Senin, 08 Juli 2024

Tujuan Tarekat Sufi

Pada waktu kita berbicara tentang ilmu pengetahuan sufi dan tasawwuf, sudah kita singgung, bahwa mereka membahagikan ilmu dan amal itu dalam empat tingkat, sesuai dengan fitrah dan perkembangan kewajiban manusia yaitu syari'at, tarekat, hakikat, dan ma'rifat. Meskipun ada golongan yang membahagikan ilmu bathin itu atas pembagian lain, misalnya atas hidayat dan nihayat seperti yang kita dapati pada penganut-penganut tasawwuf Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al Jauziyah, tetapi pembahagian yang kita jumpai adalah pembahagian yang empat macam itu.

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapati Sufi-Sufi yang mengemukakan kepada murid-muridnya mengambil misalnya tarekat atau hakikat saja, disamping ahli-ahli fiqh yang hanya menekankan pelaksanaan Islam itu kepada melakukan syari'at saja. Saya tidak ingin membentangkan hal ini panjang lebar dalam risalah yang sangat terbatas halamannya ini, karena cukup dengan saya persilakan pembaca-pembaca menelaah karangan-karangan Imam Ghazali sebagai salah seorang yang ingin memperdekatkan kedua aliran paham dari pada ulama lahir dan ulama bathin itu.

Yang perlu saya catat di sini, bahwa tidak ada seorang ulama Sufi pun yang ajarannva dan tarekatnya beroleh pengakuan kebenaran dalam masyarakat Islam memperbolehkan pengenut-penganutnya hanya mengerjakan salah satu saja daripada keempat bahagian itu. Mereka berkata bahwa pelaksanaan agama Islam tidak sempurna, jika tidak dikerjakan keempat-empatnya, karena keempat-empatnya itu merupakan satu tunggal bagi Islam.

Syeikh Najmuddin Al-Kubra sebagai tersebut dalam kitab "Jami-ul Auliya" (Mesir, 1331 H) mengatakan, "syari‘at itu merupakan uraian, tarekat itu merupakan pelaksanaan, hakikat itu merupakan keadaan, dan ma'rifat itu merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Diberinya teladan seperti bersuci thaharah, pada syari'at dengan air atau tanah, pada hakikat bersih dari hawa nafsu, pada hakikat bersih hati dari selain Allah, semuanya itu untuk mencapai ma'riat terhadap Allah. Oleh karena itu orang tidak dapat berhenti pada syari'at saja, mengambil tarekat atau hakikat saja. la membandingkan syari'at dengan sampan, tarekat itu lautan, hakikat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak melalui kapal dan laut.

Oleh karena itu Syeikh Ahmad Al-Khamsyakhanuwi An-Naksyabandi, pengarang kitab yang tersebut di atas, menyimpulkan, bahwa syari'at itu apa yang diperintahkan, dan hakikat itu apa yang dipahami, syari'at itu terpilih menjadi satu dengan hakikat, dan hakikat menjadi satu dengan syari'at (hal. 42).

Kedua ucapan orang Sufi itu sesuai dengan apa yang pernah jelaskan oleh Anas bin Malik:"Barang siapa berfiqh saja, tidak bertasawwuf, ia termasuk golongan fasiq, barang siapa bertasawwuf saja meninggalkan fiqh ia termasuk golongan zindiq, tetapi barang siapa mengcrjakan kedua-duanya dialah yang dapat dinamakan mutahaqqiq yaitu ahli hakikat."

Seorang ahli tarekat terbesar menerangkan, bahwa sebenarnya tarekat itu tidak terbatas banyaknya, karena tarekat atau jalan kepada Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya tidak terbilang pula, karena ada yang akan melalui jalan zikir, jalan muraqabah, jalan ketenangan hati, jalan pelaksanaan segala ibadat seperti sembahyang, puasa haji dan jihad jalan melalui kekayaan, seperti mengeluarkan zakat dan membiayai amal kebajikan, jalan membersihkan jiwa dari kebimbangan dunia akan kethama'an hawa nafsu, seperti khalawat dan mengurangi tidur, mengurangi makan minum semuanya itu tidak dapat dicapai dengan meninggalkan syari'at dan Sunnah Nabi. Dalam hal ini Al-Junaid memperingatkan: "Semua tarekat itu tidak berfaedah bagi hamba Allah jika tidak menurut Sunnah Rasulnya."

Maka oleh karena itu tiap-tiap tarekat yang diakui sah oleh ulama harus mempunyai lima dasar, pertama menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan, kedua mendampingi guru dan teman setarekat untuk meneladani, ketiga meninggalkan rukhshah dan ta'wil untuk kesungguhan, keempat mengisi semua waktu dengan do'a dan wirid, dan kelima mengekangi hawa nafsu daripada berniat salah dan untuk keselamatan.

Mengenai tarekat Naksyabandiyah dapat kita ringkaskan atas dua hal, pertama mengenai dasar, ialah memegang teguh kepada i'tiqad Ah-lus Sunnah, meninggalkan rukhshah membiasakan kesungguhan, senantiasa kala muraqabah, meninggalkan kebimbangan dunia dari selain Allah, hudur terhadap Tuhan, mengisi diri (tahalli) dengan segala sifat sifat yang berfaedah dan ilmu agama mengikhlaskan zikir, menghindarkan kealpaan terhadap Tuhan, dan berakhlak Nabi Muhammad, sedang kedua mengenai syarat-syaratnya, diatur sebagai berikut: i'tiqad yang sah, taubat yang benar, menunaikan hak orang lain, memperbaiki kezaliman, mengalah dalam perselisihan, teliti dalam adab dan sunnah, memilih amal menurut syari'at yang sah, menjauhkan diri daripada segala yang munkar dan bid'ah, daripada pengaruh hawa nafsu dan daripada perbuatan yang tercela.

Pokok-pokok dasar tarekat Syaziliyah di antara lain ialah : Taqwa kepada Tuhan lahir batin, mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan, mencegah menggantungkan nasib kepada manusia, rela dengan pemberian Tuhan dalam sedikit dan banyak, berpegang kepada Tuhan pada waktu susah dan senang. Menurut tarekat ini pelaksanaan taqwa dilakukan dengan wara' dan istiqamah, pelaksanaan sunnah dengan penelitian amal dan perbaikan budi pekerti, pelaksanaan penggantian nasib dengan sabar dan tawakkal, pelaksanaan rela terhadap Tuhan dengan hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada, dan pelaksanaan kembali dan berpegang kepada Allah dengan ucapan tahmid dan syukur.

Untuk kesempurnaan kita sebutkan juga di sini pokok-pokok tarekat Qadiriyah, yaitu lima, pertama tinggi cita-cita, kedua menjaga segala yang haram, ketiga memperbaiki khidmat terhadap Tuhan, keempat melaksanakan tujuan yang baik, dan kelima memperbesarkan arti kurinia nikmat Tuhan.

Demikianlah beberapa catatan mengenai tujuan dan pokok-pokok dasar daripada tarekat-tarekat terpenting, yaitu yang merupakan induk keyakinan daripada beberapa banyak tarekat lain. Insya Allah uraian yang panjang lebar mengenai tarekat dan seluk-beluk ilmu dan amalnya akan saya uraikan pada kesempatan lain dalam kitab ini.

Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Pengantar Ilmu Tarekat". halaman 71-75, Cetakan III, Januari 1985 M, Penerbit Ramadhani, Solo, Jawa Tengah

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam