Selasa, 25 Juni 2024

Wahyu Tuhan Menurut Persepsi Aboebakar Atjeh

Sebagaimana wahyu itu pernah diturunkan kepada Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul sebelumnya, begitu juga Nabi Muhammad menerima wahyu itu dari Tuhan, baik dengan tidak ada sesuatu perantara, maupun dengan perantaraan Malaikat Jibril, yang menyampaikan juga wahyu-wahyu itu kepada utusan-utusan Tuhan yang lain, pada masa yang telah lampau.

Siti Aisyah menerangkan, bahwa wahyu itu didahului oleh mimpi yang benar (ru'ya sadiq) dari junjungan kita. Beliau demikian kira-kira kata Siti Aisyah, tidak melihat sesuatu ru'ya melainkan jelas dan terang kejadiannya, seperti pancaran cahaya dini hari. Kemudian beliau sangat suka bersunyi-sunyi diri, duduk tafakkur sendiri dalam gua Hira'. Disitulah beliau mengerjakan ibadat bermalam-malam, sehingga beliau itu rindu kembali kepada sanak kelurganya, lalu pulang dan mengambil perbekalan untuk kehidupan dalam tempat beribadat itu. Demikianlah beliau kembali kepada Khadijah, mengambil perbekalan seperti yang telah sudah. Demikian beberapa lama hingga datanglah wahyu kepada beliau, tatkala beliau ada dalam gua Hira'. Kepadanya datang seorang yang tidak dikenal dan memerintahkan : "Bacalah!”. Kata beliau: "Aku tidak pandai membaca”. Dipeluknya Nabi sehingga lemah rasa beliau. Kemudian dilepaskannya pula sambil menganjurkan: "Bacalah!”.

Kata Nabi : "Aku tidak pandai membaca”. Sesudah sampai ketiga kalinya dipeluk, kemudian dilepaskannya, sambil berkata: "Bacalah dengan nama Tuhan yang telah menjadikan, membuat manusia ini...". seterusnya ayat-ayat Qur'an dalam surat Al‘Alaq.

Dan dengan hati yang menggetar beliau pulang minta diselimuti oleh Khadijah. Setelah hilang ketakutannya, diceritakannya apa yang telah kejadian dalam gua Hira' itu. "Sebenarnya aku takut diriku binasa”, ujar Nabi sebagai penutup uraiannya.

Siti Khadijah menjawab: "Tidak sekali-kali, Demi Allah, Tuhan tidak akan menghina engkau, karena engkau adalah seorang yang suka menghubungkan silaturahmi, suka menanggung kepayahan, membelanjai fakir miskin, menjamu tetamu dan menolong orang yang ada dalam kesusahan”. Khadijah membawa beliau kepada Warqah bin Naufal, anak saudara ayahnya, seorang yang pernah menganut Nasrani dan pandai menulis dalam bahasa Ibrani. Warqah pernah menyalin Injil ke dalam bahasa Ibrani. Ketika itu Warqah sudah menjadi seorang tua dan telah buta pula, Nabi menceritakan kepadanya apa-apa yang telah dialaminya. Sesudah cerita itu selesai, jawab Warqah: Itulah jibril yang telah pernah diturunkan Allah kepada Musa. O, anakku, jika aku masih hidup kiranya, pada waktu engkau diusir oleh kaummu". "Apakah aku akan diusir oleh mereka", tanya Nabi. jawab Warqah: "Tak ada orang yang mengenengahkan perkara seperti yang engkau bawa ini, melainkan mesti dimusuhi orang. Kalau aku mendapati masa engkau ini, pasti aku akan memberi pertolongan kepadamu".

Diceriterakan, bahwa tidak lama kemudian Warqah meninggal dunia. Sesudah kejadian itu, wahyu turun berturut-turut kepada beliau selama 23 tahun, sejak beliau diangkat menjadi Nabi di Mekah hingga wafat di Madinah. Terkadang putus wahju itu. Demikian catatan ringkas tentang kedatangan wahyu pertama. Sepintas lalu kita lihat, sukar diterima akal, jika tidak ditunjang iman, dibuka hati oleh Tuhan akan menerima kebenaran wahyu itu. Inilah pula yang menyebakkan segolongan bangsa Arab dalam zaman Nabi Muhammad ingkar mengakui junjungan kita itu benar seorang utusan Allah. Dalam pandangannya tidak lebih dari seorang manusia biasa, sebagai mereka itu juga. Kemudian beliau menerima wahyu dari Tuhan tidak masuk dalam pikirannya.

Rasa keragu-raguan dari bangsa Arab jahiliyah itu digambarkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an sebagai berikut: "Mengapa mereka heran kami menurunkan wahyu kepada seorang laki-laki dari golongan mereka itu sendiri" (Surat Junus).

Sungguh jika tidak kita mengikuti lebih dahulu kehidupan Nabi Muhammad saw tidak akan dapat kita memahami kemungkinan wahyu itu kepada beliau. Benar beliau seorang manusia, tetapi riwayat hidupnya menunjukkan, bahwa beliau bukan seperti manusia biasa. jikalau kita dapat perbedaan antara benda dengan benda, antara hewan dengan hewan, mengapa menjadi tidak mungkin ada perlainaan antara manusia dengan manusia?

Tepat jika tuan Husain Yahya, mahaguru dalam ilmu tafsir pada Sekolah Tinggi Islam di Jogjakarta, tatkala mengucapkan pidato keangkatannya, menangkis serangan orang, yang tidak percaya akan kemungkinan wahyu sebagai berikut:

Pun tumbuh-tumbuhan, terdapat tanaman-tanaman yang lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yang mempunyai perasaan, sifat yang sesungguhnya khusus bagi hewan. Dalam alam hewan, demikian kataya, ada juga sebangsa binatang yang mempunyai sifat-sifat yang menjadikan derajatnya lebih tinggi dari yang lain, sehingga dengan kelebihannya itu, hampir seperti manusia dalam beberapa perihalnya.

Alam manusiapun tidak terkecuali dari sunnah kejadian makhluk yang lain-lain itu. Manusia juga sepantun pohon kayu di rimba, ada yang tinggi dan ada pula yang rendah derajat roh dan ada akalnya dalam masyarakat ada terdapat orang yang otaknya tumpul, berpikir amat lambat, bebal. Bila menghadapi sesuatu soal yang kecil saja, ia merasa seolah-olah berhadapan dengan gunung yang tinggi. Disamping mereka itu kita dapati orang-orang yang cerdas, yang jernih otaknya, akalnya sinar-seminar, jalan dimukanya selalu terbentang, berbudi tinggi, rohnya suci tidak bernoda.

Perbedaan derajat manusia seperti ini, sering terbukti bukan karena bekas pendidikan atau kesan masyarakat, melainkan semata-mata dari fitrah atau bawaan dari kecil, tegasnya kurnia dari Tuhan yang Maha Kuasa. Kurnia Allah dianugerahkanya kepada siapa yang dikehendakinya, dengan kemungkinan yang tidak terbatas.

Nabi Muhammad saw mempunyai lembaran sejarah yang gilang-gemilang, sejak dari kecil, beliau penuh dengan kesucian, akhlak tinggi, budi halus dan jernih, roh suci murni, pendek kata telah diperlengkapi oleh Allah swt dengan segala kesempurnaan rohani dan jasmani, hingga dengan ini semua, mudah bagi beliau berhubungan dengan alam rokhani, menerima wahyu Tuhan dengan perantaraan Malaikat jibril as.

Dalam hadis yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim ada dua macam cara turun wahyu kepada Nabi Muhammad. Pertama, Nabi hanya mendengar suara, dan ini sangat menyulitkan beliau benar. Kedua, Nabi berhadapan dengan Malaikat yang menjelma seperti orang laki-laki, berbicara dengan beliau. Barangkali mudah dipaham kenapa beliau merasa sulit dalam cara yang pertama tadi. Sebabnya ialah karena beliau memakai tenaga, melepaskan diri dari pengaruh jasmani, tubuh kasar, menjelma kedalam rohani, berhubungan dengan Malaikat. Sebaliknya hal yang kedua, Malaikat menjelma berupa manusia biasa.

Disamping kemusykilan bangsa Arab dahulu kala itu, akan ke- mungkinan dan adalah wahyu, terdapat pula golongan di zaman sekarang, yaitu orang-orang materialis dari orientalistme belum pericaya akan wahyu yang diterima Nabi Muhammad, dan mereka mengatakan, bahwa Qur'an tidak benar dari Tuhan. Berbeda dengan bangsa Arab yang disebut tadi yang berkeberatan mengakui Nabi Muhammad mempunyai sifat-sifat teristimewa dan berkelebihan yang luar biasa dari mereka. Sebaliknya golongan yang akhir ini dengan segala kemurahan tidak keberatan melekatkan segala sifat-sifat kesempurnaan rohani dan jasmani kepada Nabi Muhammad. Diantara golongan ini tersua nama Emile Dermenghem, seorang orientalist bangsa Perancis, penulis buku "La vie de Mahomet".

Almarhum Syeikh Rasyid Ridha dalam bukunya "Al-Wahyu Al- Muhammady", ada menuis kesimpulan pendapat orang-orang materialis terhadap wahyu kira-kira begini:

"Sesungguhnya wahyu itu, hanya ilham yang meruah dari lautan jiwa dan lubuk hati Nabi Muhammad sendiri, bukan dari luar, dari Tuhan. Roh beliau yang tinggi, hati yang suci murni, kekuatan iman, akan wajib mengabdikan kepada Tuhan, dan menyingkirkan menjemah patung dan berhala... semua ini memberi kesan kepada otaknya dan membayangkan kepada akalnya akan adanya mimpi-mimpi dan peristiwa-peristiwa wahyu, yang dikatakannya petunjuk Ilahi, yang turun kepadanya dari langit dengan tidak berperantaraan ataupun dengan perantaraan seorang laki-laki yang dikatakannya Malaikat, utusan dari Tuhan”.

Kejadian seperti ini mereka samakan dengan peristiwa seorang gadis Perancis, Jean d'Arc, yang mengatakan, bahwa ia diilhamkan oleh Tuhan untuk melepaskan tanah airnya dari genggaman musuhnya bangsa Inggris diabad ke 15. Hampir serupa dengan kekeliruan yang diterangkan tadi, pendapat orang yang mengatakan : "Andai kata Solon, Filosuf Yunani yang hidup di abad yang ke 7 sebelum Nabi Isa, telah bisa merubah undang-undang Negara, maka tidak ganjil Nabi Muhammad sanggup menyusun syarı'at atau undang-undang dengan sendirinya. (Akhirnya Qur'an itu dari Muhammad sendiri, bukan dari Tuhan).

Tidak pada tempatnya kita adakan perbandingan antara Nabi Muhammad dengan Jean d'Arc dan Solon yang mereka sebutkan tadi, hanya biarlah kita serahkan saja kepada pikiran-pikiran yang merdeka pencipta-pencipta kebenaran, dan ahli sejarah untuk membanding antara kesan-kesan gerakan yang diadakan oleh Jean d'Arc diabad ke 15 terhadap rakyat dan tanah Perancis, dengan hasil-hasil revolusi yang dilancarkan oleh Nabi Muhammad, dipermukaan abad ke 7, dengan petunjuk Qur'an, terhadap negeri dan bangsa Arab khususnya, dan terhadap dunia dan prikemanusiaan umumnya. Seterusnya kepada mereka itu juga terserah membandingkan antara undang-undang dasar yang diciptakan oleh Solon dan terpakai 10 tahun di yunani di abad ke 7 sebelum Nabi Isa dengan aturan-aturan Qur'an, yang sekarang masih ada dan akan tetap ada.

Tetapi ada gunanya juga kita tegaskan, bahwa penghidupan Nabi Muhammad sangat menjadi perhatian umum semenjak dari dahulu sampai sekarang diselidiki dan dicatat dari hal yang kecil-kecil yang mengenai urusan prive sampai kepada masalah-masalah yang besar-besar, yang bersangkutan dengan urusan umum. Diantara peristiwa-peristiwa yang mengenai diri Nabi Muhammad dan wahyu yang diakui kebenarannya dengan mutawatir ialah bahwa : Nabi Muhammad seorang Ummi tidak pernah belajar ilmu pengetahuan dari siapapun. Beliau dari kecil terkenal dengan ketinggian akhlak dan kehalusan budi. Tidak pernah berdusta.

Tidak tahu menahu dari kecilnya, bahwa beliau akan menjadi Nabi. Ketika beliau menerima wahyu buat pertama kalinya beliau merasa takut dan rahasia hatinya ini dicurahkanya kepada isterinya Sitti Khadijah.

Menurut ukuran ahli bahasa Arab, sejak zaman dahulu sampai dewasa ini sangatlah jauhnya perbedaan antara perkataan-perkataan Nabi sendiri dengan perkataan-perkataan wahyu yang di dalam Qur'an. Qur'an itu mu'jizat (diluar kekuasaan manusia menirunya) dengan sajaknya yang teristimewa dan mengandung riwayat-riwayat dan kisah Nabi-Nabi yang tidak diketahui Nabi Muhammad sebelum menerima wahyu.

Dengan uraian yang kita beberkan ini, akal manusia tentu akan mudah membenarkan bahwa Nabi Muhammad utusan Tuhan dan Qur'an itu wahyu Allah.

Sumber: Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam buku "Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam)". halaman 7-11, Cetakan I, Januari Tahun 1966 M, Penerbit Tintasmas, Jakarta

Previous
« Prev Post

Artikel Terkait

Copyright Ⓒ 2024 | Khazanah Islam