pernah meminta kepada nabi: “Jadikanlah aku pemimpin bagi sebagian umat manusia.” Nabi menjawab: Paman, untuk sesaat aku pernah mengangkatmu menjadi pemimpin dirimu sendiri.” Dengan jawaban ini yang dimaksudkan Nabi adalah: Sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi oleh umat manusia. Kemudian Nabi menambahkan: “Kepemimpinan akan menjadikan sumber penyesalan pada hari Kebangkitan nanti.” 

“Lanjutkan,” Harun ar-Rasyid meminta. 

“Ketika diangkat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz memanggil Sultan bin Abdullah, Raja' bin Hayat dan Muhamad bin Ka'ab. Umar berkata kepada mereka: “Hatiku sangat gundah karena cobaan ini. Apa yang harus kulakukan? Aku tahu bahwa kedudukan yang tinggi ini adalah sebuah cobaan walaupun orang-orang lain menganggapnya sebagai suatu karunia.” Salah seorang di antara ketiga sahabat Umar itu berkata: “Bila engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat nanti, pandanglah setiap muslim yang lanjut usia sebagai ayahmu sendiri, setiap muslim yang remaja sebagai saudaramu sendiri, setiap muslim yang masih kanak-kanak sebagai putramu sendiri, dan perlakukan mereka sebagai- mana seharusnya seseorang memperlakukan ayahnya, saudaranya dan putranya.” 

“Lanjutkanlah!” Harun ar-Rasyid meminta lagi. 

“Anggaplah negeri Islam sebagai rumahmu sendiri dan penduduknya sebagai keluargamu sendiri. Jenguklah ayahmu, hormatilah saudaramu dan bersikap baiklah kepada anakmu. Aku sayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di dalam neraka. Takutlah Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah bijaksana, karena pada hari kebangkitan nanti Allah akan meminta pertanggungjawabanmu terkait dengan setiap muslim dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Apabila ada seorang wanita tua yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari Kebangkitan nanti ia akan menarik pakaianmu dan akan memberi kesaksian yang memberatkan dirimu. 

Harun ar-Rasyid menangis dengan sangat getirnya sehingga tampaknya ia akan jatuh pingsan. Melihat hal ini wasir Fazl menyentak Fuzail: 

“Cukup! engkau telah membunuh pemimpin kaum Muslimin!” 

“Diamlah Haman! engkau dan orang-orang yang seperti engkau inilah yang telah menjerumuskan dirinya, kemudian engkau katakan aku yang membunuhnya. Apakah yang kulalukan ini suatu pembunuhan?” 

Mendengar kata-kata Fuzail ini tangis Harun ar-Rasyid semakin menjadi-jadi. “Ia menyebutmu Haman,” kata Harun ar-Rasyid sambil memandang Fazl, “Karena ia menyamakan diriku dengan Fir'aun.” 

Kemudian Harun bertanya kepada Fuzail: “Apakah engkau mempunyai hutang yang belum lunas?” 

“Ya”, jawab Fuzail, “hutang kepatuhan kepada Allah. Seandainya Dia memaksaku untuk melunasi hutang ini celakalah aku!” 

“Yang kumaksudkan adalah hutang kepada manusia, Fuzail,” Harun menegaskan. 

“Aku bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan kepadaku sedemikian berlimpahnya sehingga tidak ada keluh kesah yang harus kusampaikan kepada hamba-hamba-Nya." 

Kemudian Harun ar-Rasyid menaruh sebuah kantong yang berisi seribu dinar di hadapan Fuzail sambil berkata: “Ini adalah uang halal yang diwariskan ibuku.” 

Tetapi Fuzail mencela: “Wahai pemimpin kaum muslimin, nasehat-nasehat yang kusampaikan kepadamu ternyata tidak ada gunanya. Engkau bahkan telah memulai lagi perbuatan salah dan mengulangi kezaliman.” 

“Perbuatan salah apakah yang telah kulakukan?” tanya Harun ar-Rasyid. 

“Aku menyerumu ke jalan keselamatan, tetapi engkau menjerumuskanku ke dalam godaan. Bukankah hal itu merupakan suatu kesalahan? Telah kukatakan kepadamu, kembalikanlah segala sesuatu yang ada padamu kepada pemiliknya yang berhak. Tetapi engkau memberikannya kepada yang tidak pantas menerimanya. Percuma saja aku berkata-kata.” 

Setelah berkata demikian, Fuzail berdiri dan melemparkan uang-uang emas itu keluar. 

“Benar-benar seorang manusia hebat!” Harun ar-Rasyid berkata ketikaia meninggalkan rumah Fuzail. “Sesungguhnya Fuzail adalah seorang raja bagi umat manusia. Ia sagat blak-blakan dan dunia ini terlampau kecil dalam pandangannya.” 

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI FUZAIL 

Suatu hari Fuzail memangku anak yang berumur empat tahun. Tanpa disengaja bibir Fuzail menyentuh pipi anak itu sebagaimana yang sering dilakukan seorang ayah kepada anaknya. 

“Apakah ayah cinta kepadaku?” si anak bertanya kepada Fuzail. 

“Ya”, jawab Fuzail. 

“Apakah ayah cinta kepada Allah?” 

“Ya”. 

“Berapa banyak hati yang ayah miliki?” 

“Satu”, jawab Fuzail. 

“Dapatkah ayah mencintai dua hal dengan satu hati?” si anak meneruskan pertanyaannya. 

Fuzail segera sadar bahwa yang berkata-kata itu bukanlah anaknya sendiri. Sesungguhnya kata-kata itu adalah sebuah petunjuk Ilahi. Karena takut dimurkai Allah, Fuzail memukul-mukul kepalanya sendiri dan memohon ampunan kepada-Nya. Ia renggut kasih sayangnya kepada si anak kemudian dicurahkannya kepada Allah semata-mata. 

Pada suatu hari Fuzail sedang berada di Padang Arafah. Semua jamaah yag berada di sana menangis, meratap, memasrahkan diri dan memohon ampun dengan segala kerendahan hati. 

“Maha Besar Allah!”, seru Fuzail. “Jika manusia sebanyak ini secara serentak menghadap kepada seseorang dan mereka semua meminta sekeping uang perak kepadanya, apakah yang akan dilakukannya? Apakah orang itu akan mengecewakan manusia-manusia yang banyak ini?” 

“Tidak! orang ramai menjawab. 

“Jadi”, Fuzail melanjutkan, “sudah tentu bagi Allah Yang Maha Besar untuk mengampuni kita semua adalah lebih mudah daripada bagi orang tadi untuk memberikan sekeping uang perak. Dia adalah Yang Maha Kaya di antara yang kaya, dan karena itu sangat besar harapan kita bahwa Dia akan mengampuni kita semua.” 

Putra Fuzail menderita susah buang air kecil. Fuzail berlutut di dekat anaknya dan mengangkat kedua tangannya sambil berdoa: “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu, sembuhkanlah ia dari penyakit ini.” 

Belum sempat Fuzail bangkit dari duduknya, si anak telah segar bugar kembali. 

Di dalam doanya Fuzail sering mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku karena Engkau menghukumku, karena Engkau Maha Berkuasa atas diriku.” Kemudian ia melanjutkan: “Ya Allah, Engkau telah membuatku lapar dan telah membuat anak-anakku lapar. Engkau telah membuatku telanjang dan telah membuat anak-anakku telanjang. Dan Engkau tidak memberikan pelita kepadaku apabila hari telah gelap. Semua itu telah Engkau lakukan terhadap sahabat-sahabat-Mu. Karena keluhuran spiritual, apakah Fuzail telah menerima kehormatan-Mu ini?” 

Selama tiga puluh tahun tidak seorang pun pernah melihat Fuzail tersenyum kecuali ketika putranya meninggal dunia. Pada waktu itulah orang-orang melihat Fuzail tersenyum. Seseorang menegurnya, “Guru, mengapa engkau justru tersenyum di saat-saat seperti ini?” 

“Aku menyadari bahwa Allah menghendaki agar anakku mati. Aku tersenyum karena kehendak-Nya telah terlaksana,” jawab Fuzail. 

Fuzail mempunyai dua orang anak perempuan. Menjelang akhir hayatnya Fuzail menyampaikan wasiat terakhir kepada istrinya: 

“Apabila aku mati, bawalah anak-anak kita ke gunung Abu Qabais. Di sana tengadahkan wajahmu dan berdoalah kepada Allah, “Ya Allah, Fuzail menyuruhku untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada-Mu: Ketika aku hidup kedua anak-anak yang tak berdaya ini telah kulindungi sebaik-baiknya. Tetapi setelah Engkau mengurungku di dalam kubur, mereka kuserahkan kepada-Mu kembali!” 

Setelah Fuzail dikebumikan, istrinya melakukan seperti yang dipesankan kepadanya. Ia pergi ke puncak gunung Abu Qabais membawa kedua anak perempuannya. Kemudian ia berdoa kepada Allah sambil menangis dan meratap. Kebetulan pada saat itu pangeran dari negeri Yaman beserta kedua putranya melalui tempat itu. Menyaksikan mereka yang menangis dan meratap itu, sang pangeran bertanya: 

“Apakah kemalangan yang telah menimpa diri kalian?”. 

Istri Fuzail menerangkan keadaan mereka. Kemudian si pangeran berkata: 

“Jika kedua putrimu kuambil untuk kedua putraku ini dan untuk masing-masing di antara mereka kuberikan sepuluh ribu dinar sebagai mas kawinnya, apakah engkau merasa cukup puas?”. 

“Ya”, jawab si Ibu. 

Segeralah sang pangeran mempersiapkan tandu-tandu, permadani-permadani dan brokat-brokat, kemudian membawa si Ibu beserta kedua puterinya ke negeri Yaman. 

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam