Al-Muhasibi merupakan salah seorang tokoh terbesar dalam sejarah mistisme Islam. Abu Abdullah al-Harits bin Asad al-Bashri al-Muhasibi lahir di Basrah pada tahun 165 H/171 M. Saat masih kecil ia pindah ke Baghdad di mana ia kemudian belajar hadits dan ilmu kalam, bergaul akrab dengan tokoh-tokoh terkemuka dan menyaksikan pertistiwa-peristiwa penting pada masa itu. Ia meninggal dunia pada tahun 243 H/857 M. Ajaran-ajaran dan tulisan-tulisannya memberikan pengaruh yang kuat dan luas kepada ahli-ahli teori tasawuf sesudahnya khususnya kepada Abu Hamid al-Ghazali. Banyak di antara buku-buku dan selebaran- selebaran yang ditulisnya bisa kita temui hingga kini, yang terpenting di antaranya adalah Kitab al-Riayah.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI AL-MUHASIBI
Harits al-Muhasibi menerimawarisan sebesar tiga puluh ribu dinar dari ayahnya.
“Serahkan uang itu kepada negara,” kata Muhasibi.
“Mengapa?” orang-orang bertanya.
“Menurut sebuah hadits yang shahih,” jawab Muhasibi.
“Nabi pernah berkata bahwa orang-orang Oadariah adalah orang-orang Majusi di dalam masyarakat kita. Ayahku adalah seorang Oadariah. Nabi pun pernah berkata bahwa seorang Muslim tidak boleh menerima warisan dari seorang Majusi. Bukankah ayahku seorang Majusi dan aku seorang Muslim?”
Perlindungan Allah sangat besar kepadanya. Jika Muhasibi hendak mengambil makanan yang diragukan kehalalannya, urat di belakang jari-jari tangganya akan mengejang dan jari-jarinya tidak bisa digerakkan seperti yang dikehendakinya. Apabila hal seperti ini terjadi, tahulah ia bahwa makanan itu diperoleh dengan tidak wajar.
Junaid meriwayatkan: “Pada suatu hari, Harits mengunjungiku, tampaknya ia sedang lapar. “Akan ku- ambilkan makanan untuk paman,” kataku. “Baik sekali,” jawab Harits al-Muhasibi. Aku pun pergi ke gudang mencari makanan. Kudapatkan sisa-sisa makanan yang diantarkan kepada kami dari suatu perayaan perkawinan untuk makan malam. Kuambil makanan itu dan kusuguhkan kepada Harits al-Muhasibi. Tetapi ketika Harits al-Muhasibi hendak mengambilnya, tangannya mengejang tak bisa digerakkannya. Sempat ia memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutnya, tetapi tidak bisa ditelannya walau bagaimana pun ia paksakan. Untuk beberapa lama dikunyah-kunyahnya makanan itu, kemudian ia pun berdiri, pergi ke luar, meludahkannya di serambi, dan permisi pulang.
Di kemudian hari aku tanyakan kepada Harits al-Muhasibi, apakah sebenarnya yang telah terjadi, Harits al-Muhasibi menjawab: “Waktu itu aku memang merasa lapar, dan ingin menyenangkan hatimu. Namun Allah memberi isyarat khusus kepadaku sehingga makanan yang diragukan kehalalannya tidak dapat kutelan sedang jari-jariku tidak mau menyentuhnya. Aku telah berusaha sebisa mungkin menelan makanan itu, tetapi percuma. Dari manakah engkau memperoleh makanan itu?” “Dari seorang kerabat,” jawabku.
“Kemudian aku berkata kepda Harits al-Muhasibi:
“Tetapi sekarang ini maukah engkau datang ke rumahku?”
“Baiklah,” jawab Hartits al-Muhasibi. Aku pun pulang bersama Harits al-Muhasibi. Di rumah kukeluarkan sekerat roti kering dan kami pun segera memakannya. Harits al-Muhasibi kemudian berkata: “Makanan yang seperti inilah yang harus disuguhkan kepada para guru sufi.”
« Prev Post
Next Post »