Selasa, 31 Desember 2024

Habib al-Ajami al-Basri

Habib bin Muhammad al-Ajami al-Bashri, seorang Persia yang tinggal di Bashrah, adalah seorang ahli Hadits terkenal yang meriwayatkan hadits-hadits dari Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin dan tokoh-tokoh terpercaya lainnya. Pertobatannya dari kehidupan yang ugal-ugalan dan berfoya-foya adalah karena dalil-dalil yang dikemukakan oleh Hasan dengan sedemikian fasihnya. Habib al-Ajami sering mengikuti pengajian-pengajian yang disampaikan oleh Hasan sehingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat beliau yang paling akrab.

KISAH HABIB SI ORANG PERSIA

Awalnya Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka membanggakan uang. Ia menetap di kota Bashrah, dan setiap hari berkeliling kota untuk menagih piutang-piutangnya. Bila tidak memperoleh angsuran dari langganannya, maka ia akan menuntut uang ganti rugi dengan dalih alas sepatunya yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya sehari-hari.

Pada suatu hari Habib pergi ke rumah seorang yang berhutang kepadanya. Namun yang hendak ditemuinya sedang tak ada di rumah, maka Habib menagih utang kepada istri orang tersebut.

“Suamiku tak ada di rumah,” istri orang yang berhutang itu berkata kepadanya, “aku tak memiliki apa pun untuk diberikan kepadamu tetapi kami telah menyembelih seekor kambing dan lehernya masih tersisa, jika engkau mau akan kuberikan kepadamu.”

“Bolehlah!” si lintah darah menjawab. Ia berpikir bahwa setidaknya ia bisa mengambil leher kambing itu dan membawanya pulang. “Masaklah!”

“Aku tak punyai roti dan minyak,” si wanita menjawab. 

“Baiklah,” si lintah darat menjawab, “aku akan mengambil minyak dan roti, tapi untuk semua itu engkau harus membayar gantinya pula.” Lalu ia pun pergi untuk mengambil minyak dan roti. 

Kemudian si wanita segera memasaknya di dalam belanga. Setelah matang dan hendak dituangkan ke dalam mangkuk, seorang pengemis datang mengetuk pintu. 

“Bila yang kami miliki kami berikan kepadamu,” Habib menghardik si pengemis, “engkau tidak akan menjadi kaya, tapi kami sendiri akan menjadi miskin.” 

Si pengemis yang kecewa memohon kepada si wanita agar ia mau memberikan sekedar makanan kepadanya. Si wanita segera membuka tutup belanga, ternyata semua isinya telah berubah menjadi darah hitam. Melihat ini, wajahnya menjadi pusat pasi. Segera ia memanggil Habib dan menarik lengannya untuk memperlihatkan isi belanga itu kepadanya. 

“Lihatlah apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan dampratanmu kepada si pengemis!” Si wanita menangis. “Apa yang akan terjadi pada diri kita di atas dunia ini? Apa pula di akhirat nanti.” 

Melihat kejadian ini dada Habib terbakar oleh api penyesalan. Penyesalan yang tidak akan pernah padam seumur hidupnya. 

Wahai wanita! Aku menyesali segala perbuatan yang telah kulakukan. 

Keesokan harinya Habib berangkat untuk menemui orang-orang yang berhutang kepadanya. Kebetulan sekali hari itu adalah hari jum'at dan anak-anak bermain di jalanan. Ketika melihat Habib, mereka berteriak-teriak: “Lihat, Habib lintah darat sedang menuju ke sini, ayo kita lari, kalau tidak niscaya debu-debu tubuhnya akan menempel di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula seperti dia!” 

Kata-kata itu sangat melukai hati Habib. Kemudian ia pergi ke gedung pertemuan dan di sana terdengarlah olehnya ucapan-ucapan itu bagaikan menusuk-nusuk jantungnya sehingga akhirnya ia jatuh terkulai. 

Habib bertobat kepada Allah dari segala perbuatan yang telah dilakukannya, setelah menyadari apa sebenarnya yang terjadi, Hasan al-Bashri datang memapahnya dan menghibur hatinya. Ketika Habib meninggalkan tempat pertemuan itu, seseorang yang berhutang kepadanya melihatnya dan mencoba untuk menghindari dirinya. “Jangan lari” Habib berkata, “Di waktu yang sudah-sudah engkaulah yang menghindari diriku, tetapi sejak saat ini akulah yang harus menghindari dirimu". 

Habib meneruskan perjalanannya, anak-anak masih juga bermain-main di jalan. Melihat Habib, mereka segera berteriak “Lihat Habib yang telah bertobat sedang menuju kemari. Ayo kita lari! Jika tidak, niscaya debu-debu di tubuh kita akan menempel di tubuhnya sedangkan kita adalah orang-orang yang telah berdosa kepada Allah.” 

“Ya Allah ya Tuhanku!” seru Habib. “Baru saja aku membuat perdamaian dengan-Mu, dan Engkau telah menabuh genderang-genderang di dalam hati manusia untuk diriku dan telah mengumandangkan namaku di dalam keharuman." 

Kemudian Habib membuat sebuah pengumuman yang berbunyi: “Kepada siapa saja yang menginginkan harta benda milik Habib, datang dan ambillah!” 

Orang-orang datang berbondong-bondong, Habib memberikan semua harta kekayaannya kepada mereka dan akhirnya ia tak memiliki sesuatu pun juga. Namun masih ada seseorang yang datang untuk meminta, kepada orang ini Habib memberikan cadar isterinya sendiri. Kemudian datang pula seorang lagi dan kepadanya Habib memberikan pakaian yang sedang dikenakannya, sehingga tubuhnya terbuka. Ia lalu pergi menyepi ke sebuah pertapaan di pinggir sungai Eufrat dan di sana ia membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang malam ia belajar di bawah bimbingan Hasan namun betapa pun juga ia tidak tetap tidak bisa menghapal al-Quran, dan karena itulah ia dijuluki 'Ajami “si Orang Barbar”. 

Waktu berlalu, Habib sudah benar-benar dalam keadaan fakir, tetapi istrinya masih tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka pergilah Habib meninggalkan rumahnya menuju tempat pertapaan untuk melakukan kebaktiannya kepada Allah dan apabila malam tiba barulah ia pulang. 

“Di mana sebenarnya engkau bekerja sehingga tak ada sesuatu pun yang engkau bawa pulang?”, Isterinya mendesak. 

“Aku bekerja pada seseorang yang sangat Pemurah,” jawab Habib. “Sedemikian Pemurahnya Ia sehingga aku malu meminta sesuatu kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti ia akan memberi, karena seperti apa katanya sendiri: “Sepuluh hari sekali aku akan membayar upahmu,”. 

Demikianlah setiap hari Habib pergi ke pertapaannya untuk beribadah kepada Allah. Pada waktu shalat Zhuhur di hari yang kesepuluh, sebuah pikiran mengusik batinnya. “Apakah yang akan kubawa pulang malam nanti? Apakah yang harus kukatakan kepada isteriku?” 

Lama ia termenung di dalam perenungannya itu. Tanpa sepengetahuannya Allah Yang Maha Besar telah mengutus pesuruh-pesuruh-Nya ke rumah Habib. Yang seorang membawakan gandum sepemikul keledai, yang lain membawa seekor domba yang telah dikuliti, dan yang terakhir membawa minyak madu, rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Semua itu mereka pikul disertai seorang pemuda gagah yang membawa sebuah kantong berisi tiga ratus dirham perak. Sesampainya di rumah Habib, si pemuda mengetuk pintu. 

“Apakah maksud kalian datang ke mari?” tanya istri Habib setelah membukakan pintu. 

“Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantarkan barang-barang ini,” pemuda gagah itu menjawab, “sampaikanlah kepada Habib: “Bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu,”. Setelah berkata demikian mereka pergi. 

Setelah matahari terbenam Habib berjalan pulang, ia merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai ke rumah, terciumlah olehnya bau roti dan msakan-masakan. Dengan berlari istrinya datang menyambut, menghapus keringat di wajahnya dan bersikap lembut kepadanya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya di waktu yang sudah-sudah. 

“Wahai suamiku,” si istri berkata, “majikanmu adalah seorang yang sangat baik dan pengasih. Lihatlah segala sesuatu yang telah dikirimkannya kemari melalui seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan: “Bila Habib pulang, katakanlah kepadanya, bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu.”

HABIB TERHERAN-HERAN

“Sungguh menakjubkan! Baru sepuluh hari aku bekerja, sudah sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulalah yang akan dilimpahkan-Nya nanti?” 

Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala urusan dunia dan membaktikan dirinya untuk Allah semata-mata. 

Keajaiban-keajaiban Habib 

Pada suatu hari seorang wanita tua datang kepada Habib, merebahkan dirinya di depan Habib dengan sangat memelas hati. 

“Aku memiliki seorang putra yang telah lama pergi meninggalkanku. Aku tidak sanggup lebih lama lagi terpisah dengannya, berdoalah kepada Allah,” mohonnya kepada Habib. “Semoga berkat doamu, Allah mengembalikan putraku itu kepadaku.” 

“Apakah engkau mempunyai uang?” tanya Habib kepada wanita tua itu. 

“Aku punya dua dirham,” jawabnya. 

“Berikanlah uang tersebut kepada orang-orang miskin!.” 

Kemudian Habib membaca sebuah doa lalu ia berkata kepada wanita itu: “Pulanglah, putramu telah kembali.” 

Belum lagi wanita itu sampai ke rumah, dilihatnya sang putra telah ada dan sedang menantikannya. 

“Wahai! Anakku telah kembali!” wanita itu berseru. Kemudian dibawanya putranya itu menghadap Habib. 

“Apakah yang telah engkau alami?” tanya Habib kepada putra wanita itu. 

“Aku sedang berada di Kirmani, guruku menyuruhku membeli daging. Ketika daging itu telah kubeli dan aku hendak pulang ke guruku, tiba-tiba bertiuplah angin kencang, tubuhku terbawa terbang dan terdengar olehku sebuah suara yang berkata: “Wahai angin, demi doa Habib dan dua dirham yang telah disedekahkan kepada orang-orang miskin, pulangkanlah ia ke rumahnya sendiri. 

Pada tanggal 8 Zulhijjah, Habib kelihatan di kota Bashrah dan pada keesokan harinya di Padang Arafah. Suatu ketika bencana kelaparan melanda kota Bashrah. Karena itu, dengan berhutang Habib membeli banyak bahan pangan dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin. Setiap hari Habib menggulung kantong uangnya dan menaruhnya di bawah lantai. Apabila para pedagang datang untuk menagih hutang, barulah kantong itu dikeluarkannya. Sungguh ajaib, ternyata kantong itu sudah penuh dengan kepingan-kepingan dirham. Dari situ dilunasinya semua hutang-hutangnya. 

Rumah Habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota Bashrah. Ia mempunyai sebuah jubah bulu yang selalu dipakainya baik di musim panas maupun di musim dingin. Suatu ketika Habib hendak bersuci, jubah itu dilepaskannya dan dengan seenaknya dilemparkannya ke atas tanah. 

Tidak berapa lama kemudian Hasan al-Bashri lewat di tempat itu. Melihat jubah Habib yang tergeletak di atas jalan, ia bergumam: “Dasar Habib seorang Barbar, tak peduli berapa harga jubah bulu ini! jubah yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, bisa-bisa hilang nanti.” 

Hasan berdiri di tempat itu,” untuk menjaga jubah tersebut. Tidak lama kemudian Habib pun kembali. 

“Wahai, imam kaum Muslimin,” Habib menyapa Hasan setelah memberi salam kepadanya, “Mengapakah engkau berdiri di sini?” 

“Tahukah engkau bahwa jubah seperti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakan, kepada siapakah engkau menitipkan jubah ini?” 

“Kutitipkan kepada Dia, yang selanjutnya menitipkannya kepadamu,” jawab Habib. 

Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah Habib dan disuguhi dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya. 

Hasan terheran-heran lalu berkata: “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau suguhkan ke ujung hidung tamu lalu memberikan semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi kepada tamumu.” 

Habib tidak memberikan jawaban. 

Tidak lama kemudian seorang budak datang sambil membawa sebuah nampan. Di atas nampan tersebut ada daging domba panggang, panganan yang manis-manis dan uang lima ratus dirham perak. Si budak menyerahkan nampan tersebut ke hadapan Habib. Kemudian Habib membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang miskin dan menempatkan nampan tersebut di samping Hasan. 

Ketika Hasan mengenyam daging panggang itu, Habib berkata kepadanya: “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan. Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan. 

Pada suatu hari ketika perwira-perwira Hajjaj mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib. 

“Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?” tanya mereka kepada Habib. 

“Ya, aku telah melihatnya,” jawab Habib. 

“Di manakah Hasan pada saat ini?” 

“Di dalam pertapaan ini.” 

Para perwira tersebut memasuki pertapaan Habib dan melakukan penggeledahan, namun mereka tidak berhasil menemukan Hasan. 

“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka.” Hasan mengisahkan,” namun mereka tidak melihat diriku.” 

Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu Hasan mencela Habib “Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru. Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku.” 

“Guru, karena aku berterus terang itulah engkau bisa selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap.” 

“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?”, tanya Hasan. 

“Aku membaca Ayat Kursi sepuluh kali, Rasul Beriman sepuluh kali, dan Katakanlah Allah itu Esa, sepuluh kali. Setelah itu aku berkata: “Ya Allah, telah kutitipkan Hasan kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah dia.” 

Suatu saat Hasan ingin pergi ke suatu tempat. Ia lalu menyusuri tebing-tebing sungai Tigris sambil merenung-renung. Tiba-tiba Habib muncul di tempat itu. 

“Imam, mengapa engkau berada di sisi?”, Habib bertanya. 

“Aku ingin pergi ke suatu tempat namun perahu belum juga datang,” jawab Hasan. 

“Guru, apakah yang telah terjadi pada dirimu? Aku telah memperlajari segala hal yang kuketahui dari dirimu. Buanglah rasa iri kepada orang-orang lain dari dalam dadamu. Tutuplah matamu dari kesenangan-kesenangan dunia. Sadarilah bahwa penderitaan adalah sebuah karunia yang sangat berharga dan sadarilah bahwa segala urusan berpulang kepada Allah semata-mata. Setelah itu turunlah dan berjalanlah di atas air.” 

Selesai berkata demikian Habib menginjakkan kaki ke permukaan air dan meninggalkan tempat itu. Melihat kejadian ini, Hasan merasa pusing dan jatuh pingsn. Ketika ia siuman, orang-orang bertanya kepadanya: “Wahai imam kaum Muslim, apakah yang telah terjadi pada dirimu?” 

“Baru saja muridku Habib mencela diriku, setelah itu ia berjalan di atas air dan meninggalkan diriku sedang aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jika di akhirat nanti sebuah suara menyerukan: “Lewatilah jalan yang berada di atas api yang menyala-nyala' sedang hatiku masih lemah seperti sekarang ini, apakah dayaku?” 

Di kemudian hari Hasan bertanya kepada Habib: “Habib, bagaimana engkau mendapatkan kesaktian-kesaktian itu?” 

Habib menjawab: “Dengan memutihkan hatiku sementara engkau menghitamkan kertas." 

Hasan berkata: “Pengetahuanku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi kepada orang lain. 

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam