Jumat, 17 Januari 2025

Abu Hamid bin Khazruya al-Balkhi

Abu Hamid bin Khazruya al-Balkhi, seorang tokoh yang terkemuka di kota Balkh, mempersunting putri yang shaleh dari gubernur kota itu. Di antara sahabat-sahabat dekatnya adalah Hatim al-Ashamm dan Abu Yazid al-Bustham. Ia pergi ke Nishapur dan meninggal dunia tahun 240 H/864 M dalam usia 95 tahun. 

AHMAD BIN KHAZRUYA DAN ISTRINYA 

Ahmad bin Khazruya memiliki seribu orang murid yang masing-masing bisa terbang di angkasa dan berjalan di atas air. Ahmad bin Khazruya selalu mengenakan seragam tentara. Istrinya Fatimah merupakan seorang pembimbing ke jalan kesufian. Ia adalah putri pangeran kota Balkh. Setelah bertobat, ia mengirim utusan kepada Ahmad bin Khazruya disertai pesan: 

“Lamarlah aku kepada ayahku.” 

Ahmad bin Khazruya tidak memberi jawaban, kemudian dikirimnya utusan kedua dengan pesan. 

“Ahmad bin Khazruya, kusangka engkau lebih berjiwa satria daripada yang sebenarnya. Jadilah seorang pembimbing, jangan jadi seorang pembegal!” 

Kemudian Ahmad bin Khazruya mengirimkan wakilnya untuk melamar Fatimah kepada ayahnya. Karena menginginkan keridhaan Allah, ayah Fatimah menyerahkan putrinyakepadaAhmadbin Khazruya. Fatimah meninggalkan semua urusan dunia dan mendapatkan ketenangan menemani Ahmad bin Khazruya di dalam kesunyian. 

Hari demi hari mereka arungi sehingga suatu ketika Ahmad bin Khazruya bermaksud menemui Abu Yazid, Fatimah turut serta. Ketika berhadapan dengan Abu Yazid, Fatimah membuka cadar wajahnya dan ikut berbincang- bincang. Ahmad bin Khazruya kesal menyaksikan kelakuan isterinya itu dan api ccmburu membakar dadanya. 

“Fatimah, alangkah berani sikapmu ketika berhadapan dengan Abu Yazid,” tegur Ahmad bin Khazruya kepada istrinya. 

“Engkau mengenal ragaku, tetapi Abu Yazid mengenal batinku. Engkau membangkitkan hasratku, tetapi Abu Yazid mengantarkan aku kepada Allah. Buktinya, Abu Yazid bisa hidup tanpa kutemani tetapi engkau senantiasa membutuhkan kehadiranku, jawab Fatimah. 

Sikap Abu Yazid terhadap Fatimah tidak canggung. Suatu hari terlihatlah olehnya jari-jari tangan Fatimah yang berinai. Abu Yazid lalu berkata: 

“Fatimah, mengapa engkau mencat jari-jari tanganmu?” 

“Abu Yazid, sebelumnya engkau tak pernah memperhatikan jari-jari tanganku yang berinai ini, karena inilah aku tak merasa canggung terhadapmu. Kini, setelah engkau memperhatikan tanganku, tak pantas lagi aku bergaul denganmu," sela Fatimah. 

Mendengar ini Abu Yazid tak mau kalah: “Aku telah meminta kepada Allah agar wanita-wanita yang terpandang olehku tidak lebih menggairahkan hatiku daripada dinding. Dan demikianlah yang diperbuat-Nya terhadap diri mereka dalam pandangan mataku." 

Setelah itu Ahmad bin Khazruya dan Fatimah berangkat ke Nishapur. Di sana mereka memperoleh sambutan yang hangat. Suatu ketika, Yahya bin Mwadz singgah di Nishapur sebelum meneruskan perjalanannya menuju Balkh. Ahmad bin Khazruya bermaksud menyelenggarakan pesta untuk menyambut kedatangannya, ia pun meminta pendapat Fatimah. 

“Apa yang kita perlukan untuk pesta penyambutan Yahya?” 

“Beberapa ekor lembu dan domba” jawab Fatimah, “Perlengkapan-perlengkapan, lilin-lilin dan minyak mawar. Di samping itu kita masih membutuhkan beberapa ekor keledai.” 

“Apakah ada seorang pejabat yang datang untuk bersantap maka anjing-anjing tetangga pun harus mendapat bagian juga, jawab Fatimah. 

Demikianlah semangat ksatria sejati Fatimah, karena itulah Abu Yazid pernah berkata: 

“Jika ada yang ingin menyaksikan seorang laki-laki sejati yang bersembunyi di balik pakaian perempuan, pandanglah Fatimha!” 

Pergumulan Batin Ahmad bin Khazruya 

Ahmad bin Khazruya berkisah sebagai berikut: 

Telah lama sekali aku menindas hawa nafsuku. Suatu hari orang-orang berangkat ke medan perang, hasratku pun timbul menyertai mereka. Batinku membisikkan beberapa hadits yang menjelaskan pahala-pahala akhirat bagi yang berjuang di jalan Allah. Aku terheran-heran dan berkata dalam hati: 

“Batinku biasanya tidak mudah menaati keinginanku, tak seperti sekarang ini. Mungkin hal ini karena aku senantiasa berpuasa sehingga batinku tak bisa lagi menanggung lapar lebih lama dan ingin agar aku menghentikan puasaku.” 

Aku lalu membulatkan tekad, “Aku akan berpuasa terus- menerus selama perjalanan.” 

“Aku sangat setuju,” jawab batinku. 

“Mungkin batinku berkata demikian karena aku bisa melaksanakan shalat di sepanjang malam dan ingin agar aku tidur dan beristirahat di malam hari.” 

“Aku tidak akan tidur sebelum fajar,” tekadku pula. 

“Aku sangat setuju,” jawab batinku. 

Aku semakin terheran-heran. Kemudian terpikirlah olehku bahwa mungkin batinku berkata demikian karena ingin bergaul dengan orang ramai, bosan dalam kesepian dan membutuhkan hiburan. 

Maka aku pun bertekad: “Kemana pun aku pergi, aku akan menyendiri dan tidak akan berkumpul bersama orang lain. 

“Aku setuju sekali.” Batinku malah menyetujuinya pula. 

Habislah sudah dayaku. Dengan segala kerendahan hati aku bermohon kepada Allah semoga Dia berkenan menunjukkan kepadaku tipu daya batinku, atau memaksa batinku untuk mengaku secara terus terang kepadaku. Maka berkatalah batinku kepadaku. 

“Setiap hari dengan menindas segala keinginanku, engkau akan terbunuh, aku bebas dan seluruh dunia akan gempar dengan berita Ahmad bin Khazruya yang gagah perkasa telah mati terbunuh dengan mahkota syuhada di atas kepalanya.” 

“Mahabesar Allah yang menciptakan batin yang munafik, baik selagi hidup maupun sesudah mati. Engkau bukanlah seorang Muslim sejati di dunia ini maupun di akhirat nanti. Aku sangka engkau ingin mematuhi Allah, rupanya engkau hanya sekedar mengencangkan ikat pinggangmu,” seruku. 

Sejak saatitu, aku lipatgandakan perjuanganku melawan batinku sendiri. 

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI AHMAD BIN KHAZRUYA 

Seorang pencuri berhasil masuk ke dalam rumah Ahmad bin Khazruya. Setiap sudut telah diperiksanya tetapi tak satupun yang ditemukannya. Dengan rasa putus asa ia hendak meninggalkan tempat itu, Ahmad bin Khazruya memanggilnya. 

“Anak muda, ambillah ember itu, timbalah air dalam sumur itu, kemudian bersucilah dan shalat. Jika nanti kudapatkan sesuatu, akan kuberikan kepadamu supaya engkau tidak meninggalkan rumah ini dengan tangan kosong. 

Anak muda itu berbuat seperti yang disarankan Ahmad bin Khazruya. Ketika hari telah siang, seorang lelaki membawa seratus dinar emas untuk Ahmad bin Khazruya. 

“Ambillah uang ini untuk ganjaran shalatmu tadi malam.” Ahmad bin Khazruya berkata kepada si pencuri. Seketika itu juga tubuhnya gemetar, ia menangis dan berkata: 

“Aku telah memilih jalan yang salah. Baru satu malam berbakti kepada Allah, sudah sedemikian banyaknya karunia yang dilimpahkan-Nya kepadaku.” 

Si pencuri bertobat dan kembali ke jalan Allah. Ia tidak mau menerima emas itu, lalu ia menjadi salah seorang murid Ahmad bin Khazruya. 

Suatu ketika Ahmad bin Khazruya mengenakan pakaian compang-camping lalu mampir di persinggahan para sufi. Sebagai seorang sufi, sepenuh hati ia membaktikan diri dengan kewajiban-kewajiban spiritual. Tetapi para sufi yang berada di persinggahan itu meragukan ketulusan Ahmad bin Khazruya. 

“Orang ini tidak tingggal di persinggahan ini.” Mereka berbisik kepada syeikh mereka. 

Pada suatu hari Ahmad bin Khazruya pergi ke sumur dan timbanya terjatuh. Para sufi di tempat itu mencaci maki Ahmad bin Khazruya. Ahmad bin Khazruya segera berkata kepada ketua mereka dan berkata kepadanya. 

“Bacalah Fatihah agar timba yang terjatuh itu keluar dari dalam sumur.” 

“Permintaan apakah ini?” Seru sang syeikh dengan heran. 

“Jika engkau tidak mau, izinkanlah aku yang membacakannya.” 

Syeikh lalu memberikan izin, Ahmad bin Khazruya membacakan Fatihah dan timbaitupun muncul kepermukaan air. Menyaksikan kejadian ini si syeikh melepaskan topinya dan bertanya: 

“Anak muda, siapakah engkau ini sebenarnya sehingga gudang gandumku hanya seperti dedak dibanding dengan sebutir gandummu?” 

Ahmad bin Khazruya menjawab, “Sampaikan kepada sahabat-sahabatmu agar mereka menghargai musafir.” 

Seorang lelaki mendatangi Ahmad bin Khazruya dan berkata: “Aku sakit dan miskin. Ajarilah aku suatu cara sehingga aku terlepas dari cobaan-cobaan ini.” 

“Tuliskanlah setiap jenis usaha yang engkau ketahui di atas selembar kertas. Taruhlah kertas itu di dalam sebuah kantong dan bawalah kantong itu kepadaku,” jawab Ahmad bin Khazruya. 

Lelaki itu menuliskan setiap jenis usaha pada secarik kertas lalu ia masukkan ke dalam sebuah kantong, kemudian diberikannya kepada Ahmad bin Khazruya. Ahmad bin Khazruya memasukkan tangannya ke dalam kantong itu dan mengeluarkan secarik kertas. Ternyata di atas kertas itu tertulis kata “merampok”. 

“Engkau harus menjadi seorang perampok,” ujar Ahmad bin Khazruya. 

Lelaki itu terheran-heran, namun ia segera meninggalkan tempat itu dan bergabung dengan sekawanan perampok. 

“Aku suka melakukan pekerjaan seperti ini, tetapi apa yang harus kulakukan?” tanyanya kepada mereka. 

“Ada satu peraturan yang harus dipatuhi di dalam pekerjaan sepertiini, perampok-perampokitu menerangkan. “Apapun pekerjaan yang kami perintahkan kepadamu, harus engkau lakukan.” 

“Akan kupatuhi perintah kalian.” Ia meyakinkan para perampok itu. 

Beberapa hari ia bergabung dengan mereka. Pada suatu hari lewatlah sebuah kafilah. Perampok-perampok itu menghadang, dan membawa seorang kafilah itu, yaitu seorang yang paling kaya kepada sahabat baru mereka. 

“Potong lehernya,” perintah mereka. 

Lelaki itu tertegun. Ia pun berkata dalam hati “Kepala perampok ini telah membunuh banyak manusia. Lebih baik jika dia sendirilah yang kubunuh daripada saudagar ini.” 

“Jika engkau menghendaki pekerjaan ini, patuhilah perintah kami,” kepala perampok itu berkata kepadanya. “Bila tidak, pergilah dari sini dan carilah pekerjaan lain.” 

“Jika harus mematuhi perintah, maka perintah Allah-lah yang harus kupatuhi, bukan perintah perampok-perampok," putus lelaki itu sambil menghunus pedangnya, dia lepaskan saudagar tersebut dan melayanglah kepala ketua perampok itu. Melihat ini, perampok-perampok lain segera melarikan diri, barang-barang rampasan kafilah itu mereka tinggalkan dan saudagar itu selamat. Si saudagar memberinya emas dan perak sedemikian banyaknya sehingga ia bisa hidup dengan tenang sesudahnya. 

Pada suatu ketika Ahmad bin Khazruya menjamu seorang guru sufi. Untuk itu Ahmad bin Khazruya menyalakan tujuh puluh batang lilin. Melihat pelayanan yang mewah ini, si guru sufi mencela. 

“Aku tak senang menyaksikan semua ini. Tetek bengek seperti ini tidak ada hubungannya dengan tasawuf.” 

Ahmad bin Khazruya menjawab: “Jika demikian padamkanlah lilin-lilin yang telah kunyalakan bukan karena Allah.” 

Sepanjang malam si guru sufi sibuk menyiramkan air dan pasir tetapi tak satu pun di antara ketujuh puluh lilin itu bisa dipadamkannya. Keesokan harinya Ahmad bin Khazruya berkata kepada si guru sufi: 

“Mengapa engkau begitu terheran-heran. Mari ikut aku, akan kutunjukkan hal yang benar-benar menkjubkan.” 

Mereka lalu pergi dan sampai di pintu sebuah gereja. Ketika melihat Ahmad bin Khazruya beserta sahabat-sahabatnya, pengurus gereja itu mempersilahkan mereka masuk. Kemudian ia mempersiapkan jamuan di atas meja dan mempersilahkan Ahmad bin Khazruya bersantap. 

“Orang-orang yang bermusuhan tidak bersantap bersama-sama,” ujar Ahmad bin Khazruya. 

“Jika demikian, Islamkanlah kami,” jawab kepala pengurus gereja itu. 

Ahmad bin Khazruya mengislamkan mereka yang semuanya berjumlah tujuh puluh orang itu. Pada malam itu Ahmad bin Khazruya bermimpi dan di dalam mimpi itu 

Allah berkata kepadanya: 

“Ahmad, engkau telah menyalakan tujuh puluh lilin untuk-Ku dan karena itu untukmu Kunyalakan tujuh puluh jiwa dengan api iman." 

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam