Senin, 27 Januari 2025

Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin Atha'

Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin Atha' al-Adami adalah sahabat akrab Junaid. Ia seorang penggubah syair-syair mistik dan seorang tokoh sufi terkemuka di kota Baghdad. Ibnu Atha' dihukum mati pada tahun 309 H/922 M.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI IBNU ATHA' 

Ibnu Atha' termasuk salah seorang murid Junaid yang menonjol. Pada suatu hari beberapa orang pergike tempatnya berkhotbah dan mendapati seluruh lantai basah. 

“Apakah yang terjadi?” mereka bertanya. 

“Aku memperoleh sebuah pengalaman mistik,” Ibnu Atha' menjelaskan. “Dalam keadaan malu dan dengan air mata bercucuran aku berjalan hilir mudik di dalam ruangan ini.” 

“Mengapa demikian?” mereka bertanya lagi. 

“Ketika aku masih kecil,” Ibnu Atha' menjawab, “Aku pernah mencuri seekor burung merpati milik tetangga. Hal ini teringat olehku, lalu aku berikan seribu dinar perak kepada pemilik burung itu sebagai penggantinya. Tetapi batinku tetap gelisah. Aku pun menangis, khawatir apa akibat yang akan kutanggungkan karena perbuatanku itu.” 

“Berapa kalikah engkau membaca al-Qur'an setiap hari?” Seseorang bertanya kepada Ibnu Atha'. 

Ibnu Atha' menjawab: “Dulu aku biasa menamatkan al-Qur'an dua kali dalam dua puluh empat jam. Tetapi sekarang ini, walau sudah empat belas tahun aku membacanya, aku baru sampai surah al-Anfal.” 

Ibnu Atha' memiliki sepuluh orang putra, semuanya gagah dan tampan. Ketika mereka menyertai Ibnu Atha' dalam suatu perjalanan, perampok menghadang mereka. Kemudian para perampok itu hendak memenggal kepala mereka satu per satu. Ibnu Atha' tidak berkata apa-apa, dan setiap kali salah seorang dari putranya dipenggal kepalanya, ia menengadahkan kepala ke atas langit dan tertawa. Sembilan orang telah terbunuh. Para penyamun hendak menghabisi anaknya yang kesepuluh. 

“Sungguh seorang ayah yang baik hati,” putranya yang kesepuluh itu berseru kepadanya. “Sembilan orang putramu telah dipenggal dan engkau tidak berkata apa-apa, malahan tertawa-tawa.” 

“Wahai buah hati ayah!” Ibnu Atha' menjawab, “Dialah yang melakukan hal ini, apa yang bisa kita katakan kepada-Nya? Dia Maha Tahu dan Maha Melihat. Sesungguhnya Dia bisa, bila Dia memang menghendaki menyelamatkan anak-anakku semuanya." 

Mendengar ucapan Ibnu Atha' ini, penyamun yang hendak membunuh putranya yang kesepuluh itu tergugah hatinya dan berseru: “Orang tua, seandainya tadi kata-kata itu engkau ucapkan, niscaya tak seorang pun diantara anak-anakmu yang akan terbunuh." 

“Bagaimana kalian ini wahai para sufi?” beberapa teolog bertanya kepada Ibnu Atha', “Kalian telah menciptakan istilah-istilah yang aneh bagi pendengar-pendengarnya tetapi memberi keputusan dengan berkata biasa saja? Hanya ada dua kemungkinan, yang pertama kalian hanya berlagak, karena berlagak tidak berkaitan dengan kebenaran maka doktrin kalian jelas palsu. Yang kedua, doktrin tersebut seimbang dan keseimbangan itu hendak kalian sembunyikan dari khalayak ramai.” 

“Semua ini kami lakukan karena doktrin itu sangat penting bagi kami,” Ibnu Atha' menjawab. “Yang kami praktekkan itu sangat penting bagi kami dan kami tak menginginkan siapa pun juga, kecuali kami para sufi, yang mengetahuinya. Untuk maksud ini kami tidak mau menggunakan bahasa yang dikenal semua orang dan oleh karena itulah, kami menciptakan istilah-istilah khusus.” 

IBNU ATHA' MENGUTUK ALI BIN ISA 

Ibnu Atha' dituduh seorang bid'ah. Ali bin Isa yang menjabat wazir khalifah, memanggil dan mencela Ibnu Atha'. Ibnu Atha' menjawab dengan kata-kata yang kasar. Si wasir murka dan memerintahkan hamba-hambanya melepaskan sepatu yang sedang dipakainya, dengan sepatu itu mereka harus memukul kepala Ibnu Atha' sampai ia mati. Di dalam penyiksaan itu Ibnu Atha' meneriakkan kutukan kepadanya: “Semoga Allah memutus kaki dan tanganmu.” 

Di belakang hari khalifah marah kepada wazirnya, Ali bin Isa, dan memerintahkan agar tangan dan kakinya dipotong. 

Terkait dengan persitiwa ini beberapa di antara tokoh-tokoh sufi menyalahkan Ibnu Atha' dan berkata: “Bila melalui doa-doamu engkau bisa memperbaiki manusia, mengapa engkau mengutuk dia? Seharusnya engkau mendoakan keselamatannya.” Tetapi tokoh-tokoh sufi yang lain membela Ibnu Atha' dan berkata: “Mungkin sekali Ibnu Atha' mengutuk si wazir untuk membela kaum muslimin karena ia adalah seorang wazir yang zalim.” 

Sebuah penjelasan lain yang membela Ibnu Atha’ adalah: sebagai seorang manusia yang berintuisi tajam, Ibnu Atha' mengetahui malapetaka yang akan menimpa diri si wazir. Ia hanya menyatakan persetujuannya terhadap takdir Allah itu, dengan demikian Allah menyatakan kehendak-Nya melalui lidah Ibnu Atha' sedang Ibnu Atha' sama sekali berlepas tangan. 

Menurut pendapat saya sendiri, sesungguhnya Ibnu Atha' tidak mengutuk si wazir. Bahkan sebaliknya. Ibnu Atha' mendoakan demikian agar si wazir bisa mencapai derajat seorang syuhada. Ibnu Atha' mendoakan supaya si wazir menanggung kehinaan di atas dunia ini dan kehilangan kedudukannya yang tinggi beserta kekayaan yang melimpah itu. Jadi dengan sudut pandang yang seperti ini terlihatlah bahwa Ibnu Atha' semata-mata menghendaki kebaikan bagi Ali bin Isa, karena bukankah hukuman di atas dunia ini jauh lebih ringan daripada di akhirat?

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam